Daftar Isi
Siapa sih yang nggak pernah merasa jatuh cinta sama lagu? Apalagi kalau lagu itu bisa jadi penghubung antara dua orang yang nggak sengaja bertemu, lalu tiba-tiba punya banyak cerita bareng. Gimana rasanya kalau cinta itu datang lewat kaset pita, dengerin lagu yang kamu sukai, dan semua kenangan itu jadi satu cerita yang nggak pernah kamu lupain?
Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ngerasain gimana cinta bisa muncul dari hal yang sederhana, tapi punya makna yang dalam. Yuk, simak kisah Nando dan Lina, yang mungkin bakal bikin kamu ketawa, baper, atau malah jadi inget lagu-lagu lama!
Mixtape Cinta
Nada Pertama di Toko Kaset
Sabtu sore, hujan rintik-rintik turun tipis di Kota Bandung. Di sebuah sudut jalan, sebuah toko kaset tua berdiri kokoh, menawarkan nostalgia lewat rak-rak kayu penuh kaset pita dan poster-poster musisi legendaris. Di dalam, bau khas kaset pita yang usang bercampur dengan aroma hujan yang samar menyusup dari pintu.
Lina berdiri di depan rak musik lokal. Jemarinya menyusuri deretan kaset Sheila on 7, Dewa 19, dan Padi, matanya berbinar ketika menemukan album yang ia cari: 07 Des. Ia tersenyum kecil, puas seperti seorang penjelajah yang baru saja menemukan harta karun. Tapi senyum itu pudar saat ia menyadari satu hal: harga kasetnya naik lima ribu dari bulan lalu.
“Ya ampun, ini udah edisi kolektor, atau gimana sih?” gumam Lina pelan, mencoba menahan tawa.
Di rak sebelah, seorang pemuda dengan hoodie abu-abu mendengar gumaman itu. Tanpa pikir panjang, ia melirik ke arah Lina dan menyeringai tipis. “Kaset sekarang makin mahal karena orang-orang kayak kamu, yang nggak bisa move on dari Sheila on 7.”
Lina terkejut, menoleh ke arah suara itu. Seorang pemuda berdiri santai dengan tangan di saku hoodie-nya, menatapnya dengan tatapan iseng namun tidak menghakimi. Rambutnya agak berantakan, seperti tidak sempat disisir sebelum keluar rumah.
“Kamu ngomong kayak gitu emang nggak suka Sheila on 7?” balas Lina, nada suaranya setengah menantang.
Pemuda itu tertawa kecil, menunjukkan deretan giginya yang rapi. “Suka banget, malah. Makanya aku tau kalau kamu salah pilih album. Album terbaik mereka tuh Kisah Klasik untuk Masa Depan, bukan 07 Des.”
Lina mendengus, tapi tidak bisa menahan senyum. “Kamu aja yang salah. 07 Des itu underrated. Kalau kamu beneran suka Sheila on 7, harusnya ngerti.”
“Wah, aku salah debat, nih,” ujar pemuda itu sambil mengangkat tangan seolah menyerah. “Tapi kalau aku boleh tahu, kamu mau beli itu buat koleksi, atau cuma pengen nambahin lagu di mixtape kamu?”
Lina mengerutkan kening. “Mixtape? Tahun berapa ini? 2003, bukan 1983.”
Pemuda itu tertawa, kali ini lebih lepas. “Ya ampun, aku udah jarang nemu orang yang bisa ngelawak sambil serius gitu.”
Mereka terdiam sejenak, tapi bukan karena suasananya canggung. Lina melirik ke arah pemuda itu lagi. Ada sesuatu di caranya tersenyum, caranya bicara, yang terasa… familiar, meski ia yakin belum pernah bertemu dengannya.
Kasir di sudut toko memanggil pelanggan berikutnya. Lina tersadar bahwa ia sudah terlalu lama berdiri di rak yang sama. “Aku duluan, ya,” katanya sambil mengangkat kaset di tangannya.
Pemuda itu mengangguk. “Oh, pasti. Sampai ketemu lagi, Miss Underrated.”
Lina tersenyum kecil, sedikit heran kenapa panggilan itu terdengar lucu dan menggelitik.
Di luar toko, hujan sudah berhenti. Lina berjalan ke halte bus dengan perasaan campur aduk. Ia tidak tahu siapa pemuda tadi, bahkan tidak sempat bertanya namanya. Tapi ada sesuatu tentang pertemuan itu yang membuat hari ini terasa berbeda.
Sementara itu, di dalam toko, pemuda itu, Nando, kembali ke rak tempat Lina berdiri tadi. Ia menatap album 07 Des yang tersisa di rak, lalu tersenyum kecil. Tanpa banyak pikir, ia mengambil kaset itu dan membawanya ke kasir.
“Buat kenang-kenangan, Mas?” tanya kasir yang sudah mengenal kebiasaan Nando mengoleksi kaset langka.
“Bukan, buat inspirasi,” jawab Nando santai.
Ia tidak tahu apakah akan bertemu Lina lagi. Tapi di sudut hatinya, ia berharap. Sesuatu tentang gadis itu—caranya bicara, senyumnya yang tipis, dan keberaniannya memperdebatkan album Sheila on 7—membuat Nando merasa seperti menemukan inspirasi baru.
Di dalam tasnya, album 07 Des sudah diamankan. Dan di luar sana, malam Bandung yang dingin menyimpan janji-janji yang belum terucap.
Suara di Tengah Festival
Seminggu setelah pertemuan di toko kaset, kota Bandung berubah riuh oleh gemuruh festival musik tahunan. Alun-alun kota penuh dengan orang-orang yang datang membawa harapan sederhana: menikmati musik, melupakan sejenak rutinitas, dan tenggelam dalam suasana pesta yang penuh warna.
Lina berada di antara kerumunan itu, mengenakan sweater biru tua yang nyaman. Ia baru saja keluar dari salah satu booth makanan, membawa segelas besar es teh manis. Senyum mengembang di wajahnya. Ia selalu mencintai suasana festival musik—bukan hanya untuk lagu-lagunya, tapi juga untuk kesempatan melihat orang-orang begitu hidup.
Sambil berjalan mendekati panggung utama, Lina mendengar suara gitar akustik yang berasal dari sebuah sudut yang lebih tenang. Bukan dari panggung besar di tengah keramaian, tapi dari salah satu area kecil di pinggir festival. Suara itu menarik perhatiannya. Ia melangkah mendekat, melewati kerumunan yang lebih tipis.
Dan di sana, duduk di atas bangku kayu panjang, dengan hoodie abu-abu yang sama seperti minggu lalu, adalah pemuda dari toko kaset. Kepalanya sedikit menunduk, jemarinya lincah memetik gitar, seolah tidak peduli pada lalu-lalang di sekitarnya.
Lina berhenti sejenak, ragu. Tapi ia tahu, ini bukan kebetulan. Ia mendekat dengan langkah hati-hati, mencoba tidak mengganggu alunan musik itu.
“Kayaknya aku sering lihat kamu pakai hoodie itu. Kamu nggak punya baju lain, ya?” tanya Lina, suaranya cukup keras untuk mengalahkan suara petikan gitar.
Nando mendongak, seketika mengenal suara itu. Ia berhenti bermain, lalu menyeringai kecil. “Eh, Miss Underrated. Aku pikir kamu udah pindah ke dimensi lain setelah beli kaset itu.”
Lina duduk di ujung bangku, menjaga jarak tapi cukup dekat untuk mendengar suara Nando tanpa harus berteriak. “Aku suka festival kayak gini. Tapi kamu, ngapain di sini sendirian?”
“Nyari inspirasi,” jawab Nando sambil menepuk-nepuk badan gitarnya. “Aku nggak suka nonton dari depan panggung. Suasananya lebih asik di pinggir, lihat orang-orang dari jauh.”
Lina mengangguk, setuju tanpa perlu banyak bicara. Ia menyesap es teh-nya, lalu menatap Nando yang sedang mengutak-atik senar gitarnya.
“Kamu main lagu Sheila on 7 lagi?” Lina bertanya dengan nada setengah menggoda.
“Kali ini, nggak,” kata Nando sambil tersenyum. “Aku lagi coba bikin lagu sendiri. Tapi masih acak-acakan, belum jelas mau dibawa ke mana.”
Lina memiringkan kepala, penasaran. “Boleh dengerin?”
Nando mengangkat alis, sedikit terkejut. “Kamu yakin? Aku nggak janji bagus.”
“Aku juga nggak janji bakal suka, sih,” balas Lina dengan nada santai. Tapi di dalam hati, ia sebenarnya sangat ingin tahu.
Nando tersenyum, lalu mulai memetik gitar. Melodi sederhana mengalun, diikuti oleh suaranya yang lembut dan rendah. Bukan suara penyanyi profesional, tapi ada sesuatu di dalamnya yang terasa jujur. Liriknya sederhana—tentang malam yang tenang, harapan yang samar, dan keberanian untuk memulai sesuatu yang baru.
Ketika ia selesai, Lina tidak langsung bicara. Ia hanya menatap Nando dengan tatapan yang sulit ditebak.
“Jadi, gimana?” tanya Nando akhirnya, sedikit gugup.
Lina mengangkat bahu, lalu tersenyum. “Kamu harus kerja lebih keras lagi.”
Nando tertawa kecil, tapi ia tahu Lina tidak bermaksud jahat. “Ya udah, kalau gitu kamu bantu aku. Aku butuh pendengar yang jujur.”
“Siapa tahu aku bisa jadi kritikus musik profesional setelah ini,” jawab Lina sambil tertawa.
Malam itu, mereka menghabiskan waktu di sudut festival, bicara tentang musik, film, dan hal-hal sederhana lainnya. Nando menceritakan mimpinya membuka pameran seni bertema nostalgia, dan Lina berbagi keinginannya untuk jadi penyiar radio.
“Kamu tahu, aku selalu mikir kalau suara itu punya kekuatan yang luar biasa,” kata Lina sambil menatap langit malam. “Dengar lagu favorit bisa bikin hari buruk jadi lebih baik. Dan aku pengen jadi orang yang bisa bikin orang lain ngerasa kayak gitu.”
Nando mengangguk pelan. “Kamu cocok banget jadi penyiar radio. Suara kamu punya sesuatu yang bikin orang nyaman.”
Lina menoleh, kaget sekaligus tersanjung. “Kamu baru ketemu aku dua kali, tapi udah berani ngomong kayak gitu?”
“Insting seni,” jawab Nando sambil mengangkat bahu.
Ketika malam semakin larut, suara dari panggung utama terdengar semakin keras, menandai penampilan puncak. Tapi Lina dan Nando tetap di tempat mereka, merasa tidak perlu bergabung dengan kerumunan. Di sudut itu, di bawah langit Bandung yang cerah, mereka menemukan keajaiban kecil dalam bentuk percakapan sederhana dan nada-nada gitar.
Malam itu, Lina pulang dengan perasaan hangat di dadanya. Dan Nando, di bangku kayu itu, kembali memainkan gitarnya, menyimpan senyuman kecil di wajahnya.
Surat, Sketsa, dan Kaset Pita
Hampir sebulan berlalu sejak malam di festival musik, tapi Lina dan Nando terus saling berhubungan. Hubungan itu sederhana, seperti hujan gerimis yang tidak pernah terlalu deras tapi selalu menyejukkan.
Nando sering mengirimkan surat-surat kecil melalui layanan pos—sesuatu yang menurut Lina “terlalu vintage tapi menyenangkan.” Setiap surat datang dengan sebuah sketsa di sudut bawah kertas. Sketsanya sederhana: gitar, langit malam, atau bahkan secangkir kopi. Tapi semuanya terasa sangat pribadi, seperti pesan-pesan kecil yang hanya Lina yang bisa mengerti.
“Kenapa nggak pakai email aja? Lebih cepat,” komentar Lina suatu sore, saat mereka bertemu di sebuah kafe kecil dekat kampus.
Nando hanya tersenyum. “Email itu praktis, tapi terlalu gampang dilupakan. Surat punya caranya sendiri untuk bertahan lama. Lagipula, aku suka ngebayangin kamu buka amplopnya, terus senyum kecil pas baca isinya.”
Lina menggeleng pelan, setengah bingung, setengah terhibur. “Kamu selalu tahu gimana caranya bikin sesuatu kelihatan istimewa, ya.”
Mereka duduk di sudut kafe, membicarakan rencana masing-masing. Lina sedang sibuk magang di sebuah stasiun radio kecil, sementara Nando sibuk dengan proyek lagunya.
“Aku mau bikin mixtape,” kata Nando tiba-tiba.
“Mixtape?” Lina menatapnya dengan alis terangkat.
“Iya, yang beneran. Kaset pita, bukan playlist digital. Aku pengen bikin sesuatu yang beda. Lagu-lagu di dalamnya aku pilih khusus, ada yang nyambung sama lirikku, ada yang cuma pengen aku kasih dengar ke kamu.”
Lina mengerutkan kening, tapi senyum kecil muncul di bibirnya. “Buat aku?”
“Bisa jadi. Atau mungkin buat dunia. Kamu lihat aja nanti.”
Beberapa minggu setelah percakapan itu, Lina menerima sebuah paket kecil di kotak suratnya. Di dalamnya, sebuah kaset pita dengan tulisan tangan di labelnya: For Miss Underrated.
Saat memutar kaset itu di tape recorder tua di kamarnya, Lina mendengar sesuatu yang membuatnya tersenyum lebar. Lagu-lagu pilihan Nando beralih satu demi satu, seperti sebuah perjalanan. Ada Sheila on 7, Ada Band, bahkan satu lagu dari penyanyi indie yang Lina sendiri tidak tahu. Tapi bagian terbaiknya ada di akhir: sebuah rekaman suara Nando.
“Lina,” suara Nando terdengar sedikit gemetar, tapi hangat, “kalau kamu lagi dengar ini, aku cuma mau bilang terima kasih. Terima kasih udah bikin aku percaya kalau mimpi itu bisa lebih dari sekadar angan-angan. Dan terima kasih buat… ya, semuanya. Aku nggak tahu gimana caranya bilang ini langsung, jadi aku pikir, aku simpan di kaset ini aja. Semoga kamu suka.”
Lina duduk terdiam setelah kaset itu selesai. Pikirannya berputar-putar, mencoba mencerna perasaan yang tiba-tiba membanjirinya.
Di sisi lain kota, Nando sedang duduk di depan jendela kamarnya, menatap hujan yang turun deras. Ia tahu Lina sudah menerima kaset itu, tapi tidak yakin apa yang Lina pikirkan. Apakah ia akan menganggapnya aneh? Berlebihan?
Ponselnya bergetar di meja. Sebuah pesan masuk dari Lina.
- Nando, aku udah denger kasetnya. Kamu serius bikin itu semua sendiri?
Nando tersenyum kecil, lalu mengetik balasan.
- Serius. Jadi, gimana? Aku butuh kritikus jujur buat kasih review.
Balasannya datang lebih cepat dari yang ia duga.
- Review? Aku kasih nilai 8 dari 10. Lagunya bagus, tapi ada bagian yang bikin aku bingung.
- Bagian mana?
- Bagian di akhir. Kamu… serius waktu bilang itu semua?
Nando terdiam sejenak sebelum menjawab. Ia tahu ini adalah saatnya.
- Iya, Lina. Aku serius.
Pesan itu terkirim, tapi tidak langsung dibalas. Jantung Nando berdebar kencang, seperti menunggu sebuah keputusan besar.
Lama sekali, sampai akhirnya ponselnya bergetar lagi.
- Besok, di tempat biasa. Aku mau kamu jelasin langsung.
Nando membaca pesan itu berulang kali, senyum kecil muncul di wajahnya.
“Baiklah,” gumamnya pelan, menatap hujan yang mulai reda.
Esoknya, di sudut kafe kecil tempat mereka sering bertemu, Lina sudah duduk menunggu. Nando datang dengan gitar di tangan, matanya langsung mencari Lina di antara pengunjung.
Mereka bertukar senyum, dan tanpa banyak bicara, Nando duduk di depan Lina.
“Kamu bawa gitar?” Lina bertanya, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya dengan nada santai.
Nando mengangguk. “Aku pikir, kalau aku mau jelasin, aku harus pake cara yang paling aku ngerti.”
Lina tertawa kecil. “Oke. Tunjukkan.”
Nando mengambil nafas dalam, lalu mulai memainkan gitar. Melodi sederhana mengalir, diiringi lirik yang ia nyanyikan perlahan. Lirik itu tidak banyak basa-basi, tapi cukup jelas untuk membuat Lina paham:
Lagu itu untuknya.
Dan di antara nada-nada itu, Lina akhirnya sadar bahwa hidupnya baru saja menemukan ritme baru.
Akhir yang Baru Dimulai
Malam itu, setelah Nando selesai memainkan lagu, suasana di kafe terasa lebih intim, lebih dekat daripada sebelumnya. Musik yang mengalun dari gitar Nando bukan hanya sekadar suara. Itu adalah ungkapan hati yang selama ini tertahan, tersembunyi di balik lirik-lirik sederhana dan petikan senar yang begitu penuh makna.
Lina duduk diam, matanya tak lepas dari Nando, mencoba mencerna setiap kata, setiap nada. Dan ketika lagu itu berakhir, sepi meliputi meja mereka, hanya suara detak jam dinding yang terdengar pelan di antara mereka.
Nando menatap Lina, sedikit cemas. “Aku nggak tahu harus ngomong apa setelah itu.”
Lina tersenyum, senyuman yang berbeda dari biasanya. Kali ini senyumnya lembut, penuh kehangatan. Ia meraih tangan Nando yang diletakkan di atas meja, menggenggamnya dengan lembut.
“Kamu nggak perlu bilang apa-apa, Nando,” jawab Lina pelan. “Kita nggak perlu banyak kata-kata untuk tahu apa yang kita rasain.”
Nando terdiam, merasa ada kedalaman dalam kata-kata Lina yang tak terucapkan. Ada sesuatu yang lebih kuat dari sekadar suara, lebih jujur dari sekadar lirik lagu. Lina bukan hanya sekadar wanita yang ia kenal, tetapi juga seseorang yang kini sepertinya bisa ia percayai sepenuhnya.
“Jadi, ini berarti kita punya… sesuatu?” tanya Nando, ingin memastikan.
Lina tertawa, suaranya seperti musik di telinganya. “Kita sudah punya sesuatu, Nando. Mungkin bukan sesuatu yang harus kita beri label, tapi sesuatu yang bisa tumbuh, kan?”
Nando mengangguk, perlahan melepaskan napas yang ia tahan sejak tadi. Kelegaan memenuhi dadanya, dan ia merasa seluruh dunia seakan berhenti berputar sejenak. Semua yang ia rasakan, semua yang ia takutkan, kini terasa lebih ringan.
“Bener juga,” jawabnya, suara Nando kini penuh keyakinan.
Lina mengerling ke arah gitar di tangan Nando. “Kamu selalu bisa bikin aku terkesan, Nando. Tapi aku nggak mau cuma jadi pendengar lagumu. Aku juga ingin jadi bagian dari lagu itu. Kita bisa jalan bareng, nulis cerita bareng, nggak sih?”
Nando tersenyum, merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar kebahagiaan. Sesuatu yang lebih dalam, lebih sejati. “Aku nggak tahu apa yang ada di depan kita, Lina. Tapi aku tahu, ini adalah awal yang benar. Dan aku senang kalau kamu ada di dalamnya.”
Mereka duduk bersama dalam keheningan itu, menikmati momen yang tak perlu terburu-buru untuk diartikan. Lina meletakkan kepala di bahu Nando, sementara Nando membiarkan tangan Lina tetap tergenggam erat. Ada rasa tenang yang mengisi ruang di antara mereka, seperti kedamaian setelah badai.
Ketika malam semakin larut, mereka akhirnya bangkit dari kursi mereka, berjalan berdampingan di luar kafe. Kota Bandung yang ramai dengan keramaian festival dan sorakan orang kini tampak jauh lebih sunyi, hanya dihiasi oleh lampu jalan yang berkilau lembut.
“Pernah nggak kamu mikir kalau suatu hari kita bakal jalan bareng gini?” tanya Nando, sedikit heran dengan kenyataan ini.
Lina tertawa. “Aku nggak pernah mikir kalau aku bakal duduk di kafe ini, dengerin lagu kamu, dan ngobrol gini. Tapi ternyata, aku nggak nyesel.”
Nando tersenyum, merasakan kebahagiaan sederhana yang jarang datang begitu murni. “Aku nggak nyesel juga.”
Dan di tengah malam yang penuh harapan itu, mereka berjalan bersama menuju masa depan yang tak pasti. Tapi entah mengapa, untuk pertama kalinya, mereka merasa bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja.
Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi kebingungan. Hanya ada mereka berdua, lagu-lagu yang belum selesai, dan sebuah cerita baru yang dimulai di setiap langkah mereka.
Dan mungkin, di antara ribuan lagu yang pernah diputar, ada satu yang akhirnya jadi milik kalian berdua. Lagu yang nggak hanya bisa dikenang, tapi juga bisa terus mengingatkan kalian tentang bagaimana cinta itu bisa datang dengan cara yang paling nggak terduga.
Jadi, jangan pernah takut untuk mendengarkan lagu yang berbeda, karena siapa tahu, lagu itu justru bisa jadi kisah cinta kalian. Karena kadang, cinta itu nggak perlu direncanakan—ia datang, seperti mixtape yang tak pernah usang, dan menjadi bagian dari cerita hidup kita.