Daftar Isi
Pernah gak sih kamu penasaran sama sebuah ruangan yang selalu dikunci? Kayak ada sesuatu yang disembunyiin, sesuatu yang gak boleh diliat sama siapapun. Empat anak nekat masuk ke dalamnya, tapi ternyata… mereka gak sendirian. Ini bukan sekadar ruangan kosong. Ini perangkap. Dan pintu yang mereka lewati… mungkin gak bakal pernah bisa dibuka lagi.
Misteri Ruang Rahasia 2
PINTU YANG SELALU TERKUNCI
Malam itu, bulan menggantung redup di langit, tertutup kabut tipis yang bergerak perlahan. Di pinggiran kota, berdiri bangunan tua yang sudah lama ditinggalkan—panti asuhan yang konon menyimpan rahasia kelam. Pintu-pintu kayunya sudah lapuk, jendelanya pecah di beberapa bagian, dan dindingnya tertutup lumut. Namun, di lantai tiga, ada satu ruangan yang tetap utuh. Pintu tua yang selalu terkunci, meskipun bangunan ini sudah kosong selama bertahun-tahun.
Erlan berjalan di depan, membawa senter yang sinarnya menari-nari di lantai berdebu. Di belakangnya, Dika, Rani, dan Mira mengikuti dengan langkah ragu.
“Jadi… kita beneran mau masuk ke sana?” suara Mira terdengar gemetar.
“Ya iyalah. Masa udah dateng jauh-jauh terus balik gitu aja?” Erlan menoleh sebentar, sinarnya menyapu wajah Mira yang tampak pucat.
“Gak semua pintu harus dibuka, Lan,” gumam Dika, matanya melirik ke atas, ke arah tangga yang menuju lantai tiga.
“Tapi gak semua cerita juga harus didengerin mentah-mentah.” Erlan tersenyum tipis. “Kita liat sendiri aja.”
Rani mendekat, suaranya pelan. “Dulu pernah ada yang coba masuk. Gak ada yang bisa buka pintunya.”
“Siapa yang cerita?” tanya Dika.
“Kakakku dulu pernah kerja di sini sebelum panti ini ditutup. Dia bilang, tiap kali ruangan itu coba dibuka, pasti ada aja yang kejadian. Kayak… suara-suara aneh, angin dingin tiba-tiba, atau malah ada yang sakit keesokan harinya.”
Mira langsung meremas ujung jaketnya. “Terus, kenapa kita malah ke sini?”
Erlan tertawa kecil, tapi tidak ada kehangatan di sana. “Justru karena itu kita ke sini. Ada yang bilang ruangan itu gak pernah dibuka sejak panti ini ditutup. Pertanyaannya, kenapa?”
Tak ada yang menjawab.
Angin malam berembus pelan, membawa suara samar dari kejauhan. Bukan suara hewan malam, bukan juga desir angin yang biasanya terdengar di bangunan kosong. Lebih seperti… sesuatu yang berbisik.
Langkah mereka semakin pelan saat tiba di lantai tiga. Di ujung koridor yang sempit, pintu kayu tua berdiri kokoh. Tulisan DILARANG MASUK di tengahnya sudah memudar, tapi masih bisa terbaca jelas.
Dika menelan ludah. “Lihat… kunci gemboknya masih ada.”
Erlan mendekat dan menyentuh gembok berkarat itu. Dingin. Lebih dingin dari yang seharusnya. Ia menarik napas dan merogoh saku, mengeluarkan linggis kecil yang sudah ia siapkan.
“Kamu yakin?” tanya Rani pelan.
Erlan tidak menjawab. Sekali hentakan, linggis menghantam gembok tua itu. Bunyi besi beradu terdengar tajam di udara.
Krak!
Gembok itu terbuka… tapi pintunya tidak bergerak. Seolah masih ada sesuatu yang menahannya dari dalam.
Tiba-tiba, terdengar suara—halus, nyaris seperti hembusan angin, tapi jelas-jelas bukan.
Sebuah tawa kecil.
Lembut, tapi terasa menusuk hingga ke tulang.
Mira mundur selangkah. “Kamu denger itu?”
Dika mengangguk, wajahnya menegang. Erlan menekan gagang pintu dengan tangannya yang mulai berkeringat.
Pintu itu… perlahan mulai terbuka sendiri.
Udara dingin menyeruak keluar, menusuk hingga ke kulit.
Ruangan di dalamnya gelap gulita. Bau apek dan sesuatu yang lebih tajam—seperti bau kayu lapuk bercampur sesuatu yang membusuk—menyergap mereka.
Sinar senter Erlan masuk lebih dalam. Di sana, di tengah ruangan yang kosong, ada sesuatu yang tergeletak di lantai.
Sebuah boneka tua, dengan mata hitam kosong yang seakan menatap langsung ke arah mereka.
Dan di dinding, perlahan-lahan muncul goresan seperti cakaran.
Mira tersentak mundur, tubuhnya bergetar.
“Gue rasa kita harus pergi dari sini.”
Tapi sebelum ada yang bisa bergerak, suara lirih terdengar dari dalam ruangan.
Sebuah bisikan yang membuat darah mereka membeku.
“Kenapa baru sekarang datang?”
TULISAN MERAH DI DINDING
Tidak ada yang bergerak. Tidak ada yang berani berbicara.
Hanya ada keheningan yang menyiksa, diiringi detak jantung mereka yang berpacu liar.
Erlan menggenggam erat senter di tangannya. Cahaya kuningnya bergetar, memantulkan bayangan boneka tua yang duduk diam di tengah ruangan. Mata hitam kosongnya seperti menatap langsung ke dalam jiwa mereka.
Sementara itu, di dinding yang tadi bersih, sesuatu mulai muncul perlahan. Goresan-goresan samar yang semakin lama semakin jelas.
Tulisan merah—seperti darah yang merembes dari tembok itu sendiri.
“Jangan biarkan dia keluar.”
Mira terisak, menutup mulutnya dengan kedua tangan. “A-a-apa ini? Kenapa bisa…”
Dika melangkah mundur. “Kita harus pergi. Sekarang.”
Erlan masih berdiri mematung, napasnya berat. Ada sesuatu dalam ruangan ini. Sesuatu yang tidak bisa dilihat, tapi bisa dirasakan.
“Siapa yang nulis ini?” Rani akhirnya bersuara, suaranya nyaris tak terdengar.
Tak ada yang menjawab.
Dari dalam ruangan, boneka itu tergelincir jatuh ke lantai dengan bunyi pelan.
Tak ada angin. Tak ada yang menyentuhnya.
Mira langsung menjerit, tubuhnya menggigil hebat. “K-kita harus keluar! SEKARANG!”
Tapi saat mereka hendak berbalik, suara itu datang lagi.
“Jangan tinggalkan aku…”
Bisikan yang tidak seharusnya ada.
Seketika, pintu yang tadi terbuka perlahan mulai menutup sendiri.
Brak!
Suara keras menggema di koridor. Mira menjerit panik. Dika langsung menarik gagang pintu, mencoba membukanya. “Sial! Pintu ini… terkunci lagi!”
“Kita gak boleh panik,” Erlan berkata, meskipun tangannya sendiri mulai gemetar. “Cari cara lain keluar.”
Tapi sebelum mereka bisa mencari jalan keluar, cahaya senter Erlan menangkap sesuatu di sudut ruangan.
Seorang anak.
Tidak—bukan anak biasa. Sosok kecil itu berdiri di pojokan, tubuhnya kotor seperti sudah berbulan-bulan tidak disentuh cahaya. Rambutnya panjang acak-acakan, wajahnya tertutup bayangan.
Tapi yang paling mengerikan… adalah senyumnya.
Senyum yang terlalu lebar. Terlalu gelap.
“Aku sudah menunggu…”
Rani menjerit, mundur terburu-buru sampai hampir terjatuh. Mira menangis histeris.
Sementara itu, tulisan di dinding semakin melebar, semakin banyak. Seperti tangan tak kasat mata yang sedang mencakar-cakar permukaannya.
“Jangan biarkan dia keluar.”
“Jangan biarkan dia keluar.”
“JANGAN BIARKAN DIA KELUAR!”
Dika menghantam pintu dengan sekuat tenaga. “Buka, buka, buka!!”
Erlan menggigit bibirnya, matanya masih terpaku pada sosok kecil itu. Anak itu masih tersenyum, kepalanya sedikit miring ke samping, seperti sedang mengamati mereka satu per satu.
Kemudian, dalam sekejap mata, sosok itu menghilang.
Tidak ada di pojokan. Tidak ada di dalam ruangan.
Dika hampir menghancurkan pintu dengan tubuhnya ketika tiba-tiba…
Jepret!
Cahaya senter Erlan mati.
Dalam kegelapan total, terdengar suara lirih di belakang mereka.
“Sekarang, kalian bersamaku.”
BONEKA YANG MENOLEH SENDIRI
Senter Erlan mati total. Kegelapan langsung menelan mereka.
Napas Mira tersengal, suara tangisnya terdengar semakin panik. “Aku gak bisa lihat apa-apa! Erlan, nyalain senternya lagi!”
“Udah aku coba! Baterainya habis!” Erlan menekan-nekan tombol senter dengan sia-sia.
Dika meraba-raba dinding di sampingnya, berharap menemukan saklar atau apa pun yang bisa menyalakan lampu. “Gak mungkin! Kita gak bisa diam di sini!”
Dalam kegelapan, suara langkah kecil terdengar. Lembut, tapi jelas.
Sesuatu bergerak di dalam ruangan.
Rani menahan napasnya, tubuhnya membeku ketakutan. “A-a-ada yang jalan…”
Erlan menggertakkan giginya. Mereka tidak sendirian.
Lalu, sebuah suara lain terdengar.
Klek.
Bukan suara pintu. Bukan suara langkah kaki.
Suara sendi yang bergerak.
Erlan menajamkan pendengarannya, matanya mencoba beradaptasi dengan kegelapan. Kemudian, sebuah siluet samar muncul di tengah ruangan.
Boneka itu.
Yang tadi jatuh ke lantai, sekarang duduk kembali di kursinya.
Tapi kali ini, kepalanya menoleh ke arah mereka.
“AAAAAAAAA!” Mira berteriak histeris, nyaris pingsan di tempat.
Dika mengumpat kasar. Dia meraih Mira yang hampir jatuh, tangannya sendiri gemetar.
Lalu… sesuatu terjadi.
Dinding ruangan yang tadi tertutup kini perlahan terbuka. Seperti ada tangan tak terlihat yang menggeser panel kayu di dalamnya.
Sebuah lorong gelap muncul di hadapan mereka.
“Ke luar… kita harus ke luar…” Rani terisak, nyaris terjatuh karena lututnya yang lemas.
Erlan meraih tangannya. “Ikut aku.”
Mereka berempat melangkah dengan napas tertahan, menembus lorong yang kini terbuka di depan mereka.
Di belakang mereka, suara kursi kayu bergeser pelan.
Boneka itu… berdiri.
TAP.
Suara langkah kecil terdengar di belakang mereka.
Boneka itu bergerak sendiri.
Dika menoleh sekilas, dan yang dilihatnya membuat darahnya membeku.
Boneka itu sekarang berdiri di ambang pintu, kepalanya sedikit miring, mulutnya terbuka sedikit seperti ingin berbicara.
Namun yang lebih mengerikan… adalah matanya.
Matanya yang kosong kini perlahan berubah.
Menjadi seperti mata manusia.
“LARI!” Erlan berteriak sekuat tenaga.
Mereka berlari menyusuri lorong sempit yang terasa seperti tidak berujung. Nafas mereka terengah-engah, dada mereka sesak oleh ketakutan yang semakin mencekik.
Di belakang, suara langkah kecil itu masih terdengar.
TAP. TAP. TAP.
Boneka itu mengejar mereka.
Mira hampir tersandung. Dika dengan sigap menariknya, terus berlari tanpa menoleh.
Kemudian, di ujung lorong, mereka melihat sesuatu.
Pintu lain.
Tanpa pikir panjang, mereka mendorong pintu itu sekuat tenaga.
Pintu terbuka.
Dan mereka terjatuh…
Ke dalam ruangan yang penuh dengan cermin.
Ruangannya luas, jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan. Cermin-cermin besar menutupi seluruh dinding, mencerminkan wajah-wajah mereka yang ketakutan.
Namun…
Tidak semua bayangan di cermin adalah mereka.
Di salah satu cermin, ada sosok kecil yang tersenyum.
Anak kecil yang tadi mereka lihat.
Tapi kali ini, dia bukan sekadar bayangan.
Dia ada di dalam cermin.
Mira berteriak lagi, tangannya menutupi wajahnya.
Dika mundur dengan napas memburu, matanya liar mencari jalan keluar lain.
Erlan merasakan hawa dingin merayapi tengkuknya.
Kemudian…
“Kalian sudah terlalu jauh.”
Suara anak kecil itu berbisik dari dalam cermin.
Seketika, cermin-cermin di sekeliling mereka mulai bergetar. Retakan-retakan muncul di permukaannya, menjalar cepat seperti jaring laba-laba.
Dan kemudian, dari balik cermin…
Tangan-tangan muncul.
LORONG TANPA AKHIR
Cermin-cermin itu retak semakin besar. Tangan-tangan pucat muncul dari baliknya, meraih ke arah mereka dengan jemari panjang yang bergerak seperti kelabang.
Mira menjerit paling kencang, tubuhnya gemetar hebat. “Jangan sentuh aku! Jangan sentuh aku!”
Dika menarik Mira ke belakang, sementara Erlan dan Rani mundur hingga punggung mereka menempel ke cermin.
Dan lalu…
CRAAAKK!
Salah satu cermin meledak ke dalam, mengungkap sebuah lubang besar yang gelap.
Dari dalam lubang itu, sesosok tubuh merangkak keluar.
Anak kecil itu.
Bukan lagi sekadar bayangan di cermin.
Kakinya telanjang, kulitnya pucat dengan urat-urat biru yang menyembul seperti akar pohon. Rambutnya lepek menutupi sebagian wajahnya. Namun yang paling mengerikan adalah matanya.
Bola mata hitam legam. Tanpa putih sedikit pun.
Anak itu menatap mereka… lalu tersenyum.
Senyuman yang tidak seharusnya dimiliki seorang anak kecil.
“Kalian sudah di sini. Kalian tidak bisa pergi.”
Dada Erlan naik turun, keringat dingin membanjiri pelipisnya. Tangannya meraih Mira dan Rani, memaksa mereka mundur selangkah.
Dika berusaha tetap tenang. “Kita harus keluar dari sini.”
Mereka menoleh ke sekeliling, mencari jalan lain. Namun…
Pintu yang mereka masuki tadi sudah menghilang.
Yang tersisa hanyalah dinding-dinding cermin.
Tangan-tangan yang merangkak semakin banyak.
Dan anak itu…
Anak itu mulai berjalan ke arah mereka.
TAP. TAP. TAP.
Setiap langkah yang diambilnya, ruangan terasa semakin sempit.
Udara menjadi lebih dingin, menusuk hingga ke tulang.
Erlan menelan ludah. “Dika… kalau kita gak keluar sekarang, kita bakal mati di sini.”
Dika berpikir cepat. Mata anak itu… ia menatap langsung ke dalamnya.
Anak itu seperti menunggu sesuatu.
Menunggu seseorang melakukan kesalahan.
Seolah ingin mereka menunjukkan ketakutan mereka lebih dalam.
Dan saat itu juga, Dika sadar.
Mereka tidak boleh takut.
“Jangan panik,” bisik Dika. “Jangan lari. Jangan tunjukkan rasa takut.”
Tapi Mira sudah setengah pingsan, tubuhnya nyaris ambruk jika tidak ditahan oleh Rani.
“Dia datang…” Rani berbisik ketakutan.
Anak itu berdiri tepat di depan mereka. Wajahnya hanya beberapa sentimeter dari wajah Erlan.
Senyumannya semakin lebar, hampir tidak manusiawi.
“Kalian… milikku.”
Tiba-tiba…
Cermin-cermin di sekeliling mereka pecah serentak.
BRAAKKK!
Potongan kaca beterbangan ke segala arah.
Angin kencang bertiup dari balik cermin, menyeret tubuh mereka.
Erlan, Dika, Mira, dan Rani terangkat dari tanah, tubuh mereka seolah tersedot ke dalam kehampaan.
Mereka menjerit, tangan mereka berusaha meraih satu sama lain…
Tapi…
Gelap.
Saat Erlan membuka matanya, langit-langit kamarnya yang familiar menyambutnya.
Jantungnya masih berpacu kencang. Keringat membasahi kaosnya.
Dia terduduk, napasnya memburu.
“Apa… apa itu tadi?” gumamnya.
Erlan melihat sekeliling. Ini kamarnya. Tempat tidurnya. Segalanya tampak normal.
Mungkinkah… semua yang terjadi hanyalah mimpi?
Tapi sebelum dia bisa bernapas lega…
Matanya menangkap sesuatu di sudut ruangan.
Sebuah boneka duduk di kursi dekat meja belajar.
Kepalanya sedikit miring.
Tersenyum padanya.