Daftar Isi
Pernah kepikiran nggak sih, kalau ada perpustakaan yang nggak cuma nyimpen buku biasa, tapi juga buku-buku yang… seharusnya nggak pernah dibaca?
Bayangin aja, kamu masuk ke perpustakaan biasa, tapi tiba-tiba ketemu pintu yang nggak ada di denah bangunan, rak yang bisa bergerak sendiri, dan buku yang isinya bukan sekadar tulisan, tapi rahasia yang bahkan kamu sendiri nggak sadar pernah nyari! Nah, kalau penasaran, siap-siap buat masuk ke dunia perpustakaan yang bukan sembarang perpustakaan.
Misteri Perpustakaan
Perpustakaan Yang Tidak Bisa Dipercaya
Juno berdiri di depan gedung perpustakaan itu, menatapnya dengan alis bertaut. Bangunannya megah, lebih besar dari semua perpustakaan yang pernah dilihatnya. Pilar-pilarnya tinggi dengan ukiran yang tidak dikenalnya, dan pintu kayunya berwarna hitam mengkilap dengan tulisan emas besar:
“PERPUSTAKAAN SEGALA JENIS”
“Perpustakaan segala jenis? Maksudnya apa?” gumamnya pelan.
Tidak ada yang menjawab, tentu saja. Jalanan di sekitarnya sepi, seolah tidak ada orang lain yang tertarik masuk ke tempat itu. Juno menatap ke sekeliling, memastikan tidak ada yang memperhatikannya, lalu akhirnya mendorong pintu berat itu dengan sedikit ragu.
Begitu masuk, dia langsung disambut oleh aroma buku tua yang khas—seperti perpaduan antara kertas yang sudah menguning dan sedikit wangi kayu. Namun, bukannya rak-rak buku yang tersusun biasa, yang dilihatnya justru sesuatu yang tidak masuk akal.
Rak buku di perpustakaan ini tidak seperti rak buku biasa. Ada rak tinggi yang bentuknya melingkar ke atas seperti spiral. Ada rak yang terlihat seperti ayunan, di mana bukunya tergantung dengan tali. Bahkan, ada rak yang posisinya miring 45 derajat, seolah menantang gravitasi.
Juno melangkah lebih dalam. Mata cokelatnya menyapu ruangan yang luas ini, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi.
“Selamat datang di Perpustakaan Segala Jenis!”
Sebuah suara berat mengagetkannya. Juno menoleh dan melihat seorang pria tua berkacamata tebal berdiri di belakang meja kayu panjang. Dia memakai jas hitam yang sedikit kebesaran dan syal berwarna biru tua yang melilit di lehernya.
“Aku Pak Rubani, penjaga perpustakaan ini,” lanjut pria tua itu.
Juno masih sibuk menyerap semua yang ada di sekitarnya, sampai akhirnya dia sadar kalau pria itu sedang menunggunya berbicara.
“Eh, iya… Aku Juno,” katanya, sedikit canggung. “Perpustakaan ini… agak beda, ya?”
Pak Rubani terkekeh. “Tentu saja! Ini perpustakaan yang menerima semua jenis bacaan. Kalau ada sesuatu yang bisa dibaca, pasti ada di sini. Tapi, kamu harus tahu… tidak semua buku bisa kamu baca begitu saja.”
Juno mengerutkan kening. “Maksudnya?”
Pak Rubani tidak menjawab, hanya tersenyum misterius sambil mengisyaratkan agar Juno melihat sekeliling.
Dia mulai melangkah lagi, kali ini lebih hati-hati. Ada begitu banyak rak dengan kategori yang membingungkan. Dia melihat sebuah rak besar dengan plakat yang bertuliskan “Kisah yang Bisa Dipercaya”, lalu di sebelahnya ada rak lain yang bertuliskan “Kisah yang Ditulis Saat Pengarangnya Mengantuk”.
Matanya melebar. “Yang benar saja…”
Dia berjalan lagi, melewati beberapa rak lain. Ada rak yang berisi gulungan daun pisang bertuliskan aksara kuno, ada yang isinya hanya batu dengan ukiran di atasnya, bahkan ada satu rak yang penuh dengan lembaran tisu dengan catatan tangan yang terlihat tergesa-gesa.
“Aku nggak pernah lihat perpustakaan kayak gini sebelumnya,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Tiba-tiba, sebuah buku dari rak di sebelahnya jatuh sendiri, tepat di kakinya. Juno tersentak mundur.
“Jangan khawatir,” kata Pak Rubani santai. “Kadang, buku-buku di sini memang suka memilih pembacanya sendiri.”
Juno menatap buku yang jatuh itu. Sampulnya polos, tanpa judul atau gambar. Hanya ada huruf kecil di bagian bawah yang bertuliskan:
“Sejarah yang Serius”
Matanya berbinar. “Oh! Kalau sejarah, aku mau baca.”
Pak Rubani mengangkat alisnya, tetapi tidak berkata apa-apa. Juno tidak peduli. Dia mengangkat buku itu, meniup sedikit debunya, lalu membuka halaman pertama.
Dan kemudian—
BUM!
Buku itu tiba-tiba meledak seperti petasan! Bukan ledakan besar yang menghancurkan ruangan, tapi cukup untuk membuat rambut Juno berantakan dan wajahnya penuh debu hitam.
Juno terbatuk-batuk. “APA-APAAN INI?!?”
Pak Rubani hanya tertawa kecil, seolah ini bukan sesuatu yang mengejutkan.
“Kamu harus hati-hati. Buku-buku di sini memang suka memberi peringatan kalau kamu salah memilih rak.”
Juno menatap buku yang kini terbuka dengan halaman penuh jelaga. “Tapi ini rak sejarah!”
Pak Rubani menunjuk plakat di atasnya yang bertuliskan “Sejarah yang Serius”. “Benar, ini rak sejarah. Tapi, ada banyak jenis sejarah di sini. Sejarah yang Serius, Sejarah yang Bohong, Sejarah yang Dibesarkan, Sejarah yang Malas, Sejarah yang Masih Bingung, dan Sejarah yang Terlalu Banyak Drama. Kamu ambil yang mana tadi?”
Juno melirik bukunya. “Sejarah yang Serius”.
Pak Rubani terkekeh. “Ya, salah satu buku paling protektif. Sejarah yang Serius nggak suka dibaca oleh orang yang ragu.”
Juno mendesah kesal, menepuk-nepuk rambutnya yang masih berantakan. “Ini nggak masuk akal.”
“Di tempat ini, semuanya masuk akal kalau kamu tahu di mana tempatnya,” kata Pak Rubani penuh teka-teki.
Juno mengerang pelan. Perpustakaan ini benar-benar aneh. Dia baru ada di sini beberapa menit, dan kepalanya sudah hampir meledak karena kebingungan.
Tapi di satu sisi… dia mulai penasaran.
Apa lagi yang tersembunyi di balik rak-rak aneh ini?
Dan lebih penting lagi…
Apa yang akan terjadi kalau dia mengambil buku dari rak yang lain?
Sejarah Yang Meledak Dan Buku Yang Menyesal Ditulis
Juno masih menepuk-nepuk rambutnya yang berantakan akibat ledakan buku barusan. Dia sudah banyak membaca buku sejarah sebelumnya, tapi belum pernah ada satu pun yang meledak di wajahnya.
“Ini gila,” gumamnya, menatap sisa-sisa debu yang menempel di telapak tangannya.
Pak Rubani, si penjaga perpustakaan, hanya tersenyum kecil dari balik mejanya, seolah hal seperti ini adalah kejadian biasa.
Juno menatap rak-rak lain dengan waspada. Kalau buku sejarah saja bisa meledak, siapa tahu ada buku lain yang bisa melemparkan bola api atau berubah jadi makhluk hidup?
“Aku harus lebih hati-hati,” katanya pada diri sendiri.
Tapi, rasa penasarannya masih belum reda. Kalau ada sejarah yang serius, apakah ada sejarah yang lebih santai?
Ia berjalan melewati rak-rak lain, membaca plakat kategori yang semakin membingungkan. Ada “Sejarah yang Dilebih-lebihkan”, “Sejarah yang Ditulis Orang yang Sok Tahu”, “Sejarah yang Seharusnya Tidak Pernah Ditulis”, dan yang paling aneh: “Sejarah yang Menyesal Ditulis”.
Juno berhenti di depan rak terakhir itu. Sejarah yang menyesal ditulis? Maksudnya bagaimana?
Rak itu terlihat sedikit berantakan dibandingkan rak lainnya. Beberapa buku terselip dengan miring, ada yang halaman-halamannya tampak terbuka sendiri, bahkan ada buku yang sampulnya setengah terlepas seperti berusaha kabur.
Sebuah buku kecil berwarna cokelat tua menarik perhatiannya. Tidak ada judul di sampulnya, hanya ada tulisan samar-samar di bagian tengah: “Sejarah yang Pantas Dihapus”.
“Hmm, menarik.”
Juno menarik buku itu dari rak, tapi begitu ia menyentuhnya, buku itu langsung bergetar di tangannya. Ia hampir menjatuhkannya.
“Apa-apaan—?”
Buku itu bergetar semakin keras, lalu tiba-tiba…
PLAK!
Sampulnya terbuka sendiri, dan dari dalamnya terdengar suara kecil, seperti suara seseorang yang mengeluh.
“Jangan baca aku!”
Juno tersentak mundur. “Apa… bukunya baru saja bicara?”
Pak Rubani mendekat, matanya mengamati buku itu dengan ekspresi seperti seorang guru yang menilai murid bandelnya. “Ah, kau menemukan salah satu yang pemalu.”
Juno masih menatap buku itu dengan tidak percaya. “Kau bilang ini pemalu?! Aku baru saja ditampar buku!”
Pak Rubani terkekeh. “Buku-buku di rak ini memang menyesali keberadaannya. Mereka berharap tidak pernah ditulis, jadi mereka tidak suka dibaca.”
Juno menatap buku itu dengan bingung. “Tapi… kalau mereka nggak mau dibaca, kenapa ada di perpustakaan?”
Pak Rubani mengangkat bahu. “Karena tetap ada yang mencarinya.”
Buku di tangan Juno kembali bergetar, lalu terdengar suara lirih dari dalamnya.
“Tolong taruh aku kembali. Aku nggak mau dibaca. Aku malu… Aku adalah sejarah yang salah.”
Juno semakin penasaran. “Sejarah yang salah? Maksudmu apa?”
“Aku ditulis dengan banyak kesalahan. Fakta-faktaku salah, detailku dibuat-buat, dan aku sudah menyebabkan banyak kebingungan.”
Juno melirik Pak Rubani. “Jadi, ini sejarah palsu?”
Pak Rubani mengangguk. “Bisa dibilang begitu. Tapi bukan hanya sejarah palsu. Beberapa buku di sini ditulis dengan niat buruk, ada juga yang hanya hasil dari kesalahpahaman. Makanya mereka menyesal pernah ditulis.”
Juno menatap buku itu lagi. Ia bisa merasakan sedikit getaran halus dari sampulnya—seperti buku itu benar-benar gemetar ketakutan.
Dia menarik napas. “Kalau gitu, aku nggak akan membacamu.”
Perlahan, ia mengembalikan buku itu ke raknya. Begitu ia melepas genggamannya, buku itu langsung menghilang ke sela-sela buku lain, seperti berusaha menyembunyikan diri.
Juno menghela napas. “Perpustakaan ini makin aneh.”
Pak Rubani hanya tersenyum. “Dan kamu baru melihat sebagian kecilnya.”
Juno melirik rak lain. Masih banyak kategori yang belum ia jelajahi. Tapi setelah ledakan dan buku yang bisa bicara, ia mulai menyadari sesuatu…
Di perpustakaan ini, buku bukan sekadar benda mati. Mereka punya kepribadian.
Dan itu membuat segalanya jadi jauh lebih membingungkan.
Tapi di sisi lain, rasa penasarannya semakin besar.
Apa lagi yang tersembunyi di tempat ini?
Dan seberapa jauh keanehan yang akan ia temui?
Rak Yang Masih Diperdebatkan
Juno berjalan semakin jauh ke dalam perpustakaan, melewati lorong-lorong yang terasa semakin aneh. Buku-buku di rak lain tampak lebih… hidup dari sebelumnya. Ada yang bergeser sendiri, ada yang berbisik, bahkan ada yang bergerak seolah mengintipnya.
Tapi yang paling aneh adalah rak di ujung lorong.
Rak itu lebih besar dari yang lain, seakan-akan perpustakaan sengaja menyisakan ruang ekstra untuknya. Plakat di atasnya berbunyi:
“Rak yang Masih Diperdebatkan”
Juno menyipitkan mata. “Maksudnya… apa yang diperdebatkan?”
Pak Rubani yang sejak tadi mengamati hanya mengangguk kecil. “Nah, ini rak yang sangat rumit.”
Juno melirik ke dalam rak. Buku-buku di sana memiliki sampul yang berwarna-warni, beberapa bahkan bergambar seperti buku anak-anak, tapi ada juga yang terlihat seperti dokumen rahasia.
Salah satu buku berjudul “Apakah Pluto Masih Planet?” langsung menarik perhatiannya.
“Tunggu, ini…” Juno mengerutkan dahi. “Tapi, Pluto udah resmi nggak dianggap planet, kan?”
Tiba-tiba, buku lain melompat keluar dari rak dan jatuh tepat di depan kakinya. Judulnya “Pluto Seharusnya Tetap Planet!”.
Juno terdiam. “Oh. Jadi begini maksudnya?”
Pak Rubani mengangguk sambil tersenyum. “Buku-buku di rak ini berisi informasi yang masih diperdebatkan oleh para ilmuwan, sejarawan, atau masyarakat umum. Mereka tidak pernah benar-benar punya kesimpulan yang pasti.”
Juno mengambil buku “Pluto Seharusnya Tetap Planet!” dan membuka halaman pertamanya.
Seketika, suara keras terdengar dari buku lain di rak.
“Pluto memang bukan planet! Sudah ada keputusan resmi!”
Juno hampir menjatuhkan buku yang dipegangnya. “Astaga, mereka bertengkar?”
Pak Rubani tertawa kecil. “Oh, ini bukan apa-apa. Kamu belum lihat buku-buku yang membahas sejarah.”
Tiba-tiba, dua buku lain melompat keluar dan mendarat di lantai.
Yang satu berjudul “Siapa yang Sebenarnya Menemukan Benua Amerika?”
Yang satunya lagi “Columbus: Penemu atau Perampas?”
Juno menghela napas. “Aku nggak tahu apakah aku harus kagum atau takut sama rak ini.”
Pak Rubani tersenyum. “Rak ini ada untuk menyimpan semua topik yang belum punya jawaban pasti. Jadi, kalau kamu membaca satu buku, selalu ada buku lain yang akan menentangnya.”
Juno menatap rak itu dengan rasa ingin tahu yang semakin besar.
Ia mengulurkan tangan untuk mengambil buku lain—judulnya “Mana yang Lebih Dulu, Ayam atau Telur?”—tapi begitu ia menyentuhnya, dua buku lain langsung melompat keluar dan menabrak tangannya.
Satu bertuliskan “Telur Duluan!”
Yang satu lagi “Ayam Duluan!”
Juno menutup matanya dan menghela napas panjang. “Oke. Aku menyerah.”
Ia memasukkan buku-buku itu kembali ke rak. Seperti punya kepribadian sendiri, mereka langsung menggeser diri mereka lebih dalam seolah tak ingin diganggu lagi.
Pak Rubani menepuk bahunya dengan lembut. “Perpustakaan ini memang tidak seperti yang lain. Tapi bukankah itu yang membuatnya menarik?”
Juno mengangguk pelan. “Iya… Aku cuma nggak nyangka kalau membaca buku di sini bisa bikin pusing.”
Pak Rubani tertawa. “Kalau kamu sudah pusing di rak ini, jangan coba-coba masuk ke ruangan berikutnya.”
Juno menatapnya curiga. “Kenapa? Ada yang lebih parah dari ini?”
Pak Rubani tersenyum misterius. “Tentu saja. Ada satu bagian perpustakaan yang bahkan aku sendiri jarang masuk.”
Juno menelan ludah. “Kamu bercanda, kan?”
Pak Rubani hanya menggeleng.
Dan untuk pertama kalinya sejak ia masuk ke perpustakaan ini, Juno merasa sedikit takut.
Tapi di sisi lain, rasa penasarannya justru semakin besar.
Apa yang bisa lebih aneh dari rak yang bertengkar sendiri?
Ia mengalihkan pandangannya ke pintu di ujung lorong.
Plakat di atasnya bertuliskan:
“RUANGAN TERSEMBUNYI YANG HANYA MUNCUL SAAT DICARI”
Juno merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.
Tanpa sadar, kakinya mulai melangkah mendekat.
Pintu Yang Seharusnya Tidak Dibuka
Juno berdiri di depan pintu itu, tangannya terangkat setengah, ragu-ragu apakah ia harus mendorongnya atau tidak. Plakat di atasnya membuatnya merinding.
“RUANGAN TERSEMBUNYI YANG HANYA MUNCUL SAAT DICARI”
“Kalau ruangan ini hanya muncul saat dicari, artinya… aku memang ingin menemukannya?” gumam Juno, setengah bicara pada dirinya sendiri.
Pak Rubani masih berdiri di belakangnya, ekspresinya sulit ditebak. “Banyak yang penasaran dengan ruangan ini. Tapi tidak semua orang seharusnya masuk ke dalamnya.”
Juno menoleh. “Maksudnya?”
Pak Rubani tidak menjawab. Tapi tatapannya jelas memberi isyarat: “Kalau kamu berani, silakan coba sendiri.”
Juno menghela napas dan meletakkan tangannya di gagang pintu. Dingin. Seakan pintu ini sudah berabad-abad tidak tersentuh manusia. Dengan hati-hati, ia mendorongnya.
Pintu itu terbuka tanpa suara.
Di baliknya, ruangan yang luas terbentang. Tidak ada rak-rak buku seperti di bagian perpustakaan lain. Tidak ada meja atau kursi baca. Tidak ada jendela.
Hanya ada satu hal di tengah ruangan:
Cermin raksasa.
Juno melangkah masuk.
Begitu ia mendekat, cermin itu memantulkan bayangannya dengan sangat jelas—terlalu jelas. Seolah bukan hanya pantulan fisiknya yang terlihat, tapi juga pikirannya, rahasia-rahasia kecil yang tidak pernah ia ungkapkan.
“Apa ini…?” Juno bergumam.
Cermin itu bergetar, dan tiba-tiba tulisan mulai muncul di permukaannya.
“BUKU APA YANG SEBENARNYA KAMU CARI?”
Juno terkejut. “Apa?”
Cermin itu bergetar lagi. Huruf-huruf di permukaannya berubah:
“BUKU APA YANG SEHARUSNYA TIDAK PERNAH DITEMUKAN?”
Juno merinding. Ia melirik ke belakang, tapi Pak Rubani tetap berdiri di ambang pintu, tidak ikut masuk. Seolah ini adalah ujian yang hanya bisa ia jalani sendiri.
Ia menelan ludah dan menatap cermin itu lagi. Dalam bayangannya, ia bisa melihat dirinya yang dulu—anak yang selalu penasaran dengan segala hal, tapi sering takut menemukan jawaban yang tidak ia inginkan.
“Kalau aku bilang aku mencari sesuatu… apakah perpustakaan ini akan memberikannya padaku?” gumam Juno.
Cermin itu bergetar sekali lagi. Kali ini, buku perlahan muncul dari dalam permukaannya, seolah ditarik dari dunia lain.
Buku itu melayang ke arahnya.
Juno meraihnya dengan tangan gemetar. Judulnya tertulis dalam huruf emas:
“SEMUA YANG SEHARUSNYA TIDAK KAMU KETAHUI”
Juno menahan napas.
“Aku… nggak yakin ingin membaca ini,” katanya, hampir berbisik.
Pak Rubani akhirnya berbicara. “Perpustakaan ini bukan hanya tempat menyimpan buku. Ia juga menyimpan keingintahuan manusia—rasa penasaran yang kadang berbahaya.”
Juno menatap buku di tangannya. Perlahan, ia membuka halaman pertama.
Tidak ada kata-kata. Tidak ada tulisan sama sekali.
Hanya ada refleksi dirinya sendiri.
Juno tersentak mundur. Buku itu… adalah cermin lain.
Cermin yang tidak memantulkan fisiknya, tapi isi pikirannya.
Semua pertanyaan yang pernah ia pikirkan. Semua hal yang pernah ia ragukan. Semua yang pernah ia cari—dan semua jawaban yang seharusnya tidak ia temukan.
Juno menutup buku itu dengan cepat.
“Jadi… ini ruangan tempat perpustakaan menyimpan sesuatu yang tidak seharusnya ditemukan?” tanyanya pelan.
Pak Rubani tersenyum tipis. “Kadang, mencari jawaban bukan hal yang salah. Tapi kamu juga harus tahu kapan harus berhenti mencari.”
Juno mengangguk pelan. Ia meletakkan buku itu kembali di lantai. Begitu ia melepasnya, buku itu berpendar, lalu perlahan menghilang kembali ke dalam cermin.
Seolah-olah tidak pernah ada.
Juno menarik napas dalam-dalam, lalu berbalik. “Aku rasa… aku sudah cukup untuk hari ini.”
Pak Rubani mengangguk. “Bagus.”
Ia berjalan keluar dari ruangan itu, melewati pintu yang masih terbuka. Begitu Juno sudah benar-benar keluar, pintu itu menutup sendiri dengan suara pelan.
Dan saat ia menoleh ke belakang—pintu itu sudah menghilang.
Hanya dinding kosong yang tersisa.
Juno tidak bertanya apa-apa lagi.
Ia hanya tersenyum kecil.
Di perpustakaan ini, ada banyak hal yang bisa ditemukan. Tapi ada juga yang lebih baik dibiarkan tetap menjadi misteri.
Dan ia tidak masalah dengan itu.
Kadang, kita selalu kepo sama hal-hal yang nggak seharusnya kita tahu. Tapi di dunia ini, ada beberapa pertanyaan yang lebih baik dibiarkan tanpa jawaban. Perpustakaan ini? Bukan cuma tempat buat baca buku, tapi juga tempat buat nguji seberapa besar rasa penasaran manusia.
Mau nyari jawaban? Atau lebih baik pura-pura nggak pernah nyari? Keputusan ada di tanganmu. Tapi inget, kalau suatu hari kamu nemu perpustakaan yang terasa ‘nggak biasa’… mungkin kamu harus berpikir dua kali sebelum membuka pintunya.