Daftar Isi
Siapa sangka reuni sekolah bisa berujung ke situasi mencekam dan misterius? Nah, di sini kita bakal ikuti cerita tentang seorang pembunuh yang mengintai di balik senyuman teman-teman lama. Yuk, kita selami kisahnya dan cari tahu siapa yang sebenarnya jadi dalang di balik semua kekacauan ini!
Kebenaran yang Mengguncang!
PINTU YANG TERKUNCI
Malam itu, aula SMA Widya Jaya dipenuhi cahaya lampu gantung yang terang benderang. Musik lembut mengalun dari speaker, bercampur dengan suara tawa dan obrolan para alumni yang saling bertukar cerita. Meja-meja panjang penuh dengan makanan prasmanan yang masih mengepulkan asap, sementara pelayan mondar-mandir membawa minuman.
Semuanya tampak sempurna—sampai sesuatu merusaknya.
Jeritan nyaring memecah suasana. Musik terhenti, obrolan mendadak bisu, dan semua kepala menoleh ke arah sumber suara.
Di dekat meja prasmanan, seorang wanita berdiri kaku dengan tangan menutupi mulutnya. Wajahnya pucat pasi, matanya membelalak menatap sesuatu di lantai.
Soraya.
Ia tergeletak dengan leher tergorok. Darah mengalir deras dari luka menganga di tenggorokannya, membentuk genangan pekat di lantai kayu. Mulutnya masih sedikit terbuka, seolah ingin berteriak, tapi yang keluar hanya keheningan kematian.
Beberapa detik berikutnya terasa seperti mimpi buruk yang melambat. Semua orang membeku, napas tercekat di tenggorokan mereka. Kemudian, kepanikan meledak.
“ASTAGA!” seseorang berteriak, membuat yang lain langsung mundur menjauhi mayat itu.
“Ini… ini nggak mungkin… baru beberapa menit lalu dia masih ngobrol sama kita!” suara Luthfi bergetar.
“Kita harus keluar! Harus panggil polisi!” ujar Bram dengan suara tegas, tapi jelas terdengar panik.
Ia buru-buru berjalan ke arah pintu utama dan menarik pegangan besi itu. Tidak bergerak. Ia mendorongnya dengan lebih keras, tapi tetap tak ada hasil.
“Pintunya… terkunci?” gumamnya.
Orang-orang mulai berdatangan, mencoba membuka pintu dengan berbagai cara. Menarik, mendorong, bahkan beberapa memukulnya. Tapi tetap tidak bisa.
“Nggak mungkin! Tadi aku masuk lewat pintu ini!” kata seseorang dengan nada panik.
“Lewat jendela aja!” seru yang lain.
Tapi ketika mereka mencoba membuka jendela, hasilnya sama. Semua terkunci rapat, seperti seseorang sudah mempersiapkan jebakan ini sejak awal.
“Siapa yang punya kunci?” tanya Karlin, matanya tajam memindai orang-orang di aula.
“Tadi panitia yang jaga pintu depan. Tapi… si Raka mana?” seseorang menyebut nama pria yang bertugas menjaga akses keluar-masuk.
Mereka mencari, memanggil namanya, tapi tak ada jawaban.
“Jangan-jangan…” bisik seseorang, tapi kalimatnya terputus oleh ketukan keras dari jendela.
Semua kepala menoleh.
Di luar, samar-samar terlihat sosok pria yang sedang berdiri membelakangi jendela kaca. Tubuhnya sedikit condong ke depan, wajahnya tertutup bayangan.
“Raka!” teriak seseorang.
Tapi Raka tidak bergerak.
Seseorang mendekati jendela, mencoba melihat lebih jelas, lalu tiba-tiba tubuh Raka jatuh ke depan—wajahnya menghantam kaca dengan keras, membuat semua orang tersentak.
Matanya kosong. Wajahnya membiru. Lehernya tampak seperti habis dijerat sesuatu.
Dan dia… sudah mati.
Suasana aula seketika berubah mencekam.
“Ini… ini bukan kebetulan,” suara Karlin bergetar. “Kita terjebak. Dan ada seseorang di sini yang nggak ingin kita keluar hidup-hidup.”
PESAN YANG TAK SEMPAT DISAMPAIKAN
Panik mulai merayap ke seluruh ruangan. Wajah-wajah yang tadinya berseri menikmati reuni, kini penuh ketakutan. Beberapa orang merapat ke tembok, menjauh dari mayat Soraya dan Raka, sementara yang lain mencoba mencari celah keluar dengan sia-sia.
“Aku nggak mau mati di sini…” bisik seorang wanita dengan suara bergetar.
Luthfi berjongkok di samping Soraya, tangannya mengepal kuat. “Dia pasti sempat lihat siapa yang menyerangnya,” gumamnya, lalu memeriksa tubuh wanita itu dengan ragu-ragu.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Bram dengan nada waspada.
“Nyari sesuatu. Soraya bukan tipe orang yang diem aja kalau diancam,” jawab Luthfi tanpa menoleh. Tangannya merogoh saku gaun Soraya dengan hati-hati.
Detik berikutnya, ia menarik sesuatu.
Sebuah ponsel.
Layarnya retak, mungkin terjatuh saat dia diserang. Luthfi menekan tombol daya, tapi tidak menyala. Ia mengerutkan kening. “Baterainya dicabut.”
Karlin meraih ponsel itu. “Berarti dia sempat pegang ponsel sebelum mati. Mungkin dia mau nelpon atau nulis sesuatu…”
“Tunggu,” potong Bram. Ia berdiri, matanya menyapu ruangan dengan ekspresi penuh curiga. “Siapapun yang melakukan ini… dia ada di antara kita.”
Kata-kata itu membuat semua orang terdiam. Saling menatap. Mencoba mencari tanda-tanda kebohongan atau ketakutan di wajah masing-masing.
Lalu suara dentuman keras terdengar dari sudut ruangan.
Mereka menoleh serentak.
Sebuah meja jatuh terbalik, dan di baliknya—sesosok tubuh menggigil ketakutan.
Rani.
Matanya berlinang air mata, wajahnya penuh kengerian. “Aku tahu sesuatu…” bisiknya pelan. “Soraya… dia sempat ngomong sesuatu sebelum…”
Napasnya tersengal, seolah sedang berjuang untuk tetap sadar.
“Apa?” desak Karlin, mendekati gadis itu. “Apa yang dia bilang?”
Rani menelan ludah, lalu mengeluarkan sesuatu dari genggaman tangannya. Sebuah robekan kecil dari kertas yang sedikit berlumuran darah.
Karlin mengambilnya, membacanya dengan suara pelan.
“Dia ada di antara kita.”
Jantung mereka seolah berhenti berdetak.
Tak ada yang berani bicara.
Luthfi menatap Rani tajam. “Soraya sempat nulis ini?”
Rani mengangguk lemah. “Aku lihat dia merobek sesuatu dari bukunya pas dia duduk. Aku pikir dia cuma iseng… tapi pas aku sadar dia berdarah… aku lihat ini jatuh dari tangannya…”
Bram menggertakkan giginya. “Kalau gitu, kita harus cari tahu siapa yang dimaksud.”
“Tunggu,” sela Karlin. “Soraya selalu bawa jurnal, kan? Kalau dia sempat nulis sesuatu sebelum mati, mungkin ada di sana.”
Mereka saling berpandangan.
Tapi satu masalah lain muncul.
Jurnal itu tidak ada di sekitar tubuh Soraya.
Seseorang sudah mengambilnya.
Dan orang itu masih ada di ruangan ini.
BAYANGAN DI BALIK KEGELAPAN
Suasana aula semakin mencekam. Ketegangan menggantung di udara, membuat napas terasa berat. Semua orang merasa terjebak di dalam labirin ketakutan dan ketidakpastian, di mana setiap sudut ruangan seolah mengintimidasi mereka dengan bayangan gelap.
“Jadi, siapa yang terakhir bicara sama Soraya?” tanya Karlin, suaranya serak.
“Aku, tapi dia cuma bilang mau ambil minum,” jawab Bram. “Lalu aku ke toilet, dan pas keluar, semua sudah kayak gini.”
“Bisa jadi kamu yang lihat dia ke mana, ya kan?” Luthfi menatapnya curiga.
Bram mengangkat bahu. “Aku juga bingung. Gimana kalau dia dipanggil orang lain? Atau… ada yang menunggu di luar?”
Pikiran itu membuat bulu kuduk semua orang merinding.
“Sudah, kita nggak bisa saling curiga. Yang penting sekarang, kita harus cari jurnalnya!” seru Rani, berusaha tetap tenang meski tangannya bergetar.
Semua orang mulai mengedarkan pandangan, mencoba mengingat-ingat siapa saja yang ada di dekat Soraya. Pikirannya berputar, mencari jawaban dalam kekacauan ini. Tiba-tiba, suara mendengung mengalun, memecah keheningan.
“Kalau kalian mau selamat, diam!” suara berat itu menggelegar dari arah panggung.
Semua menoleh cepat. Di sudut ruangan, sosok tinggi berbalut bayangan berdiri tegak. Wajahnya tersembunyi di balik topi hitam dan kegelapan.
“Siapa itu?!” teriak Karlin, suaranya serak ketakutan.
“Tenang. Aku bukan musuh kalian. Justru, aku bisa bantu kalian,” jawab sosok itu dengan suara dingin.
“Kalau mau bantu, keluar dari bayangan!” teriak Luthfi.
Sosok itu menggeleng, tetap berdiri di sana. “Kalian harus tahu, ada lebih banyak yang terjadi di balik semua ini. Dan kita semua ada di ujung mata pisau.”
“Apa maksudmu?” tanya Bram dengan nada menuduh.
“Ada seseorang di antara kalian yang tahu lebih banyak dari yang mereka katakan. Seseorang yang bersembunyi di balik senyuman,” jawab sosok itu, lalu menghilang ke dalam bayangan.
Satu per satu, semua wajah mulai menatap satu sama lain dengan penuh curiga.
“Jangan-jangan dia bohong,” kata Rani, cemas.
“Aku tidak yakin,” Luthfi menjawab. “Tapi dia benar tentang satu hal—seseorang pasti menyimpan rahasia.”
Mereka mulai berbisik, saling menduga siapa yang mungkin terlibat dalam misteri ini. Tiba-tiba, pintu di belakang aula berdentang keras, menimbulkan suara gemuruh. Semua orang menoleh.
“Halo?” suara dari luar. “Ada orang di dalam? Kami di sini!”
Semua mata berbinar harapan.
“Lihat, ada yang datang!” teriak Karlin, berlari ke arah pintu.
“Tapi… bagaimana kalau itu jebakan?” tanya Rani, ragu.
“Tapi kita harus mencoba! Kita nggak bisa terjebak di sini selamanya!” sahut Luthfi.
Dengan keyakinan yang menggetarkan, mereka semua berlari ke arah pintu. Bram mendorong pegangan besi itu, dan pintu terbuka dengan sedikit usaha.
Namun, saat mereka melihat keluar, wajah mereka seketika pucat.
Di ambang pintu, berdiri sosok yang sudah mereka kenal—Raka.
Tapi wajahnya…
Wajahnya penuh darah, dan matanya terpejam.
“Raka!” teriak Karlin, berusaha mendekat.
Tapi Raka tidak bergerak. Tubuhnya jatuh ke depan, terjerembab di ambang pintu. Darah mengalir dari kepalanya, seolah menandakan kegelapan yang semakin mendekat.
“Kita harus pergi dari sini!” suara Rani menggema di ruangan.
“Tapi bagaimana dengan jurnal Soraya?” tanya Luthfi, kebingungan.
“Aku nggak peduli! Kita harus selamat dulu!”
Suasana mencekam menyelimuti mereka saat semua berbalik untuk mencari jalan keluar. Namun, semua pintu dan jendela seolah menghalangi mereka, memaksa untuk tetap terperangkap dalam ketakutan ini.
Lalu, suara itu kembali terdengar—bayangan di balik kegelapan.
“Kalau kalian tidak menemukan jurnal itu, kalian tidak akan pernah tahu siapa yang sebenarnya ada di antara kalian.”
Satu demi satu, keraguan mulai menghantui mereka. Siapa sebenarnya yang bisa mereka percayai?
HARI KEMBALINYA KEBENARAN
Ketegangan di aula semakin mencekam. Di tengah kegelapan, Luthfi, Karlin, dan Rani berusaha menenangkan diri, meskipun jantung mereka berdegup kencang.
“Kalau kita mau tahu siapa pelakunya, kita harus menemukan jurnal Soraya,” kata Luthfi, suaranya tegas meski terasa goyah. “Tanpa itu, kita akan terus terjebak dalam ketakutan ini.”
Karlin mengangguk, matanya penuh semangat. “Ya, kita tidak bisa menyerah. Soraya pasti menyimpan sesuatu yang penting.”
Rani meraih lengan mereka berdua. “Tapi, siapa yang bisa kita percayai sekarang? Raka sudah mati, dan dia adalah satu-satunya yang bisa memberi kita petunjuk.”
Sosok misterius itu kembali muncul di sudut ruangan, berbicara pelan. “Satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri kalian adalah dengan mencari kebenaran yang tersembunyi. Jurnal itu adalah kunci.”
“Di mana?!” teriak Luthfi, frustasi. “Tunjukkan padaku!”
Sosok itu hanya tersenyum sinis. “Kalian tidak akan menemukannya di sini. Cobalah lihat ke tempat yang tidak terduga.”
Tanpa memberi kesempatan untuk bertanya lebih lanjut, sosok itu menghilang, meninggalkan mereka dalam kebingungan.
“Tempat yang tidak terduga?” Karlin berusaha memikirkan kemungkinan. “Mungkin di tempat penyimpanan, di belakang panggung?”
“Atau bisa jadi di ruang guru. Soraya sering menghabiskan waktu di sana untuk menyelesaikan tugasnya,” Luthfi menambahkan.
Mereka bergegas menuju belakang panggung, mencoba menahan rasa takut yang menggerogoti. Ruangan itu gelap, dengan hanya cahaya remang-remang dari lampu yang bergetar. Di sudut ruangan, mereka melihat sebuah lemari tua yang sudah berdebu.
“Lihat! Mungkin ada di situ!” seru Rani, matanya berbinar harapan.
Dengan hati-hati, mereka membuka lemari tersebut. Beberapa tumpukan kertas dan buku jatuh berhamburan, tetapi tidak ada tanda jurnal.
Luthfi mulai merasa putus asa. “Jangan bilang kita sudah dekat, tapi tetap tidak menemukan apa-apa!”
“Sabar, Luthfi. Kita tidak boleh menyerah,” kata Karlin, berusaha tenang. Ia mulai menyisir tumpukan kertas yang berserakan. Tiba-tiba, tangannya menyentuh sesuatu yang keras.
Sebuah kotak kecil.
“Ini dia!” Karlin mengangkat kotak itu dengan antusias.
Dengan hati-hati, mereka membuka kotak tersebut. Di dalamnya terdapat jurnal Soraya, beserta beberapa foto dan catatan. Rani mengambil jurnal itu dan mulai membolak-balik halaman.
“Di sini… ada catatan tentang semua orang di reuni ini,” katanya sambil membacakan isi jurnal. “Dia menulis tentang hubungan mereka, kebohongan, dan bahkan rahasia tersembunyi.”
Luthfi dan Karlin saling berpandangan, terkejut.
“Tunggu, di sini ada nama-nama!” Rani menunjuk ke sebuah catatan. “Soraya menulis bahwa dia merasa terancam oleh seseorang di antara mereka yang memiliki motif untuk membunuh.”
“Apa motifnya?” tanya Luthfi, tidak sabar.
“Dia mencurigai adanya persaingan dan dendam lama. Bahkan ada nama—” Rani terdiam, mulutnya terbuka lebar. “Kak Raka!”
“Raka? Kenapa dia?” Karlin bertanya.
“Soraya menulis bahwa mereka punya sejarah buruk saat di sekolah. Raka merasa cemburu karena Soraya selalu menjadi bintang, sedangkan dia merasa tersisih.”
Pikiran itu membentuk gambaran mengerikan dalam pikiran mereka.
“Jadi, selama ini… Raka bisa jadi pelakunya?” Luthfi bertanya, suaranya bergetar.
“Tapi… Raka sudah mati!” Rani menegaskan, kepalanya berputar. “Atau mungkin, ada orang lain yang terlibat?”
Belum sempat mereka berpikir lebih jauh, suara gemuruh terdengar lagi, kali ini lebih keras.
“Siapa di sana?!” teriak sosok dari luar.
Mereka bertiga saling berpandangan. “Kita harus keluar dari sini!”
Tapi saat mereka berusaha keluar dari belakang panggung, lampu di aula mendadak padam.
Kegelapan menyelubungi ruangan, dan mereka mendengar suara langkah mendekat.
Luthfi memegang erat tangan Karlin dan Rani. “Jangan panik. Kita harus tetap bersama.”
Kegelapan menjadi semakin tebal, dan dalam sekejap, mereka menemukan diri mereka di hadapan sosok misterius itu lagi.
“Jadi kalian sudah menemukan kebenarannya,” ucap sosok itu, suaranya serak. “Tapi kebenaran selalu datang dengan harga.”
Sebelum mereka bisa menjawab, sosok itu menghilang, dan lampu kembali menyala.
Ruangan itu kosong.
Dari kejauhan, suara sirine terdengar.
Polisi.
Aula yang tadinya penuh kegelapan kini dipenuhi harapan. Dengan jurnal Soraya di tangan, mereka melangkah maju, siap menghadapi kenyataan.
Tapi di luar aula, semua orang masih berkumpul, wajah-wajah ketakutan menanti jawaban. Dan saat mereka melangkah keluar, rasa ketidakpastian dan kengerian menyelimuti, menyadari bahwa pembunuh sebenarnya mungkin masih ada di antara mereka.
Jadi, udah siap berhadapan dengan misteri yang bikin merinding ini? Di balik kebahagiaan reuni, ada kegelapan yang mengintai. Ingat, teman-teman lama kadang menyimpan rahasia yang nggak terduga. Sampai jumpa di kisah seru selanjutnya, dan jangan lupa, jaga diri kalian ya!


