Misteri Pasar Malam Zaman Jepang: Kisah Mencekam di Balik Tirai Kegelapan

Posted on

Siapa yang nggak suka pasar malam? Meriah, seru, penuh tawa. Tapi gimana kalau itu bukan pasar untuk manusia?

Di zaman Jepang, ada pasar malam yang cuma muncul di malam bulan mati. Kujuro terjebak di sana, di antara tawa yang bukan tawa manusia. Bisakah dia keluar? Atau justru akan menjadi bagian dari mereka selamanya?

 

Misteri Pasar Malam Zaman Jepang

Pasar Malam Tanpa Bulan

Langit malam membentang luas di atas desa Nonomura, gelap pekat tanpa sejumput cahaya bulan. Awan-awan kelabu menggantung rendah seakan menekan bumi, sementara angin membawa hawa dingin yang menusuk tulang.

Di tengah sunyinya ladang-ladang kosong, cahaya merah dan jingga berpendar dari kejauhan. Pasar malam itu muncul begitu saja seperti dongeng turun-temurun yang terus diceritakan—hanya sekali dalam setahun, saat bulan mati di musim gugur.

Jalan tanah menuju pasar dipenuhi jejak kaki, becek oleh sisa hujan siang tadi. Di balik pohon-pohon tua yang menghitam dalam gelap, lampion-lampion berkelap-kelip seperti kunang-kunang raksasa. Semakin dekat ke jantung pasar, semakin kuat bau dupa bercampur arak beras, menciptakan aroma aneh yang menguar di udara.

Para pedagang berjejer di kiri dan kanan jalan, suara mereka bersahut-sahutan.

“Obat seribu guna! Menyembuhkan sakit, menambah umur panjang!”

“Arak terbaik dari pegunungan utara! Hangat di perut, ringan di kepala!”

“Ayo coba keberuntunganmu! Tebak warna bolanya, bawa pulang hadiah!”

Di antara kerumunan, seorang pemuda bernama Kujuro melangkah perlahan, matanya mengamati setiap sudut pasar dengan waspada. Ada sesuatu yang terasa… ganjil.

Pasar ini terlalu sunyi untuk ukuran tempat yang seharusnya ramai.

Tawa terdengar, percakapan terjadi, tapi semuanya terasa datar—seolah hanya gema yang berulang di udara. Mata-mata pedagang yang menatap para pembeli tampak kosong, gerakan mereka seperti diatur oleh tali tak kasatmata.

Kujuro menghentikan langkahnya di depan lapak seorang pria tua berkacamata bulat. Meja kayu di depannya dipenuhi topeng-topeng dengan ekspresi berbeda: senyum yang terlalu lebar, duka yang terlalu dalam, amarah yang seperti siap meledak.

Tapi satu hal yang membuat punggung Kujuro meremang—mata di topeng-topeng itu. Terlihat cekung dan gelap, tapi ada sesuatu di dalamnya, seperti… mengawasi.

“Kamu tertarik, Nak?” suara pria tua itu serak. “Topeng-topeng ini punya nyawa. Pilih satu, dan ia akan memilihmu kembali.”

Kujuro mengernyit. “Topeng tidak punya nyawa. Itu cuma kayu yang diukir.”

Pria tua itu menyeringai, senyumnya seperti retakan halus di tembikar tua. “Kamu salah. Kadang, sesuatu yang dianggap mati… lebih hidup dari yang kamu kira.”

Sebelum Kujuro bisa menjawab, seseorang menyentuh lengannya.

“Kamu baru pertama kali ke sini?”

Seorang gadis berdiri di sampingnya, kimono biru tua yang dikenakannya tampak lusuh, rambutnya dikuncir rendah dengan pita merah kusam. Matanya yang gelap menatap Kujuro tajam.

“Apa urusanmu?” Kujuro tak suka diajak bicara sembarangan, apalagi oleh seseorang yang ia tak kenal.

“Kamu harus pergi,” bisik gadis itu, suaranya nyaris tenggelam di antara riuhnya pasar. “Jangan lama-lama di sini.”

Kujuro menatap gadis itu, lalu ke sekeliling. Tidak ada yang aneh—setidaknya, belum ada.

“Aku cuma lihat-lihat,” sahutnya santai.

Gadis itu menggeleng. “Jangan bodoh. Kalau kamu terlalu lama di sini… mereka akan melihatmu.”

Kujuro menajamkan pandangan. “Siapa yang kamu maksud?”

Gadis itu tak menjawab. Ia hanya mundur beberapa langkah, lalu berbalik dan menghilang di antara kerumunan.

Kujuro menghela napas pendek. Entah mengapa, tengkuknya terasa dingin.

Dan saat itu juga, suara lonceng kecil berdenting pelan.

Ding… ding…

Pasar yang semula dipenuhi suara obrolan mendadak sunyi. Bahkan angin pun seolah berhenti berhembus.

Para pedagang menundukkan kepala. Beberapa dari mereka dengan buru-buru merapikan dagangan dan beringsut mundur.

Lalu, dari arah lorong pasar, sebuah tandu hitam muncul.

Tandu itu tidak besar, tapi kelihatan berat, dibawa oleh empat pria bertubuh kekar yang wajahnya tertutup kain. Di sekelilingnya, beberapa orang dengan jubah hitam berjalan perlahan, masing-masing membawa lentera kecil berwarna merah darah.

Lonceng berdenting lagi.

Ding… ding…

Semua orang menundukkan kepala lebih dalam, kecuali Kujuro.

Ia tetap berdiri tegak, menatap tandu itu dengan alis berkerut. Ada sesuatu yang mengusik nalurinya.

Tandu itu berhenti tepat di depan lapak topeng.

Pria tua berkacamata bulat langsung menunduk, kedua tangannya gemetar. “T-Tuan telah tiba…” suaranya serak, hampir tak terdengar.

Seseorang dari dalam tandu mengulurkan tangan.

Tangan yang terlalu pucat. Terlalu kurus. Kuku-kuku panjangnya seperti cakar.

Ia menunjuk ke satu topeng—topeng tanpa ekspresi.

Pria tua itu buru-buru menyerahkan topeng itu dengan kedua tangan gemetar. “Sungguh pilihan yang indah, Tuan…”

Kujuro mengerutkan dahi.

Ada sesuatu yang… salah.

Saat tangan pucat itu menarik kembali topengnya, sekelebat bayangan terlihat di dalam tandu. Kujuro hanya menangkap sekilas—sesuatu yang hitam, dengan mata yang berkilat seperti bara dalam gelap.

Ding… ding…

Lonceng berdenting untuk ketiga kalinya.

Tandu bergerak menjauh.

Begitu tandu menghilang di ujung lorong, pasar kembali hidup. Orang-orang mengangkat kepala, melanjutkan obrolan, seolah-olah tak terjadi apa-apa.

Tapi Kujuro tahu, ada yang berbeda.

Ia menoleh ke arah lapak topeng.

Topeng tanpa ekspresi itu sudah tidak ada.

Dan pria tua yang tadi menjualnya… kini berdiri dengan mata kosong, wajahnya kaku seperti—

Seperti topeng.

Angin dingin berembus melewati pasar, menggoyangkan lentera-lentera merah yang tergantung.

Di kejauhan, suara genta kecil masih menggema, menandakan bahwa malam ini belum berakhir.

 

Topeng yang Hidup

Angin malam semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Lentera-lentera merah di pasar malam berpendar samar, seperti nyala api kecil yang sewaktu-waktu bisa padam.

Kujuro masih berdiri di depan lapak topeng, matanya terpaku pada pria tua berkacamata bulat yang kini membisu. Wajahnya kaku seperti tanah liat yang telah mengering, ekspresinya kosong—tak berbeda dari topeng-topeng yang ia jual.

Namun yang membuat punggung Kujuro meremang bukan hanya itu.

Mata pria tua itu… tak lagi bernyawa.

Seseorang menyenggol bahunya. Kujuro tersentak, reflek menoleh.

Gadis berkimono biru tua yang tadi sempat memperingatkannya berdiri di sampingnya lagi. Kali ini, wajahnya terlihat lebih serius.

“Kamu harus pergi dari sini.” Suaranya rendah, hampir tak terdengar di antara keramaian yang kembali pecah.

Kujuro menatap gadis itu tajam. “Apa yang baru saja terjadi?”

Gadis itu tak langsung menjawab. Ia hanya menarik napas dalam-dalam, sebelum berbisik, “Dia telah diambil.”

“Diambil?” Kujuro mengernyit. “Maksudmu apa?”

Gadis itu tidak menjawab, malah menarik pergelangan tangan Kujuro dan membawanya menjauh dari lapak topeng. Kujuro sempat ingin menepis, tapi tatapan di mata gadis itu membuatnya ragu.

Ada sesuatu di sana.

Ketakutan.

Mereka berhenti di belakang salah satu tenda permainan, tempat bayangan lentera tidak menjangkau sepenuhnya. Gadis itu melepaskan genggamannya, lalu menghela napas pelan.

“Aku Fuyuki,” katanya.

Kujuro melipat tangan di dadanya. “Aku tidak peduli siapa kamu. Aku cuma mau tahu apa yang terjadi barusan.”

Fuyuki menatapnya sesaat, lalu melirik ke sekeliling, seakan memastikan tak ada yang menguping. “Kamu sudah melihatnya, kan? Orang dalam tandu itu. Mereka menyebutnya Tuan Tanpa Wajah.”

Kujuro menahan napas. Sejujurnya, ia tidak benar-benar melihat siapa pun dalam tandu itu, hanya sekilas bayangan hitam dengan mata berkilat seperti bara.

“Tuan Tanpa Wajah?” ulangnya.

Fuyuki mengangguk. “Dia hanya muncul di pasar malam ini. Setiap tahun, dia akan memilih satu orang untuk diambil. Tak ada yang tahu ke mana orang-orang itu pergi, tapi satu hal yang pasti—mereka tidak pernah kembali.”

Kujuro masih belum sepenuhnya percaya. “Lalu apa hubungannya dengan pria tua tadi?”

Fuyuki menggigit bibirnya, ragu sejenak sebelum menjawab, “Mereka yang dipilih… tidak mati, tapi mereka juga bukan manusia lagi.”

Kujuro menatap gadis itu dalam-dalam, mencoba menangkap kebohongan di wajahnya. Tapi Fuyuki tidak terlihat seperti seseorang yang sedang bercanda.

“Jadi kamu mau bilang pria tua itu berubah jadi topeng?” Kujuro mendengus, tak bisa menyembunyikan nada skeptis dalam suaranya.

Fuyuki tidak menjawab. Ia hanya mengangkat tangannya, menunjuk ke arah lapak topeng.

Kujuro mengikuti arah jarinya—dan darahnya seketika terasa membeku.

Di antara deretan topeng yang tergantung, ada satu yang sangat familiar.

Topeng dengan kacamata bulat.

Mulut Kujuro mengering. Ia merasa perutnya mual, tapi entah karena jijik atau ketakutan, ia tidak tahu.

Fuyuki menatapnya dengan ekspresi muram. “Sekarang kamu mengerti, kan?”

Untuk pertama kalinya, Kujuro kehilangan kata-kata.

Namun sebelum ia bisa mencerna semuanya, sesuatu menarik perhatiannya.

Di kejauhan, seseorang berdiri di tengah keramaian, diam tak bergerak.

Seseorang yang… terlalu diam.

Sosok itu mengenakan kimono putih polos, rambutnya panjang tergerai, menutupi sebagian wajahnya. Lentera merah yang bergoyang di atasnya membuat bayangan tubuhnya memanjang di tanah, tampak lebih besar dari seharusnya.

Yang membuat dada Kujuro sesak adalah fakta bahwa orang-orang di sekitar sosok itu… tidak menyadarinya.

Seolah-olah dia tidak ada.

Kujuro melirik Fuyuki. “Kamu lihat itu?”

Fuyuki mengikuti arah pandangnya, lalu wajahnya seketika memucat.

“Kita harus pergi. Sekarang,” katanya buru-buru.

Kujuro menoleh lagi.

Sosok itu masih berdiri di tempatnya, tapi ada sesuatu yang berbeda.

Tadi, ia hanya diam.

Sekarang, ia menatap mereka.

Dan senyumnya—tersungging lebar, terlalu lebar hingga nyaris membelah wajahnya menjadi dua.

Kujuro tidak tahu apa yang ada di balik pasar malam ini.

Tapi satu hal yang ia sadari saat ini…

Ia telah melangkah terlalu jauh.

 

Bisikan dari Dalam Tandu

Fuyuki menarik lengan Kujuro dengan paksa, menyeretnya menjauh dari pasar yang masih dipenuhi tawa dan obrolan. Namun bagi Kujuro, semua itu kini terdengar seperti suara yang jauh, samar, seakan berasal dari dunia lain.

Ia masih bisa merasakan tatapan sosok berkebaya putih itu, senyum lebarnya seolah melekat di balik kelopak matanya.

“Jangan menoleh!” bisik Fuyuki, nadanya penuh kepanikan. “Kalau kamu melihatnya lagi, dia akan mengikuti kita!”

Kujuro menggigit rahangnya. Meski otaknya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan, ia tahu ini bukan saatnya berdebat.

Mereka berlari melewati deretan lapak, melintasi permainan-permainan yang kini terasa ganjil di mata Kujuro—badut yang tertawa tanpa ekspresi, boneka-boneka kayu yang kepalanya bergerak sendiri, dan para pedagang yang matanya tampak kosong seperti milik pria tua tadi.

Fuyuki baru berhenti setelah mereka sampai di sebuah lorong sempit, jauh dari keramaian pasar. Napasnya memburu. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding kayu sebuah bangunan tua yang tampaknya sudah lama ditinggalkan.

Kujuro melepaskan tangannya dari genggaman gadis itu. “Sekarang, jelaskan semuanya. Aku sudah cukup dengan teka-teki.”

Fuyuki menutup matanya sejenak, mencoba mengatur napas. “Pasar ini bukan pasar biasa. Ini bukan tempat untuk manusia.”

Kujuro melipat tangan di dadanya. “Lalu untuk siapa?”

Fuyuki menatapnya dalam-dalam, lalu berbisik, “Untuk mereka yang sudah mati.”

Hening.

Kujuro nyaris tertawa karena terdengar begitu mustahil. Tapi ia tidak bisa mengabaikan apa yang telah ia lihat.

“Pasar ini muncul setiap tahun di malam bulan mati,” lanjut Fuyuki. “Orang-orang yang datang ke sini berpikir mereka hanya sedang berkunjung ke sebuah festival. Tapi nyatanya, banyak dari mereka tidak akan pernah pulang.”

Kujuro merasakan keringat dingin mengalir di tengkuknya. “Lalu, kenapa aku masih hidup?”

Fuyuki terdiam. Wajahnya sedikit ragu sebelum akhirnya ia menjawab, “Karena mereka belum memutuskan apa yang harus dilakukan terhadapmu.”

Belum.

Kata itu menggantung di benak Kujuro.

“Kita harus keluar dari sini,” katanya. “Aku tidak mau jadi bagian dari—”

SRAAKK.

Terdengar suara gemerisik dari ujung lorong.

Fuyuki membeku. Matanya membelalak.

Perlahan, Kujuro menoleh.

Bayangan gelap melayang di ujung lorong, bentuknya samar, nyaris tak berbentuk. Tapi dari kegelapan itu, sebuah tangan pucat menjulur, jemarinya panjang seperti cakar.

Dari dalam kegelapan, terdengar suara berbisik.

“Kalian tak seharusnya di sini…”

Fuyuki langsung menarik Kujuro dan berlari lagi.

Kali ini mereka tidak hanya menghindari sesuatu yang bisa dilihat—mereka juga menghindari sesuatu yang bisa mereka rasakan.

Dingin.

Udara di sekitar mereka semakin dingin, membuat napas Kujuro beruap. Tubuhnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang berusaha menahannya.

Lalu, dari kejauhan, terdengar dentingan lonceng.

Ding… ding…

Keduanya berhenti.

Di tengah lapangan yang kosong, tandu hitam itu telah menunggu.

Fuyuki mundur selangkah. “Tidak… terlalu cepat… seharusnya belum waktunya…”

Kujuro menelan ludah. Ia bisa melihat tangan pucat itu kembali menjulur dari dalam tandu, seperti sebelumnya. Namun kali ini, sesuatu bergerak di balik tirai sutra hitamnya.

Mata merah itu.

Satu pasang.

Tidak.

Bukan satu.

Banyak.

Mata-mata itu bergerak, berkedip secara tidak beraturan, mengawasi mereka dengan keingintahuan yang mengerikan.

Lalu, suara itu terdengar lagi.

Pelan.

Dalam.

Dingin.

“Kujuro.”

Tubuhnya langsung menegang.

Ia tidak mengenali suara itu, tapi entah kenapa, suara itu terasa… akrab.

“Ayo pulang.”

Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia merasa bisa mendengarnya di telinga.

Dari dalam tandu, sesuatu bergerak.

Sebuah sosok perlahan muncul di balik tirai.

Kujuro ingin lari.

Tapi tubuhnya tak bisa bergerak.

Sesuatu di dalam tandu itu—sosok yang kini merayap keluar, memiliki wajah yang…

Wajah yang mirip dengannya.

Hanya saja, mata sosok itu kosong, tanpa kehidupan.

“Kau sudah mati, Kujuro. Tempatmu di sini.”

Seketika, segalanya terasa kabur.

Udara menghilang dari paru-parunya.

Dan sebelum kesadarannya memudar, hal terakhir yang ia dengar adalah suara Fuyuki yang berteriak.

Lalu semuanya menjadi gelap.

 

Kembali atau Menghilang

Gelap.

Tak ada suara.

Tak ada cahaya.

Kujuro membuka matanya, tapi yang menyambutnya hanyalah kehampaan. Tubuhnya melayang dalam ruang tanpa batas, tanpa arah, tanpa suara. Satu-satunya yang bisa ia rasakan hanyalah dingin. Dingin yang begitu dalam, seakan menusuk sampai ke sumsum tulangnya.

Lalu, dari kejauhan, terdengar suara.

Pelan.

Dekat.

“Kujuro…”

Ia mengenali suara itu.

Bukan suara Fuyuki.

Bukan suara makhluk dalam tandu.

Tapi suaranya sendiri.

Perlahan, sesuatu muncul di hadapannya. Sosok yang tadi ia lihat keluar dari tandu. Dirinya.

Atau lebih tepatnya… sesuatu yang menyerupainya.

Namun kini, wajahnya lebih jelas. Mata kosong itu menatapnya tanpa emosi, bibirnya tersenyum kecil.

“Sudah waktunya.”

Kujuro ingin mundur, tapi tubuhnya tak bisa bergerak. Seakan kaki dan tangannya dirantai oleh udara itu sendiri.

“Kau sudah mati, Kujuro,”kata sosok itu lagi.“Tidak ada tempat untukmu di sana.”

Kujuro menggeleng lemah. “Aku tidak mati.”

Sosok itu hanya tersenyum lebih lebar.

“Lalu kenapa kau ada di sini?”

Kujuro membuka mulut, tapi tak ada jawaban yang keluar.

Tiba-tiba, dari kegelapan di belakang sosok itu, muncul bayangan-bayangan lain. Wajah-wajah tanpa ekspresi. Beberapa di antaranya tampak familiar.

Pria tua si penjual topeng.

Wanita yang tertawa di permainan kincir.

Anak kecil yang membeli permen kapas.

Mereka semua…

Mereka semua adalah orang-orang yang ada di pasar malam itu.

Dan mereka semua menatapnya dengan mata kosong.

“Tempatmu di sini, Kujuro,” bisik sosok itu lagi. “Ikutlah bersama kami.”

Bayangan-bayangan itu bergerak mendekat, semakin dekat.

Sesuatu dalam diri Kujuro menjerit.

Tidak! Aku belum mati!

Dari sudut matanya, ada sesuatu yang berkilat di tangannya.

Topeng.

Topeng yang tadi ia ambil dari lapak pria tua itu.

Tangan Kujuro bergerak sendiri, mengangkat topeng itu. Entah kenapa, ada sesuatu dalam hatinya yang berkata bahwa ini adalah satu-satunya cara.

Sosok di depannya tampak sedikit terkejut.

“Apa yang kau lakukan?”

Kujuro tidak menjawab. Ia hanya menggigit bibir, lalu perlahan memasang topeng itu di wajahnya.

Dan saat itu juga—

Cahaya meledak.

“Napasnya kembali!”

Kujuro tersentak bangun, terengah-engah.

Tubuhnya terasa basah oleh keringat dingin. Pandangannya kabur sesaat, sebelum akhirnya menangkap sosok Fuyuki yang berlutut di sampingnya.

“Kamu bodoh!” suara Fuyuki terdengar bergetar, antara marah dan lega. “Aku kira kamu benar-benar akan—”

Ia tidak menyelesaikan kalimatnya.

Kujuro menoleh ke sekeliling.

Mereka tidak lagi berada di lorong pasar malam.

Mereka ada di pinggir jalan desa, di bawah cahaya bulan yang menggantung di langit. Di kejauhan, suara jangkrik terdengar nyaring, tidak lagi tertutup riuh pasar yang kini telah lenyap.

Pasar itu sudah hilang.

Kujuro masih mencoba mengatur napasnya saat matanya menangkap sesuatu di tangannya.

Topeng.

Namun kali ini, topeng itu bukan lagi topeng wajah manusia biasa.

Wajahnya sudah berubah.

Tidak ada mata. Tidak ada hidung.

Hanya sebuah topeng putih polos—seperti yang dikenakan oleh makhluk dalam tandu.

Jantungnya berdetak kencang.

Fuyuki juga melihatnya. Ia menggigit bibirnya, lalu berkata dengan suara pelan, “Kamu berhasil keluar… tapi sesuatu ikut denganmu.”

Kujuro tidak menjawab. Ia hanya menatap topeng itu.

Dari dalamnya, samar-samar ia bisa mendengar suara bisikan.

“Kau belum benar-benar pulang.”

Angin malam bertiup pelan.

Dan dalam bayangan bulan, ada sesuatu yang berdiri di kejauhan, menatap mereka dari dalam kegelapan.

Tersenyum.

Lalu menghilang.

 

Gimana? Udah berani ke pasar malam sendirian habis baca ini? Jangan kaget kalau tiba-tiba ada penjual topeng yang nawarin dagangannya tanpa suara, atau ada seseorang yang tersenyum terlalu lebar di tengah keramaian.

Dan kalau kamu dengar suara lonceng berbunyi di tengah malam… jangan sekali-kali menoleh ke belakang. Siapa tahu, ada yang sedang mengamatimu.

Leave a Reply