Daftar Isi
Pernah dengar kisah tentang desa yang kelihatannya adem ayem, tapi sebenernya nyimpen rahasia yang lebih tua dari umur manusia? Di desa ini, ada satu sosok yang paling tau segalanya—Nyai Jirah. Nenek tua yang udah hidup lebih lama dari yang bisa dihitung.
Tapi jangan salah, dia bukan nenek biasa. Dia bukan sekadar penjaga desa. Dia adalah satu-satunya alasan kenapa desa ini masih berdiri… dan kenapa sesuatu yang harusnya terkubur tetap terkubur. Tapi, gimana kalau ada yang nggak sengaja buka jalan ke sesuatu yang nggak boleh bangkit lagi?
Misteri Nenek Penjaga Desa
BISIKAN DARI SUMUR TUA
Malam itu, langit desa digelayuti awan pekat. Bulan yang biasanya menerangi jalanan tanah berubah menjadi samar, seolah takut menampakkan diri. Angin berembus dingin, membawa suara gemerisik dari hutan yang membatasi desa. Di ujung desa, berdiri sebuah rumah tua dengan dinding kayu yang mulai menghitam karena usia. Rumah itu milik Nyai Jirah—satu-satunya orang yang paling tahu tentang desa ini.
Ketukan keras menggema di pintu rumahnya.
“Nyai! Bukain pintunya!” suara seorang pemuda terdengar panik.
Dari dalam, suara langkah kaki terdengar menyeret. Engsel pintu kayu berderit ketika Nyai Jirah membukanya perlahan. Di hadapannya berdiri seorang pemuda dengan wajah pucat dan napas memburu—Raka. Bajunya kusut, rambutnya berantakan, dan matanya menyiratkan sesuatu yang tidak biasa.
“Kamu kenapa, Nak?” suara Nyai Jirah terdengar serak.
“Aku… aku lihat sesuatu di sumur tua!” Raka berusaha menelan ludah, tetapi tenggorokannya kering. “Nyai, ada yang tinggal di dalam sana!”
Nyai Jirah diam. Matanya yang keriput menatap pemuda itu lekat-lekat, seolah menimbang-nimbang sesuatu. “Kamu lihat apa?” tanyanya akhirnya.
Raka menoleh ke belakang, ke arah jalanan desa yang sunyi. “Aku nggak tahu jelas… tapi aku yakin ada mata merah di dalam sana.”
Nyai Jirah menarik napas panjang, lalu berkata, “Kamu salah satu dari sedikit orang yang bisa lihat.”
Raka menelan ludah. “Jadi… beneran ada sesuatu di sana?”
Nyai Jirah tidak langsung menjawab. Ia melangkah ke dalam rumah, mengambil tongkat kayu yang selalu ia bawa ke mana-mana. “Ayo,” katanya pelan.
“Mau ke mana, Nyai?”
“Sumur tua,” jawabnya. “Kita harus lihat apakah dia masih di sana.”
Raka enggan. Tubuhnya masih gemetar, tapi ia tahu tidak ada gunanya membantah Nyai Jirah. Dengan ragu, ia mengikuti langkah nenek tua itu, berjalan melewati jalanan desa yang lengang.
Sumur tua itu berdiri di tengah desa, tepat di samping pohon beringin besar. Tidak ada yang berani mendekat ke sana, apalagi sejak sumur itu ditinggalkan puluhan tahun lalu. Beberapa warga bahkan percaya bahwa sumur itu sudah ditutup, tetapi nyatanya, batu penutupnya selalu bergeser sedikit setiap malam bulan gelap.
Raka berdiri beberapa langkah di belakang Nyai Jirah, matanya terus mengawasi sumur yang kini tampak seperti mulut menganga di kegelapan.
“Kamu yakin lihat mata merah di dalam sini?” tanya Nyai Jirah tanpa menoleh.
Raka mengangguk cepat. “Iya, Nyai. Aku lihat jelas.”
Nyai Jirah menghela napas. “Kalau gitu, dengarkan baik-baik, Raka. Jangan bicara kalau dia mulai membalas bisikan kita.”
Raka mengerutkan kening. “Maksud Nyai… dia bisa bicara?”
Nyai Jirah tidak menjawab. Ia hanya mendekati sumur, mengetuk bibir sumur dengan tongkatnya dua kali, lalu membisikkan sesuatu yang tidak dipahami Raka.
Sejenak, semuanya sunyi.
Tapi kemudian, dari dalam sumur, terdengar suara samar.
“Nyai… kamu datang lagi…”
Darah Raka seketika membeku. Itu bukan suara manusia, bukan pula suara angin. Suaranya seperti datang dari sesuatu yang sudah lama terkubur, tetapi masih bisa berbicara.
Raka mundur selangkah. “Nyai… siapa itu?”
Nyai Jirah masih tetap diam. Hanya matanya yang menatap tajam ke dalam sumur, seperti sedang melihat sesuatu yang tak bisa dilihat oleh orang lain.
“Nyai… kamu nggak lupa janji, kan?” suara itu kembali terdengar, lebih dekat dari sebelumnya.
Raka mencengkeram lengan Nyai Jirah. “Nyai, ayo pergi dari sini!”
Tapi Nyai Jirah tetap bergeming. Dengan suara pelan, ia menjawab, “Aku nggak lupa. Tapi kamu seharusnya tetap diam.”
Tiba-tiba, udara di sekitar sumur berubah dingin. Angin yang tadinya berembus ringan kini berhenti total, seolah desa menahan napas.
Lalu sesuatu muncul dari dalam sumur.
Dua tangan kurus mencengkram bibir sumur, kuku-kukunya panjang dan hitam. Dari dalam kegelapan, sepasang mata merah menyala menatap langsung ke arah mereka.
Dan dengan suara berbisik yang merayap di udara, sosok itu berkata:
“Tapi dia sudah melihatku, Nyai… Sekarang aku nggak bisa diam lagi.”
NYAI JIRAH, KUNCI DESA
Angin mendadak berembus kencang. Dedaunan kering beterbangan di sekitar sumur tua, menciptakan suara gemerisik yang menusuk keheningan malam. Raka menelan ludah, tubuhnya gemetar saat melihat sosok itu semakin jelas di hadapannya.
Sosok kurus dengan kulit pucat kebiruan itu perlahan mengangkat wajahnya dari dalam sumur. Mata merahnya menyala dalam kegelapan, sementara bibirnya bergerak-gerak, menggumamkan sesuatu yang tidak dimengerti.
“Dia sudah melihatku, Nyai…” suara itu berbisik lagi, menyelinap ke telinga Raka seperti desiran angin.
Nyai Jirah berdiri diam. Matanya tetap fokus pada makhluk itu, seolah menimbang-nimbang langkah berikutnya.
“Kamu nggak boleh keluar,” ujar Nyai Jirah akhirnya, suaranya datar tapi penuh ketegasan.
Makhluk itu terdiam. Mata merahnya menajam, tatapannya berpindah dari Nyai Jirah ke Raka.
“Tapi dia sudah melihatku… Dia harus ikut denganku…”
Raka mundur selangkah, tubuhnya semakin dingin. “Nyai… siapa dia?!”
Nyai Jirah menghela napas panjang. “Dengar, Raka. Apa pun yang terjadi, jangan sampai kamu nyebut namanya.”
Jantung Raka berdegup makin kencang. “Kenapa?”
Belum sempat Nyai Jirah menjawab, makhluk itu tersenyum samar—senyum yang terlalu lebar untuk wajahnya yang kurus.
“Kalian sudah lupa… siapa aku?”
Tiba-tiba, udara di sekitar mereka bergetar. Dari dalam sumur, suara gemeretak tulang terdengar samar. Raka mencengkeram lengan Nyai Jirah lebih erat.
“Nyai, ini nggak bener. Kita harus pergi dari sini!”
Nyai Jirah menoleh sekilas, tatapannya tajam. “Kamu boleh pergi kalau mau, tapi aku nggak bisa.”
Makhluk itu tertawa pelan, suara tawanya terdengar serak seperti ranting yang patah.
“Nyai Jirah… kamu masih ingat perjanjian kita, kan?”
Raka semakin panik. “Perjanjian apa, Nyai?!”
Nyai Jirah menutup matanya sejenak sebelum membuka kembali. “Perjanjian yang membuat desa ini tetap ada.”
Angin bertiup lebih kencang, debu dan dedaunan berputar-putar di sekitar mereka. Dari dalam sumur, suara-suara lain mulai terdengar—gumaman, bisikan, jeritan yang sayup-sayup seperti datang dari tempat yang jauh.
Raka merasa kepalanya mulai pusing. “Nyai, aku nggak ngerti… Maksudnya apa?”
Nyai Jirah menatapnya dalam-dalam. “Dengar, Raka. Setiap desa punya asal-usul, punya akar yang nggak bisa dicabut sembarangan. Dan di desa ini… akar itu ada di sumur tua ini.”
Makhluk itu mencondongkan tubuhnya keluar dari sumur. Rambut panjangnya yang kusut jatuh menutupi sebagian wajahnya.
“Nyai… waktumu hampir habis…”
Nyai Jirah menggenggam tongkat kayunya lebih erat. “Aku tahu.”
Raka merasa kepanikannya semakin memuncak. “Nyai, tolong jelasin! Ini semua apa?!”
Nyai Jirah menghela napas. “Dulu… ada seseorang yang dikorbankan di sumur ini. Dia dikutuk untuk menjaga desa ini, supaya yang lebih buruk nggak datang. Tapi…” Nyai Jirah berhenti sejenak, menatap makhluk itu dengan sorot penuh kesedihan. “Dia nggak pernah ikhlas.”
Makhluk itu tertawa pelan, suara tawanya semakin menusuk telinga.
“Kamu kira aku mau terus-terusan di sini, Nyai?”
Angin kembali berhenti. Langit yang tadinya gelap kini terasa lebih sunyi dari sebelumnya.
Nyai Jirah menggertakkan giginya. “Kamu tahu apa akibatnya kalau kamu keluar dari sumur ini?”
Makhluk itu tersenyum lebar, semakin menampakkan deretan giginya yang tajam.
“Ya. Dan aku nggak peduli lagi.”
Tiba-tiba, dari dalam sumur, sesuatu merayap keluar. Tangan-tangan kurus dengan kuku panjang mencakar dinding sumur. Bukan hanya satu, tapi banyak.
Raka mundur semakin jauh. “Nyai! Ini apa?! Ada yang lain?!”
Nyai Jirah memejamkan mata sejenak, lalu membuka kembali dengan tatapan yang sudah berubah lebih tajam.
“Kita harus mengunci sumur ini sebelum semuanya keluar.”
Makhluk itu tertawa semakin keras.
“Sudah terlambat, Nyai… Aku tidak sendiri lagi.”
Dan saat itulah, sesuatu yang jauh lebih besar mulai bergerak dari dalam sumur.
YANG DIKUBUR TAK SELALU DIAM
Angin yang sempat terhenti kini berembus lagi, lebih dingin, lebih menusuk. Bau anyir yang samar sejak tadi kini semakin pekat, bercampur dengan aroma tanah basah dan busuk. Dari dalam sumur tua, suara-suara semakin keras—jeritan, rintihan, dan suara kuku-kuku yang mencakar batu.
Nyai Jirah berdiri tegap di depan Raka, tangannya erat menggenggam tongkat kayu. Tatapannya tetap tajam meskipun kerutan di wajahnya menunjukkan sesuatu yang lain—rasa khawatir.
“Kamu nggak boleh panik, Raka,” ucap Nyai Jirah, suaranya lebih dalam dari sebelumnya. “Kalau kamu takut, mereka bakal tahu. Dan kalau mereka tahu…” Nyai Jirah menoleh ke arahnya. “Kamu bakal jadi yang pertama mereka ambil.”
Raka merasakan kakinya melemas. Bayangan tangan-tangan kurus itu masih membekas di kepalanya. Makhluk-makhluk yang seharusnya tidak ada di dunia ini, kini berusaha keluar dari sumur tua itu.
“Nggak mungkin, Nyai… ini nggak masuk akal…”
Nyai Jirah menoleh padanya. “Kamu kira kenapa desa ini bisa tetap berdiri, Raka? Kamu kira kenapa setiap orang yang mencoba gali tanah di hutan belakang nggak pernah kembali?”
Raka menggeleng, matanya masih terpaku pada sosok makhluk yang terus menyeringai di tepi sumur.
“Aku sudah menunggu terlalu lama, Nyai,” suara itu terdengar semakin jelas. “Sekarang… waktunya aku kembali mengambil yang seharusnya milikku.”
Tiba-tiba, sebuah tangan mencengkeram batu sumur dengan keras. Tangan lain menyusul, lalu satu kepala lagi muncul dari kegelapan. Mata mereka kosong, tubuh mereka kurus dengan kulit yang membusuk. Mereka semua mendongak ke arah Nyai Jirah dan Raka dengan tatapan lapar.
Raka mundur selangkah. “Nyai, kita harus pergi!”
Nyai Jirah tidak bergerak. “Kalau kita pergi sekarang, mereka bakal keluar sepenuhnya. Dan kalau mereka keluar…”
Dari dalam sumur, suara geraman semakin keras.
“Kami akan mengambil desa ini kembali.”
Nyai Jirah mengangkat tongkat kayunya tinggi-tinggi. Di ujungnya, ada sesuatu yang sebelumnya tak Raka sadari—sebuah ukiran rumit yang bersinar redup dalam gelap.
“Kamu kira aku cuma diam selama ini?” suara Nyai Jirah penuh kekuatan. “Aku sudah siap menghadapi kalian sejak lama!”
Dia menghentakkan tongkatnya ke tanah.
Bum!
Tanah di sekitar sumur bergetar. Batu-batu kecil berhamburan, udara tiba-tiba terasa lebih berat. Cahaya merah samar mulai muncul di sekeliling mereka, membentuk lingkaran aneh yang mengelilingi sumur.
Makhluk-makhluk itu mendadak menjerit kesakitan.
“Tidak!”
Mereka meronta, tangan-tangan mereka mencoba meraih keluar, tapi lingkaran cahaya itu semakin menyempit, seolah menahan mereka di dalam sumur.
Nyai Jirah menggertakkan giginya. “Aku nggak bisa menahan mereka selamanya, Raka. Kamu harus bantu aku!”
Raka menatapnya panik. “Gimana caranya?!”
Nyai Jirah merogoh sesuatu dari balik bajunya—sebuah botol kecil berisi cairan hitam pekat.
“Tuang ini ke dalam sumur. Sekarang!”
Raka ragu sejenak, tapi melihat makhluk-makhluk itu terus berusaha keluar, dia langsung mengambil botol itu dan berlari ke arah sumur.
Namun saat dia hampir sampai, sesuatu meraih kakinya.
“Aaakh!”
Dia tersungkur, cairan di dalam botol hampir tumpah.
Dari balik tanah, sebuah tangan keluar, mencengkeram pergelangan kakinya. Tapi tangan itu bukan milik makhluk yang tadi. Tangan ini… lebih besar, lebih kuat, dan berwarna hitam legam.
Nyai Jirah terbelalak. “Raka, jangan lihat ke matanya!”
Tapi terlambat.
Raka mendongak, dan di sana, dari dalam lubang tanah yang tiba-tiba terbuka, ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan dari makhluk di sumur. Matanya kosong, kulitnya berlapis tanah yang retak seperti tembikar.
Dan yang paling mengerikan—wajah itu mirip dengan Raka.
Nyai Jirah menggigit bibirnya. “Sial… aku nggak nyangka mereka juga bangkit…”
Raka meronta, tapi cengkeraman makhluk itu terlalu kuat. Suaranya serak saat berbisik:
“Kamu seharusnya tidak ada di sini…”
Dan sebelum Raka bisa bereaksi, makhluk itu menariknya ke dalam tanah.
“RAKAAA!”
Nyai Jirah berusaha meraih tangan Raka, tapi tubuh pemuda itu sudah tenggelam separuh ke dalam tanah.
Makhluk-makhluk di sumur menjerit, tangan-tangan mereka mencakar udara, tapi kini perhatian mereka bukan lagi pada Nyai Jirah.
Mereka menatap tanah tempat Raka ditarik.
Mereka… tampak ketakutan.
Nyai Jirah menguatkan diri. Ini belum berakhir.
Karena sesuatu yang lebih besar telah bangkit.
APA YANG DIBANGUNKAN HARUS DIKEMBALIKAN
Tanah di mana Raka ditarik perlahan merapat kembali, meninggalkan jejak retakan seperti luka menganga. Nyai Jirah menatap kosong, napasnya memburu. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia benar-benar takut.
Di dalam sumur, makhluk-makhluk itu mulai meronta lebih liar. Tapi kali ini, bukan karena ingin keluar—mereka seperti ketakutan.
“Dia sudah bangkit… dia sudah bangkit…” mereka meracau dengan suara parau, tubuh kurus mereka menggigil ketakutan.
Nyai Jirah mengeratkan cengkeraman pada tongkatnya. “Raka… aku janji aku bakal nyelamatin kamu.”
Tanpa membuang waktu, dia mengayunkan tongkatnya ke arah sumur, menebar serpihan debu hitam yang membuat jeritan makhluk-makhluk itu semakin melengking. Lalu, dengan gerakan cepat, dia menuangkan cairan hitam dari botol ke dalam sumur.
Bum!
Cahaya merah meledak dari sumur, berpendar seperti kilat menyambar langit. Makhluk-makhluk itu menjerit satu per satu, tubuh mereka meleleh seperti lilin terbakar, menghilang ke dalam kegelapan sumur. Suara geraman terakhir terdengar sebelum semuanya senyap.
Tapi Nyai Jirah tidak bisa tenang.
Dia menatap tanah tempat Raka tenggelam. Itu bukan sekadar sumur. Itu bukan sekadar lubang. Itu adalah jalan menuju sesuatu yang jauh lebih buruk.
Dan Nyai Jirah tahu, kalau dia tidak bertindak cepat, Raka tidak akan kembali—setidaknya, tidak sebagai dirinya yang sekarang.
Tanpa ragu, Nyai Jirah menusukkan tongkatnya ke tanah dan membacakan mantra dalam bahasa kuno. Udara di sekelilingnya bergetar. Tanah yang semula padat mulai merekah lagi, memperlihatkan sesuatu yang seharusnya tidak ada di dunia ini.
Sebuah lorong gelap dengan dinding tanah yang seakan berdenyut seperti jantung makhluk hidup. Dari dalam lorong itu, terdengar suara Raka.
“Bantu aku…”
Nyai Jirah langsung masuk tanpa pikir panjang.
Di dalam lorong itu, Nyai Jirah berhadapan dengan sosok yang menyerupai Raka—atau mungkin, sesuatu yang mencoba menjadi dirinya. Makhluk itu berdiri di ujung lorong, matanya kosong, kulitnya gelap berlapis tanah.
“Kamu bukan Raka,” Nyai Jirah berbisik.
Makhluk itu menyeringai. “Aku adalah yang seharusnya ada. Dan dia…” makhluk itu menoleh ke samping, ke arah sosok Raka yang terduduk lemas di tanah, “…adalah yang seharusnya tidak pernah kembali.”
Nyai Jirah tidak menyia-nyiakan waktu. Dia menghentakkan tongkatnya, menciptakan gelombang cahaya yang menerangi lorong gelap itu. Makhluk itu menjerit, kulitnya mulai retak, tubuhnya bergetar seakan hendak pecah.
“Tidak… aku yang seharusnya ada… bukan dia… AKU YANG SEHARUSNYA HIDUP!”
Cahaya semakin kuat, melahap makhluk itu dalam pusaran api yang tak kasatmata.
Sebelum tubuhnya hancur sepenuhnya, dia menatap Raka dengan tatapan benci. “Jangan kira ini sudah selesai…”
Dan dengan itu, dia lenyap, menjadi abu yang diserap tanah.
Nyai Jirah segera menarik Raka, membawanya keluar dari lorong yang mulai runtuh. Mereka berlari, tanah di belakang mereka ambruk, menutup kembali jalan yang tak seharusnya terbuka.
Saat mereka akhirnya berhasil keluar, Nyai Jirah menghentakkan tongkatnya satu kali terakhir, dan tanah yang terbuka kini tertutup sepenuhnya, seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Sunyi.
Angin malam berembus lagi, membawa aroma tanah basah.
Raka terduduk di tanah, masih terguncang. “Apa… yang barusan terjadi?”
Nyai Jirah menatap pemuda itu lama. Lalu, dengan suara pelan, dia berkata:
“Kamu baru saja melihat alasan kenapa desa ini tetap berdiri sampai sekarang.”
Raka menatapnya, bingung dan masih ketakutan.
Nyai Jirah mendesah. “Yang dikubur tidak selalu diam, Raka. Dan yang dibangunkan… harus selalu dikembalikan.”
Dia berdiri, menatap sumur tua yang kini hanya terlihat seperti sumur biasa. Tapi Raka tahu lebih baik—tidak ada yang biasa dari sumur itu.
Dan malam itu, dia sadar satu hal:
Ada hal-hal di desa ini yang lebih baik tidak pernah diketahui.
Ada hal-hal yang lebih baik tetap jadi misteri. Ada rahasia yang kalau diungkap, malah ngebawa petaka. Raka belajar itu dengan cara yang paling nggak dia harapkan.
Dan Nyai Jirah? Dia cuma bisa berharap, semoga nggak ada orang bodoh lain yang bakal coba-coba mengusik sesuatu yang seharusnya tetap tidur. Karena kalau sampai terulang lagi… mungkin kali ini, nggak akan ada yang bisa menutupnya kembali.