Misteri Matahari Tak Terbit: Terjebak di Dunia yang Salah

Posted on

Pernah kepikiran gimana jadinya kalau suatu pagi, matahari tiba-tiba nggak terbit? Bukan ketutupan awan, bukan gerhana, tapi beneran nggak ada. Udah bangun tidur, liat jam, harusnya udah terang… tapi masih gelap kayak tengah malam.

Nggak ada suara burung, nggak ada cahaya, cuma hening dan kosong. Nah, itu yang dialamin Edel. Dan percaya deh, ini bukan cuma sekadar pagi yang aneh. Ini permulaan dari sesuatu yang nggak seharusnya ada.Siap masuk ke dunia di mana realita mulai retak?

Misteri Matahari Tak Terbit

Fajar Yang Hilang

Langit masih gelap.

Seharusnya, saat ini, warna jingga sudah mulai merekah di ufuk timur. Namun, yang terlihat hanyalah kelam. Malam seolah menolak pergi, menggantung pekat tanpa sedikit pun tanda-tanda fajar akan datang.

Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Tak ada suara burung, tak ada deru angin yang berbisik di sela-sela pepohonan. Semua terasa mati.

Edel bangun dengan perasaan gelisah. Matanya menatap langit-langit kamar yang remang-remang. Seharusnya, cahaya matahari sudah menyelinap masuk melalui celah tirai. Namun, yang ada hanyalah kegelapan yang sama seperti saat ia memejamkan mata semalam.

Jantungnya berdetak lebih cepat.

Ia bangkit, meraih ponselnya di atas meja. Layar menyala, menunjukkan pukul 06:17 AM, namun di luar sana, tak ada sedikit pun cahaya.

“Apa listrik mati?” gumamnya pelan.

Tapi, itu tidak masuk akal. Lampu kamar masih menyala, begitu juga ponselnya. Ia mencoba membuka jendela, berharap menemukan jawabannya di luar.

Namun, yang ada hanya kehampaan.

Langit gelap seolah malam tak pernah beranjak. Tak ada bulan, tak ada bintang, hanya kekosongan hitam yang melayang tanpa batas.

Edel menelan ludah.

Pikirannya mulai mencari penjelasan. Mungkin badai? Mungkin gerhana? Tapi tidak, langit seperti ini… ini bukan hal yang normal.

Ia meraih hoodie yang tergantung di belakang pintu dan melangkah keluar kamar. Rumahnya terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya ada suara langkah kakinya sendiri yang menggema di lantai.

Ia membuka pintu depan.

Udara di luar dingin, lebih dingin dari seharusnya. Ia menggigil sedikit, menarik zip hoodie-nya lebih rapat. Jalanan di depan rumahnya kosong. Tak ada kendaraan, tak ada suara mesin, tak ada siapa pun yang berlalu lalang seperti biasanya.

Pintu rumah-rumah tetangganya tertutup rapat. Tak ada lampu yang menyala di dalamnya.

Edel mencoba mengetuk pintu rumah sebelah, milik keluarga Daren. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, lebih keras.

Masih hening.

“Daren?” panggilnya.

Tak ada sahutan.

Perasaan aneh merayapi tengkuknya. Seolah dunia ini bukan lagi dunia yang ia kenal.

Dengan langkah ragu, ia berjalan menuju jalan raya. Biasanya, saat pagi begini, ada suara kendaraan lalu lalang, orang-orang berangkat kerja, anak-anak berangkat sekolah. Tapi sekarang, semuanya kosong.

Tiba-tiba, ada suara.

Ketukan kecil.

Edel menoleh cepat.

Di seberang jalan, di bawah tiang lampu jalan yang sudah tak menyala, seorang gadis kecil berdiri diam.

Ia mengenakan gaun putih yang tampak lusuh, rambut panjangnya menjuntai menutupi sebagian wajahnya.

Edel merasa napasnya tercekat.

Gadis itu menatapnya dengan mata kosong, sebelum akhirnya berbisik pelan, hampir tak terdengar.

“Kau juga terjebak, ya?”

Dingin menjalari punggung Edel.

Ia mencoba berkata sesuatu, tapi suaranya seperti menguap di udara.

Gadis itu melangkah maju sedikit, masih menatapnya tanpa ekspresi.

“Apa maksudmu?” akhirnya Edel bisa berbicara.

Gadis kecil itu mengangkat satu jari, menunjuk ke langit yang gelap.

“Kita bukan di dunia yang seharusnya.”

Edel terdiam. Kata-kata itu terngiang di kepalanya, bergema seperti suara yang tak bisa diabaikan.

“Kamu ngomong apa sih?” suaranya terdengar lebih goyah dari yang ia harapkan.

Gadis itu tetap diam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Matahari tak akan pernah terbit di sini.”

Jantung Edel berdebar keras.

Ia mundur selangkah.

Apa maksudnya? Tidak mungkin. Ini cuma… sesuatu yang bisa dijelaskan. Mungkin bencana alam. Mungkin…

Tapi kemudian, semuanya berubah.

Rumah-rumah di sekelilingnya mulai tampak retak. Jalanan perlahan memudar, seperti lukisan yang luntur terkena hujan. Udara semakin dingin.

Dunia ini bukan tempatnya.

Edel mulai sadar.

Ia bukan bangun di dunia yang ia kenal. Ia bukan bangun di tempat yang seharusnya.

Ia terjebak.

Dan yang lebih buruk lagi…

Ia tidak tahu bagaimana caranya keluar.

 

Bisikan Dari Dunia Lain

Angin dingin berembus pelan, membawa keheningan yang menyesakkan.

Edel berdiri kaku, tatapannya terkunci pada gadis kecil di depannya. Dunia di sekelilingnya masih perlahan memudar—rumah-rumah retak, jalanan berpendar seperti ilusi yang sebentar lagi lenyap.

“Apa maksudmu… kita bukan di dunia yang seharusnya?” suara Edel lirih, hampir berbisik.

Gadis kecil itu menatapnya tanpa ekspresi, matanya kelam seperti lubang tanpa dasar. “Dunia ini bukan rumahmu.”

Jantung Edel berdebar lebih keras. “Lalu… rumahku di mana?”

Gadis itu tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat tangannya, menunjuk ke sesuatu di belakang Edel.

Edel menoleh.

Dan yang dilihatnya membuat napasnya tertahan.

Di tengah jalan yang mulai memudar, sesuatu mulai muncul. Samar-samar, seperti kabut yang mengental membentuk sosok. Edel bisa melihat bayangan itu semakin jelas—tubuhnya tinggi, namun wajahnya tetap buram.

Lalu, suara berbisik itu datang.

“Jangan percaya padanya.”

Edel membeku.

Suara itu bukan berasal dari gadis kecil di depannya. Itu datang dari suatu tempat… dari udara, dari bayangan itu, atau mungkin dari dalam kepalanya sendiri.

“Apa… apa itu?” tanya Edel dengan suara bergetar.

Gadis kecil itu tetap diam. Matanya menatap tajam ke arah sosok kabur yang semakin mendekat.

Lalu, ia berbisik, “Lari.”

Tulang punggung Edel menegang.

Gadis itu tidak lagi terlihat tenang. Bibirnya gemetar saat ia mengulanginya, kali ini lebih keras.

“LARI.”

Terlambat.

Bayangan itu bergerak cepat.

Sesuatu yang tak terlihat seolah menyapu udara, menciptakan arus kuat yang membuat Edel kehilangan keseimbangan. Ia tersentak ke belakang, jatuh ke aspal yang sudah mulai retak.

Saat ia mendongak, bayangan itu sudah ada di depannya.

Terlalu dekat.

Edel menahan napas. Sosok itu masih kabur, seperti tidak sepenuhnya ada di dunia ini. Tapi Edel bisa merasakan kehadirannya. Dinginnya menusuk, lebih parah dari embusan angin musim dingin mana pun.

Lalu, suara itu kembali bergema.

“Bukan tempatmu.”

Edel mencengkeram dadanya. Ada sesuatu yang berat, seolah udara tiba-tiba berubah menjadi cairan yang menekan paru-parunya. Pandangannya berputar.

Gadis kecil itu berteriak. “Jangan biarkan dia menarikmu!”

Edel mencoba bangkit, tapi tubuhnya terasa lumpuh. Tangannya mencakar aspal, berusaha menemukan pegangan, tapi dunia di sekitarnya semakin kacau. Langit yang sudah gelap kini seperti pusaran hitam yang meluas.

Ia harus keluar dari sini.

Tapi bagaimana?

Bayangan itu semakin dekat. Suara-suara mulai memenuhi kepala Edel, berbisik dalam bahasa yang tak ia mengerti. Tangannya gemetar, tubuhnya berusaha melawan tarikan tak terlihat yang mencengkeramnya.

Tiba-tiba, sesuatu menarik pergelangan tangannya.

Edel tersentak. Gadis kecil itu!

Mata gadis itu kini bersinar redup, dan suaranya lebih tegas dari sebelumnya.

“Aku tahu jalan keluar.”

Edel menatapnya dengan napas tersengal.

“Tapi kamu harus percaya padaku,” lanjut gadis itu.

Di belakang mereka, bayangan itu bergerak lebih cepat. Dunia di sekeliling mereka sudah nyaris hilang, larut menjadi kegelapan tak berbentuk.

Edel tidak punya pilihan lain.

“Baiklah,” katanya, suara masih gemetar. “Bawa aku keluar dari sini.”

Gadis kecil itu tidak menjawab. Ia hanya menggenggam tangan Edel lebih erat—dan seketika itu juga, dunia berubah.

Seakan ada sesuatu yang pecah.

Cahaya meledak di sekitar mereka.

Dan sebelum Edel bisa memahami apa yang terjadi, tubuhnya terasa melayang, ditarik oleh kekuatan yang tak terlihat.

Satu hal terakhir yang ia dengar adalah suara bisikan lain—lebih pelan, lebih dalam.

“Kamu tidak seharusnya di sini… tapi kamu juga tidak bisa pulang.”

Lalu semuanya lenyap.

 

Pintu Tanpa Kunci

Dada Edel naik-turun dengan napas tersengal. Cahaya menyilaukan yang melahapnya tadi telah lenyap, meninggalkan keheningan yang menusuk.

Ia berdiri di tempat yang berbeda.

Jalanan yang retak, langit yang gelap, dan bayangan mengerikan itu telah menghilang. Sebagai gantinya, Edel kini berada di dalam sebuah ruangan.

Dinding-dindingnya tinggi, terbuat dari batu tua yang kasar dan dingin. Tidak ada jendela, hanya cahaya remang yang berasal dari lampu gantung berwarna keemasan. Udara di sekitarnya sunyi, terlalu sunyi.

Gadis kecil itu masih ada di sampingnya, tetapi kali ini ekspresinya berubah. Matanya yang sebelumnya kosong kini terlihat gelisah.

“Kita di mana?” suara Edel terdengar serak.

Gadis kecil itu tidak langsung menjawab. Ia melangkah perlahan ke depan, tangannya menyentuh dinding batu. Bibirnya bergerak pelan, seperti menggumamkan sesuatu.

Edel mulai merasa tidak nyaman. Ada sesuatu yang tidak beres dengan ruangan ini.

Tiba-tiba, suara berderak terdengar.

Dinding di sebelah mereka bergeser, membuka celah sempit. Dari celah itu, muncul koridor panjang yang lebih gelap dari ruangan tempat mereka berdiri.

Edel menelan ludah. “Jangan bilang kita harus masuk ke sana.”

Gadis kecil itu menoleh, tatapannya tajam. “Kamu mau keluar dari dunia ini, kan?”

Jantung Edel berdebar lebih keras. Tidak ada pilihan lain. Ia harus melangkah maju.

Dengan ragu, ia mengikuti gadis kecil itu memasuki koridor.

Semakin jauh mereka berjalan, semakin aneh rasanya. Langkah mereka bergema panjang, tetapi tidak ada pantulan suara yang kembali. Udara semakin dingin, seolah menghisap hangat dari tubuh mereka.

Lalu, Edel mulai memperhatikan sesuatu.

Dinding-dinding di sepanjang koridor ini tidak kosong. Ada ukiran aneh yang menghiasi permukaannya—gambar-gambar yang terlihat seperti simbol atau tulisan kuno. Beberapa di antaranya tampak seperti sketsa manusia dengan wajah kosong, tangan mereka terulur, seakan meminta pertolongan.

“Tempat apa ini?” gumam Edel.

“Dunia yang tidak seharusnya ada.”

Edel menoleh cepat. Gadis kecil itu kini terlihat semakin serius.

“Dunia ini terbentuk dari sisa-sisa,” lanjutnya. “Dari orang-orang yang pernah tersesat, tapi tidak bisa kembali.”

Edel merasakan tengkuknya meremang.

“Mereka yang gagal keluar…” Gadis kecil itu berhenti, menatap salah satu ukiran di dinding. “Akan menjadi bagian dari dunia ini.”

Edel mengalihkan pandangannya ke ukiran itu—dan untuk pertama kalinya, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku.

Ukiran itu… bergerak.

Wajah-wajah kosong di batu itu bergetar, mulut-mulut mereka terbuka, meski tidak mengeluarkan suara. Tangan-tangan yang terukir mulai bergerak, seakan berusaha meraih mereka.

Edel mundur selangkah. “Kita harus keluar dari sini. Sekarang.”

Gadis kecil itu mengangguk. “Ikuti aku.”

Mereka berlari.

Semakin jauh mereka melangkah, ukiran-ukiran itu semakin hidup. Wajah-wajah tanpa mata mulai berbisik, suara mereka seperti desir angin yang berbaur menjadi satu.

“Jangan pergi…”

“Kembalilah…”

“Temani kami…”

Edel menggigit bibirnya. Ia tidak boleh mendengar suara-suara itu. Tidak boleh terpancing.

Tapi semakin ia berlari, semakin jauh koridor ini terasa. Tidak ada ujungnya, seolah mereka hanya berputar dalam labirin tanpa akhir.

“Kita tidak bisa terus seperti ini!” teriak Edel. “Ada jalan keluar atau tidak?!”

Gadis kecil itu tiba-tiba berhenti.

Edel hampir menabraknya. “Kenapa berhenti?!”

Tanpa menjawab, gadis kecil itu mengangkat tangannya dan menunjuk ke depan.

Di ujung koridor yang gelap itu… berdiri sebuah pintu.

Pintu tua, dengan kayu berwarna hitam dan ukiran aneh di permukaannya. Tidak ada pegangan, tidak ada kunci.

Edel menatapnya dengan napas tersengal.

“Inikah jalan keluarnya?”

Gadis kecil itu diam sejenak sebelum berbisik, “Atau justru jalan menuju sesuatu yang lebih buruk.”

Edel merasakan kepanikan mulai merayapi tubuhnya.

Tapi suara-suara dari dinding semakin mendekat. Wajah-wajah itu kini mulai merayap keluar dari batu, tangan-tangan mereka hampir menyentuhnya.

Tidak ada waktu untuk berpikir.

Dengan sisa keberaniannya, Edel mengulurkan tangannya ke pintu hitam itu.

Saat jarinya menyentuh kayu dingin itu—

Pintu itu terbuka sendiri.

Dan kegelapan di baliknya… lebih pekat dari segalanya.

Lalu, tanpa sempat menarik tangannya kembali, sesuatu dari dalam menariknya masuk.

Dan dunia kembali runtuh.

 

Cahaya Yang Hilang

Kegelapan melahap Edel.

Tidak ada suara, tidak ada bentuk, tidak ada arah. Hanya kehampaan yang menelannya bulat-bulat.

Tubuhnya jatuh, terhisap oleh sesuatu yang tak kasatmata. Ia mencoba menjerit, tapi suaranya tenggelam seketika, seolah udara pun tak sanggup bergetar di dalam kekosongan ini.

Lalu, entah berapa lama berlalu, sesuatu berubah.

Udara kembali. Nafasnya terasa.

Edel membuka matanya—dan mendapati dirinya berdiri di tengah sebuah ruangan yang tidak ia kenali.

Ruangan itu kosong. Lantainya berdebu, dinding-dindingnya kusam, dan hanya ada satu jendela di sisi ruangan, tapi anehnya, jendela itu tidak mengarah ke luar.

Dari balik kaca, Edel melihat dirinya sendiri.

Ia menelan ludah. Tidak—itu bukan pantulannya. Wajah itu memang mirip dengannya, tapi ada sesuatu yang tidak beres.

Edel yang ada di balik kaca menatapnya dengan ekspresi yang tidak seharusnya. Senyum tipis terukir di bibirnya, tapi matanya kosong—gelap.

Lalu, Edel di dalam kaca itu mengangkat tangan dan mengetuk jendela dari dalam.

Tok. Tok. Tok.

Ketukan itu menggema.

Jantung Edel berdebar semakin kencang. Kakinya ingin mundur, tapi tubuhnya tidak bisa bergerak.

Tiba-tiba, kaca itu mulai retak. Dari titik di mana jari pantulannya menyentuh, garis-garis pecah menyebar seperti jaring laba-laba.

Lalu, dengan suara pecahan yang menggema di seluruh ruangan—

Kaca itu hancur.

Dan Edel di dalam kaca melangkah keluar.

Edel tidak bisa bergerak.

Sosok yang kini berdiri di depannya benar-benar identik dengannya—tapi bukan dirinya.

Matanya lebih gelap, kulitnya lebih pucat, dan senyumnya terlalu lebar untuk terlihat manusiawi.

“Siapa…” suara Edel hampir tak terdengar. “Siapa kamu?”

Sosok itu tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum, lalu melangkah maju dengan gerakan yang terlalu halus, terlalu sunyi.

Saat jaraknya semakin dekat, Edel bisa melihat sesuatu yang semakin membuatnya ngeri—

Bayangan sosok itu… tidak ada.

Ia tidak memiliki bayangan.

Tangan dingin itu terangkat, menyentuh pipi Edel.

Dan saat itu juga, suara kecil bergema di dalam kepalanya.

“Aku adalah kamu yang telah menyerah.”

“Aku adalah kamu yang tak pernah bisa keluar.”

Edel merasakan tubuhnya membeku.

Dunia ini—dunia yang aneh ini—adalah jebakan. Dan setiap orang yang gagal keluar, akan menjadi bagian dari tempat ini.

Sama seperti gadis kecil itu.

Sama seperti orang-orang yang wajahnya terukir di dinding.

Dan sekarang, ia berada di ambang batas.

Jika ia tidak melakukan sesuatu… ia akan menggantikan dirinya sendiri.


Ketakutan yang mengunci tubuhnya mendadak pecah. Edel menggigit bibirnya, keras. Rasa sakit itu menyadarkannya—ia masih punya kendali atas dirinya sendiri.

Ia mundur selangkah.

“Tidak.”

Sosok itu mengangkat alisnya.

Edel menarik napas dalam. “Aku belum menyerah.”

Tangannya terangkat, berusaha menjauhkan sosok itu. Tapi saat jari-jarinya hampir menyentuh tubuhnya—

Dunia di sekitarnya pecah.

Bukan hanya kaca, bukan hanya dinding. Semuanya.

Ruangan itu runtuh seperti pasir, langit-langitnya menghilang, lantainya menguap, dan Edel merasakan tubuhnya jatuh lagi.

Tapi kali ini, jatuhnya terasa berbeda.

Lebih ringan.

Lebih terang.

Edel membuka matanya.

Dunia yang ia lihat bukan lagi dunia gelap dan hampa.

Ia melihat kamarnya sendiri.

Langit di luar jendela sudah cerah, matahari bersinar terang.

Tangannya mencengkeram sprei dengan kencang. Dadanya naik-turun, napasnya masih berat.

Ia langsung duduk dan menoleh ke jendela.

Matahari terbit.

Matahari yang tadi tidak ada, kini bersinar seperti biasa.

Semuanya tampak normal.

Tapi Edel tahu… tidak ada yang benar-benar kembali seperti semula.

Sebab, saat ia menoleh ke cermin di samping tempat tidurnya—

Ia melihat sesuatu.

Bayangannya sendiri.

Yang tersenyum.

Dan untuk pertama kalinya, bayangan itu tidak bergerak bersamaan dengannya.

 

Matahari akhirnya terbit. Langit kembali biru. Semua tampak normal. Tampak. Tapi Edel tahu, ada yang berubah. Sesuatu yang nggak bisa dijelaskan, sesuatu yang nggak bisa dia ceritakan ke siapa pun. Karena kalau dia ngelakuin itu… dia nggak yakin apakah yang bicara itu dirinya sendiri.

Leave a Reply