Misteri Lingkaran Tertutup: Kisah Reza dan Tris yang Mengungkap Rahasia Terlupakan

Posted on

Jadi, bayangin deh kamu dan teman kamu tiba-tiba terjebak dalam sebuah ruang gelap yang penuh dengan simbol misterius, suara-suara aneh, dan… rahasia yang nggak pernah kamu kira bakal muncul. Itu yang terjadi sama Reza dan Tris.

Gak ada yang bisa mereka percayai, kecuali satu sama lain. Tapi semakin mereka berusaha ngungkap semuanya, semakin mereka tahu, ini bukan cuma soal teka-teki, tapi juga tentang pilihan yang nggak bisa dihindari. Kalau kamu suka cerita penuh misteri, plot twist, dan sedikit drama, siap-siap deh buat ikut terjebak dalam petualangan mereka.

 

Misteri Lingkaran Tertutup

Malam di Rumah Warisan

Hujan turun begitu deras, membuat rumah besar itu terasa semakin sepi. Dinding kayu berlapis cat yang sudah mulai pudar itu seakan mengerang di setiap hentakan petir yang menyambar. Aku berdiri di depan pintu rumah, melihat Trisna yang tampaknya masih ragu untuk melangkah masuk. Air hujan membasahi rambutnya yang tergerai bebas, dan dia terlihat seperti gadis yang baru saja lari dari sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya sendiri.

“Tris,” panggilku pelan, “kamu nggak takut?”

Trisna hanya memandangku sejenak, lalu menggelengkan kepala, meskipun aku bisa melihat ada ketegangan di matanya. “Takut kenapa? Cuma rumah tua, kan? Nggak mungkin ada yang aneh.”

Aku hanya mengangguk. Perasaan aneh itu selalu datang saat aku mengingat rumah ini. Rumah warisan kakek kami yang sudah lama tidak dihuni, penuh dengan kenangan yang kadang membuatku merasa seperti ada sesuatu yang tertinggal di dalamnya. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

Trisna menghela napas panjang sebelum akhirnya memasukkan kunci ke dalam lubang pintu. Terdengar bunyi berderit keras saat pintu itu terbuka, seolah menanggapi kehadiran kami. Udara di dalam rumah terasa dingin, menembus kulit.

“Jadi… kita langsung ke loteng?” Trisna bertanya dengan nada ragu. Matanya mencari-cari sesuatu di dalam kegelapan, seakan takut sesuatu akan melompat keluar begitu saja.

Aku mengangguk. “Menurut surat kakek, kita harus buka kotak itu malam ini. Tepat pukul tengah malam.” Suaraku terdengar lebih tenang dari yang aku rasakan.

Trisna menggigit bibir bawahnya, mencoba menenangkan dirinya. “Aku nggak tahu kenapa, tapi aku punya firasat buruk tentang ini.”

Aku tahu, aku juga merasakannya. Sejak membaca surat itu, hatiku terasa berat. Kakek selalu punya cara untuk membuat segalanya terlihat biasa, padahal sebenarnya penuh rahasia. Tapi aku mencoba tidak terlalu memikirkannya. Kalau kakek yang bilang seperti itu, pasti ada alasan.

Kami berjalan perlahan menyusuri lorong yang panjang dan gelap, hanya diterangi oleh lampu kecil yang ada di saku jaket Trisna. Langkah kami terhenti di depan pintu loteng. Pintu itu terbuat dari kayu yang sudah hampir rapuh, dengan pegangan logam yang berkarat.

“Kamu yakin nggak takut?” Trisna bertanya, meskipun aku tahu dia lebih takut daripada aku.

Aku menatapnya sebentar. “Kakek pernah bilang, kalau kita ingin tahu jawaban, kita harus berani menanyakan pertanyaan yang paling menakutkan.”

Dia mengangguk, meskipun ragu. Aku membuka pintu itu dan menariknya dengan perlahan. Suara berderit dari engsel yang sudah tua itu membuat aku merinding.

Loteng ini terasa sangat berbeda dari yang aku ingat. Ruangan itu dipenuhi debu tebal, dengan barang-barang lama yang sepertinya sudah bertahun-tahun tak disentuh. Ada rak-rak kayu berisi berbagai macam barang aneh yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Suasana di sini terasa sunyi, hanya ada suara detakan jam dinding yang semakin lama semakin terdengar keras.

“Di sini, Reza.” Trisna menunjuk ke sudut ruangan, di mana sebuah kotak kayu tua terletak di atas meja besar.

Aku melangkah mendekat, merasakan udara di sekitar kotak itu terasa lebih dingin. Kotak itu terbuat dari kayu gelap yang tampak seperti sudah ada selama berabad-abad. Ukirannya rumit, dengan simbol yang tak bisa kuartikan. Trisna berdiri di sampingku, menatap kotak itu dengan tatapan bingung.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Trisna bertanya, suara sedikit gemetar.

Aku hanya menggelengkan kepala, berusaha mencari tahu apa yang harus dilakukan. Aku menyentuh kotak itu dan segera merasakan sesuatu yang aneh. Di balik permukaan kayu, ada sebuah kunci yang tertanam rapat. Kunci kecil itu bercahaya samar, seakan memanggil kami untuk menemukannya.

“Ini kunci,” kataku, mengeluarkan kunci kecil itu dengan hati-hati. “Kakek menulis tentang kunci ini di suratnya.”

Trisna menatapku, ekspresinya bingung. “Lalu, kita harus buka apa? Apa ada petunjuk lain?”

Aku membuka surat yang masih ada di dalam kotak itu, membaca kata-kata kakek yang tertulis dengan tangan tinta merah. “Cari di bawah lantai tempat kamar Trisna.”

“Apa maksudnya?” Trisna bertanya lagi, namun kali ini suaranya terdengar lebih panik.

Aku tidak langsung menjawab. “Mungkin ada sesuatu yang tersembunyi di bawah lantai kamar kamu.”

Kami kembali ke kamar Trisna, yang terletak di lantai atas rumah itu. Kamar itu sudah lama tidak dipakai, hanya berdebu dan tak terurus. Trisna berdiri di tengah kamar, memandang sekeliling, seolah merasakan ada sesuatu yang tak beres.

“Reza, aku nggak tahu kalau rumah ini… terasa semakin aneh.” Suaranya hampir berbisik.

Aku mengangguk, merasa hal yang sama. Namun aku tahu, kami sudah terjebak dalam teka-teki yang harus diselesaikan. Aku memulai pencarian, menelusuri setiap sudut lantai kamar itu, hingga akhirnya menemukan sesuatu yang aneh. Ada papan lantai yang tampak lebih tua dari yang lain, hampir tak terlihat jika kita tak teliti.

“Di sini!” seruku, lalu mulai menggeser papan lantai itu. Ketika papan itu terangkat, sebuah benda kecil jatuh dari sela-selanya—sebuah kunci yang serupa dengan yang tadi kami temukan di kotak.

“Apa ini?” Trisna bertanya, menatap kunci itu dengan rasa penasaran yang semakin dalam.

“Aku rasa ini kunci untuk laci di lemari.” Aku menunjukkan laci kecil di lemari tua yang ada di sudut kamar.

Dengan hati-hati, aku memasukkan kunci itu ke dalam lubang kunci, lalu memutar. Laci itu terbuka perlahan, dan di dalamnya kami menemukan sebuah buku harian yang tampaknya sudah sangat tua.

Saat membuka halaman pertama, tulisan tangan kakek muncul dengan jelas:
“Bukan kalian yang dipilih untuk membuka rahasia ini. Tapi jika kalian membaca ini, maka kalian harus siap menghadapi akibatnya.”

Trisna menatap buku itu dengan cemas. “Reza, ini… ini nggak beres.”

Aku hanya bisa mengangguk, tetapi aku tahu kami sudah terlalu dalam untuk mundur. Sesuatu sudah mulai bergerak di balik kegelapan ini. Dan aku merasa, jawaban dari semua ini masih jauh di depan kami.

“Tunggu,” Trisna berkata pelan, seolah mendengar sesuatu dari jauh. “Apa itu?”

Sebelum aku sempat menjawab, suara ketukan datang dari arah pintu kamar—sesuatu yang tak bisa kami lihat, tapi kami bisa rasakan.

 

Kegelapan yang Memanggil

Pintu kamar terbuka perlahan, meskipun tidak ada satu pun di luar sana. Ketukan itu berhenti begitu saja, tetapi suara langkah kaki terdengar semakin dekat—pelan dan berat. Aku berbalik, memandang Trisna yang tampak semakin pucat. Wajahnya yang semula penuh rasa ingin tahu kini penuh ketakutan.

“Kamu… kamu dengar itu?” Trisna berbisik, meskipun aku bisa merasakan, seolah-olah tak ada suara lain yang lebih mengganggu selain detakan jantung kami yang berpacu cepat.

Aku mengangguk pelan, berusaha tetap tenang. “Iya, aku dengar.”

Namun, meskipun aku mencoba untuk bersikap tenang, rasa takut itu mulai merayapi kulitku, membuatku merasa dingin. Kenapa suara langkah itu terasa begitu nyata? Seolah seseorang—atau sesuatu—benar-benar ada di sini bersama kami.

Aku berjalan mendekati pintu, hati berdegup kencang. Di luar tidak ada siapa-siapa, hanya gelap gulita. Aku menutup pintu dengan cepat, mencoba mengusir perasaan aneh yang semakin menggerogoti pikiranku.

“Semuanya baik-baik saja,” kataku, meskipun aku sendiri tidak yakin.

Tapi Trisna hanya berdiri terpaku, matanya tertuju pada sesuatu yang tampaknya tak terlihat olehku. Aku mengikuti arah pandangnya, dan aku bisa melihat di sudut ruangan, tepat di samping rak buku yang sudah berdebu, ada bayangan hitam yang bergerak sangat pelan. Bayangan itu menghilang secepat kilat, namun cukup untuk membuat seluruh tubuhku merinding.

“Reza…” suara Trisna gemetar. “Ada… ada sesuatu di sana.”

Aku berbalik dan segera menutup mata, berusaha menenangkan diri. “Itu… itu hanya bayangan. Mungkin cuman… bayangan dari barang-barang di sini.”

Namun, suara gemerisik yang terdengar dari arah langit-langit membuat kami berdua terdiam. Sebuah benda jatuh, disusul suara gesekan kayu yang kasar, seperti ada sesuatu yang bergerak di atas sana.

“Tris, kita harus ke loteng,” kataku dengan suara lebih tegas, mencoba menenangkan dirinya dan diriku sendiri. “Ini pasti ada hubungannya dengan kotak itu.”

Trisna memandangku dengan cemas, tapi akhirnya mengangguk. “Baiklah, aku ikut. Tapi kita harus berhati-hati.”

Kami kembali ke tangga menuju loteng, kali ini langkah kami lebih hati-hati, setiap suara yang kami buat terasa sangat keras di telinga. Begitu sampai di atas, kami melihat kotak kayu yang tadi kami temukan masih tergeletak di meja, namun kini ada sesuatu yang berbeda. Di atasnya, terdapat sebuah catatan baru yang tidak ada sebelumnya.

“Ini… siapa yang meletakkannya di sini?” Trisna bertanya, sambil mendekati kotak itu.

Aku mengangkat surat tersebut dengan hati-hati, membaca tulisan tangan yang sama seperti yang ada di buku harian kakek. Surat itu hanya berisi satu kalimat:
“Tutup kotak itu sebelum pukul tiga pagi.”

“Waktu sudah hampir habis,” kataku pelan. “Kita nggak bisa menunggu lebih lama lagi. Aku rasa… kita harus tahu lebih banyak tentang apa yang ada di dalam kotak itu.”

Trisna menarik napas panjang. “Apa yang bakal terjadi kalau kita nggak menutupnya, Reza?”

Aku menggelengkan kepala, tak bisa menjawab. Tapi dalam hatiku, ada firasat buruk yang makin kuat. “Mari kita buka.”

Aku membuka kotak itu perlahan, dan kali ini, kotak itu terasa lebih berat daripada sebelumnya. Begitu tutupnya terbuka, kami menemukan sebuah benda yang berbeda dari yang sebelumnya kami temui—sebuah cincin perak yang terlihat sangat tua. Di dalam cincin itu, ada ukiran simbol yang sama dengan yang tertera di pintu ruang bawah tanah.

“Simbol itu…” Trisna bergumam, menyentuh cincin itu dengan hati-hati. “Apa maksudnya?”

Namun sebelum aku sempat menjawab, langit-langit di atas kami berderak, dan seketika itu juga, lampu di seluruh rumah padam. Kegelapan langsung menyelimuti kami. Kami berdua terdiam, hanya bisa mendengar suara detak jantung kami yang berpacu begitu cepat.

“Ada… ada apa?” Trisna berbisik ketakutan.

Suara langkah kaki terdengar lagi, kali ini lebih dekat, lebih jelas, dan lebih berat dari sebelumnya. Aku bisa merasakan nafasnya, seolah-olah sesuatu yang sangat besar berdiri tepat di belakang kami. Aku menoleh perlahan, dan ketika aku menatap ke belakang, ada sesuatu yang tampak menyelip di antara bayang-bayang yang menari di dinding.

Namun, apa yang membuatku terkejut bukanlah sosok yang muncul, tetapi suara bisikan itu—suaranya terdengar begitu dekat, begitu jelas, tapi juga terasa begitu asing.

“Kalian sudah memilih, kalian tidak bisa kembali.”

Suara itu terkesan berasal dari segala penjuru ruangan, seakan berasal dari dalam dinding, atau mungkin dari dalam diri kami sendiri. Trisna terdiam, wajahnya pucat pasi, sementara aku sendiri merasa seolah seluruh tubuhku terhenti.

Tiba-tiba, langit-langit itu kembali bergemuruh, dan sesuatu yang sangat berat jatuh dari atas. Namun yang mengejutkan, benda yang jatuh itu bukan benda apapun, melainkan sebuah peti besar yang terlempar dengan kecepatan luar biasa dan menghantam lantai di hadapan kami. Peti itu terbuka dengan sendirinya, dan di dalamnya, ada sebuah ruangan kecil yang tampaknya tersembunyi selama ini.

“Peti itu…!” Trisna berseru, terkejut. “Apa itu?”

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk tetap tenang meski hati rasanya hampir meledak. “Kita harus masuk. Itu mungkin jawaban dari semua ini.”

Kami berdua memandang satu sama lain, ragu-ragu. Tetapi kami tahu, kami sudah terlalu jauh untuk mundur. Kami harus mencari tahu apa yang tersembunyi di balik semua ini.

Dengan langkah hati-hati, kami melangkah maju menuju peti tersebut. Begitu kaki kami melangkah masuk, ruangan itu berubah gelap total, seakan menelan seluruh cahaya yang ada.

Tapi di dalam kegelapan itu, kami mendengar satu suara lagi, suara yang semakin familiar, semakin jelas. Dan kali ini, suara itu datang dari dalam hati kami sendiri.

“Semua yang kamu cari ada di sini, Reza. Semuanya dimulai denganmu.”

 

Suara dari Kegelapan

Ruangan itu terasa lebih sempit dari yang aku bayangkan. Peti besar yang kami masuki seakan menelan seluruh ruang di sekitarnya, menutupi segala suara dan cahaya. Aku bisa merasakan udara menjadi semakin berat, seolah ada sesuatu yang mengikat setiap tarikan napasku. Suara detakan jantungku sendiri terdengar keras, menambah ketegangan di ruangan yang penuh dengan bayang-bayang itu.

Trisna berjalan perlahan di depanku, kakinya nyaris tidak bersentuhan dengan tanah, seperti takut jika ia menginjak sesuatu yang akan membawanya lebih dalam ke kegelapan ini. Aku mengikuti dengan langkah yang lebih ragu, mencoba mengatur napas dan menjaga agar suara langkah kami tidak membangkitkan sesuatu yang lebih buruk.

Tiba-tiba, sebuah suara gemerisik terdengar dari ujung ruangan, membuat kami berdua berhenti. Trisna menoleh, matanya membulat lebar.

“Ada… apa itu?” suaranya hampir tak terdengar, hanya bisikan yang tersisa.

Aku menatap ke arah yang ditunjuknya. Di ujung ruang yang gelap, tampak sebuah bayangan bergerak cepat, lebih cepat daripada yang bisa kami lihat. Suara berdesir itu mengikuti setiap gerakan bayangan tersebut, seperti ada sesuatu yang mendekat.

“Reza…” Trisna memanggil, suaranya gemetar. “Aku nggak mau di sini. Kita harus keluar!”

Aku menggenggam tangannya, mencoba menenangkannya meski jantungku sendiri mulai berdebar lebih cepat. “Kita nggak bisa keluar sekarang. Ini hanya awalnya. Kita harus cari tahu lebih banyak.”

Kami melangkah lebih jauh, hingga tiba di sebuah tembok yang tampaknya tidak pernah terlihat sebelumnya. Tembok itu tertutup dengan kain hitam yang sangat tebal, menutupi sesuatu yang lebih besar dari sekadar dinding. Aku merasakan getaran dari tembok itu, seolah ada sesuatu yang hidup di dalamnya, memanggil kami untuk mendekat.

“Reza…” Trisna mendekat, tangan kami hampir saling menyentuh. “Apa yang kita cari di sini?”

Aku menatap kain hitam itu dengan tajam. “Aku nggak tahu. Tapi kita harus buka ini.”

Aku menarik kain itu dengan hati-hati, perlahan mengungkapkan sebuah pintu besar yang terbuat dari logam, dengan ukiran yang sangat mirip dengan simbol-simbol di cincin perak yang kami temukan. Tentu saja, aku sudah merasa bahwa kami tak akan mudah keluar dari tempat ini tanpa membuka pintu itu.

Tapi sebelum aku sempat menyentuh pintu tersebut, suara bisikan itu kembali, kali ini lebih jelas dan penuh amarah. “Kenapa kamu terus mencariku, Reza?”

Aku terhenti, menatap sekeliling, namun tak ada siapapun di sana. Hanya kami berdua dan kegelapan yang memeluk setiap inci ruangan.

Suara itu kembali lagi, kali ini lebih berat, lebih tegas. “Kamu tahu jawabannya, kan? Semua ini dimulai denganmu.”

Aku merasakan tubuhku kaku, seakan ada sesuatu yang menguasai diriku, memaksaku untuk berbuat sesuatu yang bahkan aku tak mengerti. “Siapa yang bicara?” aku berteriak, berusaha mencari sumber suara itu.

“Tidak ada yang bisa lari dariku, Reza,” suara itu mengancam, seolah datang dari dalam tubuhku. “Semua ini adalah milikmu. Jangan coba-coba menentangnya.”

Aku merasakan kekuatan yang luar biasa mengalir melalui diriku, membuatku gemetar. Tiba-tiba, aku melihat sosok itu di depan mata—bayangan gelap yang berbentuk kabur, seolah hadir dari masa lalu. Wajahnya samar-samar, tetapi ada sesuatu yang sangat familiar dari sosok itu.

Trisna mengangkat tangan, mencoba mengusir bayangan itu. “Reza, kita nggak bisa berada di sini. Ini… bukan tempat kita!”

Aku menatap Trisna, dan ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku merasa yakin. Dia tahu lebih banyak dari yang dia tunjukkan, dan itu membuatku semakin ingin tahu. “Trisna, siapa dia? Apa yang sebenarnya terjadi?”

Trisna tampak terkejut mendengar pertanyaanku, dan seketika wajahnya berubah menjadi sangat serius. “Reza… kamu nggak ingat, kan?” Dia berbisik, meskipun suara itu terdengar sangat tegas dan menggetarkan. “Semua yang terjadi, semua yang kita alami, itu semua berhubungan dengan kamu.”

Aku terdiam, merasa ada bagian dari diriku yang hilang, seperti ada kenangan yang terhapus begitu saja. “Apa maksudmu?” suaraku hampir terbungkam.

“Ini semua dimulai karena kamu…” Trisna berkata dengan suara penuh penyesalan. “Kamu adalah kunci untuk membuka semua ini.”

Sebelum aku bisa merespon, pintu logam di depan kami terbuka dengan sendirinya, menimbulkan suara berderit keras yang membuat kami terlonjak mundur. Di balik pintu itu, tampak sebuah ruang gelap yang lebih besar dari sebelumnya. Di tengah ruang itu, sebuah altar besar dengan batu hitam tergeletak begitu saja, seakan menunggu untuk dihampiri.

Aku melangkah maju, seakan dipaksa untuk melangkah ke dalam ruang itu. Begitu kami berada di dalam, pintu kembali tertutup dengan sendirinya. Tidak ada jalan keluar. Ruangan itu tidak hanya gelap, tetapi terasa seperti ruang yang terperangkap di waktu yang salah.

“Reza, hati-hati!” Trisna berteriak, namun suaranya teredam oleh suara dentingan logam yang menggelegar dari altar.

Aku menatap altar itu, dan di atasnya, sebuah buku terbuka. Buku itu berisi tulisan yang tak bisa kubaca, meskipun aku merasa tulisan itu sangat familiar. Seperti ada yang memaksaku untuk mendekat. Sesuatu yang kuat, yang memanggil-manggilku untuk memahami rahasia yang tersembunyi di dalamnya.

Tangan ku bergerak tanpa kusadari, memegang buku itu, dan begitu aku menyentuhnya, ruangan itu tiba-tiba bergetar hebat. Di dalam buku itu, ada nama kami, nama Trisna dan aku, terukir dengan tinta merah. Sesuatu yang membuatku terperanjat, karena aku menyadari satu hal yang mengejutkan.

Kami sudah terperangkap dalam permainan yang tak bisa kami hentikan.

“Waktumu telah tiba, Reza. Segalanya dimulai denganmu.” Suara itu kembali, kali ini bukan hanya bisikan, tetapi suara yang berasal dari dalam buku itu sendiri.

Aku memandang Trisna dengan wajah yang penuh kebingungan dan ketakutan. “Apa yang sebenarnya terjadi, Trisna?”

 

Menutup Lingkaran

Ruangan itu terdiam sejenak. Getaran yang semula mengerikan kini berubah menjadi hening, hanya sisa-sisa kebisingan dari pintu yang baru saja tertutup. Sesuatu di dalamnya memanggil, menarik kami lebih dalam ke dalam kegelapan yang semakin sulit untuk dijelaskan. Buku itu masih tergeletak di atas altar, terbuka dengan halaman-halaman yang tampaknya penuh dengan rahasia yang sudah lama tersembunyi.

Aku memandang Trisna dengan tatapan yang tidak bisa kubaca sendiri. Di matanya, ada ketakutan, tapi juga sebuah pemahaman yang lebih dalam daripada yang bisa aku pahami. Semua ini adalah sesuatu yang sudah lama terjadi, dan kami hanya bagian dari kisah yang lebih besar. Mungkin lebih besar dari yang kami bayangkan.

“Reza…” Trisna memulai, suaranya sangat pelan, namun tegas. “Kamu harus tahu satu hal. Semua yang kita hadapi ini… bukan hanya tentang kotak atau simbol itu. Ini tentang kita. Tentang kamu.”

Aku menggenggam buku itu dengan hati-hati, seolah menyentuhnya bisa mengubah segala sesuatu yang telah kami alami. Namun saat aku membuka mata untuk menatapnya, tulisan di dalam buku itu berubah. Lambat-lambat, kalimat yang semula tampak kabur, kini terbaca dengan jelas, dan tulisan itu menyusun kalimat yang sangat mengejutkan:

“Kamu adalah penghubung antara dunia yang telah lama terlupakan dan dunia yang harus diselamatkan. Hanya kamu yang bisa menutup lingkaran ini.”

Aku terdiam. Kalimat itu seakan menghancurkan segala yang aku ketahui. Aku terperangkap dalam sesuatu yang lebih besar dari sekadar misteri kotak atau simbol-simbol itu. Aku adalah kunci, dan mungkin itu berarti aku harus membuat pilihan yang tak bisa kuhindari.

“Tunggu, apa maksudnya?” Trisna bertanya, mendekat dan menatap buku itu. “Kita… kita bisa keluar, kan?”

Namun aku hanya bisa terdiam. Meskipun aku tidak tahu apa yang harus dilakukan, aku merasakan ada sesuatu yang harus kutempuh—sebuah jalan yang tidak bisa dihindari. Ada kekuatan yang mengikat kami di sini, di dalam ruangan ini, dan sepertinya kami tidak punya banyak waktu.

Seketika, buku itu bergetar di tanganku, dan halaman-halamannya terbalik sendiri, seolah ada kekuatan yang menggerakkan tangan kami. Sampai akhirnya, buku itu berhenti pada sebuah halaman yang penuh dengan simbol yang sama, simbol yang kami lihat sebelumnya—di cincin, di pintu, dan kini di dalam buku. Namun kali ini, simbol itu menyatu menjadi satu gambar besar: sebuah mata.

“Mata?” Trisna bertanya, ragu. “Apa ini artinya?”

Sebelum aku sempat menjawab, langit-langit ruang itu kembali bergetar, dan sebuah suara dalam terdengar, seperti gema dari ruang yang sangat jauh. “Sudah waktunya untuk keputusanmu, Reza.”

Aku menatap simbol itu dengan tatapan kosong, seakan merasa sekuat tenaga untuk menahan dunia yang akan runtuh. Perasaan yang sulit dijelaskan memenuhi hatiku—bukan ketakutan, melainkan sebuah kenyataan yang aku coba hindari. Semua ini adalah ujian yang lebih besar dari sekadar teka-teki. Semua ini adalah tentang memilih, dan aku harus memilih dengan bijak.

“Trisna,” aku memanggilnya, suaraku sedikit serak. “Aku harus menutup lingkaran ini.”

Trisna tampak bingung, tapi matanya yang penuh kecemasan tetap menatapku. “Apa maksudmu? Menutupnya seperti apa?”

Aku menatapnya sekali lagi, merasa bahwa kami sudah berada di ujung jalan yang tak bisa diputar balik. Semua ini, perjalanan ini, sepertinya memang sudah digariskan. “Kita harus kembali ke tempat awal, Tris. Kembali ke kotak itu. Kalau kita tidak menutup lingkaran ini, semua yang kita temui, semua yang kita alami, akan berulang selamanya.”

Mata Trisna membelalak. “Tapi—”

“Ini satu-satunya cara,” aku memotongnya dengan lembut, meskipun hatiku dipenuhi ketidakpastian. “Aku tahu ini terdengar gila, tapi aku merasa ini adalah jalan satu-satunya.”

Kami berbalik dan berjalan menuju kotak yang tergeletak di atas altar. Begitu aku menyentuh kotak itu, seakan ada energi yang mengalir melalui tanganku, menghubungkanku dengan sesuatu yang lebih dalam, yang lebih tua. Aku bisa merasakan kekuatan yang terpendam, kekuatan yang selama ini kami coba hindari. Dan sekarang, aku tahu apa yang harus kulakukan.

Dengan satu tarikan napas, aku menutup kotak itu.

Segera setelah itu, semua suara menghilang. Langit-langit yang semula bergemuruh menjadi hening. Semua getaran yang menghantui kami kini lenyap begitu saja. Ruangan itu terasa lebih ringan, lebih tenang, seolah beban besar yang selama ini kami rasakan terangkat.

Aku menatap Trisna, dan untuk pertama kalinya sejak kami masuk ke tempat ini, aku merasa sebuah kedamaian yang aneh menyelimuti. Seperti sesuatu yang telah selesai, meskipun aku tak tahu apa yang sebenarnya baru saja terjadi.

Namun, saat aku menoleh ke belakang, aku melihat sebuah bayangan—bayangan samar yang melintas di antara ruang kosong itu. Aku tahu itu bukan mimpi, dan aku tahu itu bukan ilusi. Itu adalah bayangan dari masa lalu yang belum sepenuhnya pergi.

“Reza…” Trisna berbisik, melihat ke arah yang sama. “Apa itu?”

Aku hanya bisa tersenyum, meski senyum itu terasa pahit. “Itu… mungkin hanya sebuah kenangan. Kenangan yang sudah tertutup. Tapi mungkin, kita sudah berhasil menutup lingkarannya.”

Dan saat itulah, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, kami bisa merasakan cahaya kembali menyentuh kami, memberi kami harapan baru. Kami tidak tahu apakah semuanya akan berakhir di sini, atau apakah ada bab lain dalam cerita yang belum kami pahami sepenuhnya. Tapi setidaknya, malam itu, lingkaran itu akhirnya tertutup.

Dan kami—Trisna dan aku—terus berjalan maju, dengan keyakinan bahwa apa yang kami alami adalah bagian dari takdir yang lebih besar.

 

Jadi, gimana menurut kamu? Apakah Reza dan Tris berhasil menutup lingkaran yang mengikat mereka, atau justru membuka pintu untuk sesuatu yang lebih gelap lagi?

Kadang, kita harus menghadapi rahasia-rahasia yang lebih besar dari yang kita bayangkan, dan mungkin, cerita mereka belum berakhir di sini. Yang pasti, kisah ini nggak cuma soal teka-teki, tapi juga tentang keputusan yang nggak bisa ditarik balik. Tapi, apapun itu, satu hal yang pasti: kadang, jawabannya lebih dekat dari yang kita kira.

Leave a Reply