Daftar Isi
Jadi, denger-denger ada yang bilang liburan itu harus penuh dengan kesenangan dan petualangan, kan? Nah, itu juga yang Revan pikirkan ketika berangkat ke rumah Paman Gibran. Awalnya, Revan cuma mau mancing dan menikmati suasana tenang.
Tapi, siapa sangka, liburan kali ini membawa Revan ke dalam misteri danau yang gelap dan seram. Dari sosok-sosok aneh yang tiba-tiba muncul sampai cahaya misterius yang bikin merinding, semuanya bikin jantung Revan berdegup kencang! Yuk, langsung aja simak kisah seru ini dan siap-siap terpesona dengan apa yang terjadi di balik liburan yang seharusnya biasa ini!
Misteri Liburan di Rumah Paman
Perjalanan Menuju Danau Seruni
Liburan musim panas kali ini terasa berbeda. Biasanya aku hanya berdiam diri di rumah, main game atau nonton film sampai bosan, tapi kali ini, aku mendapat undangan spesial dari Paman Gibran. Dia mengajakku menghabiskan liburan di rumahnya di Desa Seruni, sebuah desa kecil yang katanya punya pemandangan alam yang luar biasa dan danau yang jadi surga bagi para pemancing.
Paman Gibran ini bukan sembarang paman. Dia terkenal di keluarga sebagai pria yang suka petualangan, berpengalaman di alam, dan… ya, jago mancing. Aku sendiri bukan pemancing hebat, tapi entah kenapa ajakannya terasa menyenangkan. Mungkin karena aku sudah bosan dengan rutinitas di kota, atau mungkin karena aku memang penasaran dengan danau itu. Katanya, Danau Seruni punya banyak cerita mistis. Menarik juga buat dieksplor.
Pagi itu, aku bangun lebih awal dari biasanya. Matahari baru saja muncul, dan aku sudah siap dengan tas punggung berisi perlengkapan sederhana. Ibuku seperti biasa memelukku erat sebelum berangkat.
“Hati-hati di sana, ya, Revan. Jangan lupa kasih kabar,” pesannya dengan nada cemas yang sudah sering aku dengar.
“Iya, Bu. Tenang aja. Paman Gibran kan ada di sana. Gak bakal ada apa-apa kok,” jawabku sambil tersenyum.
Setelah berpamitan, aku pun memulai perjalanan dengan kereta menuju desa. Selama dua jam perjalanan, aku menatap keluar jendela, memperhatikan pepohonan yang semakin rapat dan sawah yang terbentang luas. Desa Seruni memang terletak cukup jauh dari keramaian kota, tepat di kaki pegunungan, dikelilingi oleh hutan yang masih asri. Sesuatu yang jarang banget aku lihat di kota.
Begitu tiba di stasiun kecil desa, Paman Gibran sudah menungguku di sana dengan mobil pickup tuanya. Dia tersenyum lebar begitu melihatku.
“Akhirnya sampai juga kamu, Revan! Gimana perjalananmu?” sapanya ramah sambil menepuk bahuku.
“Seru, Paman. Ternyata desanya indah banget dari sini. Aku udah gak sabar buat mulai mancing,” jawabku, merasa antusias.
“Bagus! Kamu datang di waktu yang tepat. Ikan-ikan di Danau Seruni lagi banyak-banyaknya. Paman yakin kamu bakal suka.”
Kami pun berangkat menuju rumah Paman Gibran yang jaraknya tidak terlalu jauh dari stasiun. Sepanjang perjalanan, aku disuguhi pemandangan desa yang sangat berbeda dari hiruk pikuk kota. Di kiri-kanan jalan, tampak hamparan sawah, hutan-hutan kecil, dan beberapa rumah penduduk yang terbuat dari kayu. Aku benar-benar merasa seperti masuk ke dunia lain—lebih tenang, lebih sederhana.
Setelah beberapa menit berkendara, kami tiba di sebuah rumah kayu yang cukup besar, dengan pekarangan yang luas dan rimbun oleh pepohonan.
“Ini rumah paman,” katanya sambil menunjuk ke arah rumah itu.
Rumahnya sederhana, tapi hangat. Paman Gibran tinggal sendiri di sini, karena anak-anaknya sudah kuliah di kota dan istrinya meninggal beberapa tahun lalu. Namun, Paman Gibran tetap semangat dan penuh keceriaan. Mungkin itulah yang membuatku merasa nyaman setiap kali bertemu dengannya.
“Masuk, Revan. Kamu pasti capek. Setelah istirahat sebentar, kita langsung berangkat ke danau, gimana?” tanyanya sambil membawakan tasku.
Aku mengangguk. “Siap, Paman. Aku udah gak sabar.”
Di dalam rumah, suasananya begitu nyaman. Ada perapian kecil di ruang tamu, dan di dinding, tergantung foto-foto keluarga Paman Gibran serta beberapa foto memancingnya dengan tangkapan besar. Aku duduk sejenak, menghilangkan rasa lelah dari perjalanan panjang, tapi pikiran tentang danau dan cerita-cerita misteriusnya terus menghantui benakku.
Setelah istirahat sebentar, kami bersiap untuk pergi ke danau. Paman Gibran mempersiapkan alat-alat pancing—alat pancingnya tampak tua tapi sangat terawat. Aku penasaran apakah aku akan berhasil menangkap ikan besar seperti yang selalu dia ceritakan.
Kami berjalan kaki menuju danau, melewati jalan setapak yang diapit oleh pohon-pohon rindang. Udara di sini jauh lebih segar daripada di kota, dan setiap langkah yang aku ambil, rasanya aku semakin mendekati petualangan yang belum pernah aku alami sebelumnya.
“Paman, ada cerita apa aja sih soal Danau Seruni?” tanyaku akhirnya, setelah penasaran sejak tadi.
Paman Gibran tertawa kecil. “Wah, ada banyak cerita. Dulu, sebelum desa ini jadi sepi seperti sekarang, danau itu sering didatangi orang dari luar. Banyak yang bilang ada sesuatu di dasar danau. Tapi hanya sedikit yang bisa menemukannya.”
“Sesuatunya apaan, Paman?” Aku semakin penasaran.
“Rahasia,” jawabnya singkat, sambil tersenyum misterius.
Aku mengernyit. “Rahasia yang kayak gimana?”
Paman Gibran hanya mengangkat bahu. “Kalau kamu sabar dan beruntung, mungkin kamu bakal nemuin jawabannya sendiri.”
Percakapan kami terhenti saat kami tiba di tepi danau. Pemandangannya luar biasa. Airnya jernih, memantulkan bayangan langit biru dan pohon-pohon yang mengelilinginya. Danau itu tampak tenang, tapi ada sesuatu yang membuatku merinding, seolah-olah danau itu menyimpan cerita yang lebih dalam daripada yang bisa terlihat di permukaan.
“Kita mancing di tengah danau. Ada perahu kecil di sana,” kata Paman Gibran sambil menunjuk ke arah sebuah perahu kayu yang terikat di tepi danau.
Kami naik ke perahu dan mendayung perlahan ke tengah danau. Angin sepoi-sepoi berhembus, membuat suasana semakin damai. Paman Gibran mengajarkanku cara melempar umpan dengan benar, dan aku mengikuti instruksinya dengan hati-hati.
“Lempar umpanmu, tunggu, dan rasakan,” katanya.
Aku melemparkan pancingku ke air dan menunggu dengan penuh harapan. Tidak ada yang lebih membuat jantungku berdegup cepat selain menunggu sesuatu yang tak terlihat di bawah sana.
“Paman, kamu yakin ada ikan di sini?” tanyaku setelah beberapa menit menunggu tanpa ada tarikan.
Paman Gibran tertawa. “Sabar, Revan. Ikan-ikan di sini licik, tapi kalau kamu sabar, mereka pasti muncul.”
Tiba-tiba, aku merasakan tarikan kuat pada pancingku. “Paman! Ada ikan!”
Paman Gibran dengan sigap membantu. “Tarik perlahan. Jangan terlalu buru-buru.”
Aku menarik pancingku dengan hati-hati, merasakan kekuatan di bawah sana. Tapi, ikan itu terlalu kuat. Dalam sekejap, tali pancingku melonggar, dan ikan itu hilang begitu saja.
“Yah, lepas…” gumamku kecewa.
Paman Gibran menepuk bahuku. “Tenang, itu baru awal. Kamu masih punya banyak kesempatan.”
Matahari perlahan mulai tenggelam, meninggalkan bayangan oranye di atas danau. Aku menatap pemandangan itu dengan takjub. Meski ikan pertamaku lepas, aku merasa hari ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Danau Seruni memang penuh misteri, dan aku bertekad untuk mengungkap apa yang tersembunyi di balik ketenangannya.
Di Balik Kedalaman Danau
Malam mulai turun ketika aku dan Paman Gibran kembali ke tepi danau. Angin malam yang sejuk menambah kesunyian di sekitar kami, hanya terdengar suara serangga dan gemerisik daun dari hutan yang melingkupi danau. Aku masih memikirkan ikan besar yang lepas dari pancinganku tadi. Rasanya menyesal, tapi sekaligus penasaran. Tarikan itu terlalu kuat untuk ikan biasa. Apa yang sebenarnya ada di dalam danau ini?
“Kamu pasti capek. Yuk kita pulang dulu, besok kita coba lagi. Mungkin besok ikan besar itu bakal kembali,” kata Paman Gibran, sambil tersenyum ramah.
Aku mengangguk, meskipun rasa penasaranku semakin dalam. Kami berjalan pulang melewati jalan setapak yang sama, tapi kali ini suasana terasa lebih dingin. Bayangan hutan di kanan-kiri terasa lebih pekat di bawah cahaya bulan yang mulai muncul di atas. Aku tidak bicara banyak sepanjang jalan, pikiran masih tertuju pada cerita yang Paman Gibran sampaikan tentang ‘sesuatu’ di dasar danau.
Sesampainya di rumah, Paman Gibran menghidangkan makan malam sederhana: nasi, ikan goreng, dan sambal terasi. Meski sederhana, rasanya lezat. Suasana makan malam terasa nyaman, tetapi pikiranku masih berputar-putar memikirkan pengalaman siang tadi. Setelah makan, aku duduk di teras sambil menikmati udara malam. Paman Gibran ikut bergabung, membawa secangkir teh hangat.
“Kamu kelihatan banyak pikiran, Revan. Masih kepikiran soal ikan tadi?” tanyanya sambil menyesap tehnya.
Aku mengangguk. “Iya, Paman. Itu ikan kayaknya gede banget. Tapi rasanya lebih dari sekadar ikan biasa. Aku gak ngerti kenapa, tapi ada sesuatu yang aneh.”
Paman Gibran tersenyum kecil, tatapannya menerawang. “Danau Seruni memang menyimpan banyak misteri. Sudah sejak dulu orang-orang di desa ini percaya kalau ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar ikan di dalamnya. Tapi gak semua orang berani mencari tahu lebih jauh.”
Aku penasaran. “Sesuatu yang lebih besar gimana maksudnya? Apa ada cerita lama di desa ini tentang danau itu?”
Paman Gibran menarik napas panjang sebelum menjawab. “Dulu, waktu Paman masih kecil, ada satu cerita yang sering diceritakan orang-orang tua di sini. Katanya, di dasar Danau Seruni ada sebuah peti harta karun yang ditinggalkan oleh seorang nelayan tua. Nelayan itu dulunya tinggal di sini, tapi dia pergi berlayar dan tak pernah kembali. Ada yang bilang, dia berusaha menyembunyikan sesuatu di dasar danau. Sesuatu yang berharga. Tapi gak ada yang pernah bisa membuktikannya.”
Aku menatap Paman Gibran dengan mata berbinar. “Jadi, Paman pikir itu bukan cuma legenda?”
Paman Gibran mengangguk pelan. “Bisa jadi. Beberapa orang desa pernah mencoba menyelam ke dasar danau untuk mencari peti itu, tapi kebanyakan dari mereka kembali dengan tangan kosong. Dan ada juga yang bilang kalau mereka melihat bayangan besar di dalam air, seperti sesuatu yang menjaga peti itu.”
Aku mulai merasa bulu kudukku meremang. Bayangan besar di dalam danau? Apa mungkin tarikan kuat di pancinganku tadi bukan ikan biasa, melainkan sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang menjaga harta itu?
“Apa Paman pernah mencoba mencarinya?” tanyaku, mencoba menahan rasa penasaranku yang semakin menggebu.
Paman Gibran tertawa kecil, tapi ada sorot misterius di matanya. “Dulu, Paman pernah mencoba, tapi gak berhasil. Danau itu terlalu dalam, dan arus di bawahnya sangat kuat. Tapi Paman selalu merasa ada sesuatu di sana. Sesuatu yang gak bisa dijelaskan dengan mudah.”
Aku terdiam sejenak, membayangkan apa yang bisa berada di dasar danau itu. Sebuah peti harta karun? Sesuatu yang menjaga peti itu? Ini mulai terdengar seperti cerita fantasi, tapi di sisi lain, segala hal yang terjadi tadi siang membuat semuanya terasa nyata.
“Aku mau coba lagi besok, Paman,” kataku tiba-tiba, memecah keheningan.
Paman Gibran menatapku dengan serius. “Kamu yakin? Mancing di Danau Seruni memang menyenangkan, tapi kalau kamu mau mencari yang lebih dari itu, kamu harus siap dengan segala kemungkinan. Ini bukan sekadar tentang menangkap ikan besar.”
Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diriku. “Aku yakin, Paman. Aku gak tahu kenapa, tapi ada sesuatu di danau itu yang kayaknya menarik aku untuk kembali.”
Paman Gibran tersenyum kecil, seolah mengerti apa yang aku rasakan. “Baiklah, kita lihat besok. Tapi ingat, kamu harus tetap waspada. Danau itu memang indah, tapi juga bisa berbahaya.”
Malam itu, aku tidur dengan pikiran yang masih melayang-layang antara rasa penasaran dan sedikit rasa takut. Apakah benar ada harta karun di dasar danau? Atau semua ini cuma cerita yang dibesar-besarkan? Bagaimanapun, aku sudah bertekad untuk kembali ke danau esok hari, dan mencoba mencari jawabannya.
Keesokan paginya, aku terbangun dengan semangat baru. Matahari belum sepenuhnya terbit, tapi Paman Gibran sudah bersiap dengan perlengkapan mancingnya. Setelah sarapan cepat, kami berjalan lagi menuju danau. Kali ini, suasananya terasa lebih tenang. Kabut tipis menyelimuti permukaan air, memberi kesan misterius yang semakin membuatku penasaran.
Begitu sampai di tepi danau, kami langsung naik ke perahu yang kemarin. Tapi kali ini, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Mungkin karena semalam aku mendengar cerita tentang harta karun dan bayangan besar di dalam danau, atau mungkin karena ada firasat aneh yang menyelimutiku.
“Kamu masih mau mancing atau mau cari yang lebih dalam, Revan?” tanya Paman Gibran sambil menatapku.
Aku menatap danau yang tenang itu, kemudian mengambil napas dalam-dalam. “Kita cari lebih dalam, Paman.”
Paman Gibran tersenyum tipis, seolah sudah menebak jawabanku sejak awal. Kami mulai mendayung menuju titik yang lebih dalam di danau, tempat di mana airnya tampak lebih gelap dan dalam. Aku menggenggam erat pancinganku, kali ini bukan hanya untuk menangkap ikan, tapi untuk mencari tahu apa yang sebenarnya tersembunyi di bawah sana.
Saat aku melempar umpan ke air, perasaan aneh kembali datang. Tarikan pertama yang aku rasakan kemarin masih membekas di pikiranku. Dan sekarang, aku merasa seperti sedang menunggu sesuatu yang lebih besar lagi.
Angin sepoi-sepoi mulai bertiup, dan perahu kami sedikit bergoyang di atas air yang tenang. Aku menunggu dalam diam, tapi mataku terus memperhatikan permukaan air yang semakin terasa misterius.
Tiba-tiba, tali pancingku bergerak. Perlahan tapi pasti, ada sesuatu yang menarik umpanku. Aku menahan napas, bersiap untuk menariknya. Tapi kali ini, tarikan itu berbeda—lebih lambat, tapi jauh lebih berat.
“Paman! Aku dapat sesuatu!” seruku, mencoba tetap tenang meskipun jantungku berdegup kencang.
Paman Gibran segera menghampiriku. “Tenang, Revan. Tarik perlahan, jangan terburu-buru.”
Aku mengikuti instruksinya, menarik pancingku perlahan. Tapi semakin aku menarik, semakin berat rasanya, seolah-olah aku sedang menarik sesuatu yang sangat besar dari kedalaman danau.
Dan kemudian, sesuatu muncul di permukaan air. Sesuatu yang membuat jantungku berhenti sesaat.
Bayangan di Kedalaman
Aku menahan napas saat sesuatu muncul di permukaan air. Awalnya, yang terlihat hanya bayangan gelap besar di bawah air yang perlahan-lahan mendekat. Tali pancingku terasa semakin berat, seolah-olah ada sesuatu yang menahan di bawah sana. Perahu kami mulai bergoyang sedikit lebih kuat.
“Tenang, Revan,” kata Paman Gibran pelan, matanya tajam memperhatikan permukaan danau. “Tarik perlahan, jangan sampai lepas.”
Aku mengikuti instruksi Paman. Tangan dan lenganku mulai bergetar karena beban yang ditarik semakin besar. Dalam hati, aku bertanya-tanya apa sebenarnya yang kutangkap ini. Ikan sebesar apa yang bisa memberikan perlawanan sekuat ini?
Namun, semakin aku menarik, semakin jelas sosok yang muncul. Bayangan hitam itu bergerak, membelah air. Lalu, seketika aku terdiam. Itu bukan ikan.
“Apa… itu?” aku bertanya dengan suara serak.
Di depanku, sebuah benda besar mulai terlihat jelas. Sebuah peti kayu tua, dihiasi oleh alga dan kotoran yang menempel selama bertahun-tahun, muncul dari kedalaman danau. Benda itu tertarik oleh pancinganku, terjebak dalam tali yang mengikat salah satu sudutnya.
“Peti?” Paman Gibran bergumam pelan, kaget tak kalah denganku. “Ini… ini gila.”
Aku tidak percaya apa yang kulihat. Sebuah peti kayu, kemungkinan besar sudah terkubur selama bertahun-tahun, kini berada tepat di depan mataku, terangkat dari dasar Danau Seruni. Peti itu tampak sangat tua, dengan ukiran yang nyaris tak terbaca, dan ada rantai besi yang masih membelitnya. Itu pasti peti yang diceritakan oleh Paman tadi malam, harta karun yang dikatakan nelayan tua menyembunyikannya.
“Ini yang Paman ceritakan semalam? Peti harta karun itu?” tanyaku dengan napas tercekat.
Paman Gibran terdiam sejenak, matanya masih terfokus pada peti yang setengah terendam air. “Aku gak pernah benar-benar yakin kalau cerita itu nyata, tapi… sepertinya kita baru saja menemukan sesuatu yang jauh lebih besar dari dugaan kita.”
Kami mencoba mengangkat peti itu ke perahu, tapi ukurannya terlalu besar dan berat. Paman Gibran melepaskan kail dari tali pancing dan menyiapkan jangkar untuk menahan perahu agar tidak hanyut. Sementara itu, aku terus memandangi peti yang terombang-ambing di permukaan air. Ada sesuatu yang terasa tidak beres—seolah-olah peti itu tidak hanya sekadar benda mati, tapi menyimpan rahasia gelap yang belum terungkap.
“Apa yang akan kita lakukan dengan peti ini, Paman?” tanyaku, mencoba mengendalikan rasa penasaran yang membuncah.
“Kita harus membawanya ke tepi danau. Mungkin kita bisa minta bantuan orang desa untuk mengangkatnya keluar dari air,” jawab Paman Gibran, meskipun sorot matanya tampak sedikit khawatir. “Tapi yang jelas, ini bukan sesuatu yang bisa kita biarkan di sini.”
Kami berdua mulai mendayung kembali ke tepi danau dengan peti kayu tua yang terus terseret di belakang perahu. Perjalanan terasa jauh lebih lama kali ini, mungkin karena ketegangan yang semakin meningkat di udara. Aku tidak bisa berhenti memikirkan apa yang mungkin ada di dalam peti itu. Harta karun? Atau sesuatu yang lebih dari sekadar emas dan permata?
Sesampainya di tepi, kami menarik peti itu dengan susah payah ke daratan. Beberapa orang desa yang kebetulan lewat melihat apa yang kami temukan, dan dalam waktu singkat, kerumunan kecil berkumpul di sekitar kami. Wajah-wajah penasaran menatap peti kayu itu, sementara bisik-bisik mulai terdengar di antara mereka.
“Apa ini benar harta karun nelayan tua itu?” salah satu dari mereka bertanya dengan penuh rasa ingin tahu.
“Aku gak tahu,” jawab Paman Gibran sambil menggelengkan kepala. “Tapi ini jelas bukan ikan.”
Aku duduk di samping peti, mencoba mengatur napas. Jantungku masih berdetak kencang, penuh adrenalin dan rasa penasaran yang tak tertahankan. Aku menatap peti itu dengan saksama, memperhatikan detail-detail ukirannya. Di sudut peti, ada simbol yang aneh—sebuah lingkaran dengan garis-garis melingkar di dalamnya, seperti pola yang belum pernah kulihat sebelumnya.
“Revan, kamu baik-baik aja?” tanya Paman Gibran sambil menepuk bahuku.
Aku mengangguk pelan. “Iya, cuma… aku penasaran banget sama isinya.”
Paman Gibran tertawa kecil, meski sorot matanya masih serius. “Kita semua penasaran. Tapi jangan terburu-buru. Peti ini sudah ada di sana selama bertahun-tahun. Kita harus hati-hati.”
Orang-orang desa mulai membicarakan rencana untuk membuka peti itu. Beberapa di antara mereka membawa alat seperti linggis dan palu untuk mencoba memecahkan rantai yang melilitnya. Tapi Paman Gibran terlihat ragu. Dia berdiri dengan tangan disilangkan, menatap peti itu seolah-olah sedang mempertimbangkan sesuatu.
“Paman, kita bakal buka peti ini, kan?” tanyaku.
Paman Gibran menoleh ke arahku, matanya penuh dengan kebimbangan. “Paman gak tahu, Revan. Ada sesuatu yang aneh tentang peti ini. Rasanya… ada hal-hal yang lebih baik dibiarkan tersembunyi.”
Aku terdiam, mencoba mencerna perkataan Paman Gibran. Sejak awal, aku merasa ada sesuatu yang berbeda tentang danau ini, tentang ikan besar yang lepas kemarin, dan sekarang tentang peti tua ini. Seolah-olah semua itu adalah bagian dari teka-teki besar yang belum bisa aku pahami.
Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh dari arah peti. Orang-orang yang tadi mencoba membuka rantai itu mundur beberapa langkah, wajah mereka pucat. Rantai besi yang melilit peti mulai bergetar dan berderak, seperti ada sesuatu di dalam yang berusaha keluar.
“Paman, apa yang terjadi?!” seruku, panik.
Paman Gibran segera berdiri di depanku, melindungiku dari peti yang mulai bergetar semakin keras. “Paman gak tahu, Revan. Tapi ini… ini gak normal.”
Dalam sekejap, rantai besi itu pecah dengan suara keras, terlepas dari peti. Semua orang terdiam, suasana mencekam. Peti itu masih bergetar pelan, seolah-olah sesuatu di dalamnya sedang bangun dari tidur panjangnya.
“Kita gak boleh buka peti ini,” kata Paman Gibran dengan nada tegas, tapi terlambat. Rasa penasaran di antara orang-orang desa sudah terlalu besar.
Salah satu dari mereka melangkah maju, bertekad untuk membuka tutup peti. Dengan tangan gemetar, dia menyelipkan linggis ke celah tutupnya, lalu dengan sekali tarikan, tutup peti itu terbuka perlahan.
Dan saat tutupnya terbuka, angin dingin yang tidak berasal dari mana pun menyapu sekeliling kami. Suasana berubah drastis, seperti ada sesuatu yang gelap dan tidak wajar keluar dari dalam peti. Kami semua terdiam, tak tahu apa yang harus dilakukan.
Tapi kemudian, dari dalam peti itu, muncul bayangan gelap—sesuatu yang tampak seperti kabut hitam, berputar-putar di udara, dan semakin membesar.
Aku merasa seolah-olah dunia di sekitarku berubah. Apa yang kami temukan di dalam peti ini bukanlah harta karun. Ini… sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Cahaya di Ujung Kegelapan
Kebisingan semakin menambah ketegangan di antara kami. Bayangan gelap dari dalam peti semakin membesar, melingkari kami seperti hembusan angin dingin yang menusuk tulang. Suara gemuruh bergema di sekeliling danau, seakan alam pun merasakan kehadiran sesuatu yang tak biasa.
“Apa ini, Paman?” aku berbisik, suaraku tercekat dalam tenggorokan. “Apa yang kita hadapi?”
Paman Gibran menatap bayangan itu dengan mata lebar. “Aku tidak tahu, Revan, tapi kita harus pergi dari sini. Ini bukan sesuatu yang bisa kita hadapi.”
Sementara itu, orang-orang desa mulai mundur perlahan, wajah mereka dipenuhi dengan ketakutan. Beberapa dari mereka mencoba berlari menjauh, tapi ada yang terjebak dalam pesona bayangan itu, seolah-olah terhipnotis oleh kekuatan yang tak terlihat.
Aku merasa ketakutan merayapi seluruh tubuhku, namun ada rasa ingin tahuku yang lebih kuat. “Tapi kita harus melakukan sesuatu! Mungkin kita bisa menghentikannya!”
Paman Gibran memandangku, ekspresi campur aduk antara khawatir dan prihatin. “Kadang, ada hal-hal yang lebih baik dibiarkan. Kita tidak tahu apa yang ada di dalam kegelapan ini.”
Namun, saat bayangan itu semakin dekat, aku bisa melihat bentuknya dengan lebih jelas. Itu bukan sekadar kabut, tetapi lebih mirip sosok-sosok yang seakan terperangkap di dalam kegelapan. Mereka tampak seperti bayangan manusia, dengan ekspresi wajah yang penuh penderitaan, seakan memohon untuk dibebaskan.
Tanpa berpikir panjang, aku melangkah maju, didorong oleh rasa ingin tahu dan keberanian yang tiba-tiba muncul. “Jika kita tidak mencoba, kita tidak akan pernah tahu. Mungkin kita bisa membantu mereka!”
Dengan hati-hati, aku mulai mendekati peti yang masih terbuka lebar. Bayangan itu berusaha meraihku, dan aku bisa merasakan angin dingin yang dihasilkannya. Paman Gibran berusaha menarikku kembali, tapi aku sudah terlanjur terpesona oleh misteri di hadapanku.
“Revan, kembali!” teriaknya, tapi suaranya sudah jauh di belakangku.
“Tenang! Aku akan melakukan ini,” seruku, berusaha meyakinkan diriku sendiri. Aku berani melawan kegelapan ini, meskipun aku tidak tahu apa yang akan kutemui di dalamnya.
Saat aku semakin dekat, bayangan itu mulai bergetar, dan sosok-sosok di dalamnya seolah mulai berbicara, meski suara mereka hanyalah bisikan samar yang tak dapat kutangkap. Aku mengulurkan tanganku, berusaha menyentuh bayangan itu, berharap bisa menghubungi mereka. “Apa yang kalian butuhkan? Apa yang terjadi?”
Kemudian, tiba-tiba, cahaya terang muncul dari dalam peti, memancarkan kehangatan yang kontras dengan dinginnya bayangan. Semua orang yang awalnya ketakutan kini terpaku menatap ke arahku. Bayangan yang semula menakutkan itu mulai surut, tergantikan oleh cahaya yang semakin menyilaukan.
“Aku melihat mereka,” kataku, berusaha menjelaskan kepada Paman dan orang-orang di sekitarku. “Mereka terjebak. Kita harus membantu mereka!”
Dengan bantuan cahaya yang semakin kuat, aku bisa melihat lebih jelas sosok-sosok itu. Mereka adalah orang-orang yang tampaknya sudah lama hilang, terperangkap dalam kegelapan. Mereka mengulurkan tangan, mencoba menjangkau cahaya itu, wajah mereka penuh harapan dan kerinduan.
Paman Gibran akhirnya melangkah ke sampingku, menaruh tangannya di pundakku. “Jika ini benar, kita harus membantu mereka keluar dari sini.”
Kami semua berusaha memusatkan pikiran pada cahaya yang bersinar. Kami menyanyikan lagu-lagu sederhana, lagu-lagu penuh harapan yang kami ingat. Dan seiring melodi mengalun, cahaya itu semakin terang, dan sosok-sosok dalam kegelapan mulai bergerak ke arah kami.
Lalu, seketika, cahaya itu menyebar ke seluruh danau, membanjiri area sekitar kami. Bayangan gelap perlahan-lahan menghilang, digantikan oleh cahaya keemasan yang hangat. Sosok-sosok itu mulai terlihat jelas, mengucapkan terima kasih dengan senyuman dan tatapan lembut.
Mereka berbaur dengan cahaya, dan dalam sekejap, sosok-sosok itu menghilang ke dalam sinar yang menakjubkan, meninggalkan kami dalam keheningan yang damai. Danau yang tadinya kelam kini bersinar, memantulkan warna-warna cerah yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Ketika semuanya berakhir, kami berdiri di sana, bingung sekaligus tertegun. Paman Gibran menepuk bahuku dan tersenyum. “Kamu telah melakukan sesuatu yang luar biasa, Revan. Kita tidak hanya menemukan peti ini, tapi juga membebaskan jiwa-jiwa yang terjebak.”
Aku hanya bisa tersenyum kembali, merasa hangat di dalam dada. Meski kami tidak menemukan harta benda, kami menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga—pengalaman, keberanian, dan saling percaya. Dan yang terpenting, aku menyadari bahwa liburan ke rumah Paman Gibran ini lebih dari sekadar memancing. Ini adalah perjalanan menemukan diri sendiri, menjelajahi sisi gelap, dan akhirnya, melihat cahaya di ujung kegelapan.
Kami kembali ke rumah Paman dengan hati penuh rasa syukur, membawa cerita luar biasa yang akan dikenang seumur hidup. Dan ketika kami duduk di teras sambil menikmati senja, aku tahu bahwa momen ini akan menjadi kenangan terindah, petualangan tak terlupakan yang mengubah cara pandangku tentang kehidupan.
Dan begitulah, liburan di rumah Paman Gibran yang awalnya terlihat biasa-biasa saja ternyata jadi perjalanan yang mengubah cara pandang Revan tentang kegelapan dan cahaya. Dari hanya sekadar mancing, Revan menemukan petualangan luar biasa yang penuh misteri dan keajaiban.
Jadi, siapa bilang liburan itu cuma soal bersantai? Kadang, petualangan yang paling tak terduga justru datang dari tempat yang kita anggap paling aman. Ingat, setiap tempat punya ceritanya sendiri. Sampai jumpa di petualangan berikutnya!


