Daftar Isi
Pernah nggak sih, kamu ngerasa liburan itu harusnya menyenankan, tapi malah jadi seram banget? Nah, ini dia cerita tentang liburan yang nggak biasa, yang bawa kita ke Lawang Sewu—gedung tua yang penuh sejarah dan misteri. Jadi, siap-siap, deh, ikutan seru-seruan bareng teman-teman, tapi jangan bilang kalau aku nggak kasih spoiler: ada hal-hal yang nggak pernah kita bayangkan bakal terjadi di sana!
Misteri Lawang Sewu
Langkah Pertama ke Lawang Sewu
Pagi itu, matahari memanjat perlahan dari balik bukit, menyapa Semarang dengan hangat. Meskipun udara terasa segar, aku bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda di antara kami—rasa penasaran yang tak biasa. Kami semua, berempat, sudah lama menunggu kesempatan seperti ini: liburan yang tidak terikat oleh pekerjaan atau ujian, hanya untuk bersenang-senang dan mengeksplorasi tempat-tempat baru. Dan hari itu, tujuan kami adalah Lawang Sewu.
“Lega banget akhirnya kita bisa pergi bareng-bareng, ya,” kata Lukas, sambil menyunggingkan senyum lebar. Dia selalu begitu, penuh semangat dan selalu punya cara untuk mendorong kami keluar dari zona nyaman.
Indra mengangguk, meskipun ekspresinya terlihat agak lebih serius. “Aku sih cuma berharap nggak ada hal aneh-aneh di sana. Lawang Sewu itu kan terkenal dengan cerita-cerita mistisnya.”
“Jangan bawa-bawa cerita horor, Indra,” balas Lukas sambil tertawa, tetapi ada sedikit ketegangan di suaranya. Mungkin dia juga merasa sedikit was-was.
Aku hanya diam, memikirkan apa yang dikatakan Indra. Lawang Sewu memang terkenal, bukan hanya karena arsitekturnya yang megah, tetapi juga karena cerita-cerita tentang arwah-arwah yang konon menghantui gedung tua itu. Tapi, aku berusaha menepis rasa takut itu. Kami datang untuk bersenang-senang, bukan untuk takut-takutan.
“Udah lah, ayo kita nikmati aja,” kata Danika, sambil membuka jendela mobil dan membiarkan angin masuk. “Serius deh, aku udah lama banget pengen ke sini.”
Senyum Danika yang lebar itu membuat suasana jadi lebih ringan. Kami sudah hampir sampai, dan aku bisa melihat gedung megah itu mulai tampak di kejauhan. Lawang Sewu, dengan arsitektur kolonialnya yang megah, berdiri kokoh di antara pepohonan besar, hampir seperti menunggu kedatangan kami.
Ketika mobil kami berhenti di depan gerbang besar, aku bisa merasakan getaran yang berbeda. Seperti ada semacam tarikan magnet yang menarik kami lebih dekat ke dalam. Namun, tak seorang pun mengucapkan apa-apa. Kami hanya menatap gerbang besar yang terbuka perlahan, menunggu untuk memasuki ruang penuh sejarah dan misteri.
Kami melangkah keluar dari mobil, diiringi suara gesekan sepatu di atas jalan beraspal yang sudah mulai pecah di beberapa bagian. Lawang Sewu tampak jauh lebih besar dari yang kubayangkan. Dengan banyaknya pintu dan jendela yang tersebar di sekelilingnya, bangunan itu seperti sebuah labirin yang siap menelan kami.
“Udah siap?” tanya Danika, memandang kami satu per satu. Aku mengangguk, meskipun hati terasa sedikit lebih cemas. Sesuatu di dalam diriku berbisik, seolah tempat ini menyimpan banyak rahasia. Tapi aku mencoba menepisnya.
Kami mulai masuk, melewati pintu besar yang terkunci otomatis. Begitu masuk ke dalam, hawa dingin langsung menyambut kami. Tidak ada suara lain kecuali langkah kaki kami yang bergema di dalam lorong panjang itu. Dinding-dindingnya berwarna cokelat pudar, menunjukkan bekas luka waktu yang menggariskan perjalanan panjang bangunan ini. Lampu-lampu kuno yang digantung di langit-langit memberikan cahaya redup, menciptakan bayangan panjang di lantai.
“Wow, tempat ini… besar banget,” kata Lukas, matanya melotot saat melihat arsitektur yang megah di sekeliling kami. Dia mengeluarkan kamera dari tas, siap untuk mengabadikan setiap momen.
Aku hanya bisa mengangguk pelan, merasakan suasana yang agak mencekam. Ada sesuatu yang terasa tidak biasa di udara, seperti ada sesuatu yang diam-diam mengamati kami. Tidak ada suara selain desahan napas kami. Hanya sesekali terdengar suara langkah kaki lain dari pengunjung lain yang tampaknya sedang berkeliling.
“Ini tempatnya sih, cocok banget buat foto,” kata Lukas, berusaha mengalihkan perhatian. Tapi matanya tampak gelisah, seperti ada sesuatu yang mengganggu.
Kami terus melangkah lebih dalam ke gedung, melewati lorong yang semakin sempit. Suara langkah kaki kami bergema keras, hampir menutupi suara-suara lain yang datang entah dari mana. Danika berjalan paling depan, diikuti Lukas yang sibuk dengan kameranya, sementara aku dan Indra mengikuti di belakang. Suasana semakin terasa sunyi.
“Eh, ada suara!” kata Indra tiba-tiba, menghentikan langkahnya. Wajahnya memucat sedikit, dan aku bisa merasakan ketegangan di antara kami.
Aku menatapnya, mencoba mencari sumber suara yang dimaksud. Tapi tidak ada apa-apa selain udara yang sedikit berputar. “Kamu cuma denger angin, kok. Nggak ada apa-apa,” jawabku, meski jantungku mulai berdetak lebih kencang.
“Serius, deh, aku denger jelas,” kata Indra, suaranya sedikit gemetar. “Kayak ada yang jalan di belakang kita.”
Aku mengernyit, mencoba mencerna apa yang dikatakan Indra. Sebuah rasa takut mulai merayap, namun aku menepisnya. “C’mon, Indra. Kita kan cuma berempat di sini. Nggak ada siapa-siapa,” balasku, berusaha memberi kenyamanan.
Namun, meskipun kata-kata itu keluar dari mulutku, aku sendiri mulai merasakan ada yang aneh. Langkah kaki kami seolah lebih berat dari sebelumnya. Setiap kali kami melangkah, seakan ada suara lain yang mengikuti. Entah itu suara kami sendiri yang bergema, atau… sesuatu yang lebih dari itu.
Lukas berhenti di depan sebuah pintu besar yang tertutup rapat. “Tunggu, ada sesuatu yang aneh di sini,” katanya, sambil menyentuh gagang pintu dengan ragu. Tiba-tiba pintu itu terbuka dengan sendirinya, tanpa ada yang menyentuhnya.
Kami semua terdiam sejenak, saling bertukar pandang. Suasana yang tadinya penuh semangat kini berubah menjadi mencekam. Ada sesuatu yang menarik kami ke dalam ruangan itu, meskipun kami semua merasa ragu.
“Kita masuk aja, ya?” tanya Danika, suaranya bergetar meski berusaha terdengar tenang.
Aku hanya mengangguk pelan. Apa yang akan kami temui di dalam sana? Bayangan aneh dari jendela yang bergerak, suara langkah yang tak jelas, dan pintu yang terbuka tanpa sebab, semuanya mulai membuatku merasa bahwa kami tak sendirian di dalam Lawang Sewu.
Jejak Waktu dan Suara yang Hilang
Ruangan di balik pintu itu lebih gelap dari yang kami bayangkan. Ada sedikit cahaya yang menembus lewat celah-celah dinding, namun itu pun terasa redup dan jauh dari cukup untuk menerangi seluruh ruang. Aku bisa merasakan udara di dalamnya terasa lebih berat, seperti ada sesuatu yang menahan kami untuk masuk lebih dalam. Lukas sudah mengangkat kameranya, berusaha mengabadikan setiap inci tempat itu, meskipun dia tampak semakin gelisah.
“Ada apa, Lukas?” tanya Danika, suaranya berbisik, namun tetap terdengar jelas di ruang sunyi itu. “Kenapa berhenti?”
Lukas mengerutkan kening, memandang sekeliling dengan cermat. “Aku merasa… kayak ada yang ngintip dari balik bayangan,” jawabnya pelan. Dia memfokuskan lensa kameranya pada sudut ruangan yang paling gelap. Semua mata kami mengikuti gerakannya.
Indra tampak semakin gelisah, tangannya terlipat di dada. “Jangan ngomong aneh-aneh, Lukas. Udah banyak cerita seram tentang tempat ini. Jangan malah nambahin suasana.”
Aku mengangguk, tapi rasa cemas mulai merayap. Kami semua tahu tentang reputasi Lawang Sewu yang menyeramkan, tapi tidak ada yang benar-benar bisa mengonfirmasi apa yang terjadi di dalamnya. Tiba-tiba aku merasa seolah ruangan ini memiliki kehidupannya sendiri, yang entah terhubung dengan masa lalu atau sesuatu yang lebih gelap.
Danika, yang biasanya selalu ceria dan penuh semangat, kini tampak lebih serius. “Ayo, kita lanjut aja. Tempat ini… agak bikin merinding.”
Kami mulai melangkah perlahan lebih jauh, menyusuri lorong yang semakin sempit. Suasana menjadi semakin sepi. Tidak ada suara lain selain langkah kaki kami yang bergema keras di lantai kayu tua. Sesekali, suara gemericik air dari saluran pembuangan terdengar jauh di bawah kami. Tapi selain itu, hanya ada keheningan yang mencekam.
Ketika kami sampai di ujung lorong, ada sebuah pintu besar yang tampaknya sudah lama tidak dibuka. Pintu itu tampak sangat tua, dengan engsel yang berkarat dan kaca-kaca yang pecah di bagian bawahnya. Lukas mengangguk, menandakan bahwa ia tertarik untuk membuka pintu tersebut.
“Ini harus jadi foto terbaik,” katanya, meskipun aku bisa melihat ada sedikit kekhawatiran di matanya.
“Jangan terlalu bersemangat, Lukas,” sergah Indra, tampak tidak nyaman. “Aku merasa kita udah cukup jauh di sini.”
Namun, Lukas sudah terlanjur membuka pintu itu dengan sedikit dorongan. Pintu itu berbunyi keras saat terbuka, seolah merintih. Di baliknya, kami disambut oleh sebuah ruangan besar yang tampaknya dulunya adalah sebuah aula. Dindingnya dipenuhi dengan lukisan-lukisan pudar yang menggambarkan pemandangan masa lalu, dan langit-langitnya dipenuhi dengan struktur kayu yang hampir lapuk. Tetapi ada satu hal yang menarik perhatian kami: di tengah aula, ada sebuah meja besar yang tertutup debu tebal, dengan beberapa kursi terbalik di sekitarnya.
“Ada apa di sini?” Danika bertanya, suaranya lebih rendah dari biasanya. “Kenapa meja ini masih ada di sini? Ini kan tempat umum, harusnya nggak ada barang-barang pribadi.”
Lukas mengarahkan kameranya ke meja itu, mencoba menangkap setiap detail. “Aku cuma pengen tahu kenapa tempat ini bisa terlupakan begitu saja,” jawabnya.
Ketika aku melangkah lebih dekat ke meja, aku melihat sesuatu yang agak aneh. Ada kertas-kertas tua yang tersebar di atasnya, seolah-olah seseorang meninggalkannya dengan terburu-buru. Aku mendekat dan meraba kertas itu dengan hati-hati, tetapi tidak ada tulisan yang jelas terlihat. Semuanya sudah pudar, hanya ada beberapa garis yang tampak seperti simbol-simbol aneh.
Tiba-tiba, sebuah suara yang sangat lemah terdengar, seolah datang dari dalam tembok. Suara itu seperti sebuah bisikan yang sangat pelan, yang membuat bulu kudukku berdiri. Aku menoleh ke teman-temanku, dan mereka semua tampak terdiam, merasakan apa yang aku rasakan.
“Ada apa?” tanya Danika, matanya sedikit melebar. “Kamu denger itu?”
Aku hanya mengangguk. “Kita nggak sendirian di sini.”
Ketika kami mulai bergerak menjauh dari meja itu, tiba-tiba lantai kayu di bawah kaki kami berderak keras. Indra melompat mundur, dan Lukas hampir menjatuhkan kameranya.
“Ada apa tuh?” tanya Lukas, suara sedikit panik.
Suasana semakin mencekam. Suara itu, seolah berasal dari bawah kami, terdengar semakin keras. Tiba-tiba, lampu yang tergantung di langit-langit bergoyang pelan, seolah dipengaruhi oleh angin yang tak terlihat. Tidak ada jendela yang terbuka. Tidak ada sumber angin yang bisa menjelaskan fenomena itu.
“Apa yang terjadi?” suara Indra terdengar parau, seolah berusaha menenangkan dirinya sendiri.
“Udah cukup, ayo kita keluar,” kata Danika, hampir berbisik. “Ini tempat… bukan cuma soal sejarah, ya. Ada yang aneh.”
Kami semua setuju tanpa banyak bicara. Namun, saat kami berbalik untuk meninggalkan aula, pintu yang baru saja kami buka tiba-tiba tertutup dengan keras. Suara dentuman itu bergema di seluruh ruangan. Kami terdiam, saling pandang.
“Lari!” teriak Danika, dan dalam sekejap, kami semua berlari menuju pintu keluar yang lain, berharap bisa segera meninggalkan ruangan itu. Namun, saat kami berlari menuju pintu utama, tiba-tiba pintu besar itu tidak bisa dibuka. Seolah ada sesuatu yang menghalangi.
“Kenapa pintunya nggak bisa dibuka?!” teriak Lukas, berusaha menarik gagang pintu dengan segala kekuatan.
Aku mencoba menenangkan diri, meskipun hatiku berdetak kencang. “Kita harus cari jalan lain,” kataku, sambil menarik teman-temanku menjauh dari pintu yang terkunci.
Di balik kami, terdengar langkah kaki yang berat. Langkah yang bukan milik kami. Langkah yang seolah mengikuti jejak kami, menghampiri kami dari belakang.
Kami berlari semakin cepat, merasa ada sesuatu yang mengintai kami dari dalam kegelapan gedung itu. Rasanya seperti waktu berhenti, dan kami hanyalah bagian dari cerita lama yang tak akan pernah berakhir.
Aku menatap pintu-pintu yang ada di sekitar kami, mencari jalan keluar. Tapi di dalam Lawang Sewu, sepertinya, tidak ada jalan keluar yang mudah.
Bayangan di Cermin Tua
Keringat dingin mengalir di punggungku saat kami berlarian tanpa tujuan yang jelas di dalam gedung tua itu. Setiap lorong yang kami masuki tampak semakin panjang, dan setiap pintu yang kami coba buka seolah menertawakan usaha kami. Ruangan demi ruangan terasa seperti jebakan yang semakin dalam, menyembunyikan lebih banyak rahasia daripada yang kami bayangkan. Langkah kaki yang aneh di belakang kami semakin jelas terdengar, semakin dekat, semakin berat.
“Kenapa nggak bisa keluar?” kata Lukas, suara suaranya hampir seperti terdengar putus asa. “Kita harusnya sudah keluar dari sini!”
“Tenang, kita cari jalan keluar lain,” jawab Danika, meski suaranya terdengar gemetar. “Gini terus nggak bakal selesai.”
Kami berhenti di sebuah ruang sempit yang tampaknya dulunya adalah kantor atau ruang kerja. Di dalamnya terdapat meja-meja kayu besar yang sudah usang, dengan beberapa kursi yang terbalik. Lantai kayunya penuh dengan serpihan debu, dan dinding-dindingnya dipenuhi dengan cermin tua yang kusam. Meskipun cermin-cermin itu tampak biasa, ada sesuatu yang aneh tentang mereka. Seperti ada bayangan yang bergerak lebih cepat dari pantulan kami.
“Lihat itu!” Danika menunjuk ke arah salah satu cermin besar yang tergantung di dinding sebelah kiri. Mataku mengikuti arah tunjukannya, dan aku melihat bayangan kami semua, tetapi ada yang aneh. Di balik bayangan kami, terlihat sosok lain yang berdiri tegak, memandang kami dari dalam cermin.
Aku terkejut, melangkah mundur, namun bayangan itu tetap ada. Sosok itu, meskipun tidak tampak jelas, seperti berbalik dan menghilang ke sisi lain. “Tadi… kamu lihat itu?” tanyaku, suaraku hampir serak.
Danika dan Lukas mengangguk, wajah mereka pucat pasi. “Itu nggak mungkin, kan? Kita nggak ada yang berdiri di situ.”
Indra yang biasanya lebih rasional tampak bingung. “Cermin… bisa aja ada efek pantulan yang salah. Jangan terlalu dibawa perasaan.”
“Tapi itu nggak cuma efek pantulan,” jawab Lukas, suaranya lebih tegas. “Aku juga lihat itu. Ada yang bergerak di belakang kita.”
Kami semua terdiam. Bayangan itu bukan sekadar refleksi, dan entah bagaimana kami tahu, ada sesuatu yang lebih gelap yang sedang mengintai kami dari balik cermin-cermin itu.
Tiba-tiba, salah satu cermin yang lebih besar dari yang lainnya, yang ada di ujung ruangan, bergetar. Perlahan, cermin itu retak, dan pecahannya jatuh satu per satu ke lantai dengan suara yang sangat keras. Kami semua mundur seketika, takut ada sesuatu yang keluar dari pecahan-pecahan itu.
“Ini udah nggak bener,” bisik Danika. “Gimana kalau kita benar-benar nggak bisa keluar?”
Namun, sebelum aku bisa menjawab, tiba-tiba aku merasa seolah ada sebuah suara yang memanggil dari dalam cermin itu. Suara yang lembut, hampir tak terdengar, namun jelas menggetarkan hatiku. Suara itu terasa familiar, meski aku tidak tahu siapa yang mengatakannya.
“Sudah waktunya…” Suara itu terdengar pelan, semakin jelas. Seperti bisikan yang datang dari kedalaman.
Aku menoleh ke Indra dan Lukas, yang tampaknya mendengar hal yang sama. Wajah mereka tertegun, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.
“Suara siapa itu?” tanya Lukas, pandangannya terpaku pada cermin yang kini retak parah. “Ini gak lucu, kita harus keluar sekarang.”
Aku berusaha mengalihkan pandanganku dari cermin itu, mencoba mencari jalan keluar. “Ayo, kita lanjut. Kita nggak punya banyak waktu.”
Kami melangkah mundur perlahan, tetap waspada terhadap segala hal yang bisa terjadi. Namun, saat kami berbalik untuk menuju pintu keluar, tiba-tiba ruangan itu berubah. Lampu yang semula redup, kini berkedip dengan cepat, seolah-olah listriknya hampir habis. Suasana berubah semakin berat, seperti ada sebuah beban yang menggantung di udara.
Kemudian, tanpa diduga, salah satu pintu yang tertutup rapat tiba-tiba terbuka sendiri. Suara berderak keras mengiris keheningan, membuat kami semua terlonjak kaget. Pintu itu terbuka cukup lebar untuk menunjukkan sebuah lorong yang gelap, lebih gelap dari ruangan yang sudah kami lewati.
“Ayo cepat!” seru Indra, yang tampaknya sudah tidak sabar lagi. “Kita nggak bisa tinggal di sini lebih lama.”
Namun, saat kami mencoba melangkah menuju pintu itu, kami berhenti, seperti tertahan oleh sesuatu yang tak terlihat. Ada sebuah ketakutan yang datang tiba-tiba, memblokir langkah kami. Aku menatap pintu yang terbuka lebar itu, merasa ada sesuatu yang memanggil kami, namun juga menghalangi kami untuk masuk.
Tiba-tiba, bayangan sosok yang sama yang kami lihat di cermin tadi muncul di ujung lorong itu. Sosok itu berdiri dengan tubuh melayang, tidak berjalan, hanya memandang kami dengan tatapan kosong.
“Siapa itu?” Danika hampir berteriak, suaranya bergetar hebat. “Apa… apa yang terjadi?”
Aku merasakan sesuatu yang sangat aneh, seolah waktu berjalan lambat dan cepat bersamaan. Bayangan itu semakin mendekat, tetapi tetap mengapung tanpa suara. Wajahnya gelap, dengan mata yang tampak kosong, seolah tidak memiliki kehidupan.
“Jangan… jangan… terlalu dekat,” bisikku, meskipun aku tidak tahu kenapa aku berkata demikian. Semua indra ku berteriak untuk menjauh, tapi tubuhku terasa kaku, seperti terikat oleh kekuatan tak terlihat.
Bayangan itu semakin dekat, semakin mendekat. Suara langkah kaki kami yang gemetar terasa jauh, seolah suara kami sendiri sudah hilang di ruangan ini. Kami seperti terperangkap dalam waktu, dan bayangan itu, entah apa adanya, semakin mendekatkan diri pada kami, satu langkah demi satu langkah.
“Kita harus pergi,” kata Lukas, tiba-tiba berbalik dan mulai berlari menuju lorong lain, tanpa berpikir dua kali.
Aku terkejut dan ikut berlari bersama mereka, mengikuti Lukas yang kini berjalan cepat. Setiap langkah kami terasa lebih berat, seolah semakin sulit untuk bergerak. Ada sesuatu di dalam Lawang Sewu ini yang menahan kami, yang tidak membiarkan kami keluar dengan mudah.
Kami terus berlari, namun bayangan itu selalu ada di belakang kami, mengikuti setiap gerakan kami. Namun kami tidak berhenti. Tidak ada pilihan lain selain berlari, melawan segala ketakutan yang mengikat tubuh kami.
Lawang Sewu sepertinya memiliki waktu dan ruangnya sendiri—sebuah dunia yang penuh dengan kenangan dan sejarah yang terlupakan, menunggu kami untuk mengungkap lebih dalam lagi.
Menyentuh Bayangan yang Hilang
Kami berlari dengan napas yang terengah-engah, melintasi lorong demi lorong gelap yang tampaknya tak berujung. Setiap kali kami berbelok, kami merasa seperti terjebak dalam labirin yang tak ada pintu keluarnya. Langkah-langkah kami bergema di seluruh gedung, mengisi setiap ruang yang sunyi, namun setiap kali kami berpaling, bayangan itu—sosok yang tadi kami lihat di cermin—seolah semakin dekat. Aku bisa merasakan sesuatu mengintai kami dari balik bayangan, tapi tidak satu pun dari kami yang berani berhenti atau menoleh.
“Ada apa dengan tempat ini?” Danika terengah, matanya penuh ketakutan. “Ini bukan sekadar cerita mistis biasa, kan?”
Indra, yang biasanya lebih tenang, kini terlihat terengah-engah. “Sudah kubilang, kita harus keluar dari sini. Tapi kenapa rasanya seperti ada yang mencegah kita?”
Kami terus berlari, berusaha menemukan pintu keluar yang nyata. Tangan Lukas menggenggam erat kameranya, meskipun aku tahu ia tidak lagi tertarik untuk mengambil gambar—ia hanya berusaha bertahan. Suasana semakin berat. Aku bisa merasakan udara menjadi semakin kering dan dingin, seolah seluruh gedung ini sedang berusaha menghisap seluruh energi kami. Wajah kami semakin pucat, tubuh kami semakin lelah, tetapi kami tak bisa berhenti. Lawang Sewu tidak memberi kami pilihan lain.
Tiba-tiba, aku berhenti tanpa sengaja, menabrak Danika yang berada di depanku. Tanpa sadar, aku menatap ke ujung lorong yang kami lewati, dan mataku bertemu dengan sebuah pintu besar yang dulu kami lewati. Pintu itu kini terbuka lebar. Sebuah cahaya samar menerobos dari baliknya.
“Apa itu?” tanya Lukas, suaranya bergetar, meskipun ia berusaha menyembunyikan rasa takutnya.
Aku tidak menjawab. Aku merasa seperti ada sesuatu yang menarik kami ke dalam ruangan itu. Ada tarikan kuat, entah berasal dari mana. Dalam kekosongan yang terisi rasa takut ini, aku merasakan dorongan yang kuat untuk melangkah maju, meskipun aku tahu kami semua mungkin sudah terlalu jauh.
“Ayo masuk,” kataku, dan aku tidak tahu kenapa aku bisa mengatakannya. Seolah ada suara lain yang memaksaku untuk melangkah maju.
Lukas menatapku, ragu. Namun, tanpa peringatan lebih lanjut, kami semua berjalan masuk. Suara langkah kaki kami yang bergema semakin terdengar aneh. Seperti ada suara lain yang mengikuti, tapi kami sudah terlalu terperangkap dalam lorong ini untuk peduli.
Begitu kami melangkah masuk, aku merasakan atmosfer berubah. Tidak lagi terasa mencekam dan berat. Justru, suasananya terasa sangat tenang, meskipun di balik ketenangan itu ada sesuatu yang terselubung. Di dalam ruangan ini, ada sebuah meja besar dengan beberapa kursi mengelilinginya, dan di tengah meja itu, sebuah buku besar terbuka.
Buku itu tampak tua, bahkan lebih tua daripada gedung ini. Halaman-halaman yang tampak sangat usang seperti bisa terurai hanya dengan disentuh. Aku mendekat, mataku tak bisa melepaskan pandangan dari buku itu, entah mengapa. Tanpa sadar, jariku terulur, menyentuh salah satu halaman.
Begitu aku menyentuhnya, seluruh ruangan itu bergetar. Suara keras terdengar seperti dentuman yang datang dari kedalaman tanah. Langit-langit ruangan bergetar, dan tiba-tiba lampu yang menyala di atas kami padam seketika, meninggalkan kami dalam kegelapan yang sempurna.
“Kita harus keluar! Sekarang!” teriak Danika, panik. “Ini bukan tempat yang aman!”
Aku mengangguk, tapi saat itu, sesuatu yang mengerikan terjadi. Di ujung ruangan, bayangan yang selama ini kami coba hindari, kini terlihat lebih jelas—bukan hanya satu, tapi dua, tiga, dan semakin banyak. Sosok-sosok itu berdiri diam, menghadap kami, wajah mereka gelap dan kosong, seperti tak memiliki kehidupan.
Salah satu bayangan itu bergerak perlahan, maju ke arah kami. Suara bisikan halus terdengar, kali ini lebih jelas daripada sebelumnya. “Tidak ada jalan keluar…”
Kami semua mundur langkah demi langkah, namun kami tidak bisa berlari lagi. Pintu yang tadi terbuka kini tertutup rapat, dan bayangan-bayangan itu semakin mendekat, seolah tak memberi kami ruang untuk menghindar.
Indra berteriak, mencoba membuka pintu, namun itu tetap tertutup rapat. “Kenapa ini terjadi?” suaranya terdengar putus asa. “Kami cuma datang buat liburan…”
Danika menggigit bibirnya, hampir menangis. “Apa kita akan terperangkap di sini selamanya?”
Bayangan itu semakin dekat, tubuhnya melayang dan bergerak lebih cepat dari yang kami bayangkan. Semua suara kami terasa sia-sia. Tiba-tiba, tanpa peringatan, bayangan itu berhenti tepat di hadapan kami. Tidak ada suara. Tidak ada gerakan.
Di sana, di tengah bayangan itu, sebuah suara lembut terdengar, sangat jelas dan sangat familiar. “Kalian tak akan pergi…”
Aku hampir tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Itu suara yang sama dengan suara yang terdengar dari dalam cermin. Suara itu, begitu nyata, memanggil kami.
Namun, di balik ketakutan itu, ada satu hal yang tiba-tiba menyentak pikiranku. Aku tahu siapa sosok ini. Sosok yang sudah lama hilang, sosok yang terjebak di Lawang Sewu. Dan aku akhirnya mengerti kenapa kami ada di sini.
Dengan sekuat tenaga, aku meraih tangan Lukas dan Danika, menarik mereka menjauh. “Jangan biarkan itu menguasai kita! Kita harus keluar dari sini, sekarang!” teriakku.
Tapi, entah bagaimana, saat aku menarik mereka mundur, pintu besar itu terbuka kembali. Tanpa berpikir panjang, kami semua berlari keluar, menembus kegelapan yang menyelimuti kami.
Begitu kami keluar dari gedung itu, udara segar langsung menyambut kami. Kami berhenti sejenak, terengah-engah, memandang Lawang Sewu yang berdiri megah di belakang kami. Pintu-pintu besar itu kini tertutup rapat, seolah-olah tidak ada yang pernah memasuki tempat itu sama sekali.
Kami terdiam, tak bisa berkata apa-apa. Rasa takut masih menghantui, tetapi kenyataan bahwa kami selamat membuat kami merasa sedikit lega. Kami menatap gedung itu sekali lagi, dan tanpa suara, kami berbalik pergi.
Lawang Sewu tetap berdiri di sana, penuh dengan rahasia yang tak akan pernah terungkap sepenuhnya. Namun satu hal yang pasti, kami tak akan pernah kembali lagi ke tempat itu.
Kami tahu, terkadang ada hal-hal yang seharusnya tetap berada dalam bayangannya, terkubur dalam kegelapan yang tak terjamah.
Dan kami memilih untuk meninggalkan semuanya di sana.
Jadi, gimana? Udah cukup tegang belum? Satu hal yang pasti, Lawang Sewu itu nggak cuma sekedar tempat wisata biasa. Di balik dinding-dinding tuanya, ada banyak cerita yang nggak pernah selesai diceritakan.
Kalau kalian berani, mungkin suatu saat bisa kunjungi juga, tapi ingat, hati-hati sama apa yang kamu cari… karena mungkin, ada yang sedang mencari kamu.