Daftar Isi
Siapa sangka sebuah kamar hotel bisa menyimpan rahasia yang begitu gelap? Kamar 513 bukan cuma tempat biasa untuk tidur, tapi sebuah penjara yang siap mengurung siapa saja yang berani masuk. Bayangin aja, setiap orang yang pernah menginjakkan kaki di sana, selalu ada sesuatu yang berubah.
Dari ketukan aneh, sosok misterius, hingga perasaan terperangkap yang gak bisa hilang. Gak ada yang tahu pasti kenapa kamar itu begitu jahat, tapi yang pasti, kalau udah masuk, kamu gak bakal bisa keluar sama seperti sebelumnya. Siap? Karena ini ceritanya udah dimulai dan gak ada jalan mundur.
Misteri Kamar 513
Ketukan di Lemari
Malam itu, suasana di Hotel Bellagio terasa lebih sepi dari biasanya. Dinding-dinding tua yang sudah lapuk seolah menyerap semua suara, meninggalkan keheningan yang aneh, seolah menunggu sesuatu terjadi. Maya berdiri di depan kamar 513 dengan kunci di tangan, matanya menelusuri angka di pintu yang tampak sedikit miring. Sebuah pertanda? Mungkin saja, pikirnya.
Dia membuka pintu, dan sesaat aroma apek menguar dari dalam kamar. Terasa dingin, bahkan lebih dingin daripada luar. Begitu langkah pertama masuk, Maya melihat ranjang besar di tengah ruangan, dengan sprei putih kusut yang entah sudah berapa lama tidak diganti. Lampu di atasnya berkedip-kedip, memberi kesan seolah-olah ada yang tak beres dengan kamar ini.
“Mungkin aku cuma terlalu lelah,” Maya membatin, berusaha menenangkan diri.
Namun, meskipun ada rasa tak nyaman yang menggelayut, dia memutuskan untuk tidak terlalu menghiraukannya. Setelah mengunci pintu, Maya melempar tasnya ke meja dan duduk di kursi yang tampak sudah usang. Dia menggeliat sedikit, mencoba membuang kelelahan dari tubuhnya.
Sekitar dua jam berlalu, dan Maya mulai mengantuk. Namun, saat itulah suara itu datang.
Tok… tok… tok…
Suara ketukan pelan namun jelas terdengar, datang entah dari mana. Maya sempat mengira itu berasal dari kamar sebelah, tetapi suara itu terlalu dekat.
Dia memalingkan kepala, menatap lemari yang terletak di sudut ruangan. Suara itu jelas berasal dari sana. Tak ada yang lebih sunyi dari hotel tua ini.
“Angin,” Maya berusaha membujuk dirinya sendiri, mencoba mencari logika di tengah ketakutannya.
Namun, ketukan itu kembali terdengar, kali ini lebih keras. Tok! Tok! TOK!
Maya hampir melompat dari tempat duduknya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia menatap lemari, tubuhnya kaku. Suara ketukan itu begitu nyata, begitu dekat.
Dengan langkah ragu, Maya bangkit dari kursi. Kakinya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menahannya untuk tidak bergerak. Tetapi rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Perlahan dia mendekati lemari.
Suara ketukan itu semakin terdengar jelas, seperti seseorang yang sedang menunggu di dalam. Maya menelan ludah.
“Apa yang harus aku lakukan?” pikirnya.
Tangan Maya gemetar saat ia meraih pegangan pintu lemari dan membuka sedikit. Namun, di dalamnya tidak ada apa-apa.
Hanya ada gantungan baju kosong yang bergoyang pelan.
Maya menarik napas lega. Itu pasti hanya bayangannya saja. Mungkin dia terlalu capek, atau stres karena konferensi. Namun, sebelum ia sempat menutup pintu lemari, suara itu terdengar lagi—lebih jelas, lebih menakutkan.
“Hah… hah…”
Suara napas berat datang dari belakangnya. Maya membeku. Suara itu sangat dekat, seolah ada seseorang di sampingnya.
“Siapa itu?” Maya berbisik, suaranya serak karena ketakutan.
Ia menoleh dengan cepat. Tapi yang dilihatnya hanya bayangan hitam yang melintas dengan cepat. Bayangan itu menyatu dengan kegelapan, lalu menghilang begitu saja.
Maya terdiam, matanya membelalak. Kepalanya terasa ringan, tubuhnya seakan tidak bisa bergerak. Setiap detak jantungnya terasa seperti guntur yang menggelegar di telinga.
“Apa yang baru saja aku lihat?” tanyanya pada diri sendiri, namun jawabannya hilang ditelan keheningan.
Tanpa sadar, dia melangkah mundur, menjauh dari lemari, dan terjatuh di atas ranjang. Bibirnya bergetar, tetapi suara yang keluar dari mulutnya hanya sebuah desahan ketakutan.
“Aku… aku harus tidur… aku butuh tidur…” gumamnya, berusaha menenangkan diri, meski napasnya masih terengah-engah.
Namun, sebelum matanya terpejam, suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih jelas—tawa.
Tawa seorang anak kecil. Tawa yang terdengar manis pada awalnya, namun seiring berjalannya waktu, berubah menjadi suara yang menakutkan.
Tawa itu bergema di seluruh ruangan. Maya duduk tegak, tubuhnya membeku. Saat itulah suara isakan terdengar. Tangisan, memecah ketenangan malam itu.
“Apa yang terjadi?” Maya berteriak, suaranya semakin serak.
Ia melihat ke sekeliling kamar, namun tidak ada siapa pun. Tak ada anak kecil. Tak ada yang menulis cerita di sudut ruangan. Tetapi suara itu semakin mendekat.
Seketika, pintu kamar mandi terbuka dengan sendirinya. Suara isakan dan tawa itu datang dari dalam.
Maya menatap pintu kamar mandi, tubuhnya masih terdiam di ranjang, namun matanya terpaku pada pintu itu. Seolah ada sesuatu yang mengundangnya untuk masuk. Sesuatu yang tidak bisa ia hindari.
Dengan hati yang berdetak kencang, Maya berjalan perlahan menuju pintu kamar mandi. Setiap langkah terasa berat, seperti ada yang menahan. Saat ia membuka pintu kamar mandi, sebuah bayangan melintas di depannya, dan sebelum Maya sempat berteriak, tubuhnya terjatuh, seakan ditarik ke dalam kegelapan yang tak terjangkau.
Namun, pada detik terakhir, dia sempat melihat sesuatu yang sangat jelas—di kaca kamar mandi itu, senyuman lebar muncul, sebuah senyuman yang bukan milik dirinya.
Dan sebelum segalanya gelap, Maya sempat mendengar suara tawa yang semakin keras, memenuhi seluruh kamar.
“Aku… tidak bisa lari…”
Bayangan di Cermin
Maya terbangun dengan napas yang terengah-engah. Matanya terbuka lebar, dan yang pertama ia lihat adalah kegelapan. Gelap pekat yang menutupi seluruh pandangannya. Ia meraba-raba, tubuhnya terasa kaku dan dingin. Mencoba menenangkan diri, dia mengingat kembali apa yang terjadi. Bayangan itu, suara itu, senyuman yang muncul di cermin kamar mandi—semuanya terasa begitu nyata, tapi mengapa ia bisa terbangun di sini?
“Aku… masih di kamar 513?” Maya berbisik, suaranya serak.
Namun, sebelum ia sempat mengingat lebih banyak, ada suara lain yang menggema di dalam ruangan. Suara itu berasal dari dalam dirinya sendiri, sebuah bisikan pelan yang semakin dekat.
“Kamu tidak sendiri…”
Maya tercekat. Itu bukan hanya suara di dalam kepalanya. Itu berasal dari dalam kamar, seperti ada yang berbisik tepat di telinganya. Ia segera duduk, memegangi dadanya yang berdegup kencang, berusaha mencari sumber suara itu. Namun, kamarnya tetap sunyi. Hanya suara napasnya yang terdengar.
Dia menatap sekeliling. Pintu kamar mandi masih terbuka, sedikit. Pintu yang tadi ditutup dengan cepat, kini terbuka sedikit lebih lebar. Maya tahu bahwa suara itu datang dari sana. Dari dalam kamar mandi.
Dengan perasaan berat, Maya beranjak dari ranjang. Kakinya terasa lemas, tetapi ia memaksakan diri untuk berjalan, menuju pintu kamar mandi yang terbuka. Setiap langkah seolah menggema di telinganya, menguatkan rasa takut yang sudah mencekam.
Pintu itu… tidak pernah seharusnya terbuka seperti ini.
Saat Maya menggapai pegangan pintu, dia merasakan sesuatu yang berbeda. Seperti ada tangan yang menyentuh lengannya, namun saat ia menoleh, tidak ada siapa-siapa. Hanya udara dingin yang menyentuh kulitnya. Tetapi suara itu kembali terdengar.
“Kamu… akan tahu… siapa aku…”
Itu adalah suara yang sama. Suara itu semakin jelas, dan Maya merasa seolah seluruh tubuhnya diliputi oleh hawa dingin yang tak tertahankan. Tak ada yang bisa menghalangi langkahnya, meskipun tubuhnya bergetar hebat. Maya meraih gagang pintu dan menariknya terbuka.
Di dalam kamar mandi, segala sesuatunya tampak sama seperti sebelumnya—kecuali cermin itu. Cermin besar yang tergantung di dinding, yang semula tidak ada apa-apa, kini dipenuhi oleh kabut tebal. Kabut yang tidak bisa dijelaskan.
Saat Maya melangkah lebih dekat, bayangannya sendiri mulai kabur, seolah dipelintir oleh sesuatu yang tak tampak. Kabut itu seolah menariknya, membawanya lebih dalam ke dalam pantulan itu. Ketika ia semakin dekat, bayangannya di cermin mulai berubah.
Kata-kata yang tertulis di permukaan kabut muncul perlahan, menutupi cermin.
“Jangan lari, Maya. Aku sudah menunggumu.”
Maya terkejut. Cermin itu… tidak mungkin. Ia mundur, terjatuh ke lantai, namun tidak bisa melepaskan pandangannya dari kaca itu. Kata-kata itu terus muncul, semakin banyak, semakin memanggilnya. Namun, bayangan di balik kabut mulai terlihat jelas—sebuah sosok, sosok wanita yang mengenakan gaun putih kotor, dengan rambut panjang yang tergerai.
Tangan Maya gemetar, tetapi ia tidak bisa berhenti menatap. Sosok itu mulai mendekat ke kaca, matanya kosong, namun penuh dengan kesedihan yang mendalam. Sosok itu menatapnya, menghadap Maya dari dalam cermin, seolah ingin berbicara. Tangan yang terulur dari kaca membuat Maya mundur cepat, tetapi seolah ada kekuatan yang menariknya kembali.
“Kamu… siapa?” Maya hampir tidak bisa berkata-kata, suaranya serak, cemas.
Sosok itu tidak menjawab. Hanya mendekat. Semakin dekat.
“Jangan datang…!” Maya berteriak, tetapi suara itu tertelan oleh gemuruh aneh yang mulai memenuhi ruangan.
Sosok itu berhenti sejenak, lalu berbisik. Suara itu lembut, namun penuh dengan kebencian.
“Aku akan membuatmu melihat semua ini…”
Maya merasa tubuhnya tertarik kembali ke cermin, seperti ada tarikan magnet yang tak terlihat. Tangan yang panjang keluar dari kabut di dalam cermin, meraih pergelangan tangan Maya dengan kekuatan yang luar biasa. Maya berusaha melepaskan diri, berteriak, tetapi tubuhnya seolah tidak bisa bergerak. Semua tenaga yang ia miliki terasa hilang begitu saja.
Akhirnya, saat jari tangan itu hampir mencapainya, Maya menjerit sekuat tenaga. Sebuah jeritan panjang yang seolah mengguncang seluruh ruangan. Seiring jeritannya, kabut di cermin menghilang begitu saja, meninggalkan ruangan yang kembali sunyi.
Namun sosok itu, kini sudah tidak ada.
Maya jatuh terduduk, napasnya terengah-engah. Tangan yang sempat ditarik, kini hanya terasa lemas, terkulai di samping tubuhnya. Pintu kamar mandi tertutup dengan sendirinya, seolah ada kekuatan yang menutupnya dari luar.
Maya memegangi kepalanya, mencoba menyadari apa yang baru saja terjadi. Semua terasa begitu nyata, dan ia tahu—ini bukan akhir dari semuanya. Sebuah rasa takut yang lebih dalam kini mulai merayapi dirinya. Ketakutan itu lebih dari sekadar hantu. Ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan di sini. Sesuatu yang tidak bisa ia pahami.
Dan malam itu, suara ketukan kembali terdengar.
Tok… tok… tok…
Sama seperti sebelumnya.
Ketukan yang Menghantui
Suara ketukan itu semakin keras, semakin jelas, hingga memenuhi seluruh ruang kamar. Maya menahan napas, tubuhnya kaku. Ketukan itu datang dari luar pintu, pelan namun pasti, seperti tangan yang terulur mencoba meraih sesuatu di dalam ruangan. Rasanya seperti ada yang sedang menunggunya di luar sana, mengintip setiap gerakan kecil yang ia buat.
“Apa itu?” Maya berbisik pada dirinya sendiri, suara serak yang hampir tak terdengar. Matanya terfokus pada pintu yang kini terasa semakin dekat. Ketukan itu menggetarkan seluruh tubuhnya.
Tok… tok… tok…
Maya terdiam. Setiap ketukan itu seperti palu yang memukul hati, mengiris setiap inci rasa takut yang ia rasakan. Pintu kamar yang terbuat dari kayu tua itu tampak seperti sebuah penghalang tipis antara dirinya dan apa yang ada di luar sana.
Dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Apa yang menunggunya di luar sana, di balik pintu itu? Pikirannya berputar-putar, berusaha mengingat setiap hal yang terjadi sejak pertama kali ia menjejakkan kaki di kamar 513 ini. Ada sesuatu yang tidak beres, lebih dari sekadar hantu atau bayangan. Sesuatu yang jauh lebih gelap, yang sepertinya terikat dengan tempat ini.
Dengan gemetar, Maya perlahan meraih gagang pintu. Tangan kirinya masih gemetar, tubuhnya merasa lemas, tetapi ada dorongan kuat dalam dirinya. Rasa takutnya semakin membesar, tetapi ada juga dorongan yang tidak bisa dijelaskan—sebuah keinginan untuk mencari tahu lebih dalam.
Apa yang sebenarnya terjadi di sini?
Tok… tok… tok…
Suara itu berhenti sejenak, memberi Maya sedikit harapan. Ia menatap pintu, menunggu sesuatu yang entah apa. Lalu, dengan perlahan, ia membuka pintu kamar. Cahayanya yang suram dari luar kamar membuat Maya terpekur sejenak. Namun begitu pintu terbuka sepenuhnya, keheningan yang sangat mencekam menyambutnya.
Tidak ada siapa-siapa.
Maya menghela napas, meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanyalah imajinasinya. Mungkin ketukan itu berasal dari angin, atau bahkan dari tembok kamar yang tua. Namun, perasaan gelisah masih mengikatnya, seolah ada sesuatu yang sangat nyata mengintai di balik bayang-bayang.
Ia melangkah keluar dengan hati-hati, memeriksa sekitar. Hanya ada lorong panjang yang terbatasi oleh pintu-pintu kamar lainnya yang tertutup rapat. Tepi lorong itu samar-samar diterangi oleh cahaya redup dari lampu yang hampir padam. Semua terlihat sepi, sangat sepi. Tidak ada suara apapun selain langkah kaki Maya yang menggema di lorong kosong ini.
Maya terus berjalan, tak tahu harus ke mana. Ia merasa seolah-olah semua ini adalah bagian dari sebuah teka-teki yang tidak bisa ia pecahkan. Setiap langkahnya semakin membawa rasa cemas yang mendalam, seperti ada mata yang terus mengikutinya, menunggu untuk melompat keluar dari bayang-bayang.
Ketika ia melangkah lebih jauh, ia tiba-tiba berhenti. Suatu rasa aneh menghentikan gerakannya. Mata Maya terpaku pada sebuah pintu yang terbuka sedikit. Pintu itu terletak di ujung lorong, tidak jauh dari tempat ia berdiri. Pintu yang tidak seharusnya terbuka.
Maya merasa tubuhnya kaku. Perasaan takut yang terpendam di dalam dirinya kembali muncul, tetapi kali ini lebih kuat dari sebelumnya. Ia tahu bahwa sesuatu yang sangat buruk sedang menunggunya di balik pintu itu.
Dengan langkah terhuyung, Maya mendekat ke pintu yang terbuka. Setiap langkahnya seperti menambah berat di dadanya. Ia bisa merasakan napasnya yang semakin cepat, jantungnya yang berdebar tak karuan. Begitu ia berada di depan pintu itu, ia melihat ke dalam.
Ruangan itu gelap, tetapi ada sesuatu yang berkilau di dalamnya. Sebuah cermin. Cermin besar yang tercermin di balik bayangan itu. Maya tidak bisa menahan dirinya untuk tidak memandang lebih dalam. Bayangan dirinya mulai muncul di permukaan kaca, namun kali ini tidak ada senyuman seperti yang dia lihat sebelumnya. Bayangannya tampak lebih gelap, seolah-olah ada sesuatu yang bergerak di dalamnya.
Tiba-tiba, bayangan itu bergerak lebih cepat, lebih hidup. Cermin itu bergetar seolah ada sesuatu yang menekan dari dalam. Maya mundur beberapa langkah, terkejut dan ketakutan. Namun, cermin itu semakin jelas memantulkan bayangan yang tidak bisa ia jelaskan. Sosok itu muncul kembali, kali ini dengan wajah yang lebih jelas—wajah seorang wanita, dengan mata yang kosong, tetapi penuh kebencian yang menakutkan.
“Jangan… datang…” Maya berbisik, menahan napas.
Sosok itu mulai bergerak lebih dekat, dan Maya merasa tubuhnya tidak bisa bergerak. Sosok itu tiba-tiba tersenyum. Senyum yang begitu jahat, senyum yang penuh dengan ancaman.
“Sudah saatnya kamu tahu,” suara itu terdengar sangat jelas, meskipun Maya merasa seperti suara itu berasal dari dalam cermin dan langsung memasuki pikirannya.
Maya memalingkan wajah, berlari sejauh yang ia bisa. Suara ketukan itu kembali terdengar, lebih keras, lebih mengerikan dari sebelumnya. Lorong di depannya terasa semakin panjang, dan rasa takut semakin menggenggam dadanya. Maya merasa seolah-olah terjebak dalam sebuah dunia yang tidak bisa ia mengerti.
Dan di belakangnya, suara itu kembali bergema:
“Kamu tidak bisa lari dariku.”
Di antara semua ketakutannya, Maya tahu bahwa ia harus melawan. Tapi bagaimana? Apa yang harus dia lakukan untuk berhenti melihat bayangan itu, atau lebih tepatnya—menghentikan apa yang mulai menghantuinya tanpa henti?
Dengan napas yang tersengal, Maya terus berlari, bahkan ketika kaki-kakinya terasa begitu berat, menembus lorong yang semakin gelap, semakin jauh dari kenyataan yang ia kenal.
Terungkapnya Kebenaran
Maya terus berlari, meskipun langkahnya semakin berat, tubuhnya semakin lelah. Lorong yang semula tampak tak ada habisnya kini terasa semakin sempit. Ketakutan yang mencekam setiap sudut tubuhnya membuat pikirannya seakan terpecah. Di setiap langkah, suara ketukan itu semakin dekat, semakin mengerikan. Setiap dentingan itu seperti teriakan yang datang dari dalam dirinya sendiri, menyeretnya lebih dalam ke dalam kegelapan.
Dengan napas yang tersengal, Maya akhirnya sampai di ujung lorong. Di depan sana, sebuah pintu yang sudah sangat dikenalnya menunggu. Pintu kamar 513. Pintu yang tidak pernah ia kira akan menjadi tempat terakhirnya. Pintu yang begitu banyak menyimpan misteri dan cerita yang telah lama terlupakan.
Ketika ia melangkah menuju pintu itu, tubuhnya terasa hampir roboh, seakan-akan semua energi yang tersisa mengalir habis. Namun, ada dorongan kuat di dalam dirinya. Dorongan yang tak bisa ia jelaskan. Maya tahu, jika ia tidak menghadapinya sekarang, ia akan terus dihantui oleh bayangan yang semakin mendalam. Bayangan itu sudah terlalu dekat, seperti jejak langkah yang mengikuti setiap detiknya.
Maya memutar gagang pintu dengan gemetar, lalu membuka pintu itu perlahan.
Namun, ketika pintu terbuka, dunia di sekelilingnya tidak lagi sama. Semua terasa berubah. Kamar 513 yang semula tampak biasa saja kini terasa seperti sebuah ruang yang terbalik, seperti mimpi buruk yang berubah menjadi kenyataan. Lampu yang biasanya temaram kini mati, menggantikan semuanya dengan kegelapan pekat.
Di tengah kegelapan itu, ia melihat sebuah bayangan bergerak perlahan ke arahnya. Mata Maya terbuka lebar. Itu adalah sosok wanita yang tadi ia lihat di cermin. Wajahnya yang penuh dengan kebencian kini semakin jelas. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Ada sesuatu yang menempel di wajah wanita itu—sebuah senyuman yang mengerikan.
“Sudah waktunya,” suara wanita itu kembali terdengar. Suaranya terdengar lebih dalam, lebih menekan. Maya merasa tubuhnya seakan membeku, tidak bisa bergerak sedikit pun. Hanya bisa menatap bayangan itu, yang kini semakin mendekat.
“Kenapa kamu menghantuiku?” Maya akhirnya berani bertanya, suaranya bergetar. Rasa takut yang ia rasakan hampir tidak tertahankan, namun ada sebuah dorongan kuat untuk mengungkapkan kebenaran yang sudah lama tersembunyi.
Wanita itu tertawa, namun tawa itu terdengar lebih menyeramkan dari sebelumnya. “Kamu tidak tahu, Maya. Kamu tidak tahu betapa dalamnya kamu terjebak di dalam permainan ini.”
Tiba-tiba, sosok itu melangkah maju, dan Maya merasa seperti ada kekuatan yang menarik tubuhnya ke dalam. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan, seperti ada kekuatan yang mengendalikan seluruh tubuhnya, mengikatnya pada sesuatu yang jauh lebih besar dari yang bisa ia pahami.
“Ini bukan hanya tentang kamu,” wanita itu melanjutkan, suaranya sekarang berubah menjadi sebuah bisikan yang dingin. “Ini adalah tentang mereka yang datang sebelum kamu, mereka yang sudah lama terperangkap di dalam sini. Mereka yang tidak pernah bisa keluar.”
Maya menatap wanita itu, mencoba mencari tahu lebih banyak, namun sosok itu hanya tersenyum, senyuman yang penuh dengan kebencian dan kegelapan. Maya merasa dirinya semakin terhimpit, seperti ada dinding yang semakin rapat mengurungnya. Perasaan sesak itu semakin menguasai pikirannya.
Dan kemudian, semuanya terungkap.
“Siapa kamu sebenarnya?” Maya berteriak, akhirnya berhasil mengungkapkan kata-kata yang selama ini tersumbat di tenggorokannya. Sosok wanita itu tertawa, tertawa dengan suara yang begitu mengerikan, membuat darah Maya membeku dalam tubuhnya.
“Aku adalah penghuni pertama kamar 513,” jawabnya dengan suara yang begitu dingin dan penuh dendam. “Dulu aku datang untuk mencari pelarian, tapi kamar ini memiliki kekuatannya sendiri. Kekuatan yang tak bisa kau lari darinya. Setiap orang yang masuk, akan terjebak di dalamnya. Dan kamu… Maya, kamu adalah yang berikutnya.”
Maya merasa dirinya terseret ke dalam bayangan, tubuhnya tidak bisa lagi melawan. Mata wanita itu kini berubah menjadi lubang kosong, menelan segala rasa yang dimiliki Maya. Tiba-tiba, tubuh Maya jatuh, terhempas ke lantai, dan ia merasa seperti tenggelam ke dalam kegelapan yang tak terhingga. Mata wanita itu masih menatapnya, namun Maya kini merasa dirinya terhanyut dalam sebuah ruang yang sangat berbeda.
Dan kemudian, semuanya hening.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara langkah kaki yang perlahan mendekat. Kaki-kaki yang berat dan tak terdengar membawa beban. Di pintu kamar 513, seorang pria berdiri. Mata pria itu terlihat kosong, seperti baru saja bangun dari mimpi buruk yang tak berujung. Namun, ketika ia melangkah ke dalam kamar itu, ia terhenti di tengah ruangan.
Di sana, di atas lantai yang dingin, hanya ada satu benda yang tersisa—sebuah cermin, yang tercermin wajah pria itu, tetapi kini ada sesuatu yang berbeda. Di dalam cermin itu, tampak senyuman yang sangat gelap. Senyuman yang sama seperti yang pernah Maya lihat.
Dan di belakang pria itu, pintu kamar 513 tertutup dengan sendirinya, kembali mengunci ruang itu, menunggu penghuni berikutnya untuk terjebak.
Dan begitu pintu kamar 513 tertutup, semua yang ada di dalamnya hanya bisa terperangkap dalam kegelapan. Tak ada lagi jalan keluar, tak ada lagi harapan.
Siapa pun yang berani membuka pintu itu, hanya akan menemukan satu hal: mereka sendiri, terperangkap dalam kisah yang tak akan pernah berakhir. Kamar itu akan selalu menunggu, siap menyambut siapa saja yang siap menyelesaikan misteri yang tak pernah terungkap. Tapi hati-hati, karena setelah masuk, tak ada yang bisa menghindari takdirnya.