Daftar Isi
Pernah nggak sih, kamu merasa seperti lagi ada di tengah cerita yang nggak pernah kamu kira sebelumnya? Jadi gini, ada sebuah gunung yang katanya punya keramat super misterius, tapi tiba-tiba keramat itu hilang begitu aja.
Ini bukan cuma soal batu atau mitos, tapi lebih tentang pencarian yang bikin kamu mikir, Emang beneran ada jawaban buat semuanya? Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ke dunia yang penuh tanya, petualangan konyol, dan jawaban yang malah bikin kamu lebih bingung. Ayo, siap ikut nyari jawaban bareng si Gekara?
Misteri Hilangnya Keramat Gunung Beser
Misteri Batu yang Menghilang
Suasana desa pagi itu berbeda. Angin yang biasanya berhembus pelan, kali ini terasa lebih berat. Burung-burung di pohon tampak diam, seakan-akan mereka pun merasakan ada yang aneh. Dari jauh, puncak Gunung Beser yang biasanya terlihat jelas, kini tertutup kabut tebal.
Di balai desa, Pak Targo, kepala desa yang biasanya tenang, berjalan mondar-mandir sambil memegangi topi tua yang selalu dipakainya. Wajahnya serius, jauh berbeda dari biasanya. Beberapa warga yang melihatnya mulai bertanya-tanya, ada apa gerangan. Gekara, pemuda yang lebih sering tidur di bawah pohon daripada berdiskusi soal urusan desa, melihat kerumunan ini dari kejauhan.
Ia mengangkat alis, melangkah mendekat. “Ada apa ini?” tanyanya sambil menepuk bahu Rony, pemuda desa yang selalu sibuk berbicara teori konspirasi.
Rony, yang sedang memegang secangkir teh panas, menatap Gekara dengan wajah yang tampaknya lebih serius dari biasanya. “Batu keramat itu hilang!” katanya dengan nada penuh misteri.
Gekara mengerutkan kening, tak langsung paham. “Batu keramat? Yang ada di puncak gunung?”
“Iya, itu! Batu tempat roh penjaga, Mbok Minjal, biasa bersemayam!” jawab Rony dengan suara setengah berbisik, seakan takut ada yang mendengar.
Gekara mendengus. “Kalau hilang, apa itu masalah besar? Bukannya batu itu cuma batu besar yang nggak ada yang peduli?”
Rony membuka mulutnya untuk menjawab, tapi kata-kata itu tampaknya sulit keluar. Pak Targo yang mendekat dan mendengar percakapan mereka langsung menyela. “Gekara, ini bukan hal yang main-main. Batu itu bukan cuma batu. Itu jantung dari keberadaan kita di sini. Kalau sampai hilang, bisa jadi bencana bagi desa!”
Gekara mengangguk, tapi lebih karena malas berdebat. “Ya, ya, aku paham, Pak Targo. Lalu kenapa kamu nggak mencari saja, kan kamu kepala desa?”
Pak Targo mendesah panjang. “Kami sudah mencoba. Tapi, siapa pun yang naik ke puncak, tidak ada yang berhasil menemukan batu itu. Bahkan beberapa orang hilang, entah kemana.”
Gekara merasa ada yang aneh. Biasanya Pak Targo tidak seperti ini—lebih sering menunjukkan wajah tegas dan penuh percaya diri. Sekarang, pria itu tampak cemas. “Baiklah,” Gekara berkata sambil menarik napas panjang. “Biar aku yang cari. Lagian, siapa lagi yang lebih berani daripada aku?”
Warga yang mendengar itu mulai terkejut, beberapa bahkan menahan tawa. “Kamu? Gekara? Yang kalau jalan lima langkah langsung tidur di bawah pohon?” Pak Targo bahkan terkekeh mendengar itu.
Namun Gekara, dengan wajah tanpa ekspresi, hanya mengangkat bahu. “Kalian pikir aku bercanda? Aku serius. Lagian, siapa lagi yang bisa mendaki Gunung Beser dengan kecepatan tinggi… selain aku?” kata Gekara dengan nada sok percaya diri.
Pak Targo memutar matanya. “Baiklah, kalau kamu mau—tapi hati-hati, Gekara. Gunung Beser tidak pernah seaneh ini sebelumnya. Aku khawatir ada sesuatu yang lebih besar yang terjadi.”
Gekara memutuskan untuk berangkat siang itu juga. Dengan seutas tali tambang yang entah untuk apa dibawanya, kapak kecil yang biasa digunakan untuk memotong ranting, dan bekal nasi bungkus yang ia bungkus dengan kertas daun pisang, ia memulai perjalanan menuju gunung.
Di sepanjang perjalanan, ia berjalan dengan santai, meski pikirannya melayang. Gunung Beser selalu tampak menakutkan—puncaknya yang tinggi dan kabut yang sering menutupi gunung itu memberikan kesan bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di sana. Namun, bagi Gekara, semua itu tidak lebih dari tantangan yang harus dihadapi.
Setelah beberapa jam mendaki, ia tiba di jalur yang lebih curam. Dari kejauhan, ia melihat segerombolan burung gagak yang sedang berkumpul di atas sebuah pohon besar. Gekara merasa aneh melihat mereka begitu diam, seperti sedang… rapat.
“Ssstttt!” salah satu gagak tiba-tiba mengangkat sayap dan memandangnya tajam. “Kau bukan siapa-siapa untuk datang ke sini!” teriak gagak itu.
Gekara mengangkat alis, hampir tersenyum. “Gagak bisa bicara? Serius?” ia bertanya dengan kebingungan.
“Kami ini gagak intelektual!” jawab gagak itu dengan tegas. “Kalau kau mau lewat, beri kami alasan kuat kenapa kamu harus pergi ke puncak gunung itu!”
Gekara menggaruk kepala, bingung. “Aku cuma mau lihat batu keramat yang hilang, sudah gitu saja.”
Gagak-gagak itu saling bertukar pandang, lalu kembali berbaris seperti pasukan yang sedang berjaga. “Baiklah, kalau itu tujuanmu… tapi ingat, kami punya pengaruh di sini!” salah satu gagak berkata sambil menatap tajam.
Gekara menggelengkan kepala. “Gagak intelektual, ya? Ini gila!” katanya sambil melanjutkan langkahnya.
Ia tak terlalu memikirkan percakapan aneh dengan burung gagak itu dan terus mendaki. Namun semakin tinggi ia berjalan, semakin terasa ada yang aneh di udara. Angin menjadi lebih kencang, dan kabut semakin tebal. Begitu sampai di pos kedua, Gekara merasa ada sesuatu yang salah.
Di sana, seorang kakek tua duduk di atas batu besar, tampak sedang sibuk memintal benang emas. Gekara menghampirinya, bertanya dengan rasa penasaran, “Kakek, apakah kau tahu tentang batu keramat yang hilang?”
Kakek itu berhenti sejenak, lalu menatap Gekara dengan mata yang tajam dan penuh rahasia. “Aku tahu… Gunung Beser tidak pernah berubah seperti ini. Tapi kamu—kau punya hutang tidur yang belum dibayar. Untuk menemukan jawaban, kamu harus membayar hutang itu.”
Gekara tercengang. “Hutang tidur?” tanyanya dengan bingung.
Kakek itu hanya tertawa pelan, lalu berkata, “Kamu akan mengerti nanti.” Kemudian, dengan sekejap, kakek itu hilang dalam kabut, meninggalkan Gekara yang semakin bingung.
Perasaan aneh meliputi Gekara. Ia semakin yakin bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar hilangnya batu keramat. Sesuatu yang lebih misterius… dan mungkin juga lebih berbahaya.
Namun, Gekara tidak bisa mundur. Ia melanjutkan langkahnya, meski kini rasa penasaran dan ketakutan bercampur aduk dalam dadanya. Akankah ia menemukan batu itu? Dan apa arti “hutang tidur” yang dimaksud kakek tadi?
Langkahnya semakin cepat, menuju puncak yang kini terasa lebih menakutkan dari sebelumnya.
Gagak Intelektual dan Hutang Tidur
Langit semakin gelap, dan kabut yang menyelimuti puncak Gunung Beser terasa lebih pekat. Gekara terus melangkah dengan tekad, meskipun rasa gelisah semakin memenuhi dadanya. “Hutang tidur,” kata-kata itu terus berputar di kepalanya. Apa maksudnya? Apakah itu semacam teka-teki yang harus ia pecahkan?
Ia menghentikan langkah sejenak, menarik napas panjang, dan memandang sekeliling. Di tengah kabut yang tebal, semuanya tampak berbeda. Tidak ada suara burung, hanya desahan angin yang berputar-putar di sekelilingnya. Rasa sepi ini… tak biasa.
Tiba-tiba, dari dalam kabut muncul sebuah suara yang familiar. “Kau benar-benar datang ke sini, ya?”
Gekara menoleh, dan di atas pohon yang tinggi, ia melihat sekumpulan gagak yang sedang mengamatinya. Satu gagak yang paling depan, yang tadi bicara dengan suara intelektual, kini terbang ke dekatnya, hinggap di batang pohon yang rendah. “Kami sudah bilang, bukan? Gunung Beser tidak akan membiarkanmu begitu saja!”
Gekara mendengus. “Sudahlah, aku nggak takut. Kalau masalahnya cuma batu keramat itu, aku pasti bisa temukan.”
Gagak itu memiringkan kepala. “Masalahnya bukan cuma batu itu. Itu hanya sebagian kecil dari teka-teki besar yang melibatkanmu, Gekara.” Gagak itu mengembangkan sayapnya seolah-olah ingin menunjukkan sesuatu. “Hutang tidurmu… itu lebih dari sekadar tidur.”
“Hei, aku nggak paham!” teriak Gekara, sedikit kesal. “Apa yang kalian maksud dengan hutang tidur? Aku cuma ingin tahu di mana batu keramat itu, oke?”
Gagak itu melayang lebih dekat, begitu dekat hingga Gekara bisa merasakan hembusan angin dari sayapnya. “Kalau kau mau tahu lebih banyak, kau harus melakukannya dulu. Tapi ingat, tidak ada yang bisa menyelesaikan ini tanpa melakukan tarian konyol.”
Gekara menatap gagak itu dengan kebingungan. “Tarian konyol? Apa-apaan itu?”
Gagak itu tertawa nyaring. “Itulah yang harus kau lakukan untuk mengungkap rahasia Gunung Beser. Kamu harus menari. Tarian yang memalukan, tarian yang akan membuatmu merasa bodoh. Hanya dengan itu batu keramat akan muncul.”
Gekara merasa dunia seolah berputar di sekelilingnya. Tarian? Ini sungguh tidak masuk akal. “Gila! Aku nggak akan melakukan itu!” katanya, hampir berteriak.
Namun, gagak itu tidak bergeming. “Kau punya pilihan, Gekara. Lakukan tarian konyol atau tinggalkan Gunung Beser tanpa jawaban. Ini bukan tentang keberanianmu—ini tentang pengorbanan.”
Gekara menggelengkan kepala, tak tahu harus bagaimana. “Ini aneh, kalian semua aneh!” gumamnya dengan suara rendah. Namun, entah kenapa, hatinya merasa tergerak. Mungkin, tarian itu adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban yang ia cari.
“Baiklah,” akhirnya Gekara berkata, sambil mendekatkan tubuhnya pada tanah yang basah oleh kabut. “Aku akan melakukannya. Tapi kalau aku dipermalukan, kalian akan menanggungnya.”
Gagak itu terbang mengelilinginya, memberi tanda bahwa Gekara harus segera melakukannya. Dalam hati, Gekara berjanji, ini hanya sementara. “Ini bukan akhir dari dunia,” katanya pada dirinya sendiri. “Aku cuma perlu tahu di mana batu itu.”
Lalu, dengan tubuh yang sedikit kaku dan wajah merah padam, Gekara mulai bergerak. Ia mengangkat tangan kanannya, mengikuti gerakan yang datang entah dari mana. Dia melangkah satu demi satu, gerakan kaki yang semula kikuk mulai lebih teratur. Gerakan tubuhnya kini lebih luwes. Hidungnya berdengus, tetapi ia terus menari, semakin melaju.
Lama kelamaan, ia merasa aneh. Tarian itu memang konyol, tapi entah kenapa ia merasa seperti ada sesuatu yang berubah di sekelilingnya. Kabut yang tebal, yang tadi menutupi puncak gunung, mulai sedikit menghilang. Di kejauhan, ia melihat sesuatu yang berkilau, seperti batu yang memantulkan cahaya. Apakah itu…?
Gekara mempercepat langkahnya, berlari menuju tempat itu. Namun, saat hampir sampai, tiba-tiba suara tertawa keras terdengar dari belakangnya.
“Ho-ho-ho! Bagus sekali, Gekara! Tarian konyolmu membuahkan hasil!”
Gekara menoleh, dan kali ini, yang muncul bukan hanya gagak intelektual itu, tetapi seluruh kawanan gagak. Mereka terbang mengelilinginya, berputar-putar di udara, seolah merayakan sesuatu.
“Dengarkan!” kata gagak yang paling besar dan tertua. “Kami telah memberimu kunci. Batu keramat itu tidak hanya batu. Itu adalah bagian dari roh penjaga, bagian dari Gunung Beser yang kini terlepas. Semua yang kau lakukan, termasuk tarian itu, adalah bagian dari pengembalian keseimbangan.”
Gekara berhenti sejenak. “Tunggu, kau bilang batu itu… bukan cuma batu? Lalu apa yang terjadi pada roh penjaga itu?”
Gagak itu terdiam sejenak, matanya menyipit tajam. “Roh penjaga itu… ia telah pergi. Tetapi untuk kembali, seseorang harus menggantikan posisinya.”
“Dan siapa yang bisa menggantikan itu?” tanya Gekara, suara sedikit bergetar.
Gagak itu mengangguk. “Hanya kamu, Gekara. Hanya kamu yang bisa mengembalikan keseimbangan dan mengembalikan batu keramat itu ke tempat semestinya.”
Gekara terdiam. Dalam sekejap, segala hal yang ia anggap biasa kini terasa berat. Ia bukan hanya sedang mencari batu keramat, tetapi juga terlibat dalam sesuatu yang lebih besar dari yang ia bayangkan. Sesuatu yang melibatkan roh, keseimbangan alam, dan mungkin… dirinya sendiri.
“Aku… aku harus melakukan apa sekarang?” tanyanya, suaranya terdengar ragu.
Gagak itu terbang turun dan hinggap di dekatnya. “Mulailah dengan mencari tempat di mana batu itu berada. Tapi hati-hati, ada yang tidak ingin kamu menemukannya.”
Tiba-tiba, kabut semakin tebal, dan suara-suara aneh mulai terdengar di sekitarnya. Gekara menggigit bibirnya, bertekad untuk melangkah lebih jauh. Dia tidak bisa mundur sekarang. Petualangan yang aneh ini baru saja dimulai.
Perjalanan dalam Bayangan
Gekara melangkah lebih jauh ke dalam kabut, berusaha menenangkan pikirannya yang mulai penuh dengan keraguan. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seolah-olah gunung ini sendiri sedang menantangnya, memeriksa sejauh mana ia akan bertahan.
Di sekelilingnya, kabut mulai semakin pekat, dan suara-suara aneh yang datang dari dalam kegelapan semakin terasa dekat. Ada bisikan halus yang seakan menyusup ke dalam telinga, seperti suara yang berasal dari dunia lain. “Jangan maju lebih jauh,” suara itu terdengar begitu lembut, tetapi mengandung peringatan yang jelas.
Gekara menghentikan langkahnya sejenak, mengedarkan pandangan. Tak ada yang terlihat selain kabut dan bayangan yang bergerak-gerak dalam kelam. “Apa maksudnya?” gumamnya, merasa cemas.
Suara itu kembali terdengar, kali ini lebih keras, seperti jeritan yang teredam oleh kabut. “Batu itu tidak hanya mengubahmu… itu akan membuatmu kehilangan segala sesuatu yang kamu kenal. Kamu akan terperangkap di antara dunia ini dan dunia yang tak terlihat.”
Gekara menggerakkan tangan di depan wajahnya, mencoba menyapu kabut yang terus mengelilinginya. “Aku nggak bisa mundur. Aku harus mencari batu itu.”
Tiba-tiba, bayangan besar melintas di hadapannya. Sekejap, tubuhnya membeku. Sesosok makhluk besar dengan mata bersinar merah muncul dari dalam kabut, berdiri tegak di hadapannya. Itu bukanlah manusia, bukan juga hewan—melainkan sesuatu yang lebih mengerikan. Tubuhnya tinggi besar, dengan kulit hitam legam yang mengilap, dan giginya yang tajam seperti taring. Namun, meski begitu menyeramkan, mata makhluk itu seolah mengandung harapan.
“Jadi, kamu yang dipilih,” suara berat itu bergema, membuat Gekara terperangah. “Aku adalah penjaga jalan menuju tempat yang kamu cari. Tetapi… kamu harus membuktikan bahwa kamu layak.”
Gekara menelan ludah, mencoba mengendalikan rasa takut yang mulai merayapi dirinya. “Layak? Layak untuk apa?”
Penjaga itu menunduk sedikit, memandangnya dengan mata merah yang penuh penilaian. “Layak untuk menemukan batu itu. Batu keramat yang kamu cari bukan hanya sebuah benda, ia adalah ujian bagi siapa pun yang mencarinya. Ujian itu akan mengubahmu selamanya. Bukan semua orang sanggup menghadapinya.”
Gekara merasakan dadanya berdegup kencang. “Aku nggak takut. Aku datang ke sini untuk menemukan batu itu, dan aku akan menemukannya, apapun yang harus kuhadapi.”
Penjaga itu tertawa rendah, suaranya menggema di seluruh hutan. “Kau yakin? Kalau begitu, lihatlah baik-baik.”
Tiba-tiba, bayangan di sekitar Gekara bergerak cepat, dan dalam sekejap mata, ia berada di tempat yang berbeda. Kabut telah menghilang, digantikan oleh pemandangan yang sangat asing. Sekarang, ia berdiri di sebuah lembah yang dipenuhi dengan pohon-pohon raksasa yang menjulang tinggi, seolah menghalangi sinar matahari.
Di tengah lembah itu, sebuah batu besar tergeletak, memancarkan cahaya biru yang aneh. Batu itu terlihat seperti bagian dari alam itu sendiri, namun juga sangat tidak wajar—seolah berasal dari dimensi lain. Gekara melangkah maju, tetapi langkahnya terhenti saat ia mendengar suara tertawa rendah dari belakangnya.
“Jangan terburu-buru,” suara penjaga itu terdengar kembali. “Batu itu bukan untuk semua orang. Ada yang lebih penting dari sekadar mencapainya.”
Gekara berbalik, mencoba mencari penjaga itu, tetapi yang ia temukan justru bayangan yang mulai menghilang. “Apa maksudmu?” teriaknya, suara bergetar.
Penjaga itu muncul di sisi lain, kini dengan ekspresi yang lebih serius. “Kamu akan menghadapinya—tidak hanya batu itu, tetapi juga kenyataan yang tak akan pernah kamu pahami. Batu itu… memiliki kekuatan yang tak bisa dipahami oleh manusia. Kekuatannya bisa membebaskan atau menghancurkanmu.”
Gekara merasa kepalanya pusing. “Tapi aku harus tahu, aku harus menemukan jawaban.”
Penjaga itu menatapnya tajam. “Hanya satu yang bisa kamu lakukan. Pilihlah dengan bijak, Gekara. Batu itu akan memberi pilihan: terus hidup dengan ingatan yang utuh atau melepaskan dirimu dari semua beban yang kamu bawa. Tetapi ingat, setelah pilihan itu diambil, tak ada jalan kembali.”
Gekara menelan ludah. Kata-kata penjaga itu menggelisahkan hatinya. Apa yang dimaksud dengan melepaskan beban? Apa yang harus ia pilih? Ia merasa seolah waktu sedang berlari di sekitarnya, menghimpitnya dengan tekanan yang berat.
Tiba-tiba, ia merasa matanya berat. Tanpa sadar, ia merasakan kelelahan yang luar biasa. Sepertinya perjalanan ini telah menguras energi lebih dari yang ia bayangkan. Tangan Gekara terhuyung, dan ia hampir terjatuh, tetapi segera menahan diri.
“Sudah saatnya istirahat,” bisik suara halus di telinganya, bukan suara penjaga, tetapi suara yang lain—seperti suara dari dalam dirinya sendiri. “Semua ini bisa diselesaikan setelah tidur yang cukup. Tidur yang hilang selama ini.”
Tiba-tiba, dunia di sekitar Gekara mulai berputar. Di depan mata, batu yang ia cari tampak semakin kabur, dan kabut yang kembali menyelimuti puncak gunung tampak semakin menebal.
“Jangan tidur!” teriak suara penjaga itu. “Jangan pernah tidur di sini!”
Namun, Gekara merasa matanya terpejam dengan sendirinya. Saat itu, ia tahu—apa yang terjadi berikutnya akan membawa dampak besar. Perjalanan ini belum berakhir, dan ia harus bersiap menghadapi apa yang akan datang, meskipun tidak tahu apa yang akan terjadi setelah tidur itu.
Titik Terang di Tengah Kegelapan
Gekara terbangun dalam keadaan yang membingungkan. Saat matanya terbuka, kabut yang pekat dan batu besar yang memancarkan cahaya biru itu hilang tanpa jejak. Ia kini terbaring di tanah lembap, dikelilingi oleh hutan lebat yang tidak ia kenali. Udara terasa berat, seperti menahan setiap hembusan napas yang ia tarik. Kepalanya berdenyut, seperti ada sesuatu yang menahan rasa sakitnya. Namun, ada juga rasa lega yang mengalir pelan, seolah-olah ia baru saja terbangun dari mimpi panjang yang gelap.
Kakinya terasa lemas saat ia mencoba bangkit. Sesaat, ia melihat sekeliling, tetapi tidak ada apapun yang familiar. Bahkan langit, yang seharusnya berwarna biru cerah, kini tertutup awan kelabu. Ia tidak tahu berapa lama ia sudah terbaring, namun sebuah perasaan aneh muncul dalam dadanya—seperti ada yang hilang, seperti ada yang telah berubah.
Dengan perasaan cemas, Gekara berdiri dan melangkah lebih jauh ke dalam hutan. Ia tahu ia harus segera menemukan jawaban. Ke mana batu itu menghilang? Apa yang terjadi setelah ia tertidur? Mengapa ia merasa seperti kehilangan waktu begitu saja?
Di tengah perjalanan, ia menemukan sebuah jalan setapak yang samar. Jalan itu tampak seperti bekas langkah orang, meskipun sudah tertutup sedikit oleh dedaunan yang lebat. Gekara mengikuti jejak itu dengan cepat, berharap itu akan membawanya pada sesuatu yang ia cari. Saat ia semakin dalam masuk ke hutan, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Suara-suara yang semula sangat mengganggu, kini mulai terasa jauh lebih jelas—suara langkah kaki, bisikan angin yang membawa kata-kata tak jelas, dan tawa yang sangat familiar.
Gekara berhenti sejenak. “Tunggu,” katanya pelan, memandangi sekeliling. “Ini bukan hanya suara angin, kan?”
Suaranya terpantul kembali, dan tiba-tiba bayangan itu muncul lagi—makhluk besar dengan mata merah yang bersinar. Namun kali ini, ia terlihat lebih tenang, tidak sekeras sebelumnya. “Kamu kembali,” kata makhluk itu, dengan suara yang lebih lembut.
Gekara mengangguk perlahan. “Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Aku tidak tahu harus apa lagi.”
Penjaga itu mengamati Gekara sejenak, kemudian menghela napas panjang. “Kamu telah melewati ujianmu. Tetapi, ujianmu belum berakhir. Ingat, batu itu bukan hanya sebuah benda. Ia adalah simbol perubahan. Kamu harus memilih siapa dirimu setelah itu.”
Gekara merasa kebingungannya semakin dalam. “Aku memilih untuk tahu. Aku memilih untuk memahami, untuk menemukan jawaban yang selama ini mengganggu.”
Penjaga itu tersenyum, meskipun senyum itu terasa kosong. “Kamu tahu, ada banyak hal yang tak bisa dipahami dengan pikiran manusia. Beberapa jawaban justru lebih membingungkan daripada kebingungannya sendiri. Batu itu memberi pilihan, dan pilihan itu akan selalu membawa konsekuensi.”
Sebelum Gekara bisa bertanya lebih jauh, makhluk itu menghilang dalam kabut yang kembali mengepung. Hanya suara bisikan yang terdengar, seperti jejak dari dunia yang tak dapat dipahami.
Gekara menghela napas panjang, merasa ada sesuatu yang berat menekan dadanya. “Aku tidak tahu lagi apa yang harus kupercayai.”
Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Di kejauhan, di balik pepohonan, ia melihat sebuah cahaya. Cahaya itu tidak seperti cahaya biasa. Ia berwarna lembut, memancar keluar dari semacam pintu yang terbuka di tengah hutan. Sebuah gerbang yang tampak begitu kuno, namun masih bersinar terang. Itu adalah cahaya yang mengundangnya, seolah memberikan harapan setelah perjalanan yang begitu berat.
Gekara melangkah menuju cahaya itu, dan semakin dekat, ia merasakan kehangatan yang membelai kulitnya. Saat ia mencapai gerbang itu, ia tidak bisa menahan rasa heran. Pintu itu terbuka lebar, menampilkan sebuah dunia lain—sebuah tempat yang sangat indah, jauh dari segala kegelapan dan kekaburan yang ia alami sebelumnya. Di tempat itu, tampak banyak wajah-wajah yang tersenyum padanya, seolah menyambut kedatangannya.
Tiba-tiba, Gekara merasa ada tangan yang menyentuh bahunya. Ia menoleh, dan melihat seorang wanita dengan wajah yang sangat familiar—seorang wanita yang pernah ia lihat dalam mimpinya. Wanita itu tersenyum dengan lembut.
“Selamat datang,” kata wanita itu, suaranya penuh kelembutan. “Kamu telah sampai di tempat yang selama ini kamu cari. Semua yang terjadi adalah bagian dari perjalananmu, dan ini adalah titik terang yang kamu pilih.”
Gekara terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Sebuah perasaan yang sulit diungkapkan mengalir di dalam dirinya—perasaan yang membingungkan, namun penuh harapan. Ia akhirnya menyadari satu hal: perjalanan ini, meski penuh dengan kebingungan dan ketidakpastian, adalah bagian dari pencarian dirinya sendiri.
“Jadi, inilah akhir dari perjalanan ini?” tanya Gekara, meski dalam hatinya ia tahu jawabannya bukanlah akhir yang sesungguhnya.
Wanita itu hanya tersenyum. “Ini bukan akhir, Gekara. Ini adalah awal dari pemahamanmu yang lebih dalam. Batu itu mungkin sudah hilang, tapi kenangan dan pelajaran dari perjalananmu akan selalu ada.”
Gekara mengangguk, akhirnya merasakan kedamaian yang ia cari selama ini. Ia telah menemukan sesuatu yang lebih penting daripada batu keramat itu—sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sebuah pemahaman yang lebih dalam tentang dirinya sendiri, dan dunia yang mengelilinginya.
Dengan langkah mantap, Gekara melangkah ke dalam dunia baru yang terbuka di hadapannya, siap menghadapi apa pun yang datang, karena ia tahu—apa yang hilang dari gunung Beser telah memberinya lebih banyak daripada yang ia harapkan.
Dan di balik kabut, di atas gunung yang sekarang hanya menyisakan kenangan, angin berbisik lembut, membawa pesan bahwa semua ini, pada akhirnya, adalah bagian dari sebuah cerita yang tak akan pernah benar-benar berakhir.
Jadi, setelah perjalanan panjang yang penuh teka-teki, siapa sangka kalau hilangnya keramat Gunung Beser justru membawa kita ke pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita sendiri?
Mungkin, jawabannya nggak selalu yang kita cari, tapi perjalanan itu sendiri yang ngasih pelajaran berharga. Gekara udah selesai nyari jawaban, tapi kita, mungkin, masih punya banyak petualangan lain yang menunggu. Siapa tahu, kan?