Daftar Isi
Hallo, siap-siap merinding! Cerita kali ini bakal bawa kamu ke dalam suasana horor yang bikin jantungmu berdegup kencang. Ada bis misterius dan seorang perempuan bergaun putih yang terjebak dalam kegelapan. Siap-siap nahan napas dan jangan bilang kalau kamu nggak berani baca sendirian!
Teror di Malam Hari
BISIKAN DI BANGKU BELAKANG
Hujan turun semakin deras malam itu, menyisakan suara gemuruh di langit yang sesekali disambar kilat. Jalanan basah memantulkan cahaya lampu jalan yang redup, memberikan kesan suram di sepanjang trotoar. Di halte tua yang nyaris roboh, seorang pria bernama Gahara berdiri sendirian. Jaket tipis yang ia kenakan tak banyak membantu menahan hawa dingin yang menusuk kulit.
Tangannya menggenggam ponsel, tapi layar hanya menampilkan satu hal—baterai habis. Ia mendesah pelan, menoleh ke kanan dan kiri. Sepi. Tidak ada satu pun kendaraan yang lewat. Seharusnya bus terakhir sudah melintas setengah jam yang lalu, tapi entah mengapa malam ini terasa lebih ganjil dari biasanya.
Saat ia mulai mempertimbangkan untuk berjalan kaki, suara decitan rem terdengar dari kejauhan. Sepasang lampu depan muncul di balik kabut tipis yang mulai menyelimuti jalanan. Sebuah bus tua melaju perlahan ke arahnya, lalu berhenti tepat di depan halte dengan suara berderak menyeramkan.
Pintu bus terbuka dengan gerakan lambat, seolah engselnya sudah aus dimakan waktu. Tidak ada kondektur, tidak ada suara dari dalam. Hanya kesunyian yang menyergap malam.
Gahara melirik ke dalam. Kursi-kursi tua dengan kain lusuh berbaris rapi, tapi hampir semuanya kosong—kecuali satu.
Di bangku paling belakang, seorang perempuan duduk diam. Gaun putihnya tampak sedikit basah, rambut panjangnya menutupi sebagian wajahnya. Ia tidak bergerak, hanya menunduk dengan tangan terlipat rapi di pangkuannya.
Gahara ragu sejenak, tapi udara dingin dan jalanan yang makin sepi membuatnya akhirnya melangkah naik. Pintu bus menutup dengan suara berat, dan bus mulai bergerak kembali.
Ia memilih duduk di bangku tengah, cukup jauh dari perempuan itu. Tidak ada musik, tidak ada suara percakapan. Bahkan suara mesin bus terasa terlalu sunyi untuk ukuran kendaraan sebesar ini.
Hening.
Hingga sebuah suara berbisik.
Pelan. Samar. Seperti seseorang yang berbicara tanpa ingin terdengar.
Gahara menegakkan punggungnya. Suara itu berasal dari belakang, dari arah perempuan bergaun putih itu.
Bus tetap melaju tanpa henti, semakin jauh meninggalkan jalan utama. Lampu-lampu kota perlahan menghilang dari pandangan, digantikan oleh kegelapan yang pekat.
Bisikan itu semakin jelas.
“Kamu… tidak seharusnya ada di sini.”
Gahara menoleh cepat. Perempuan itu masih dalam posisi yang sama. Tapi ada sesuatu yang berbeda—rambutnya yang tadinya menutupi wajah kini sedikit bergeser, memperlihatkan pipinya yang pucat dan bibirnya yang bergerak perlahan.
Seolah-olah ia benar-benar berbicara, meski suaranya terdengar begitu lemah.
Gahara menelan ludah. “Kamu bilang sesuatu?” tanyanya, berusaha terdengar biasa saja.
Perempuan itu tidak menjawab. Tapi ada yang aneh—di kaca jendela di sampingnya, pantulan tubuhnya tampak berbeda.
Di kaca, perempuan itu tersenyum.
Gahara tersentak. Ia mengerjapkan mata, memastikan dirinya tidak salah lihat. Saat ia menoleh langsung ke perempuan itu, senyum itu tidak ada.
Tapi pantulan di kaca tetap tersenyum.
Jantungnya mulai berdegup kencang.
Bus melewati jalanan sempit yang semakin asing. Pohon-pohon tua berbaris di sisi kiri dan kanan, menggugurkan dedaunan kering yang beterbangan diterpa angin malam.
“Kamu harus turun sebelum terlambat,” suara perempuan itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas.
Gahara mengusap tengkuknya yang tiba-tiba terasa dingin. “Apa maksud kamu?”
Tidak ada jawaban. Tapi perempuan itu perlahan mengangkat wajahnya, memperlihatkan sepasang mata yang begitu kosong.
Bus tiba-tiba berbelok tajam. Kursi-kursi berderit, dan lampu di dalamnya mulai berkedip-kedip. Gahara berpegangan pada sandaran kursi di depannya.
Ada yang berubah.
Kini, di sela-sela kursi kosong, bayangan hitam mulai bermunculan. Mereka tidak memiliki bentuk yang jelas, hanya siluet gelap yang berdiri diam… menatap ke arahnya.
Jeritan terdengar dari segala arah, memenuhi ruang sempit di dalam bus. Bukan hanya satu suara, tapi banyak. Ratusan. Seperti gema orang-orang yang pernah berada di tempat ini sebelumnya.
Gahara berdiri, kakinya hampir tersandung saat ia mundur menjauh dari bangku tempatnya duduk.
“Kamu harus turun,” perempuan itu berkata lagi, kali ini dengan suara yang lebih dalam dan menyeramkan.
Bus kembali berguncang. Gahara berusaha bergerak ke arah depan, tapi langkahnya terasa berat. Seperti ada sesuatu yang menariknya ke belakang.
Tangan-tangan samar mulai merayap dari balik kursi, mencengkeram pergelangan kakinya.
Dan di antara jeritan yang semakin nyaring, perempuan itu berdiri.
Menyeringai.
BAYANGAN DI ANTARA KURSI KOSONG
Kegelapan semakin menyelimuti bus tua itu, menambah suasana mencekam yang tak tertahankan. Gahara merasakan napasnya yang semakin cepat, jantungnya berdegup keras seolah hendak melompat keluar dari dadanya. Dalam sekejap, ia merasa terjebak di dunia lain—sebuah dunia yang dipenuhi dengan bayangan dan suara yang menggigit ketenangannya.
Perempuan bergaun putih itu kini berdiri dengan kedua tangan terentang, seolah mengundang sesuatu yang tak kasat mata untuk mendekat. Senyumannya yang sebelumnya menakutkan kini berubah menjadi tatapan menohok.
“Kenapa kamu tidak pergi?” bisiknya, suara yang seolah berasal dari kedalaman jiwanya, menembus telinga Gahara.
“Mengapa kamu ada di sini? Siapa kamu?” Gahara berusaha mengumpulkan keberanian, walau suaranya bergetar.
Perempuan itu tidak menjawab. Ia justru melangkah maju, mendekati Gahara dengan gerakan lambat, diiringi bayangan yang semakin gelap di belakangnya. Setiap langkahnya membuat angin dingin berembus, mengguncang kursi-kursi di sekitar mereka.
Ketika perempuan itu mencapai Gahara, dia berhenti tepat di hadapannya. Mata kosongnya menatap dalam, seolah berusaha melihat ke dalam hatinya. “Kamu tidak boleh tinggal di sini. Ini bukan tempat untukmu.”
Dan saat kata-katanya terucap, bus mendadak bergetar, lampu-lampunya berkedip lebih cepat. Seperti mesin yang sedang sekarat. Gahara terkejut, melihat bayangan-bayangan yang menari di dinding bus—bayangan orang-orang yang tampak berusaha menerobos dari balik kaca, wajah-wajah penuh rasa sakit dan penyesalan.
“Siapa mereka?” Gahara berteriak, merasakan kepanikan menyelimuti dirinya.
Perempuan itu hanya tersenyum. “Mereka yang tersesat. Sama sepertimu.”
Jantung Gahara rasanya terhenti. Dengan cepat, ia berbalik, berusaha mencari jalan keluar. Ia meraih pegangan bus, berusaha meraih pintu, namun saat itu ia merasakan cengkeraman dingin di pergelangan kakinya semakin kuat.
Jeritan minta tolong membahana di telinganya, tak terduga dan mengguncang. Suara itu bergema, seolah seluruh penumpang bus yang hilang meronta-ronta dalam kesedihan. Gahara merasa tubuhnya ditarik kembali, dan ia terjatuh ke lantai bus.
“Tidak!” ia berteriak, mencoba bangkit, tetapi sesuatu yang berat menahannya. “Lepaskan aku!”
Di saat itu, bayangan-bayangan mulai mendekat, semakin terlihat jelas. Mereka adalah sosok-sosok hantu dengan wajah yang penuh luka dan kesedihan. Gahara merasa terperangkap dalam hantu-hantu itu, terjebak dalam kebisingan yang tidak pernah berhenti.
“Tidak ada yang bisa menyelamatkanmu di sini!” teriak seorang bayangan, wajahnya yang hancur menunjukkan kesedihan mendalam. “Kami sudah terjebak di sini selamanya.”
Pikiran Gahara melambat, dan ia merasa terhisap dalam ketakutan. “Apa yang kalian inginkan?”
Perempuan bergaun putih itu mengulurkan tangannya, dan anehnya, Gahara merasa ada dorongan untuk menggapainya. “Mereka ingin tahu—apakah kamu ingin bergabung?”
Gahara menatap perempuan itu, merasakan kedinginan yang menyelimuti tulang-tulangnya. “Bergabung? Dengan siapa?”
“Dengan kami, tentu saja.” Suaranya menggoda, manis namun penuh ancaman. “Kami tidak bisa pergi tanpa kamu.”
Bus mendadak berhenti. Suara decitan rem membuat Gahara terperanjat. Dia berusaha bangkit, meraih pintu yang tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Bayangan-bayangan itu melangkah mundur, seolah memberi jalan.
Kali ini, ia tidak berpikir dua kali. Gahara melompat keluar, terjatuh di trotoar basah, merasakan air dingin menghantam kulitnya. Ia berusaha bangkit, berlari menjauh dari bus yang kini mulai menghilang di kegelapan malam.
Namun di kejauhan, ia mendengar suara perempuan itu memanggil namanya, menembus malam. “Gahara! Jangan pergi! Kamu masih butuh aku!”
Suaranya bergetar dalam angin malam, dan Gahara merasakan ketakutan yang mendalam mengalir dalam darahnya. Ia berlari tanpa menoleh, tidak peduli ke mana arah langkahnya. Suara jeritan hantu-hantu di dalam bus itu semakin jauh, tetapi bayangan perempuan bergaun putih tetap menghantui pikirannya.
Ketika ia berlari, ia tidak tahu bahwa dunia di sekelilingnya sudah berubah. Jalanan yang dulu dikenalnya kini tampak berbeda, tidak ada lampu jalan, tidak ada suara, hanya kegelapan yang terus mengejarnya.
Dan saat langkahnya semakin jauh, ia merasakan sesuatu yang lebih menakutkan—ketika bayangan itu mulai mendekat lagi, memanggilnya kembali ke tempat yang sangat ditakutinya.
JERITAN DI TENGAH MALAM
Gahara berlari tanpa henti, napasnya terasa semakin berat. Kegelapan malam menyelimuti sekelilingnya, seolah dunia menghilang satu per satu, hanya menyisakan keputusasaan yang membelenggu. Setiap langkahnya bergetar, seperti ada sesuatu yang selalu mengawasi dari balik bayang-bayang.
Rasa dingin menjalar di sekujur tubuhnya, dan langkahnya semakin pelan. Ia tidak tahu ke mana harus pergi; semua jalan tampak sama, semuanya suram dan penuh ketidakpastian. Dalam sekejap, kenangan bus itu kembali menghantuinya—perempuan bergaun putih, jeritan hantu, dan bayangan yang selalu mendekat.
Saat ia menoleh ke belakang, tidak ada apa-apa. Hanya kegelapan yang menggigit. Namun, perasaan bahwa ia tidak sendirian terus menghantuinya.
“Kenapa aku tidak bisa melupakan semua ini?” desahnya sambil mengusap wajah dengan tangan yang gemetar.
Ia mempercepat langkah, melewati gang-gang sempit yang gelap. Suara-suara aneh mulai terdengar—bisikan samar, suara tawa yang menggema, seolah seluruh malam bersatu dalam kegelapan.
Dan tiba-tiba, suara jeritan menggema, membuat Gahara terhenti. Jeritan itu sangat jelas, terisi rasa sakit yang tak tertahankan. Suara itu tidak berasal dari jauh; seolah-olah datang dari sudut yang sangat dekat, di dalam kegelapan itu sendiri.
“Bantu aku!”
Gahara menelan ludah, merasa terjebak antara rasa ingin membantu dan ketakutan. Namun naluri kemanusiaannya mendorongnya untuk mencari tahu. Dengan langkah pelan, ia mendekati sumber suara, berusaha mendengarkan lebih jelas.
Di sudut gang, ia melihat sebuah cahaya redup. Dengan hati-hati, ia melangkah mendekat, dan saat ia sampai di tempat itu, ia melihat seorang perempuan terbaring di tanah, mengerang kesakitan.
“Bantu… tolong aku,” suara itu sangat lemah.
Perempuan itu mengenakan gaun yang sama dengan gaun yang dikenakan oleh perempuan di bus. Rambutnya terurai, dan wajahnya dipenuhi air mata. Gahara merasa bingung, antara ingin menolong dan merasa terancam.
“Siapa kamu?” tanyanya, suaranya bergetar.
“Aku… aku tidak tahu di mana aku,” perempuan itu merintih. “Aku terjebak. Mereka mengikutiku!”
Gahara merasa hatinya berdegup kencang. “Siapa mereka? Apa yang terjadi?”
“Bayangan-bayangan itu! Mereka terus mencariku!” Perempuan itu bergetar, matanya dipenuhi ketakutan. “Kamu harus pergi! Mereka akan datang!”
Gahara melangkah mundur, merasakan aura yang menekan. “Tapi aku tidak bisa meninggalkanmu!”
Perempuan itu memandangnya dengan mata penuh harap. “Tapi kamu tidak mengerti… jika mereka menemukanku lagi, kita semua akan terjebak selamanya!”
Belum sempat Gahara menjawab, jeritan lain menggema, kali ini lebih dekat, dan suara perempuan itu berubah menjadi teriakan histeris. “Cepat! Pergi!”
Seolah dipicu oleh ketakutan, Gahara berbalik dan berlari menjauh, meninggalkan perempuan itu. Kakinya berlari tanpa henti, terjaga dari bayangan yang terus mendekat. Jeritan dan tangisan terus memburu langkahnya, dan ia merasa seolah kegelapan malam ini menjadi lebih padat, lebih berat.
Akhirnya, ia sampai di sebuah jalan raya. Di sana, lampu-lampu kendaraan mulai tampak, memberi harapan baru. Namun, saat ia melangkah lebih dekat, ia merasakan sesuatu yang aneh—semua mobil yang lewat tidak memiliki sopir. Hanya bodi-bodi kosong yang melintas dengan kecepatan tinggi.
“Hah? Apa ini?” Gahara menggelengkan kepala, merasa kebingungan mulai mencekamnya. “Semuanya tidak nyata…”
Namun, suara jeritan perempuan di dalam pikirannya semakin jelas. Dia harus kembali, harus membantu. Meskipun rasa takut menyelimuti, Gahara merasakan dorongan untuk kembali ke tempat itu.
Ia berbalik, berlari kembali ke gang tempat ia meninggalkan perempuan itu.
Kegelapan kembali menyelimutinya, dan suara-suara aneh semakin keras. Saat ia tiba di sudut itu, ia tidak melihat perempuan tersebut. Hanya ada keheningan, seolah suara itu hanyalah ilusi.
“Tunggu!” teriaknya. “Di mana kamu?”
Ketika ia berteriak, bayangan-bayangan mulai muncul kembali. Mereka mendekat, wajah-wajah yang terdistorsi dan penuh rasa sakit. Suara jeritan perempuan itu bersatu dengan suara-suara hantu lain, menciptakan simfoni kesedihan yang menakutkan.
Salah satu bayangan mendekat, wajahnya yang hancur menatap Gahara dengan intens. “Kamu tidak seharusnya ada di sini,” bisiknya, suara yang menyayat hati.
Keringat dingin mengalir di pelipisnya. “Apa yang kamu inginkan dariku?”
“Semua ini salahmu,” kata bayangan itu. “Kami hanya ingin pergi… dan kamu bisa membantu kami.”
Gahara terdiam, bingung dan ketakutan. Ia merasakan jiwanya seolah terancam. “Tapi bagaimana? Apa yang harus aku lakukan?”
“Temukan perempuan itu. Hanya dia yang bisa menghentikan semua ini,” jawab bayangan, sebelum menghilang ke dalam kegelapan.
Gahara menghirup napas dalam-dalam. Ia harus menemukan perempuan itu, meski ketakutan terus membayangi. Dalam kegelapan malam, ia bersumpah untuk melawan, demi mengungkap misteri ini dan menyelamatkan jiwa-jiwa yang terjebak.
PENYELAMATAN DI BALIK KELAM
Gahara mengumpulkan semua keberanian yang tersisa dan melangkah lebih dalam ke dalam kegelapan. Suara jeritan yang menggema seakan-akan mengarahkan jalannya. Setiap detak jantungnya terasa seperti suara langkah kaki yang mengikutinya, menyuruhnya untuk berlari. Namun, ia tidak bisa mundur. Ia harus menemukan perempuan itu.
Ketika melangkah lebih jauh ke dalam gang sempit, cahaya samar mulai terlihat. Gahara merasa harapannya kembali menyala. Saat ia semakin mendekat, bayangan-bayangan hantu mulai menjelma kembali, menari-nari di sekelilingnya. Mereka tidak mengancam, tetapi pandangan mereka penuh harapan—seolah meminta pertolongan.
“Di mana perempuan itu?” Gahara berteriak, suaranya bergema di kegelapan.
Di ujung jalan, ia melihat bayangan perempuan bergaun putih itu muncul kembali. Ia tampak lemah, seolah terkurung dalam kegelapan yang sama.
“Gahara!” teriaknya. “Kau datang!”
Gahara merasakan jantungnya berdebar. “Aku akan membantumu. Apa yang harus kita lakukan?”
“Temukan kunci yang akan membebaskan kami!” perempuan itu menjawab dengan suara penuh harapan. “Itu ada di dalam bis yang kita naiki. Hanya dengan itu, kita bisa keluar dari sini.”
“Maksudmu bis itu?” Gahara bertanya, menunjuk ke arah tempat bis itu sebelumnya terparkir.
“Ya! Cepat, kita tidak punya banyak waktu!”
Tanpa ragu, Gahara berlari menuju bis yang gelap dan menyeramkan itu. Begitu ia tiba di sana, suasana terasa menegangkan. Suara berisik mengalun, seperti ribuan jiwa yang terperangkap di dalam.
Pintu bis terbuka perlahan, dan Gahara melangkah masuk, menahan napas. Di dalam, suasana tampak suram, dan kursi-kursi tampak kosong. Namun, aroma aneh, campuran ketakutan dan kesedihan, memenuhi udara.
“Di mana kuncinya?” Gahara bertanya, berusaha tetap tenang.
“Di ruang kemudi!” suara perempuan itu memecah keheningan.
Gahara mengangguk, dan langkahnya bergegas menuju ruang kemudi. Saat ia membuka pintu, ia merasa sesuatu yang berat menekannya, seolah ada sesuatu yang tidak ingin ia masuk.
Begitu ia melangkah masuk, pandangannya tertuju pada sebuah kotak kecil berwarna hitam di atas dasbor. Dengan cepat, ia meraihnya dan membukanya. Di dalam kotak, ada kunci tua yang berkilau.
“Ini dia!” Gahara bersorak, mengangkat kunci tersebut. “Kita bisa keluar!”
Saat ia berbalik, ia melihat bayangan-bayangan hantu mulai mendekat. Mereka berkerumun di sekelilingnya, wajah-wajah mereka penuh harapan dan rasa cemas.
“Hurry!” teriak perempuan itu dari luar. “Gunakan kuncinya!”
Gahara meraih kunci itu, dan merasakan energi yang mengalir di dalam dirinya. Ia berlari menuju pintu bis dan mengayunkan kunci itu di udara. Tiba-tiba, cahaya terang memancar, dan semua bayangan hantu menghilang.
Mereka terperangkap dalam kilatan cahaya, dan Gahara merasa seolah jiwa-jiwa itu mulai bergetar, membebaskan diri dari belenggu.
“Sekarang, katakanlah kata-kata itu!” suara perempuan itu meminta, suaranya penuh kekuatan.
“Aku membebaskan kalian dari kegelapan!” Gahara berteriak, melepaskan semua ketakutannya.
Ketika ia mengucapkan kata-kata itu, seluruh dunia di sekelilingnya bergetar. Kegelapan mulai memudar, dan bayangan-bayangan itu terbang ke arah cahaya, membebaskan diri dari ketakutan mereka.
Akhirnya, saat semuanya tenang, Gahara merasakan angin segar menyapu wajahnya. Perempuan itu berdiri di sampingnya, senyum penuh harapan terpancar di wajahnya.
“Terima kasih, Gahara. Kamu telah menyelamatkan kami semua,” katanya, suaranya lembut namun penuh kekuatan.
“Bagaimana denganmu? Apakah kamu baik-baik saja?” Gahara bertanya, memastikan perempuan itu tidak terluka.
“Ya, aku sudah bebas,” jawabnya. “Kamu adalah cahaya harapanku.”
Keduanya berdiri dalam keheningan, menyaksikan bagaimana kegelapan itu perlahan menghilang. Jalanan kembali tampak cerah, dan bintang-bintang mulai bermunculan di langit. Mereka tahu, perjalanan mereka belum berakhir. Namun, dengan keberanian dan harapan, mereka siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Dengan senyum di wajah mereka, Gahara dan perempuan itu melangkah maju, meninggalkan misteri bis yang telah mengubah hidup mereka selamanya. Kegelapan mungkin masih ada, tetapi mereka tahu bahwa bersama, mereka bisa menghadapi apa pun.
Nah, itu dia cerita seram tentang bis dan perempuan bergaun putih yang bikin merinding. Semoga kamu nggak langsung takut pas naik bis lagi, ya! Ingat, kadang kegelapan menyimpan banyak misteri, tapi dengan keberanian, kita bisa menghadapi semuanya. Sampai jumpa di cerita seru berikutnya!