Mimpi Menjadi Penulis: Perjalanan Lio Menggapai Impian dalam Dunia Kata

Posted on

Siapa sih yang nggak punya mimpi? Tapi gimana kalau mimpi itu nyangkut di dunia yang kamu cuma bisa lihat dari jauh, kayak jadi penulis? Ini kisah Lio, yang berani mewujudkan mimpinya meski dunia ngerasa jauh banget.

Jadi, siap-siap aja buat ikut ngerasain setiap langkah, jatuh, bangun, dan akhirnya menemukan keberanian buat ngejar mimpi. Yuk, ikuti perjalanan seru Lio yang nggak cuma tentang kata-kata, tapi juga tentang impian yang nggak kenal kata nyerah.

 

Mimpi Menjadi Penulis

Peta Mimpi yang Terlupakan

Malam itu, hujan turun deras di luar jendela kamar Lio. Bunyi tetesan air yang menyentuh atap rumah menambah kesan sunyi yang menyelubungi ruang kecil yang dihuni oleh pemuda itu. Lio duduk di meja belajarnya, menatap kosong pada layar laptop yang masih menampilkan halaman kosong. Ia sudah menulis beberapa kali, namun setiap kata yang muncul terasa hampa, seolah tidak ada yang cukup penting untuk dituangkan ke dalam cerita.

Lio sudah mencoba segala cara. Membaca buku-buku yang sudah usang, mencatat ide-ide di secarik kertas, dan bahkan menghabiskan malam-malam tanpa tidur hanya untuk menemukan inspirasi. Namun, sepertinya ide itu selalu menghindarinya. Mimpinya menjadi seorang penulis terasa semakin jauh, semakin kabur. Rasa kecewa mulai menggerogoti hatinya, dan ia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan.

Lio meletakkan tangan di atas meja dan membaringkan kepala di sana. “Kenapa aku merasa seperti ini? Bukankah aku sudah berusaha?” gumamnya dalam hati. Rasa frustasi mulai merayapi pikirannya. Tiba-tiba, ia melihat sesuatu di sudut kamar yang tak biasa.

Di atas rak kayu tua yang berdebu, ada sebuah buku tebal yang tergeletak begitu saja. Buku itu tidak seperti buku biasa. Sampulnya usang, berwarna cokelat tua dengan tulisan yang hampir tak terbaca di bagian depan. Lio merasa seolah-olah buku itu memanggil namanya, memintanya untuk membuka dan melihat lebih jauh. Penasaran, ia bangkit dari kursinya dan mengambil buku itu dengan hati-hati, seolah takut buku itu akan hancur jika disentuh terlalu keras.

Begitu ia membuka halaman pertama, sebuah cahaya lembut muncul dari dalam buku, memancar dari tulisan yang tiba-tiba tampak jelas di matanya. Lio tertegun. Tulisan itu tampaknya ditulis dengan tinta emas yang bersinar samar. Tulisannya berbunyi:

“Petunjuk pertama: Jadikan impianmu sebagai tulisan pertama, dan semesta akan membantu merajut jalan.”

“Petunjuk apa ini?” Lio bergumam, kebingungan. Ia merasakan sensasi aneh di dadanya, seolah kalimat itu bukan hanya kata-kata kosong. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang harus diikuti.

Dia terdiam, mencoba memahami maksud tulisan itu. Lio tidak tahu harus mulai dari mana, tapi ia merasa jika ia tidak segera melakukan sesuatu, ia akan kehilangan kesempatan yang datang begitu saja. Tanpa berpikir panjang, ia mengambil pena dan mulai menulis.

Tulisan pertama yang ia buat adalah tentang seorang pemuda yang terjebak di dunia yang penuh dengan keajaiban. Dunia yang tak nyata, namun terasa begitu hidup. Dunia yang hanya bisa dijelajahi oleh mereka yang berani mengejar impian mereka. Lio menulis dengan cepat, membiarkan kata-kata mengalir begitu saja. Setiap kalimat yang ia tulis terasa begitu nyata, seolah-olah ia sendiri yang sedang berkelana dalam dunia itu.

Namun, semakin ia menulis, semakin terasa pula beban yang datang. Beberapa kalimat terasa salah, beberapa ide terasa tidak lengkap. Lio merasa kesulitan. Matanya mulai lelah, dan ia meletakkan pena di atas meja.

“Sebenarnya, aku bisa melakukan ini?” Lio bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Hatinya mulai ragu. Ia tahu ia bisa menulis, tapi apakah cerita ini cukup bagus untuk memulai langkah besar dalam meraih impiannya?

Malam semakin larut, hujan masih turun dengan suara yang semakin menderu. Lio berjalan menuju jendela dan menatap ke luar. Lampu jalanan yang remang-remang menciptakan bayang-bayang panjang di trotoar. Hatinya terasa kosong. Ia mulai merasa seperti tak ada jalan yang bisa membawanya ke tempat yang ia tuju. Mimpinya menjadi penulis terasa semakin jauh.

Tiba-tiba, suara ketukan datang dari arah pintu. Lio terkejut. Ia berlari membuka pintu, dan di depannya berdiri seorang wanita tua dengan rambut panjang putih yang tertata rapi. Matanya yang dalam dan penuh kebijaksanaan menatap Lio dengan penuh perhatian.

“Lio,” suara wanita itu lembut, “Kau sedang mencari sesuatu, bukan?”

Lio terdiam. “Siapa… siapa kamu?” tanyanya, sedikit ragu, mencoba mengingat apakah ia mengenal wanita itu.

Wanita itu tersenyum. “Aku adalah bagian dari sejarah yang terlupakan. Dan sekarang, aku datang untuk memberimu petunjuk.”

Lio merasa kebingungan. Wanita itu melangkah masuk ke dalam kamar tanpa diundang. “Apa yang kamu cari itu ada di dalam dirimu, Lio. Kamu sudah memiliki kunci untuk meraih impianmu. Tapi untuk menemukan jalan itu, kamu harus berani menulis, berani mengungkapkan dirimu lewat kata-kata.”

Lio menatap wanita itu dengan penuh tanya. “Tapi aku tidak tahu bagaimana cara menulis yang baik. Aku takut kata-kataku tidak cukup berarti.”

Wanita itu tersenyum, memandang Lio dengan lembut. “Setiap penulis dimulai dengan ketakutan. Namun, mereka yang berani melangkah pertama kali adalah mereka yang menemukan dunia mereka sendiri. Jangan takut untuk gagal, karena dalam setiap kegagalan ada pelajaran yang membuatmu semakin kuat.”

Tiba-tiba, wanita itu menghilang begitu saja, seolah tertelan angin malam. Lio berdiri mematung, tidak bisa berkata-kata. Apa yang baru saja terjadi? Apakah itu hanya imajinasinya? Ataukah benar-benar ada seseorang yang datang untuk memberinya arahan?

Lio kembali duduk di mejanya. Buku tua itu masih terbuka di depannya, dengan tulisan yang semakin terang. Ia merasa sebuah dorongan kuat untuk melanjutkan menulis, meskipun keraguan itu masih ada. Dengan hati yang sedikit lebih tenang, ia mengambil pena lagi dan mulai menulis.

Kali ini, ia menulis dengan penuh keyakinan, meskipun kata-katanya masih sederhana. Namun, sesuatu dalam dirinya berkata bahwa setiap langkah kecil ini adalah bagian dari perjalanan besar yang harus dilaluinya.

Satu kalimat muncul di pikirannya, dan dengan penuh semangat, ia menulisnya di halaman itu: “Ini baru permulaan.”

 

Langkah Pertama di Dunia Kata

Hari-hari setelah malam itu berjalan dengan lambat, tetapi ada sesuatu yang berbeda di dalam diri Lio. Ia merasa seperti ada dorongan kuat yang terus menggerakkan tangannya untuk menulis, meski kadang keraguan datang menghampiri. Peta Mimpi yang ia temukan di buku tua itu kini menjadi teman setia di meja belajarnya. Setiap kali ia menatapnya, ada semacam pesan yang tak terucapkan, seolah-olah buku itu mengetahui setiap ketakutan dan harapannya.

Namun, menulis bukanlah hal yang mudah. Setiap kali Lio menulis satu halaman, ia merasa belum cukup, merasa bahwa apa yang ia tulis tidak cukup baik. Suasana di sekelilingnya pun seolah tidak mendukung. Ruang kamar yang sempit, suara detak jam yang selalu terdengar keras, dan cuaca yang tak menentu—semuanya membuat Lio merasa terkurung dalam pikirannya sendiri.

Suatu pagi yang mendung, Lio duduk di meja belajarnya, memandangi kata-kata yang baru saja ia tulis. Sebuah cerita tentang seorang pemuda yang harus menghadapi dunia yang penuh dengan teka-teki, dan di balik teka-teki itu terdapat sebuah misteri besar tentang dirinya. Namun, meskipun cerita itu terasa penuh dengan potensi, ia merasa kalimat-kalimatnya kosong, seakan kehilangan makna.

“Kenapa susah banget ya?” Lio mengeluh sambil menatap layar laptop yang masih menampilkan halaman kosong lainnya. “Aku ingin sekali cerita ini jadi sesuatu yang besar, sesuatu yang bisa membuat orang merasa.”

Ia menutup matanya, menarik napas dalam-dalam, dan mencoba menenangkan pikirannya. Ketika membuka mata, ia melihat ada sebuah catatan kecil yang tergeletak di samping buku tua itu. Catatan itu terlihat seperti tulisan tangan yang familiar, meskipun ia tidak ingat siapa yang menulisnya.

“Jika kamu ingin menulis dengan hati, maka izinkan hatimu berbicara melalui kata-kata. Jangan takut mengungkapkan apa yang ada di dalam diri. Tulis, meski tidak ada yang akan membacanya.”

Lio terdiam. Ia mengenali tulisan itu—itu adalah tulisan wanita tua yang mengunjunginya malam itu. Rasa penasaran kembali menyelubungi hatinya. Apa maksudnya? Apa yang harus ia lakukan untuk menulis dengan hati? Ia menatap jendela kamar yang menghadap ke taman depan rumahnya, memandangi daun-daun yang bergoyang tertiup angin.

Lio beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke luar. Angin pagi yang segar menyentuh kulitnya, dan ia merasa sedikit lebih ringan. Taman yang tenang di depannya membawa ketenangan yang jarang ia rasakan. Ia duduk di bangku taman, merasakan suasana sejuk yang menenangkan pikirannya. Dedaunan yang berguguran membentuk pola-pola acak di tanah, seolah menciptakan lukisan alam yang tak terduga.

“Menulis dengan hati…” gumamnya pelan.

Tiba-tiba, ada suara di belakangnya. “Apa yang kamu pikirkan?”

Lio menoleh dan melihat Arwen, sahabatnya, yang sudah lama tidak ia ajak bicara serius tentang tulisannya. Arwen berdiri di dekatnya, dengan ekspresi penasaran di wajahnya. Mereka sudah bersahabat sejak kecil, dan meskipun Arwen lebih suka berbicara tentang hal-hal ringan, kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya.

“Ah, aku cuma sedang bingung. Aku mulai menulis, tapi nggak tahu apakah cerita ini punya arti,” jawab Lio, sedikit gelisah.

Arwen duduk di sampingnya, menatap Lio dengan serius. “Lio, kamu tahu kan, aku selalu bilang kalau kamu punya potensi besar. Kamu hanya butuh lebih percaya pada dirimu sendiri. Kalau kamu terus merasa ragu, gimana orang lain bisa merasakan cerita yang kamu buat?”

Lio menatap sahabatnya itu. “Tapi… aku takut. Takut nggak bisa menulis dengan baik, takut kalau cerita ini nggak ada yang peduli.”

Arwen tersenyum dan menyentuh bahu Lio. “Tapi kamu tahu, Lio. Kadang kita hanya butuh waktu untuk menemukan cara kita sendiri. Tidak semua orang bisa langsung jadi penulis hebat. Dan mungkin, jika kamu menulis karena benar-benar ingin menyampaikan sesuatu, orang-orang akan merasakannya.”

Lio terdiam, merenungkan kata-kata Arwen. Entah kenapa, kata-kata itu terasa seperti angin segar yang menyentuh hatinya. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari ini, ia merasa sedikit lebih ringan. Ia berdiri dan memandang ke arah langit yang mulai berubah menjadi biru cerah.

“Terima kasih, Arwen,” katanya dengan senyum tipis, merasa sedikit lebih yakin.

Kembali ke dalam kamar, Lio duduk di meja belajarnya. Buku tua itu masih terbuka di halaman yang sama, seakan menunggu untuk diisi dengan lebih banyak kata. Ia menarik napas panjang, menatap layar laptopnya yang masih kosong, dan mulai mengetik lagi.

Ia tidak lagi berfokus pada kesempurnaan kalimat, atau takut jika kata-katanya tidak cukup indah. Kali ini, ia menulis apa yang ada di hatinya—tentang seorang pemuda yang berjuang untuk menemukan jalan hidupnya di dunia yang penuh dengan keajaiban dan tantangan. Ia menulis dengan penuh keberanian, dengan percaya bahwa setiap kata yang ia tulis adalah bagian dari perjalanan besar yang akan membawa dirinya lebih dekat dengan impiannya.

Saat ia mengetikkan kalimat terakhir pada halaman itu, ia merasakan sesuatu yang baru. Sebuah rasa puas yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Lio tahu bahwa ini baru permulaan, bahwa jalan yang harus ditempuh masih panjang. Namun, ia merasa yakin bahwa langkah pertama yang ia ambil hari ini adalah langkah yang benar.

Lio menutup laptopnya dan berdiri dari kursinya. Pandangannya tertuju pada jendela, ke luar rumah, ke dunia yang lebih luas. Ada sebuah perasaan hangat di dalam dada, sebuah keyakinan bahwa dirinya kini sedang berjalan menuju impian yang selama ini ia kejar.

“Ini hanya awal, dan aku tidak akan berhenti di sini,” bisiknya pada dirinya sendiri.

 

Keberanian di Ujung Kata

Lio bangun lebih pagi dari biasanya. Matahari baru saja menyingsing di balik bukit, menciptakan semburat cahaya keemasan yang menghangatkan dunia yang masih setengah terlelap. Namun, ada sesuatu yang berbeda hari ini—sebuah kegelisahan yang mengisi dadanya, bukan karena ketidakpastian, tapi karena antusiasme yang terus menggelora di dalam dirinya.

Ia tahu, setelah malam kemarin, setelah semua kata yang ia tulis dengan sepenuh hati, dunia menantinya. Itu adalah saat yang Lio tunggu-tunggu—saat untuk berbagi cerita kepada dunia, membuka lembaran baru di jalan panjang menuju cita-citanya sebagai penulis.

Namun, ada ketakutan yang masih menggerogoti. “Bagaimana jika cerita yang aku buat tidak cukup baik? Bagaimana jika dunia tidak memahaminya?” Lio meraba buku kecil yang selalu ia bawa, mencatatkan ide-ide dan harapan-harapan kecilnya. Setiap halaman buku itu terasa lebih berat, seperti membawa dunia di dalamnya.

“Kenapa aku merasa seperti ini, ya?” pikirnya.

Namun, kali ini Lio tidak membiarkan keraguan itu menguasai dirinya. Ada sesuatu dalam dirinya yang berkata bahwa ini adalah langkah yang benar. Tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk pergi ke perpustakaan kota pagi-pagi ini, tempat yang selalu membuatnya merasa hidup dan penuh inspirasi.

Saat sampai di sana, Lio menyadari bahwa perpustakaan itu bukan hanya sekedar tempat penuh buku. Itu adalah tempat yang memberikan kehangatan pada setiap orang yang datang, tempat di mana kata-kata dan imajinasi saling bersentuhan. Lio memilih meja di dekat jendela, yang menghadap ke taman kota yang ramai dengan pepohonan rindang. Tumbuhan itu seperti memberi semangat, seolah berkata padanya untuk menulis dengan penuh rasa.

Lio membuka laptopnya dan menatap layar kosong. Ia bisa merasakan denyut jantungnya yang semakin cepat. “Ini bukan hanya tentang menulis. Ini tentang memberi dunia bagian dari diriku,” katanya dalam hati. Jari-jarinya mulai mengetik, membentuk kalimat demi kalimat, membiarkan ide-ide yang semalam ia tuliskan mengalir keluar dengan bebas. Ia menulis tanpa beban, membiarkan kata-kata mengalir begitu saja.

Pagi itu, Lio merasa dunia berada di telapak tangannya. Setiap ketikan adalah sebuah perjalanan menuju impian yang semakin nyata. Tapi, tiba-tiba, suara langkah kaki yang mendekat membuatnya berhenti sejenak. Lio menoleh, dan di hadapannya berdiri Arwen, sahabatnya, dengan senyum lebar di wajahnya.

“Hei, kamu di sini?” Arwen bertanya dengan suara ceria.

Lio hanya mengangguk, merasa sedikit terkejut dengan kedatangan sahabatnya yang tiba-tiba. “Iya, lagi mencoba menulis lebih serius. Ada sesuatu yang ingin aku selesaikan hari ini,” jawabnya.

“Menulis ya? Serius banget kamu,” Arwen tertawa sambil duduk di sebelahnya. “Pasti ada banyak ide yang muncul ya, makanya kamu sampai datang ke sini?”

Lio tersenyum tipis. “Iya, banyak sih… Rasanya kayak kepala aku penuh banget sama cerita yang nggak bisa berhenti.”

Arwen mengangguk. “Pasti nggak mudah, ya? Mengubah ide itu jadi sesuatu yang nyata.”

Lio menarik napas panjang. “Aku mulai merasa, mungkin yang aku butuhkan sekarang bukan hanya kemampuan menulis, tapi juga keberanian untuk berbagi cerita ini dengan orang lain.”

“Keberanian itu datang seiring dengan langkah-langkah kecil, kan? Yang penting kamu tetap percaya kalau cerita kamu punya nilai. Kalau bukan kamu yang mulai, siapa lagi?” Arwen memberi semangat.

Lio menatap sahabatnya itu, merasa hangat di dalam dada. Setiap kali Arwen berbicara, ada sesuatu yang menyentuh, seperti kata-kata itu bukan hanya untuk menenangkan, tapi juga untuk memberi arah. “Terima kasih, Arwen,” ujar Lio.

Tanpa sadar, sudah hampir dua jam berlalu sejak mereka mulai berbincang. Lio kembali menatap layar laptopnya, dan kali ini, ia merasa sedikit lebih tenang. Kata-kata yang semula terasa berat kini mulai menemukan tempatnya. Lio melanjutkan mengetik, kalimat demi kalimat, hingga pada akhirnya sebuah halaman penuh terselesaikan.

Tak lama setelah itu, Lio menutup laptopnya, merasa seperti ada beban yang terangkat. “Aku melangkah lebih dekat, ya, ke impian itu,” gumamnya, setengah tak percaya.

Arwen tersenyum, menatap layar laptop Lio. “Keren banget! Aku yakin cerita ini bakal lebih dari yang kamu bayangkan.”

“Semoga,” jawab Lio, meskipun dalam hatinya ada perasaan yang lebih kuat dari sekadar harapan. “Aku baru saja memulai perjalanan, dan aku nggak akan berhenti.”

Mereka berdua berjalan keluar dari perpustakaan, menikmati udara segar di luar. Lio merasa dunia kini sedikit lebih luas, dan mungkin, impiannya yang dulu tampak jauh kini sudah lebih dekat dari yang ia kira.

“Hei, Lio,” Arwen memanggilnya, menarik perhatiannya. “Ingat, jalan menuju impian itu nggak selalu lurus. Kadang ada tikungan tajam, atau jalan yang terhalang. Tapi itu nggak masalah. Yang penting, kamu terus berjalan.”

Lio menatap Arwen dengan senyum lebar. “Aku nggak akan berhenti. Aku sudah memutuskan.”

Dengan langkah penuh tekad, mereka melangkah bersama, meninggalkan jejak di jalan yang mereka tempuh. Dan meski perjalanan panjang masih menanti, Lio tahu bahwa dengan setiap kata yang ditulis, ia semakin mendekati mimpi yang sudah lama disimpannya di dalam hati.

 

Akhir yang Baru Dimulai

Lio duduk di meja kecil di sudut ruangan, jari-jarinya menyentuh setiap kata yang sudah tertulis di layar laptop. Sudah berhari-hari ia menghabiskan waktu, berjuang menuntaskan karya yang telah lama ia impikan. Begitu banyak ide yang bertumpuk, begitu banyak kata yang meluncur tanpa henti, hingga sekarang ia terhenti di sini. Di ujung akhir sebuah perjalanan panjang.

Matanya menyipit saat melihat kata-kata yang telah ia susun dengan hati-hati. Cerita ini—karyanya—terasa lebih hidup dari yang ia bayangkan. Ia telah menulisnya untuk dirinya sendiri, tapi kini ia tahu, itu bukan lagi hanya tentang dirinya. Ini adalah cerita yang akan menemukan jalannya sendiri ke dunia luar, kepada mereka yang siap membaca dan merasakan setiap kata yang ia tuangkan.

Dari jauh, terdengar suara pintu perpustakaan yang terbuka, dan Lio tahu itu adalah Arwen. Sahabat yang selama ini selalu memberinya semangat. Arwen datang mendekat, meletakkan secangkir kopi di sampingnya, lalu duduk di kursi yang ada di hadapannya.

“Jadi, gimana? Sudah selesai?” Arwen bertanya dengan senyum penuh harapan, seperti selalu.

Lio mengangguk, sedikit canggung. “Iya… aku baru saja menyelesaikan bab terakhir.”

Arwen menatapnya dengan kagum. “Kamu pasti bangga banget, kan?”

“Entahlah, Arwen,” Lio berkata pelan. “Aku… masih merasa ragu. Apa yang aku tulis ini cukup baik? Apa bisa cerita ini diterima? Aku takut, kalau akhirnya nggak ada yang menganggapnya berarti.”

Arwen tersenyum tipis, seperti ia tahu perasaan Lio. “Lio, cerita yang kamu tulis ini bukan hanya tentang kata-kata yang kamu susun. Ini adalah bagian dari dirimu, dari perjalananmu. Dunia nggak akan tahu kalau kamu nggak berani menunjukkan apa yang ada di dalam hatimu.”

Lio menatap sahabatnya itu, merasakan ketenangan yang tiba-tiba menyelimuti dirinya. Kadang-kadang, kita hanya butuh sedikit dorongan, kata-kata yang datang di waktu yang tepat. “Aku takut, Arwen,” ia berkata, dengan suara lebih lembut dari sebelumnya. “Takut kalau dunia nggak mengerti, atau lebih buruk lagi, kalau mereka nggak peduli.”

Arwen hanya tertawa pelan. “Yang paling penting, kamu sudah berani mengungkapkan semuanya. Bukankah itu yang sebenarnya paling menakutkan? Aku tahu kamu sudah siap untuk itu.”

Lio terdiam sejenak, menatap layar laptopnya yang menampilkan halaman terakhir dari cerita yang telah ia tulis. Perasaannya campur aduk. Ada rasa bangga, tapi juga kecemasan yang belum sepenuhnya hilang. “Aku sudah memutuskan, Arwen,” akhirnya ia berkata, mengubah arah pikirannya. “Aku ingin cerita ini hidup. Aku ingin orang lain membaca dan merasakannya seperti aku merasakannya. Aku nggak akan berhenti di sini.”

Arwen tersenyum lebih lebar, matanya bersinar bangga. “Itu baru kamu, Lio. Ayo, lanjutkan perjalanan ini. Dunia menunggu untuk mendengarnya.”

Dengan langkah mantap, Lio membuka laman baru di laptopnya dan mulai menulis surat pengantar untuk penerbit. Surat yang akan menjadi langkah pertama bagi cerita yang sudah lama ia simpan. Ia tahu, tidak ada jaminan bahwa semuanya akan berjalan mulus. Tapi itu bukan hal yang menakutkan lagi. Karena Lio sadar, ini bukan akhir dari perjalanan, ini adalah langkah pertama menuju sebuah awal yang baru.

Ketika surat itu akhirnya selesai, Lio menatapnya sejenak. “Aku siap,” gumamnya, lalu menekan tombol kirim. Sekali lagi, dunia di luar sana menunggu dengan segala kemungkinan yang belum diketahui.

Arwen yang duduk di sampingnya, ikut menatap layar. “Kamu sudah melangkah, Lio. Apa pun yang terjadi, ini adalah awal dari mimpi yang sudah lama kamu kejar.”

Lio tersenyum, kali ini dengan penuh keyakinan. “Iya, Arwen. Ini baru permulaan.”

Saat itu, Lio tahu bahwa perjalanan menuju impian memang tak selalu mudah. Tapi dengan keberanian untuk berbagi, dengan ketekunan untuk terus menulis dan berusaha, ia sudah memulai langkah yang akan membawanya ke tempat yang lebih jauh. Tak peduli berapa banyak waktu yang dibutuhkan, tak peduli seberapa banyak jalan yang harus ditempuh, Lio yakin satu hal—mimpi itu akan terus hidup, selama ia berani mengejarnya.

 

Dan akhirnya, Lio sadar—mimpi nggak harus sempurna, yang penting adalah keberanian untuk mulai. Walaupun langkah pertama itu kadang terasa berat, setiap kata yang ditulis membawa dia lebih dekat ke tujuan.

Jadi, buat kamu yang lagi ragu, inget aja, semua cerita punya awal, dan siapa tahu, perjalanan kita baru dimulai. Siapa tahu, suatu hari nanti, kamu juga bakal nulis kisahmu sendiri. Jadi, ayo, jangan takut untuk mulai!

Leave a Reply