Mimpi Buruk Persahabatan: Ketika Kenangan Menjadi Satu-satunya Harapan

Posted on

Hai, siapa sih yang nggak pernah ngalamin mimpi buruk? Tapi, gimana kalau mimpi buruk itu tentang kehilangan sahabat terbaik? Yuk, simak cerita ini yang bakal bikin kamu baper dan mungkin bikin kamu ingat sama semua kenangan manis dan pahit bareng sahabatmu. Siapin tisu, karena ini cerita sedih tapi penuh pelajaran!

 

Mimpi Buruk Persahabatan

Retak yang Tak Terlihat

Langit pagi itu mendung, seperti menahan hujan yang ragu untuk turun. Angin berembus pelan, menggoyangkan dedaunan di sepanjang trotoar yang basah oleh embun. Di tengah suasana yang kelabu, dua sosok berjalan berdampingan menuju sekolah. Namun, tidak ada canda tawa seperti biasanya.

Bian dan Lavi, dua sahabat yang selalu bersama sejak kecil, kini berjalan dalam diam. Langkah mereka terasa berat, seolah ada jurang tak kasat mata yang memisahkan.

“Aku nggak nyangka, kamu sejahat itu, Vi,” suara Bian akhirnya memecah keheningan.

Lavi berhenti melangkah, menoleh ke arah Bian dengan tatapan penuh emosi. “Aku yang nggak nyangka! Aku kira kamu sahabat aku, tapi ternyata kamu…” Napasnya tersengal, menahan sesuatu yang menggumpal di dadanya.

Bian menatap Lavi tajam, rahangnya mengeras. “Aku sahabat kamu. Justru karena itu, aku ngomong kayak gini.”

Lavi terkekeh sinis. “Oh, jadi gitu? Sahabat tuh yang kayak gini? Nuding aku tanpa bukti? Aku kecewa, Bian.”

“Aku juga kecewa.”

“Kalau gitu, udah jelas. Nggak ada lagi yang perlu dibahas.”

Lavi kembali melangkah, meninggalkan Bian yang masih berdiri di tempatnya. Langkahnya cepat, seakan ingin segera pergi dari suasana menyakitkan ini.

Bian mengepalkan tangan, menahan perasaan yang berkecamuk. “Jadi ini akhirnya?” suaranya terdengar lebih lirih dari yang ia harapkan.

Lavi berhenti sejenak, tapi tidak menoleh. “Mungkin memang udah waktunya.”

Jawaban itu menghantam Bian lebih keras dari yang ia kira. Dadanya terasa sesak, seperti ada sesuatu yang diremuk paksa di dalamnya. Ia ingin berkata sesuatu—mungkin membatalkan semuanya, mungkin memperbaiki segalanya—tapi lidahnya kelu.

Lavi menghela napas panjang sebelum kembali berjalan, meninggalkan Bian sendiri di trotoar.

Hari-hari setelahnya berubah. Bian dan Lavi tidak lagi berbicara. Tidak ada lagi obrolan di kantin, tidak ada lagi pesan singkat sebelum tidur, tidak ada lagi tawa di bawah pohon dekat lapangan.

Sekolah yang biasanya terasa hangat kini menjadi dingin dan hampa.

Bian berusaha mengabaikan perasaan itu, tapi nyatanya, tidak semudah itu.

Setiap kali melewati kelas Lavi, secara refleks matanya mencari sosok itu. Namun, setiap kali pandangan mereka bertemu, Lavi selalu berpaling lebih dulu.

Bian berusaha terlihat biasa saja, meskipun di dalam dirinya, ada sesuatu yang terasa salah.

Tapi, semakin lama, semakin banyak hal aneh yang terjadi.

Pertama, buku catatannya sering hilang. Kadang-kadang, ia menemukannya di tempat yang tidak masuk akal—di laci meja lain, di rak buku perpustakaan yang bahkan tidak pernah ia sentuh. Pernah suatu kali, ia menemukan bukunya kembali dengan halaman yang penuh coretan, tulisan tangan yang bukan miliknya.

“Kamu iseng, ya?” Bian pernah bertanya ke salah satu teman sekelasnya.

Orang itu hanya mengernyit. “Iseng apaan? Aku aja nggak tahu bukumu ilang.”

Lalu, ada kejadian lain.

Ponselnya sering berdering di malam hari, tapi saat ia angkat, hanya ada suara napas seseorang.

Bian pikir mungkin itu prank, atau hanya telepon iseng. Tapi, setiap malam, panggilan itu selalu datang pada jam yang sama.

00:03.

Ia mulai merasa tidak nyaman.

Namun, puncaknya terjadi pada suatu sore ketika Bian sendirian di kelas.

Saat itu, semua orang sudah pulang, hanya tersisa dirinya yang sibuk membereskan tas.

Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya.

Langkah yang lambat. Berat.

Bian menoleh. Tidak ada siapa-siapa.

Ia mengerutkan kening. “Siapa?” tanyanya, setengah berharap tidak ada jawaban.

Keheningan.

Ia menghela napas, menggelengkan kepala, lalu berbalik kembali ke tasnya. Namun, tepat saat ia hendak mengambil bukunya—

KRAK.

Suara kursi bergeser dengan keras.

Jantung Bian hampir meloncat dari dadanya. Dengan gerakan cepat, ia menoleh lagi—dan kali ini, ia melihatnya.

Kursi di sudut kelas bergerak sendiri, bergeser pelan, seolah seseorang baru saja duduk di sana.

Tapi… tidak ada siapa-siapa.

Bian merasakan bulu kuduknya berdiri. Tubuhnya terasa beku, tapi otaknya berteriak untuk segera keluar dari sana. Dengan langkah terburu-buru, ia meraih tasnya dan berlari keluar kelas.

Saat melewati koridor, ia bersumpah bisa mendengar suara seseorang memanggil namanya—suara yang nyaris seperti bisikan.

Suara yang terdengar sangat, sangat familiar.

Bian tidak ingin memikirkannya lebih jauh. Ia hanya ingin pulang.

Namun, satu hal yang tidak ia sadari adalah… bayangan yang bergerak di belakangnya.

Bayangan yang seharusnya tidak ada.

Malam itu, Bian tidak bisa tidur. Ia terus menggenggam ponselnya, menunggu panggilan misterius yang biasanya datang setiap jam 00:03.

Jantungnya berdebar semakin kencang saat angka di layar berubah menjadi 00:03.

Dering itu datang.

Bian menelan ludah. Tangan gemetar saat ia mengangkat teleponnya.

“Halo?” suaranya nyaris berbisik.

Tidak ada jawaban. Hanya napas pelan dari seberang.

Ia mulai merasa dadanya sesak. “Siapa kamu?”

Kali ini, ada suara.

Sebuah tawa kecil.

Pelan, tetapi jelas.

Tawa yang sangat ia kenal.

Bian membeku.

Suara itu…

Itu suara Lavi.

 

Bayangan Dibalik Gelap

Dada Bian terasa semakin berat. Jarinya yang masih menggenggam ponsel mulai berkeringat. Ia menelan ludah dengan susah payah, berusaha memastikan kalau telinganya tidak salah dengar.

“Lavi?” suaranya nyaris tak terdengar.

Tak ada jawaban. Hanya ada napas pelan dari seberang, lalu…

—klik.

Panggilan terputus.

Bian langsung menurunkan ponsel dari telinganya. Matanya terpaku pada layar yang menunjukkan panggilan telah berakhir. Ia menatap layar itu lama, menunggu kalau-kalau ada panggilan lain yang masuk.

Tapi tidak ada.

Hening.

Bian menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ini cuma lelucon, kan? Mungkin ada orang yang sengaja meniru suara Lavi. Tapi, kenapa suaranya terdengar begitu… nyata?

Matanya melirik jam. 00:05.

Dengan sedikit ragu, ia membuka kontak Lavi di ponselnya. Jempolnya melayang di atas tombol panggil, tapi hatinya ragu. Sudah beberapa hari mereka tidak bicara, dan sekarang setelah semua ini terjadi, bagaimana kalau…

—Drrt.

Bian hampir menjatuhkan ponselnya saat tiba-tiba layar menyala dengan pesan masuk.

Dari: Lavi
“Kamu masih marah?”

Jantungnya hampir copot. Ia langsung membaca ulang pesan itu berkali-kali. Tangannya gemetar saat mengetik balasan.

Bian:
“Ini beneran kamu?”

Tidak ada jawaban.

Bian merutuk pelan. Ia menutup matanya, mencoba berpikir jernih. Besok, ia akan bicara dengan Lavi. Ia tidak bisa terus begini—dihantui bayangan yang mungkin hanya ada di kepalanya.

Ya, besok…

Besok semuanya akan baik-baik saja.

Namun, keesokan harinya, sesuatu terjadi. Sesuatu yang tidak pernah Bian duga.

Di sekolah, suasana terasa aneh. Beberapa murid berbisik-bisik, menunjuk ke arah mading dekat aula. Bian awalnya tidak peduli, tapi saat melewati kerumunan, sebuah kalimat yang ia dengar membuat langkahnya terhenti.

“Lavi…”

Nama itu langsung menarik perhatiannya. Tanpa pikir panjang, Bian mendekati papan mading, menerobos kerumunan.

Matanya membelalak saat melihat apa yang tertempel di sana.

Sebuah kertas dengan foto Lavi.

Di bawahnya tertulis satu kalimat yang membuat darahnya membeku.

“Kami berduka atas kepergian teman kita, Lavi, yang telah meninggalkan kita untuk selamanya.”

Dunia Bian seakan runtuh dalam sekejap.

Lavi…

Meninggal?

Itu tidak masuk akal! Mereka baru saja bertengkar beberapa hari lalu! Lavi masih ada! Ia bahkan menerima pesan dari Lavi tadi malam!

Tidak… ini pasti kesalahan.

Dengan napas tersengal, Bian berbalik, matanya liar mencari seseorang—siapa saja—yang bisa memberikan penjelasan.

Dan di sanalah, di ujung koridor, ia melihatnya.

Lavi.

Berdiri di sana, memandangnya lurus.

Tapi ada sesuatu yang berbeda.

Matanya… kosong.

Bian merasakan tubuhnya gemetar. Ia ingin bergerak, ingin berlari ke arah Lavi, tapi kakinya seperti ditanam di lantai.

Lavi tidak bergerak.

Lavi hanya… menatapnya.

Lalu, ia tersenyum.

Senyuman yang membuat bulu kuduk Bian berdiri.

Lavi membuka mulutnya, tetapi tidak ada suara yang keluar. Hanya gerakan bibir…

“Kamu nggak bisa lari.”

Jantung Bian hampir berhenti.

Ia mengedip sekali—hanya sekali—dan dalam sekejap, Lavi menghilang.

Bian menoleh ke sekitar, mencari ke mana sosok itu pergi. Tapi tidak ada siapa-siapa.

Tidak ada yang melihatnya.

Tidak ada yang menyadarinya.

Dan saat ia melihat layar ponselnya… pesan dari Lavi telah lenyap.

 

Jangan Pernah Muncul Lagi

Bian merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia masih berdiri kaku di tempat, matanya liar berkeliling mencari kehadiran Lavi yang seakan menghilang. Suasana di sekolah semakin mencekam, seakan waktu berhenti untuk menyaksikan keanehan yang sedang terjadi.

Rasa panik mendorongnya untuk melangkah. Ia harus menemukan Lavi, harus memastikan sahabatnya baik-baik saja. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar bisikan di telinganya.

“Bian…”

Nama itu diucapkan dengan lembut, tetapi mengandung nada peringatan yang dalam.

“Siapa?” Bian berteriak, berusaha mencari sumber suara.

Tetapi tidak ada siapa-siapa. Hanya keheningan yang menyelimutinya.

Dengan berani, Bian melangkah ke arah aula. Seharusnya banyak orang di sana, tapi sepertinya mereka semua enggan mendekat. Hanya ada segerombol siswa yang berkumpul di pojokan, diam dan memandang ke arah satu titik.

Rasa ingin tahunya mendorong Bian untuk mendekati kerumunan. Dan saat ia sampai di dekat mereka, ia melihat apa yang membuat jantungnya hampir melompat keluar dari dada.

Di atas panggung kecil di aula, ada sebuah spanduk besar bertuliskan:

“Selamat tinggal, Lavi.”

Dan di tengah spanduk, sebuah foto Lavi tersenyum lebar, seolah mengucapkan selamat tinggal.

Tiba-tiba, bayangan kelam menyelimuti pikiran Bian. Apakah semua ini nyata? Semua ini terasa seperti mimpi buruk yang tidak ada habisnya.

“Bian, kamu baik-baik saja?” suara temannya, Dara, menyadarkannya.

Bian menoleh. “Dara! Lavi… dia…”

Dara mengangguk pelan, wajahnya menunjukkan simpati. “Aku tahu, Bian. Kita semua sangat kehilangan. Dia sahabat kita. Kenapa kamu tidak ke rumah duka?”

“Hah? Kenapa kamu bilang itu? Lavi… dia masih hidup!” Bian merasakan amarah dan kebingungan bercampur aduk. “Aku baru saja melihatnya!”

Dara mengerutkan dahi, tampak bingung. “Kamu… pasti capek. Mungkin kamu perlu istirahat.”

“Tidak! Aku tidak gila! Dia… dia ada di sini!” Bian berlari keluar aula, menyusuri koridor yang sepi.

Ia harus mencari Lavi, harus memastikan sahabatnya baik-baik saja. Perasaannya semakin bergejolak. Ia menembus pintu keluar, berlari ke arah taman di belakang sekolah, tempat yang biasa mereka kunjungi.

Hampir terengah-engah, Bian terus memanggil nama Lavi. “Lavi! Di mana kamu?”

Setiap langkah terasa semakin berat, seakan tanah di bawah kakinya ingin menahannya.

Tapi saat ia sampai di taman, yang ia lihat membuat napasnya tercekat.

Di bangku kayu di bawah pohon besar, ada sosok Lavi, mengenakan pakaian yang sama seperti sebelumnya, dengan senyum yang tidak biasa.

“Lavi!” Bian berlari menuju sosok itu, tidak peduli dengan perasaannya yang berkecamuk.

“Tunggu… jangan mendekat!” Lavi melangkah mundur, matanya terlihat penuh rasa sakit.

“Tapi… kamu ada di sini! Aku mencarimu!” Bian terengah-engah, merasa ada harapan saat melihat sahabatnya di depan mata.

“Bian, aku bukan siapa-siapa lagi. Kamu tidak bisa mengubah takdir.”

Bian merasa duniannya runtuh. “Takdir? Apa maksudmu? Kita bisa memperbaiki semuanya!”

Lavi menggeleng, air mata mulai menggenang di matanya. “Kamu tidak mengerti. Aku sudah pergi. Ini semua bukan tentang kita lagi.”

Hati Bian bergetar. “Tapi aku tidak mau kehilangan kamu! Ini semua mimpi buruk! Kami semua sangat mencintaimu, Lavi!”

Senyuman Lavi memudar, tergantikan oleh kesedihan. “Kadang-kadang, kita tidak bisa memilih siapa yang pergi dan siapa yang tinggal. Hanya… ingat aku, ya?”

Bian merasa ada yang menyayat hatinya. “Jangan bilang begitu! Kita masih bisa berjuang!”

Lavi menatap Bian dengan tatapan yang membuatnya merasa hancur. “Bian… tolong jangan terjebak di masa lalu. Kamu harus melanjutkan hidupmu. Jangan pernah muncul lagi di tempat ini.”

Bian terdiam. Apa yang sedang terjadi? Kenapa Lavi berkata seperti itu?

“Lavi… tidak… tidak mungkin! Kamu masih sahabatku! Kamu tidak bisa pergi begitu saja!”

Dengan cepat, Bian berlari ke arah Lavi, tapi saat ia menjangkau, sosok itu menghilang.

Satu detik, dua detik… dan Lavi lenyap di hadapannya.

Hanya ada kesunyian dan dingin yang menggigit hati Bian.

“Kembalilah!” teriaknya putus asa. “Kembalilah, Lavi!”

Dan saat itu, rasa sakitnya menjadi lebih tajam. Ia jatuh terjungkal di tanah, menahan tangis yang tak tertahankan.

Sekarang, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah menyesali setiap kata yang terlontar.

Namun, dalam keputusasaannya, sekelebat bayangan kembali muncul di benaknya—suara Lavi, senyuman Lavi. Dan sebelum Bian menyadarinya, ia mulai menangis, merasakan gelombang kesedihan meremukkan hatinya.

 

Pelukkan Terakhir

Bian duduk terpuruk di bawah pohon, air mata membasahi wajahnya yang penuh kesedihan. Setiap napas terasa berat, seolah ada beban tak tertahankan yang menghimpit dadanya. Kenangan bersama Lavi terus berputar di pikirannya—senyuman, tawa, dan semua momen yang mereka lalui bersama. Kenapa semua harus berakhir seperti ini?

“Lavi…” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Ia merasa seperti kehilangan separuh jiwanya.

Namun, di tengah hening yang mencekam, tiba-tiba ia mendengar suara lembut, seperti angin berbisik di telinganya.

“Bian…”

Suara itu sangat familiar. Bian langsung menoleh. Di depan matanya, bayangan Lavi muncul lagi, dengan senyum yang hangat dan penuh kasih.

“Lavi!” teriak Bian, ingin berlari dan memeluknya. Tapi kakinya terasa berat. “Kamu… kamu di sini?”

“Ya, aku di sini, Bian. Tapi…”

“Tapi?” Bian menggigit bibirnya, merasakan harapan dan ketakutan berkelahi di dalam hatinya. “Tapi kamu tidak pergi, kan?”

Lavi menggeleng perlahan. “Aku tidak pergi. Tapi aku juga tidak bisa tetap tinggal.”

Tiba-tiba, semua rasa sakit dan kerinduan yang Bian pendam selama ini pecah. “Tidak! Aku tidak mau kehilanganmu, Lavi! Kita masih bisa bersama! Kita bisa memperbaiki semuanya!”

“Bian,” Lavi melangkah mendekat, tapi tetap menjaga jarak. “Kamu harus merelakanku. Ini bukan akhir. Aku ingin kamu bahagia.”

“Bahagia? Bagaimana aku bisa bahagia tanpamu?” air mata Bian mengalir deras. “Kita berjanji akan selalu bersama, Lavi! Aku tidak bisa melupakan semua yang kita lalui!”

Lavi tersenyum lembut, menghapus sedikit air mata yang jatuh di pipi Bian. “Cobalah, Bian. Ingat semua kenangan indah kita. Itu yang akan selalu bersamamu. Aku akan ada di dalam hatimu.”

Rasa sakit di dada Bian semakin dalam. “Tapi aku merindukanmu, Lavi. Tidak ada yang bisa menggantikanmu.”

Dengan suara yang penuh empati, Lavi menjawab, “Aku tahu. Tapi hidup terus berjalan. Dan kamu harus melanjutkan. Jadilah dirimu yang terbaik. Jangan pernah melupakan siapa dirimu, siapa kita.”

Air mata Bian mengalir semakin deras, dan ia merasa dunia di sekelilingnya semakin kabur. Ia ingin berteriak, ingin melawan kenyataan, tapi semua itu terasa sia-sia.

Lavi mendekat lagi, dan Bian merasakan kehangatan yang luar biasa saat Lavi memeluknya. “Aku akan selalu mencintaimu, Bian. Tidak peduli di mana pun aku berada.”

Bian memeluk Lavi erat-erat, menutupi wajahnya di bahu sahabatnya. “Maafkan aku, Lavi. Maafkan semua yang telah terjadi. Aku tidak ingin kehilanganmu. Aku tidak ingin…”

Tetapi saat ia berusaha menguatkan pelukannya, Lavi mulai memudar. Perlahan, bayangan itu menjauh, dan Bian merasakan pelukannya menjadi semakin ringan.

“Jangan pernah lupakan aku,” suara Lavi semakin pelan.

“Aku tidak akan pernah lupa!” teriak Bian, berusaha menahan bayangannya agar tidak pergi. “Janjiku!”

Saat Lavi menghilang sepenuhnya, Bian merasakan kesepian yang mendalam. Tetapi di dalam hatinya, ada kehangatan yang tersisa—kenangan akan persahabatan mereka yang abadi.

Ia berbaring di tanah, menatap langit biru di atas, dan merasa seolah Lavi masih ada di sampingnya. “Terima kasih, Lavi,” bisiknya. “Aku akan selalu membawa kamu di dalam hati.”

Dalam keheningan, ia menyadari bahwa meski Lavi tidak lagi ada di sampingnya, cintanya akan selamanya bersinar. Dan Bian tahu, ia harus melanjutkan hidupnya—untuk Lavi, untuk semua kenangan indah yang mereka ciptakan.

Dengan pelan, ia bangkit, mengusap air mata, dan merasakan harapan baru menyala dalam dirinya. Mimpi buruk ini tidak akan mengalahkannya. Ia akan terus hidup dengan mengenang sahabatnya, dengan cara yang penuh cinta dan penghargaan.

 

Nah, gitu deh! Kadang hidup itu nggak adil, tapi kita harus tetap ingat kenangan yang bikin kita tersenyum. Mungkin Lavi udah pergi, tapi cinta dan semua kenangan itu bakal selamanya jadi bagian dari kita. Jangan lupa, hargai setiap momen bersama sahabat, ya! Sampai jumpa di cerita selanjutnya!

Leave a Reply