Daftar Isi
Kadang hidup tuh kayak roda, tapi sialnya, nggak semua orang dapet giliran di atas. Ada yang pergi jauh ngejar mimpi, baliknya malah bawa kecewa.
Kayak cerita ini—tentang seorang anak kampung yang kepalang semangat buat sukses di kota, tapi yang ditemuin justru dunia yang lebih kejam dari yang dia kira. Pas pulang? Bukannya bangga, malah harus hadapin tatapan sinis orang sekampung. Tapi ya gitu… hidup nggak selalu soal menang atau kalah, kan?
Mimpi Anak Kampung
Langit Jingga di Rengganis
Langit di Desa Rengganis selalu tampak lebih hangat saat sore hari. Matahari yang hendak terbenam mewarnai cakrawala dengan semburat jingga kemerahan, memantul di atas hamparan sawah yang luas. Angin berembus pelan, menggoyangkan batang padi yang mulai menguning.
Di tengah pematang sawah, seorang pemuda duduk sambil menatap langit. Laras namanya. Tubuhnya kurus, kulitnya sawo matang terbakar matahari, dan tatapannya penuh dengan sesuatu yang tidak bisa dipahami orang-orang di sekitarnya—kerinduan akan sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tidak bisa ia temukan di desa kecil ini.
“Laras! Ngapain bengong di situ?” suara seorang gadis memecah kesunyian.
Laras menoleh. Ternyata Kirana, teman masa kecilnya. Rambutnya dikuncir asal-asalan, tangannya masih kotor oleh tanah, mungkin habis membantu ibunya di ladang.
“Nggak ngapa-ngapain,” jawab Laras singkat.
Kirana duduk di sebelahnya, menepuk-nepuk rok panjangnya yang terkena debu. “Kalau nggak ngapa-ngapain, kenapa mukanya kayak orang habis mikirin utang?”
Laras terkekeh pelan. “Aku nggak punya utang.”
“Tapi punya beban hidup?” Kirana menyeringai, berusaha menghibur, tapi senyuman itu cepat memudar saat ia menyadari Laras benar-benar tampak serius.
“Aku mau pergi,” kata Laras akhirnya.
Kirana mengerutkan kening. “Pergi ke mana?”
“Ke kota.”
Jawaban itu seakan membawa keheningan di antara mereka. Hanya suara angin dan gemerisik daun yang terdengar. Kirana menunduk, menggenggam ujung rok panjangnya.
“Kamu serius?”
Laras mengangguk. “Aku udah lama mikirin ini, Kir. Aku nggak bisa selamanya di sini.”
“Apa salahnya tinggal di sini?” Kirana menatapnya. “Hidup kita tenang. Nggak ada yang perlu dikejar, nggak ada yang perlu ditakuti.”
Laras menghela napas panjang. “Itu masalahnya, Kir. Aku nggak mau hidup yang cuma gitu-gitu aja. Aku pengen tahu rasanya hidup di kota, lihat gedung tinggi, kerja di tempat yang bagus. Aku nggak mau seumur hidup cuma jadi petani.”
Kirana menggigit bibirnya. “Petani juga pekerjaan bagus.”
“Aku tahu. Tapi bukan buat aku.”
Suasana kembali hening. Kirana memainkan tanah di ujung kakinya, lalu mendesah pelan. “Terus, kapan kamu berangkat?”
“Besok.”
Kirana terdiam. Kali ini lebih lama. Laras bisa melihat perubahan di wajahnya—sesuatu antara kekecewaan dan kesedihan.
“Kamu nggak bilang dari dulu.”
Laras menatap langit. “Kalau aku bilang lebih cepat, kamu pasti bakal coba ngelarang aku.”
“Jadi menurutmu kalau bilangnya sekarang aku nggak bakal ngelarang?” Kirana tertawa kecil, tapi suaranya terdengar getir.
Laras tidak menjawab.
Mereka berdua duduk di sana, menikmati hembusan angin terakhir sebelum semuanya berubah.
Malamnya, Laras duduk di beranda rumah, menatap lampu minyak yang berkedip pelan. Ayahnya, Pak Wiryo, duduk di sebelahnya, mengisap rokok kretek dengan tenang.
“Kamu yakin mau ke kota?” tanya Pak Wiryo tanpa menoleh.
Laras menatap ayahnya, mencoba membaca ekspresinya, tapi wajah lelaki tua itu tetap datar seperti biasa.
“Iya, Yah. Aku yakin.”
Pak Wiryo mengangguk pelan. Ia mengetuk ujung rokoknya, membiarkan abu jatuh ke tanah. “Kalau begitu, jalanilah. Tapi ingat, hidup di kota nggak seindah yang kamu bayangin.”
Laras mengangguk. Ia tahu. Tapi tetap saja, impiannya lebih besar dari ketakutannya.
“Ibu sudah tahu?” tanya ayahnya lagi.
Laras menelan ludah. “Belum. Aku baru mau bilang.”
Pak Wiryo menghela napas, lalu memanggil ke dalam, “Bu, sini sebentar.”
Tak lama kemudian, seorang perempuan paruh baya keluar. Wajahnya lembut, tapi penuh garis-garis kelelahan.
“Ada apa?”
Pak Wiryo mengisyaratkan pada Laras untuk bicara sendiri. Laras menegakkan punggung, lalu berkata, “Bu, aku mau ke kota besok.”
Mata ibunya langsung melebar. “Apa?”
“Aku mau kerja di kota. Aku nggak bisa selamanya di sini, Bu.”
Ibu Laras mendekat, duduk di hadapannya. “Kamu mau kerja apa di sana? Siapa yang bakal jaga kamu?”
“Ada temenku di sana. Dia bilang bisa bantuin aku cari kerja,” jawab Laras cepat.
Ibu Laras menatapnya lama, seolah mencari kebohongan dalam kata-katanya. “Kamu yakin?”
Laras mengangguk. “Aku yakin, Bu.”
Wanita itu menggenggam tangannya, jemarinya terasa kasar dan hangat. “Kalau kamu gagal, pulang, ya? Jangan biarkan dirimu menderita di tempat yang bukan rumahmu.”
Laras menelan rasa sesak di dadanya. “Iya, Bu.”
Ibu Laras menarik napas dalam-dalam, lalu mengusap rambutnya seperti saat ia masih kecil. “Kalau itu yang kamu mau, Ibu nggak bisa melarang. Tapi jaga diri baik-baik.”
Laras menggenggam tangan ibunya lebih erat. “Aku janji.”
Pak Wiryo mematikan rokoknya di tanah, lalu bangkit. “Besok pagi, aku antar kamu sampai ke terminal.”
Laras tersenyum kecil. “Makasih, Yah.”
Malam itu, Laras tidur dengan perasaan campur aduk—antara antusiasme dan ketakutan. Besok, semuanya akan berubah.
Dan ia siap menghadapi apa pun yang menunggunya di luar sana.
Kota yang Tidak Seindah Mimpi
Bus yang ditumpangi Laras melaju pelan di tengah deretan gedung-gedung tinggi. Matanya menyapu jalanan, melihat kerumunan orang berlalu lalang di trotoar, kendaraan yang berdesakan, dan baliho raksasa yang menampilkan wajah-wajah orang asing dengan senyum plastik mereka.
Berbeda dengan Desa Rengganis yang tenang, kota ini sibuk dan penuh kebisingan. Klakson mobil bersahut-sahutan, udara terasa lebih berat, dan setiap orang berjalan cepat seakan waktu mereka lebih berharga dari apa pun.
Laras menyesap napas dalam-dalam. Ini dia. Awal dari kehidupannya yang baru.
Bus akhirnya berhenti di terminal. Laras turun sambil menenteng tas ransel satu-satunya. Ia menoleh ke kanan dan kiri, mencari sosok yang seharusnya menjemputnya.
“Laras!”
Sebuah suara meneriakkan namanya. Laras menoleh dan melihat seorang pemuda kurus dengan kaus lusuh dan topi terbalik berjalan ke arahnya.
“Banu?”
“Bukan. Aku presiden,” jawab Banu sambil nyengir.
Laras tertawa kecil dan meninju bahu teman lamanya itu. “Kurang ajar. Aku serius nanya, malah becanda.”
Banu menyeringai. “Ayo, ikut aku. Rumah kosku deket sini.”
Laras mengikuti langkah Banu, menyusuri gang sempit yang dikelilingi tembok tinggi penuh coretan. Bau pesing tercium samar-samar, dan di beberapa sudut, ada orang-orang yang duduk melamun dengan mata kosong.
“Kita nggak naik angkot?” tanya Laras heran.
“Ngirit, bro. Duit di kota ini nggak jatuh dari langit,” jawab Banu santai.
Tak lama, mereka tiba di sebuah bangunan kecil dengan tembok yang sudah mengelupas. Ada beberapa pintu berjajar di dalamnya, menandakan tempat itu adalah rumah kos murah.
“Ini kamarmu,” kata Banu sambil menunjuk sebuah pintu kayu yang catnya sudah pudar.
Laras membuka pintu itu. Ruangan kecil itu hanya berisi satu kasur tipis di lantai, sebuah kipas angin yang sudah berkarat, dan meja kecil dengan cangkir kopi yang masih menyisakan ampas.
“Nggak ada lemari?” tanya Laras.
Banu terkekeh. “Selamat datang di kehidupan orang susah, sob. Di sini, lemari itu kemewahan.”
Laras menaruh ranselnya dan menghembuskan napas panjang. “Oke, jadi besok aku kerja di mana?”
Banu menggaruk kepalanya. “Nah, soal itu… aku udah tanya-tanya. Ada satu warung makan butuh tukang cuci piring. Gajinya nggak gede, tapi lumayan buat bertahan hidup.”
Laras terdiam sebentar. Pikirannya melayang ke mimpi-mimpinya dulu—mengenakan jas rapi, bekerja di kantor megah, dan punya kehidupan yang lebih baik. Tapi sekarang, ia bahkan belum bisa melewati hari pertamanya di kota tanpa ditawari kerjaan mencuci piring.
“Terserah kamu, sih. Kalau mau cari kerja lain, ya silakan,” kata Banu santai.
Laras menelan ludah. “Enggak. Aku ambil.”
Banu menepuk bahunya. “Good. Besok pagi kita ke sana.”
Malam itu, Laras tidur di kasur tipisnya, mendengarkan suara gaduh dari luar—teriakan orang mabuk, suara motor knalpot bising, dan langkah kaki yang terdengar terburu-buru di lorong.
Ini bukan Desa Rengganis.
Ini kota.
Dan ia belum tahu apakah ia akan bertahan di sini atau tenggelam di dalamnya.
Keesokan paginya, Laras mengikuti Banu ke sebuah warung makan kecil di pinggir jalan. Pemiliknya, seorang pria gempal bernama Pak Sarman, menatapnya dari ujung kepala sampai kaki sebelum akhirnya berkata, “Kamu kuat kerja cepet?”
Laras mengangguk. “Iya, Pak.”
“Mulai sekarang.”
Tanpa banyak bicara, Laras langsung diarahkan ke bagian belakang warung, di mana tumpukan piring kotor sudah menunggu. Air sabun dingin membasahi tangannya, dan selama berjam-jam, ia sibuk mencuci, membilas, dan mengeringkan piring tanpa henti.
Saat istirahat, ia duduk di bangku kecil sambil mengusap tangannya yang mulai merah karena air sabun. Banu duduk di sebelahnya, mengunyah gorengan.
“Gimana?” tanya Banu.
Laras menatap tangannya yang kasar. “Nggak nyangka hidup di kota kayak gini.”
Banu tertawa pelan. “Bro, ini baru awal.”
Dan ternyata, benar.
Hari demi hari berlalu, dan Laras mulai merasakan kerasnya hidup di kota. Gajinya kecil, cukup hanya untuk makan seadanya dan membayar kos. Tangannya semakin kasar, tubuhnya lelah, dan setiap malam, ia tidur dengan perut yang masih sering kosong.
Di luar sana, ia melihat orang-orang hidup mewah—mengendarai mobil mahal, makan di restoran, dan tertawa tanpa beban. Sementara ia, hanya bisa melihat mereka dari kejauhan, bertanya-tanya kapan hidupnya akan berubah.
Namun, yang lebih menyakitkan bukan hanya kesulitan hidup. Tapi bagaimana orang-orang di kota ini memperlakukannya.
Suatu sore, saat ia berjalan pulang, seseorang menabraknya dengan kasar.
“Eh, kalau jalan pake mata dong!” bentak pria itu.
Laras menoleh, menatapnya. “Maaf, Mas.”
Tapi pria itu justru mendengus. “Dasar kampungan.”
Laras terdiam. Kata itu menusuk lebih dalam dari yang seharusnya.
Kampungan.
Selama ini, ia berpikir bahwa datang ke kota akan mengubah nasibnya. Tapi sekarang, ia hanya merasa seperti orang asing—tak dianggap, tak diterima, dan selalu berada di bawah.
Malam itu, Laras duduk di tepi jalan, menatap lampu-lampu kota yang berkelip. Mimpi yang dulu terasa begitu besar, kini terasa semakin jauh.
Dan untuk pertama kalinya, ia bertanya-tanya…
Apakah ia benar-benar harus bertahan di sini?
Kota yang Menelan Mimpi
Hujan turun deras malam itu. Langit gelap, udara dingin menusuk hingga ke tulang. Laras berdiri di bawah emperan toko yang sudah tutup, merapatkan jaket tipisnya. Tubuhnya lelah, matanya merah karena kurang tidur, dan perutnya sudah lama tak diisi makanan yang layak.
Hari ini, Pak Sarman memecatnya.
“Bilangnya kerja bisa cepet, tapi kerjamu lambat! Aku butuh orang yang gesit, bukan pemimpi yang kerja kayak siput!”
Laras diam saja saat pria gemuk itu menghempaskan seragam lusuhnya ke lantai. Tak ada perlawanan, tak ada pembelaan. Ia hanya bisa menelan ludah dan melangkah pergi dengan kepala tertunduk.
Sekarang ia resmi menganggur.
Banu? Entah di mana. Beberapa hari lalu, ia pamit pergi ke luar kota untuk “cari kerjaan yang lebih bagus.” Katanya, hidup di sini sudah terlalu susah. Dan sejak itu, Laras tak pernah melihatnya lagi.
Sendiri.
Di kota yang dulu ia impikan, Laras sekarang benar-benar sendiri.
Pagi harinya, perutnya melilit kelaparan. Sisa uang di sakunya hanya cukup untuk membeli satu bungkus nasi kucing di pinggir jalan. Tapi bahkan sebelum ia bisa menikmati sesuap, seseorang menabraknya dari belakang.
“Nanti kalau makan di tempat, bayar, ya,” suara perempuan pemilik warung terdengar ketus.
Laras menghela napas, mengambil nasi bungkusnya yang jatuh, lalu berjalan pergi tanpa menoleh. Bahkan orang-orang di kota ini lebih peduli pada uang daripada manusia.
Ia menghabiskan hari itu dengan berjalan tanpa arah. Mencari pekerjaan lagi? Tidak ada lowongan untuk seseorang sepertinya—tanpa pengalaman, tanpa ijazah tinggi, tanpa koneksi.
Tengah hari, di depan sebuah restoran besar, ia melihat seorang pria berjas keluar dari mobil mewah. Seseorang membukakan pintu untuknya, sementara pria itu menyerahkan uang pada seorang pelayan yang membungkuk dalam-dalam.
Laras menatap adegan itu dengan tatapan kosong.
“Apa yang membuat kita berbeda?” batinnya.
Jawabannya jelas. Ia lahir di desa miskin, tanpa privilese, tanpa kesempatan yang sama. Ia bisa bekerja sekeras apa pun, tapi tetap saja akan selalu ada orang yang berdiri di atasnya, menikmati hidup yang lebih mudah.
Tapi yang lebih menyakitkan…
Ia mulai sadar bahwa mimpi yang selama ini ia kejar mungkin hanya ilusi belaka.
Malamnya, ia kembali ke kamar kosnya yang kecil. Udara lembap, bau apek menyengat, dan dinding kamar semakin terlihat usang. Ia duduk di sudut, lututnya ditarik ke dada, mencoba menghangatkan diri.
Dulu, di desa, ia masih bisa merasakan hangatnya rumah.
Sekarang, ia bahkan tak tahu apakah tempat ini masih bisa disebut rumah.
Hari demi hari berlalu.
Ia mulai bekerja serabutan—mengangkat barang di pasar, menjadi kuli panggul di gudang, bahkan pernah menjadi badut di pinggir jalan. Upahnya kecil, tapi cukup untuk sekadar bertahan hidup.
Namun, semua itu tak berlangsung lama.
Suatu hari, saat ia sedang mengangkat karung beras di pasar, seorang pria yang lebih tua mendorongnya keras.
“Kamu anak baru, ya? Jangan ngambil jatah orang sini!”
“Aku cuma mau kerja, Pak,” jawab Laras pelan.
Pria itu mendengus. “Kerja di tempat lain! Kota ini udah susah, jangan sok-sokan dateng nyari peruntungan!”
Laras hanya diam. Ia tak punya tenaga untuk berdebat.
Saat itu, ia benar-benar merasa… tidak diinginkan.
Di kota yang katanya penuh kesempatan, ternyata orang-orang hanya peduli pada diri mereka sendiri.
Laras berdiri di jembatan tua, menatap sungai kotor di bawahnya. Angin malam dingin menusuk, membawa serta suara gemuruh kendaraan dari kejauhan.
Di dalam kepalanya, suara-suara berbisik.
“Apa gunanya bertahan?”
“Apa gunanya terus mencoba?”
Ia menggenggam pagar besi jembatan itu erat.
Namun, dalam kebisuannya, sebuah ingatan muncul.
Ingatan tentang ibunya di desa, yang selalu bangun pagi untuk menanak nasi di dapur sederhana mereka.
Ingatan tentang adik kecilnya, yang selalu tersenyum riang meskipun hidup mereka tak pernah mudah.
Ingatan tentang sawah, angin yang bertiup lembut, dan suara jangkrik di malam hari.
Dadanya tiba-tiba terasa sesak.
Laras menutup matanya, lalu melepaskan genggamannya dari pagar jembatan.
Tidak.
Ia tidak akan menyerah seperti ini.
Ia tidak akan membiarkan kota ini menelannya.
Ia akan pulang.
Ia akan kembali ke tempat di mana ia masih punya nama, di mana ia masih bisa merasa hidup.
Malam itu juga, Laras naik ke atas truk sayur yang hendak kembali ke desanya.
Duduk di antara tumpukan karung, ia menatap kota yang perlahan menjauh di balik bayangan lampu jalan.
Kota yang dulu ia impikan.
Kota yang ternyata hanya mempermainkannya.
Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa sedikit lebih ringan.
Karena meskipun ia pulang dengan tangan kosong, ia pulang dengan hati yang masih bertahan.
Dan itu sudah cukup untuk sekarang.
Pulang Tanpa Mahkota
Truk sayur yang ditumpangi Laras berhenti di pinggir jalan desa saat fajar mulai menyingsing. Udara dingin menyambutnya, membawa aroma sawah basah dan embusan angin yang tak pernah berubah.
Laras melompat turun, menginjak tanah yang dulu ia tinggalkan dengan penuh harapan. Langkahnya berat, bukan karena lelah, tapi karena ia kembali sebagai seseorang yang gagal.
Ia menghela napas panjang, menatap jalan setapak yang mengarah ke rumahnya. Rumah kecil di ujung desa yang selalu ada di dalam kepalanya setiap malam ia berjuang di kota.
Tak ada sambutan meriah, tak ada orang yang menunggu dengan bangga. Hanya rumah tua itu, dengan cat tembok yang mulai pudar dan pagar bambu yang sudah doyong.
Laras ragu sejenak, tapi akhirnya melangkah masuk.
Ibunya sedang duduk di depan rumah, menampi beras dengan telaten. Wanita itu tak langsung sadar ada seseorang berdiri di depannya, sampai Laras membuka suara.
“Bu…”
Ibunya menoleh, matanya melebar saat melihat anak lelakinya yang sudah berbulan-bulan pergi. Wajahnya dipenuhi kejutan, tapi juga kelegaan.
“Kamu pulang?”
Laras mengangguk. Tenggorokannya tercekat.
Tanpa bertanya macam-macam, ibunya bangkit, mengusap kedua pipinya, lalu menariknya ke dalam pelukan. Laras diam, hanya bisa menggigit bibir menahan sesuatu yang menggenang di matanya.
Pelukan itu hangat. Terlalu hangat untuk seseorang yang kembali dengan tangan kosong.
Hari-hari berlalu, Laras mulai kembali menyesuaikan diri dengan kehidupan desa.
Tetangga-tetangga mulai tahu ia sudah pulang. Beberapa hanya melempar tatapan kasihan, yang lainnya sibuk berbisik di belakangnya.
“Katanya merantau mau sukses, kok pulang begitu aja?”
“Kasihan ibunya, pasti kecewa.”
“Iya, kalau cuma balik tanpa hasil, buat apa pergi jauh-jauh?”
Laras pura-pura tak mendengar, tapi kata-kata itu menancap lebih dalam dari yang ia kira.
Ia duduk di pinggir sawah suatu sore, menatap petani-petani yang bekerja tanpa henti. Dulu, ia selalu berpikir pekerjaan mereka membosankan, tak punya masa depan. Tapi sekarang, ia justru merasa iri.
Mereka mungkin tak punya uang banyak, tapi mereka punya sesuatu yang lebih berarti—kepastian.
Mereka tahu ke mana harus pulang, mereka tahu apa yang harus mereka lakukan setiap hari, dan mereka tahu bahwa hidup tak selalu soal mimpi besar.
Laras mulai memahami sesuatu yang tak pernah ia sadari sebelumnya.
Suatu pagi, Pak Karim, salah satu petani tua di desa, mendekati Laras saat ia duduk di depan rumah.
“Kamu masih mau kerja?” tanyanya sambil menyulut rokok.
Laras menoleh, sedikit bingung. “Maksudnya, Pak?”
“Ada tanah kosong di pinggir desa. Kalau kamu mau garap, saya bisa bantu.”
Laras menatap pria tua itu lama. Ia tak pernah membayangkan dirinya menjadi petani. Tapi bukankah semua yang ia bayangkan tentang hidup ini selalu salah?
Ia menatap tangannya sendiri—kasar, penuh luka dari kerja keras yang tak menghasilkan apa-apa di kota.
Lalu, untuk pertama kalinya sejak ia pulang, Laras tersenyum.
“Baik, Pak. Saya mau.”
Bulan demi bulan berlalu.
Laras bekerja di sawah kecilnya sendiri. Ia belajar cara mengolah tanah, menanam padi, dan menunggu hasil dengan sabar. Tak seperti di kota, di mana segalanya terasa mendesak dan penuh persaingan, di sini ia menemukan ritme hidup yang lebih damai.
Mungkin ia bukan seseorang yang sukses dalam pandangan orang lain.
Mungkin ia tak membawa pulang kekayaan atau gelar besar seperti yang ia impikan.
Tapi kali ini, ia tak lagi merasa kalah.
Ia tak lagi merasa dirinya gagal.
Karena ternyata, pulang dengan hati yang utuh lebih berharga daripada pergi dengan mimpi yang hancur.
Hidup tuh kadang nggak adil, tapi siapa juga yang janjiin hidup bakal gampang? Kadang yang kita cari jauh-jauh, ternyata ada di tempat kita mulai. Dan kadang, pulang dengan kepala tegak jauh lebih berharga daripada pergi dengan mimpi yang hancur.
So, buat yang lagi ngejar mimpi, ingat satu hal—nggak semua kemenangan harus diukur dari apa yang orang lain lihat. Yang penting, kamu sendiri tahu kapan harus terus maju dan kapan harus pulang.


