Daftar Isi
Hai, siap-siap tertawa, deh! Cerita kali ini tentang dua orang yang seharusnya saling bantu di dapur, tapi malah jadi komedi gila-gilaan! Mertua dan menantu yang lebih mirip sahabat ini bakal bikin kamu ngakak dengan segala drama masakan yang gagal, tapi seru!
Mertua dan Menantu yang Anti Masak
Kulkas Kosong, Harapan Hilang
Pagi itu, Keisya bangun dengan semangat. Hari ini ulang tahun pernikahannya yang ketiga dengan Dion. Rencananya, dia mau bangun lebih awal, masak sesuatu buat suaminya, dan pura-pura jadi istri teladan setidaknya sehari dalam setahun.
Dia melirik jam di nakas. Pukul 07.30. Oke, agak kesiangan, tapi masih bisa lah. Dion biasanya baru turun jam delapan kalau hari libur.
Tanpa cuci muka atau sikat gigi, Keisya langsung ngibrit ke dapur. Tapi begitu dia buka kulkas, semangatnya lenyap seperti saldo rekening habis belanja flash sale.
“Kulkas kosong?!”
Dia memeriksa rak satu per satu. Yang tersisa cuma sebotol kecap manis, satu butir telur yang entah sudah berapa bulan usianya, dan sekotak susu kedelai yang sudah kadaluarsa minggu lalu.
“Astaga, ini rumah atau rumah hantu?!” Keisya garuk-garuk kepala.
Di saat yang bersamaan, suara langkah santai terdengar dari tangga. Muncullah Rania, ibunda tercinta dari Dion, yang kebetulan tinggal serumah setelah pensiun. Wanita berusia lima puluhan itu masih pakai piyama satin ungu dengan motif bunga-bunga emas, rambutnya dicepol asal, tapi makeupnya masih nempel sempurna dari kemarin malam.
Di tangannya, segelas es kopi dari Starbucks.
“Ada apa pagi-pagi teriak kayak orang kesurupan?” Rania duduk di kursi makan dengan anggun, menyeruput kopinya dengan ekspresi sok elegan.
“Kulkas kosong, Ma!”
Rania menatap kulkas yang menganga lebar, lalu menoleh ke Keisya dengan tatapan penuh harapan palsu. “Lho, aku pikir kamu yang belanja kemarin?”
“Aku kan kerja, Ma! Aku pulang udah capek, masa aku yang harus belanja juga?”
Rania mengangkat bahu. “Lho, aku juga sibuk!”
Keisya memutar mata. “Sibuk nonton drama Korea sama belanja online itu nggak masuk kategori sibuk, Ma!”
“Hei, mulutmu itu, lho!” Rania menunjuk Keisya dengan telunjuk penuh kuku merah menyala. “Nonton drakor itu aktivitas yang membutuhkan ketahanan mental tinggi. Tiap episode itu rollercoaster emosi!”
Keisya menghela napas. “Ya, ya, aku ngerti, Ma. Tapi sekarang gimana? Aku tuh pengen masak buat Dion, tapi nggak ada bahan apa-apa!”
“Ya tinggal pesen ojol aja,” Rania menjawab enteng.
“Ma, aku tuh pengen keliatan jago masak sehari doang dalam setahun. Seenggaknya Dion bisa mikir aku istri yang rajin!”
Rania tertawa. “Kamu? Masak?”
Keisya mendelik. “Aku bisa, Ma!”
“Oke, sebutin satu resep yang kamu tau tanpa buka Google.”
Keisya diam. Pikirannya kosong. Dia mengingat-ingat, tapi satu-satunya resep yang pernah dia praktikkan adalah “telur dadar pake garam.”
Melihat ekspresi Keisya, Rania makin ngakak. “Tuh kan! Nggak usah sok-sokan, langsung aja kita pesen ojol!”
Keisya mendesah. “Yaudah, kita pesen deh. Tapi makanannya harus keliatan kayak masakan rumah, Ma. Biar aku bisa bohong dikit ke Dion.”
Rania menyipitkan mata penuh rasa bangga. “Aduh, aku makin sayang sama kamu! Akhirnya kita makin mirip!”
Dengan semangat baru, mereka langsung membuka aplikasi ojol.
Tapi sebelum sempat checkout, Rania berhenti. Matanya menyipit.
“Tunggu dulu. Kamu lihat nggak?”
“Lihat apa?”
“Kenapa ayam goreng di restoran ini keliatan lebih kecil dari biasanya?!”
Keisya menatap layar ponselnya, bingung. “Hah? Kecil apanya? Sama aja kali, Ma.”
Rania menggeleng. “Nggak, nggak. Aku sering pesen di sini. Ini pasti efek kapitalisme! Harga naik, porsi dikit!”
Keisya menghela napas panjang. “Ma, kita butuh makan, bukan teori konspirasi!”
“Hei, jangan remehkan teori ini! Ayam-ayam di dunia ini semakin kecil dan kita harus sadar akan konspirasi ekonomi global yang merugikan rakyat kecil!”
Keisya nyaris membanting ponselnya. “Ma, aku laper! Mau mesen atau nggak?!”
Rania mendesah dramatis. “Baiklah, baiklah. Tapi aku mau cek restoran lain dulu. Aku nggak mau dikelabui dengan ayam goreng setengah porsi!”
Sementara mereka sibuk memilih makanan, suara langkah berat terdengar dari tangga.
Dion turun dari kamar, menguap lebar. “Pagi, kalian lagi ngapain?”
Keisya dan Rania spontan menoleh. Seperti tersambar petir, mereka panik. Misi mereka belum selesai.
“Eh, nggak ada apa-apa! Kamu tunggu di atas aja dulu, Sayang!” Keisya mendorong Dion pelan-pelan ke tangga.
Dion menyipitkan mata curiga. “Kenapa aku disuruh ke atas? Kalian lagi nyembunyiin sesuatu?”
“Tentu tidak!” sahut Rania cepat, tapi terlalu cepat sampai terdengar mencurigakan.
Dion mengendus udara. “Kalian lagi masak?”
Menantu dan mertua itu langsung terdiam.
“K-k-kita lagi persiapan aja, Sayang,” ujar Keisya dengan cengiran yang terlalu dipaksakan.
Dion mengangkat alis. “Persiapan? Kok nggak ada bau masakan?”
Rania dengan cepat menyemprotkan pengharum ruangan ke udara. “Tuh, kan ada wangi!”
Dion makin curiga. “Itu bukan bau masakan, itu lavender, Ma!”
Keisya buru-buru mengganti topik. “Pokoknya kamu jangan turun dulu! Ini surprise buat kamu!”
Dion akhirnya menyerah. “Yaudah, aku mandi dulu. Tapi aku laper, buruan siapin makan, ya?”
Begitu Dion kembali ke atas, Keisya dan Rania saling tatap.
“Misi penyelamatan rumah tangga hampir gagal,” gumam Keisya.
“Tapi kita masih punya waktu!” Rania mengacungkan ponselnya. “Aku udah nemu restoran yang porsinya nggak pelit. Kita checkout sekarang!”
Keisya mengangguk mantap. “Cepat sebelum Dion turun lagi!”
Dan di situlah dimulainya petualangan mereka dalam menipu suami dengan masakan restoran. Misi belum selesai.
Teori Konspirasi Ayam Goreng
Pesanan makanan akhirnya datang tepat waktu. Keisya dan Rania langsung menyambarnya dari tangan abang ojol secepat kilat, seperti dua detektif yang sedang menjalankan misi rahasia.
“Kita harus segera plating, Ma!” Keisya buru-buru membuka bungkusan ayam goreng, sambal, dan lalapan.
Rania menatap makanannya dengan curiga. “Hmm… Aku masih merasa ukuran ayamnya makin kecil.”
Keisya menepuk dahinya. “Ya ampun, Ma! Bisa nggak sih kita fokus dulu?!”
Rania mendekatkan ayam goreng ke matanya seolah-olah sedang meneliti fosil dinosaurus. “Dulu, ayam tuh gede-gede, lho. Sekarang makin kecil. Ini konspirasi kapitalisme. Pabrik ayam itu pasti pakai metode diet buat ayam-ayamnya!”
Keisya memutar bola matanya. “Ya kali ada ayam yang sengaja diet.”
“Siapa tahu?” Rania mulai serius. “Ayam-ayam sekarang mungkin dikasih porsi makan terbatas biar badannya ramping, terus dijual lebih mahal. Coba lihat nih, ini paha ayam atau sayap burung gereja?”
Keisya menutup muka dengan tangannya. “Aku nyerah. Serius, aku nyerah.”
Tapi sebelum mereka bisa memperdebatkan lebih lanjut soal teori ayam diet, suara Dion terdengar dari tangga.
“Sayang, makanannya udah siap?”
Keisya dan Rania langsung panik.
“Ya ampun! Cepet-cepet, Ma, kita harus plating sekarang juga!”
Dengan kecepatan tinggi, mereka berdua mulai mengatur makanan di piring. Keisya meletakkan ayam goreng di atas piring keramik putih, menata lalapan di sisi kanan, lalu menuang sambal dengan gaya ala chef restoran mewah.
“Tambah kecap dikit biar keliatan homemade!” bisik Keisya sambil menuangkan kecap secara artistik.
Rania mengangguk. “Bagus, bagus. Terus taburin bawang goreng, biar makin meyakinkan.”
Mereka berdua berdiri, menatap hasil kerja keras mereka.
“Kelihatan kayak masakan rumah, kan?” tanya Keisya penuh harap.
Rania mengangkat bahu. “Hmm, mungkin kalau kita tambah piring yang agak berantakan dikit biar keliatan realistis?”
“Tidak!” Keisya langsung menepis ide gila itu.
Dion akhirnya turun, menghirup udara dengan puas. “Wah, wangi banget. Kamu masak apa, Sayang?”
Keisya menahan napas. “Eeeh… ayam goreng spesial.”
Dion mengangguk sambil duduk. Dia mengambil sepotong ayam, mencelupkan ke sambal, lalu menggigit dengan lahap.
Keisya dan Rania menatapnya penuh harap.
“Enak, kan?” tanya Keisya dengan cengiran gugup.
Dion mengangguk sambil mengunyah. “Hmm… lumayan.”
“Lumayan?” Keisya mulai panik.
Dion menatap piringnya. “Kayaknya beda sama masakan kamu biasanya, Sayang. Ada yang aneh deh.”
Rania buru-buru ikut campur. “Aneh gimana? Ini tuh resep turun-temurun!”
Dion mengernyit. “Oh ya? Resep dari siapa?”
Rania tersenyum. “Dari neneknya temennya sepupunya tante aku yang pernah kerja di restoran ayam goreng!”
Keisya hampir kelepasan ngakak. Tapi sebelum Dion sempat mempertanyakan lebih jauh, Keisya buru-buru mengambil ayam lain dan menyodorkannya. “Udah, makan aja dulu! Jangan kebanyakan mikir!”
Dion mengangkat bahu dan lanjut makan.
Begitu Dion fokus ke piringnya, Keisya menoleh ke Rania dan berbisik, “Ma, kita selamat!”
Rania mengangguk puas. “Tapi aku tetap curiga. Ayam ini ukurannya kecil banget. Aku yakin ini bagian dari teori konspirasi global!”
Keisya menghela napas panjang. “Ma… yang penting kita masih hidup.”
Dan untuk sementara, misi mereka berhasil. Tapi, masalah belum selesai…
Drama Dapur dan Resep Rahasia
Satu jam berlalu, dan suasana makan malam menjadi sangat akrab. Dion yang sedang menyantap makanannya terlihat bahagia, sementara Keisya dan Rania saling melirik dengan senyum puas. Semua berjalan sesuai rencana, hingga tiba-tiba, Dion terbatuk.
“Ugh, sambalnya pedas banget!” Dion melirik Keisya, seolah mencari penjelasan. “Kamu pakai berapa cabai, Sayang?”
Keisya membulatkan mata. “Eh? Itu sambal kemasan, kok. Kayaknya pedasnya pas, deh!”
Dion menyeka keringat di dahinya. “Sama sekali nggak pas, Sayang. Ini bener-bener kayak… ngerusak rasa ayamnya.”
Muka Keisya memerah. Dia menoleh ke Rania. “Ma, tolong dong! Kita harus bikin rencana cadangan!”
Rania mulai berpikir keras. “Mungkin kita bisa kasih Dion teh hangat? Buat netralin rasa pedas?”
“Bagus! Cepet!” Keisya melompat bangkit dan berlari ke dapur.
Sementara Keisya sibuk menyiapkan teh, Rania berusaha menenangkan Dion. “Jadi, gimana, Sayang? Masakanku hari ini ada yang kurang?”
“Kurang enak,” jawab Dion polos sambil mengambil sepotong ayam lagi. “Tapi aku mau coba lagi, semoga ada yang lebih enak.”
Rania tertegun. “Ayamnya udah habis, Dion. Tadi kita cuma pesen sedikit.”
“Eh? Serius?” Dion melirik piringnya yang kini hanya menyisakan tulang.
Rania melotot. “Gimana sih kamu bisa habisin segitu cepat?”
“Makan ya makan lah, Ma. Mana bisa nahan?” Dion balas kesal, walau senyum tetap tak lepas dari wajahnya.
Keisya kembali dengan segelas teh hangat. “Nah, ini dia solusi! Minum ini, ya. Buat nyetabilin rasa pedas.”
Dion menerima gelas itu dan meminumnya. “Hmm, lebih enak. Tapi aku tetap curiga sama sambal ini.”
“Jangan curiga, Sayang! Makanan itu kan udah dipersiapkan dengan penuh cinta,” Keisya berusaha meyakinkan sambil melirik Rania yang lagi nahan tawa.
“Cinta yang dipadu dengan kecap dan sambal ekstrem, ya,” Dion menambahkan, membuat Keisya dan Rania tertawa.
Sementara mereka tertawa, tiba-tiba Rania teringat sesuatu. “Eh, ngomong-ngomong, Keisya, kamu tahu nggak rahasia masakan nenekku?”
“Rahasia apa, Ma?” Keisya penasaran.
“Katanya, nenek selalu bilang, ‘Bahan terbaik untuk masakan adalah kasih sayang dan sedikit garam.’”
“Garamsih, Ma?” Dion nyelip, langsung mendapatkan tatapan curiga dari Rania dan Keisya.
Rania mengabaikan komentar Dion. “Jadi, kalau mau masak, kamu harus pakai hati, bukan cuma bumbu.”
“Biar apa?” Keisya bertanya.
“Biar rasanya pas dan bikin orang kangen. Kayak gini,” Rania melanjutkan, “Kita bisa bikin resep baru yang terinspirasi dari ayam goreng kemarin!”
“Kayak gimana?” Keisya menanggapi.
“Gampang! Kita bisa campur ayam goreng yang ada dengan sisa sambal, tambahkan sedikit garam, lalu goreng lagi. Jadi deh, ayam goreng super spesial!”
Dion mengangguk setuju. “Sounds great! Aku setuju, ayo kita masak!”
Keisya dan Rania menatap Dion serempak. “Hah?”
“Ya, kita masak bareng! Kenapa enggak?” Dion melanjutkan, seolah-olah rencananya sangat sederhana.
Keisya hampir terjatuh dari kursi. “Masak bareng? Kan kita nggak bisa!”
“C’mon, Sayang! Kita bisa!” Dion terlihat bersemangat. “Aku ingin melihat proses masak dari awal. Mungkin ada yang bisa aku bantu.”
Keisya dan Rania saling tatap, dan keduanya sepakat. “Oke, kita coba!”
Mereka bertiga beranjak ke dapur, bersiap untuk memasak. Keisya mengeluarkan semua bahan yang tersisa dari kulkas: satu butir telur, sisa ayam goreng, dan sambal. “Nah, apa yang kita lakukan pertama?”
“Pertama, kita bakal bikin adonan tepung untuk melapisi ayamnya,” kata Dion dengan semangat.
Rania mengangkat alis. “Wah, kamu pasti udah belajar dari video YouTube, ya?”
“Yup! Boleh lah aku nonton tips-tips masak.”
Keisya menggelengkan kepala, terkesan. “Kamu sih, bakalan jadi chef beneran.”
“Chef di rumah, tentu saja. Tapi hari ini, mari kita jadikan momen ini sebagai pengalaman berharga!” Dion mengedipkan mata, membuat Keisya dan Rania tersenyum.
Selama proses memasak, Dion selalu berusaha membantu. Setiap kali ada kesalahan, dia tidak pernah segan untuk tertawa, yang membuat suasana semakin hangat.
Akhirnya, ketika ayam goreng baru selesai digoreng, aroma harum langsung menyeruak di seluruh dapur. “Wow! Keren, kan?” Dion memamerkan hasil masakan mereka.
Keisya dan Rania mengangguk penuh bangga. “Kita berhasil!”
Sebelum sempat duduk untuk mencicipi hasilnya, Keisya melihat ke arah jam. “Eh, kita harus cepet makan sebelum dingin!”
Ketiganya duduk di meja makan, penuh semangat. Saat mereka mulai menyantap ayam goreng hasil kerja keras itu, Dion melirik Keisya. “Kamu harus sering masak bareng, Sayang! Kita bisa jadi tim yang hebat!”
Keisya tersenyum lebar. “Iya, kan? Kita bisa bikin kuliner baru!”
“Dengan resep rahasia, tentu saja,” Rania menambahkan dengan tertawa.
Malam itu, penuh tawa dan kebahagiaan, membuktikan bahwa meski mereka tidak terlalu jago masak, kebersamaan dan keceriaan bisa menghasilkan sesuatu yang jauh lebih berharga. Misi masak baru saja dimulai!
Penutup yang Manis
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan kegiatan memasak bersama Dion, Keisya, dan Rania semakin sering dilakukan. Setiap kali mereka berkumpul di dapur, hasil masakan mereka selalu penuh tawa dan kebahagiaan, meski kadang rasa dan penyajiannya masih jauh dari kata sempurna.
Suatu sore, saat mereka akan memasak kembali, Rania memiliki ide brilian. “Gimana kalau kita adakan kompetisi masak mini di antara kita?”
“Kompetisi? Serius, Ma?” Keisya tampak terkejut. “Kan kita bukan chef beneran!”
“Ya, tapi itu kan seru! Kita bisa bikin menu masing-masing dan saling menilai,” jawab Rania dengan semangat.
Dion langsung tertarik. “Setuju! Kita bisa bikin tema masakan, misalnya masakan internasional! Siapa yang masak paling enak, dia yang menang!”
“Bagus! Kita juga bisa bikin piala dari botol bekas,” usul Keisya sambil melirik ke arah dapur yang berantakan.
Malam itu, mereka bertiga sepakat untuk memasak masing-masing makanan khas dari negara yang berbeda. Keisya memilih masakan Italia, Dion memilih masakan Jepang, sementara Rania memilih masakan Indonesia. Semua bersemangat, dengan rencana dan daftar belanja yang penuh warna.
Keesokan harinya, mereka belanja bahan-bahan dengan antusias. Setiap kali mereka menemukan bahan yang sesuai, tawa dan canda tak pernah berhenti. Ketika mereka sampai di rumah, suasana semakin meriah.
“Siap-siap, guys! Dapur kita bakal jadi arena perang!” Dion berseru, mengangkat spatula sebagai senjata.
“Haha, semoga saja kita tidak meledakkan dapur!” Keisya menjawab, membuat Rania tertawa.
Proses memasak berlangsung seru. Keisya sibuk membuat pasta dan saus tomat, Dion berfokus pada sushi, sementara Rania membuat rendang. Ketiga orang ini menjadi sangat kompetitif, dengan masing-masing berusaha memberikan yang terbaik.
Setelah berjam-jam berkutat di dapur, akhirnya mereka selesai. Tiga hidangan unik tersaji di meja makan: pasta spaghetti, sushi gulung, dan rendang daging sapi.
“Wah, semuanya terlihat menggoda!” Dion berkata, tidak sabar untuk mencicipi.
Rania mengangguk setuju. “Kita perlu saling mencicipi dan menilai, ya? Nanti siapa yang kalah harus mencuci piring!”
“Deal!” Keisya menjawab, mengangkat gelas minum. “Untuk keberanian dan kebersamaan!”
Mereka semua bersulang dengan gelas masing-masing, dan satu per satu mereka mulai mencicipi masakan masing-masing.
Keisya menggigit sushi buatan Dion. “Hmm, enak! Tapi mungkin sedikit lebih banyak wasabi akan lebih mantap.”
Dion berusaha menahan senyum. “Berarti kamu mau lebih pedas ya?”
Lalu, Dion mencoba rendang dari Rania. “Wow, bumbunya pas! Tapi, Ma, harusnya lebih lama dimasak biar dagingnya lebih empuk.”
Rania hanya mengangguk sambil tertawa. “Oke, next time, noted!”
Giliran Rania mencicipi pasta Keisya. “Hmm… lumayan. Tapi mungkin lebih baik pakai basil segar, ya?”
Keisya mengangguk. “Oh iya, itu harus ditambahin! Tapi rasanya enak, kan?”
Setelah semua makanan dicicipi dan dinilai, mereka akhirnya sampai pada keputusan. “Baiklah! Mari kita umumkan pemenangnya!” Rania berkata, berdiri di tengah.
Dion dan Keisya bersiap, keduanya merasa bersemangat.
“Untuk masakan yang paling memikat hati… pemenangnya adalah… Keisya dengan pasta spaghetti!”
Keisya melompat kegirangan. “Yeay! Terima kasih, semua! Hadiah apa nih?”
“Tunggu, aku kan seharusnya juara!” Dion mengeluh.
Rania tertawa. “Tapi jangan sedih, Sayang. Kita semua menang karena bisa masak bareng dan bikin kenangan seru!”
Keisya setuju. “Iya! Yang paling penting adalah kita selalu bisa saling mendukung.”
Malam itu diakhiri dengan tawa, canda, dan kenangan manis yang akan selalu mereka ingat. Meskipun mereka tidak selalu berhasil dalam hal memasak, kebersamaan yang terjalin membuat setiap kesalahan terasa seperti kesenangan.
“Besok kita harus coba lagi dengan tema baru!” Dion menyarankan.
“Setuju!” Keisya dan Rania menjawab serentak, penuh semangat.
Di antara tawa dan makanan yang tersisa, mereka tahu satu hal: Meskipun mereka tidak mau memasak, mereka tidak akan pernah berhenti untuk berbagi kebahagiaan bersama. Dan itu adalah resep terbaik yang mereka miliki.
Gimana? Seru, kan? Meski mereka nggak mau masak, kebersamaan dan tawa yang mereka bagi bikin semuanya jadi lebih bermakna. Ingat, di dapur itu bukan cuma soal masakan, tapi juga soal cinta, tawa, dan kenangan yang tak terlupakan! Sampai ketemu di cerita selanjutnya, ya!


