Daftar Isi
Pernah nggak sih ngerasain terjebak dalam kebiasaan yang seolah udah jadi bagian dari diri kita? Kayak merokok, misalnya. Cerita ini bakal bawa kamu ke dalam perjalanan seorang pemuda yang berjuang ngelawan kebiasaan buruknya, dan bagaimana dia mulai nyari jalan keluar dari semua kegelapan itu. Siap-siap buat merasakan emosi dan refleksi, yuk simak!
Merokok
Asap Diujung Gang
Hujan baru saja reda, menyisakan jalanan yang masih basah dengan genangan kecil di beberapa sudut. Bau tanah bercampur asap tembakau menguap di udara, menyelinap masuk ke dalam gang sempit yang remang-remang. Sebuah lampu jalan berkedip pelan, hampir mati, menciptakan bayangan samar-samar di dinding bata yang penuh coretan.
Di ujung gang, seorang pria duduk bersandar di tembok, jemarinya luwes memainkan sebatang rokok yang baru saja ia nyalakan. Asap putih keluar dari bibirnya, menari di udara sebelum akhirnya lenyap. Matanya kosong, menatap gelapnya malam seperti sedang menunggu sesuatu.
“Ragnar.”
Suara itu datang dari mulut seorang pemuda yang lebih muda darinya, mungkin sekitar dua puluhan. Rambutnya gondrong sebahu, wajahnya keras, dengan bekas luka samar di pelipisnya. Namanya Giyon.
Ragnar tidak menoleh. Ia menghisap rokoknya lagi, dalam-dalam, sebelum mengembuskannya tanpa terburu-buru. “Apa?”
Giyon mendekat, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket kulit yang sudah lusuh. “Kamu masih di sini aja?”
“Emangnya aku harus ke mana?” Ragnar mendengus kecil, menatap lurus ke depan. Matanya menangkap pantulan lampu kota di aspal basah, samar dan buram.
Giyon duduk di sampingnya, mengambil rokok dari saku jaketnya, lalu menyalakannya dengan korek api yang suaranya terdengar nyaring di antara sunyi. Begitu asap pertama keluar dari mulutnya, ia berdeham pelan.
“Kamu udah makan?”
“Nggak lapar.”
Giyon menatapnya sebentar, sebelum akhirnya menggeleng pelan. “Kamu tuh harus makan. Jangan cuma ngandelin rokok.”
Ragnar tertawa kecil, hambar. Ia mengangkat batang rokoknya yang tinggal separuh, memperhatikannya seolah benda itu adalah satu-satunya hal yang tersisa di dunia ini. “Rokok nggak pernah ninggalin aku. Makanan bisa habis, orang bisa pergi. Tapi rokok? Selalu ada.”
Giyon menghela napas, meniupkan asap ke udara. “Kamu ngomong kayak gitu, kayak orang yang udah nyerah.”
“Kamu pikir aku masih punya sesuatu buat diperjuangin?” Ragnar menoleh kali ini, tatapannya datar.
Giyon diam. Ia tahu Ragnar bukan tipe orang yang suka basa-basi. Hidup pria itu memang berantakan, lebih parah dari jalanan di gang ini. Dulu, ada waktu di mana Ragnar masih punya tujuan, masih punya seseorang yang bisa ia pulangin. Tapi sekarang? Yang tersisa cuma asap dan kesunyian.
“Dengar, aku nggak bakal ceramahin kamu buat berhenti ngerokok atau ngubah hidup kamu,” kata Giyon akhirnya. “Tapi jangan sampai kamu mati di gang ini, cuma ditemenin sebatang rokok.”
Ragnar tersenyum kecil, tapi tidak menjawab. Ia hanya menekan ujung rokoknya ke aspal, membiarkan abu jatuh perlahan sebelum meniup sisa-sisa asapnya ke udara.
Langit di atas mereka masih gelap. Tidak ada bintang, tidak ada bulan. Hanya kepulan asap yang melayang, membaur dalam kegelapan.
Dan di sana, di ujung gang sempit yang dingin, dua pria duduk diam, berbagi keheningan yang lebih dalam dari kata-kata.
Batang Pertama Diusia Lima Belas Tahun
Malam semakin larut. Suara kendaraan di kejauhan terdengar samar, sesekali diiringi bunyi klakson yang sumbang. Di dalam gang sempit itu, Ragnar dan Giyon masih duduk diam, hanya ditemani asap yang melayang di udara. Hujan yang tadi reda meninggalkan udara dingin yang menggigit, tapi Ragnar tetap tidak beranjak.
Giyon menghela napas sebelum akhirnya memecah keheningan. “Dulu kamu pernah bilang kalau kamu benci rokok.”
Ragnar tidak langsung menjawab. Ia hanya menyalakan rokok baru, menghisapnya dalam-dalam, lalu mengembuskan asapnya ke udara. “Iya.”
“Kapan mulai berubah?”
Sebentar, Ragnar tidak menjawab. Matanya menatap ujung rokoknya yang membara, seolah di dalam bara itu tersimpan sesuatu—masa lalu yang ingin ia lupakan, tapi selalu kembali.
Lima belas tahun.
Saat itu, hujan deras turun tanpa ampun. Seorang anak laki-laki berlari di trotoar dengan baju yang sudah basah kuyup. Langkahnya terseok, napasnya tersengal. Ia baru saja kabur dari rumah setelah mendengar suara benda pecah lagi—ibunya menangis lagi, ayahnya berteriak lagi. Malam itu bukan pertama kalinya ia melihat ibunya menangis dengan pipi lebam, tapi entah kenapa kali ini terasa lebih buruk.
Ia berlari tanpa tujuan sampai akhirnya berhenti di depan kios kecil yang menjual rokok, permen, dan koran bekas. Di bawah atap seng kios itu, beberapa pria duduk sambil merokok, tertawa dengan suara berat yang terdengar kasar di telinga bocah itu.
Salah satu dari mereka menoleh. “Hei, bocah. Ngapain di sini? Hujan-hujanan?”
Anak itu diam, tidak menjawab. Tangannya mengepal, masih gemetar akibat dingin dan amarah yang ia tahan sejak tadi.
Seorang pria lain mengangkat alis. “Berantem sama emak-bokap?” tanyanya santai.
Anak itu menoleh dengan mata yang mulai merah. Dadanya naik turun, penuh dengan sesuatu yang tidak bisa ia keluarkan dengan kata-kata.
Lalu pria pertama mengulurkan sesuatu—sebatang rokok yang sudah menyala.
“Coba ini.”
Anak itu menatapnya ragu. Ia ingat betapa ia membenci bau itu, bagaimana ia selalu menutup hidung setiap kali ayahnya mengembuskan asap ke udara. Tapi malam itu, semuanya terasa kacau. Dadanya sesak, kepalanya penuh suara-suara yang berputar tanpa henti.
Ia ingin diam. Ia ingin semua itu berhenti.
Jadi ia mengambil rokok itu.
Batang pertama di usia lima belas.
Tarikan pertama terasa aneh, pahit, dan membuat dadanya panas. Ia batuk, nyaris memuntahkan semuanya. Para pria di kios itu tertawa, tapi tidak ada ejekan di dalamnya.
“Pelan-pelan,” salah satu dari mereka berkata. “Rokok itu bukan buat dilawan, tapi buat dinikmati.”
Jadi ia mencoba lagi. Tarikan kedua.
Lalu ketiga.
Dan entah kenapa, perlahan, ia merasa lebih baik.
Ragnar menghembuskan asapnya lagi, kembali ke masa kini. Hujan sudah benar-benar berhenti, menyisakan tanah yang masih lembap dan udara yang dipenuhi aroma tembakau.
Giyon menatapnya. “Jadi, itu pertama kalinya?”
Ragnar mengangguk pelan. “Iya.”
Giyon tidak berkata apa-apa, hanya memandangi rokok di tangannya sendiri. Ia tahu Ragnar bukan tipe orang yang suka mengingat masa lalu. Tapi malam ini, pria itu membuka sedikit pintunya—membiarkan sebagian kecil dari dirinya yang dulu keluar ke dunia.
Mereka kembali diam. Hanya suara api kecil dari ujung rokok yang terdengar, membakar tembakau sedikit demi sedikit.
Di langit, bintang masih belum muncul.
Dan di ujung gang yang sempit, Ragnar kembali menatap gelap, seperti ada sesuatu yang ingin ia cari, tapi tak pernah ia temukan.
Pelarian Dalam Kepulan Asap
Malam semakin larut, dan kepulan asap dari rokok di tangan Ragnar semakin menipis. Dengan setiap tarikan, ia merasa seperti menarik keluar segala sesuatu yang terpendam dalam dirinya—berharap bisa melepaskan semua beban yang menggelayut di pikirannya. Ia tahu rokok bukan solusi, tetapi saat itu, itu adalah satu-satunya hal yang ia miliki.
Giyon meraih rokoknya lagi, menyalakan api baru, dan menatap Ragnar yang tenggelam dalam pikirannya. “Kamu tahu, ada waktu di mana aku pikir kamu bakal keluar dari semua ini.”
Ragnar menoleh, sedikit terkejut. “Keluar? Dari mana?”
“Dari hidup ini,” Giyon menjawab pelan. “Dari kebiasaan yang bikin kamu makin tenggelam.”
Ragnar tertawa pahit. “Kamu pikir aku bisa keluar?”
“Kenapa enggak?”
“Karena rokok ini sudah jadi pelarianku.” Ia mengangkat rokok yang hampir habis. “Ini yang bikin aku lupa, meskipun cuma untuk sesaat.”
Giyon menatapnya tajam. “Lupa tentang apa?”
Tentang apa, ya? Ragnar merasakan hatinya berdesir sejenak. Ia tahu persis apa yang ada dalam pikirannya—ingatannya tentang rumah yang selalu berantakan, tentang ibu yang terus menangis, dan ayah yang selalu pergi tanpa pamit. “Tentang masa lalu yang menyakitkan.”
“Kamu bisa memilih untuk nggak terjebak di masa lalu, Ragnar. Kamu nggak harus terus-terusan begini,” Giyon berkata dengan tegas.
“Dan kamu pikir aku bisa jadi seperti kamu?”
Giyon mengerutkan dahi. “Maksudmu?”
“Kamu yang bisa bebas dari semuanya. Sementara aku, aku terjebak. Aku merokok, bukan karena aku suka, tapi karena ini cara satu-satunya buat mengatasi rasa sakit.”
Giyon terdiam sejenak. Ia tahu Ragnar berjuang melawan demon dalam dirinya sendiri. “Tapi jangan sampai kamu menganggap rokok ini teman, Ragnar. Itu bukan teman. Itu musuh.”
“Musuh yang selalu ada di sampingku,” jawab Ragnar dengan nada sinis. “Setiap kali aku merasa kosong, setiap kali aku merasa tidak berdaya, ada rokok yang siap.”
“Jadi kamu akan terus berlari?”
“Mungkin itu satu-satunya yang bisa aku lakukan.”
Giyon menggeleng, frustasi. “Kamu harusnya bisa merubah hidupmu. Kamu bisa mengubah cara pandangmu.”
Ragnar menyilangkan tangan di dada, kembali pada keheningan yang membungkus malam itu. “Mengubah? Untuk apa? Semua orang di sekitar aku selalu sama. Mereka nggak peduli. Semua menganggap aku nggak lebih dari sekadar anak yang merokok di ujung gang.”
“Kamu bisa menunjukkan mereka siapa kamu sebenarnya,” Giyon berusaha meyakinkan. “Kamu bisa mulai dari hal kecil—misalnya berhenti merokok.”
“Berhenti? Mudah sekali ngomongnya.”
“Satu langkah kecil,” Giyon menambahkan, berusaha menyalakan harapan yang tampaknya sudah padam di mata Ragnar. “Kamu bisa mencari sesuatu yang lebih baik. Entah itu teman, atau hobi, atau bahkan pekerjaan. Apa pun itu.”
“Dan apakah itu akan menghapus semua kenangan yang menghantui aku?”
Giyon terdiam, tidak tahu bagaimana menjawab. Memang, mengubah masa lalu bukanlah hal yang mudah. Tapi mereka berdua tahu bahwa hidup tidak berhenti di masa lalu.
Ragnar meraih rokok yang tinggal sedikit, menatapnya dengan kosong. “Kadang aku merasa, semua ini hanya ilusi. Merokok, ketawa, bergaul dengan orang-orang di sini. Semuanya cuma cara untuk mengisi kekosongan.”
“Tapi bukankah itu hal yang baik? Mengisi kekosongan?”
“Untuk sesaat,” jawab Ragnar. “Setelah itu, semuanya kembali lagi. Rasa sakit, kehilangan, semuanya.”
Giyon mendesah. Malam itu, di bawah lampu jalan yang berkedip-kedip, dua pemuda itu terjebak dalam perdebatan tanpa akhir. Keduanya tahu bahwa Ragnar berada di tepi jurang. Di satu sisi, ada kesempatan untuk bangkit, dan di sisi lain, ada rokok yang menghalanginya untuk melihat cahaya.
Di tengah kesunyian malam yang menyesakkan, Ragnar menghembuskan asapnya dengan lembut, seolah-olah mengharapkan kepulan itu bisa membawa semua rasa sakitnya pergi. Dan untuk sejenak, di bawah sinar redup lampu jalan, ia berharap ada yang bisa mengubah segalanya.
Menemukan Cahaya Ditengah Kelam
Malam semakin larut, dan udara dingin mulai meresap ke tulang. Giyon masih duduk di sebelah Ragnar, meski tatapannya kini penuh keraguan. Suara langkah kaki di kejauhan mulai jarang, dan lampu-lampu di sepanjang jalan seolah ingin memberi sinyal bahwa saatnya untuk pulang. Tapi bagi Ragnar, pulang bukanlah pilihan yang menyenangkan.
Ragnar meraih rokoknya yang tinggal sebatang. Asap yang mengepul mengingatkannya pada perjalanan yang panjang—jalanan yang penuh dengan keraguan dan ketidakpastian. “Apa kamu yakin aku bisa melakukan ini?” tanyanya, suaranya hampir hilang di antara kepulan asap.
Giyon menatapnya serius. “Satu langkah kecil, Ragnar. Kamu bisa mulai dari sini. Tinggalkan rokok, dan cari sesuatu yang baru.”
Mata Ragnar melirik ke arah jalan setapak yang gelap, tempat di mana semua kenangan buruknya bersemayam. “Tapi itu semua sudah jadi bagian dari diriku,” ia menghela napas berat. “Bagaimana jika tanpa semua ini, aku kehilangan diriku?”
“Kamu tidak akan kehilangan dirimu. Justru kamu akan menemukan versi terbaik dari dirimu. Versi yang tidak terikat pada masa lalu,” jawab Giyon tegas.
Ragnar menatap rokok di tangannya, memikirkan semua yang pernah ia lalui—kehilangan, ketidakpastian, dan kesedihan yang selalu datang menghantui. “Selama ini, aku merasa merokok itu adalah satu-satunya cara untuk merasa hidup. Sekarang kamu bilang semua ini hanya ilusi.”
Giyon mengangguk. “Benar. Ini ilusi. Dan kamu berhak untuk merasakan hidup yang lebih berarti.”
Dengan berat hati, Ragnar menatap batang rokoknya yang tinggal sedikit. Hatinya bergetar, antara keinginan untuk mengubah hidupnya dan ketakutan untuk melepaskan hal yang telah menemaninya selama bertahun-tahun. “Aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya.”
“Kamu tidak sendirian. Aku ada di sini bersamamu,” Giyon berkata lembut. “Aku akan mendukungmu, apapun keputusanmu.”
“Dari mana aku harus memulai?” Ragnar bertanya, merasa sedikit ragu.
“Berhenti merokok malam ini. Tahan rasa inginmu. Temukan hobi baru, atau bergabung dengan kelompok yang bisa membantu kamu bangkit.”
Ragnar mengangguk, berpikir keras. “Dan jika aku jatuh lagi?”
“Kalau kamu jatuh, aku akan ada untuk mengangkatmu kembali. Tidak ada salahnya untuk mencoba dan gagal. Yang terpenting adalah kamu berani mencoba,” Giyon menjawab dengan keyakinan.
Dalam keheningan malam, Ragnar merasakan dadanya mulai menghangat. Pelan-pelan, ia meletakkan rokok yang tinggal sebatang itu ke aspal. Di depan Giyon, ia menatapnya seolah itu adalah simbol dari semua kebiasaan buruk yang ingin ia tinggalkan.
“Aku ingin mencoba,” ia mengucapkan kata-kata itu pelan. “Untuk menemukan diriku yang sebenarnya.”
“Bagus!” Giyon tersenyum, wajahnya dipenuhi harapan. “Ini awal yang baik, Ragnar.”
Malam itu, saat kepulan asap terakhir menghilang ke udara, Ragnar merasa ada sesuatu yang berubah. Ada secercah cahaya di ujung gelap yang selalu menghantui hidupnya. Ia mungkin tidak tahu pasti apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi satu hal yang pasti—ia tidak ingin terjebak di dalam bayangan selamanya.
Mereka berdua bangkit dari tempat duduk, menatap ke arah jalan yang membentang di depan. Dengan satu langkah kecil, Ragnar meninggalkan malam yang kelam itu. Ia bertekad untuk menemukan jalannya sendiri—meskipun penuh tantangan, tetapi itu adalah langkah yang menuju harapan.
Dan di tengah kegelapan, ia mulai melihat cahaya.
Jadi, apa yang bisa kita ambil dari cerita ini? Merokok mungkin udah jadi bagian dari hidup kita, tapi selalu ada kesempatan untuk bangkit dan berubah.
Dengan satu langkah kecil, kita bisa ninggalin kebiasaan buruk dan menemukan cahaya di tengah kegelapan. Ingat, kamu nggak sendirian dalam perjuangan ini! Semoga cerita ini bisa ngasih inspirasi buat kamu yang lagi nyari jalan keluar dari kebiasaan yang nggak sehat. Keep fighting!


