Merantau ke Negeri Daun Maple: Perjuangan, Persahabatan, dan Menemukan Rumah di Tanah Asing

Posted on

Merantau ke luar negeri itu nggak sekadar pindah tempat, tapi juga pindah hidup. Dari makanan yang beda, cuaca yang nggak ngertiin, sampai budaya yang bikin bengong.

Tapi di balik semua itu, ada cerita—tentang jatuh, bangun, dan akhirnya berdiri tegak di negeri orang. Ini cerita tentang Raka, yang nekat ninggalin zona nyaman demi mengejar mimpi di Negeri Daun Maple. Tapi apa yang dia dapet? Gampang? Jauh dari kata gampang!

 

Merantau ke Negeri Daun Maple

Langkah Pertama di Negeri Daun Maple

Pesawat mendarat dengan guncangan ringan. Lampu kabin menyala, mengisyaratkan bahwa perjalanan panjang akhirnya berakhir. Dari balik jendela kecil, Toronto menyambut dengan langit musim gugur yang cerah. Pepohonan maple di kejauhan terlihat kemerahan, seakan menyala di bawah cahaya sore.

Raka menarik napas dalam. Ini dia—negeri yang selama ini hanya ada dalam mimpi, kini menjadi kenyataan.

Begitu keluar dari pesawat, udara dingin langsung menyergap. Tidak sedingin yang ia bayangkan, tapi cukup menusuk untuk seseorang yang seumur hidupnya tumbuh di daerah tropis. Dengan langkah sedikit ragu, ia mengikuti arus penumpang lain menuju imigrasi.

Antrean panjang. Puluhan orang berdiri di depan loket, menghadap petugas yang duduk di balik kaca tebal. Raka menatap paspornya yang mulai terasa lembap di genggaman. Detik-detik berlalu, hingga tiba gilirannya.

“Good afternoon, what’s the purpose of your visit?” suara petugas imigrasi terdengar tegas.

Raka menelan ludah, lalu menjawab dengan aksen yang masih kaku, “I am a student. I will study here.”

Petugas mengangguk, memeriksa dokumen-dokumen yang telah Raka siapkan dengan hati-hati selama berbulan-bulan. Beberapa ketikan di komputer, tatapan tajam sesaat, lalu cap paspor berbunyi.

“Welcome to Canada,” ujar petugas itu sebelum menyerahkan kembali paspornya.

Raka mengangguk cepat. “Thank you.”

Keluar dari pemeriksaan imigrasi, lautan manusia menyambutnya di area kedatangan. Ada yang berpelukan, ada yang sibuk menunggu koper, ada yang langsung menuju pintu keluar dengan langkah tergesa.

Raka meraih koper besarnya dari conveyor belt. Matanya terpaku pada stiker airlines yang masih menempel di gagangnya. Indonesia—Hong Kong—Toronto. Perjalanan yang melelahkan, namun ia tahu, perjalanan sesungguhnya baru saja dimulai.

Terminal bus di luar bandara cukup ramai. Suara roda koper bergesekan dengan lantai beton bercampur dengan hiruk-pikuk percakapan dalam berbagai bahasa. Raka duduk di bangku besi panjang, menunggu bus yang akan membawanya ke apartemen sewaannya.

Ponselnya bergetar. Pesan dari Rayan, mahasiswa senior yang akan menjadi teman sekamarnya.

“Bro, kau udah sampai? Nanti turun di halte dekat kampus ya, aku jemput. Jangan nyasar.”

Raka tersenyum tipis. Setidaknya ada seseorang dari Indonesia yang bisa membantunya beradaptasi.

Bus akhirnya datang. Raka naik, membayar ongkosnya dengan uang kertas yang masih terasa asing di tangannya. Ia memilih duduk di dekat jendela, membiarkan pemandangan kota baru ini masuk ke dalam kepalanya. Gedung-gedung tinggi, trotoar yang rapi, orang-orang yang berjalan dengan jaket tebal, serta daun-daun maple yang berguguran di sepanjang jalan.

Selama perjalanan, telinganya menangkap berbagai suara. Seorang wanita tua berbicara dalam bahasa Prancis dengan cucunya, seorang pria dengan logat India terdengar asyik berbincang lewat telepon, sementara sekelompok anak muda tertawa dengan nada khas Amerika Utara.

Dunia ini begitu luas. Dan sekarang, ia menjadi bagian darinya.

Halte yang dituju akhirnya terlihat. Begitu turun dari bus, matanya langsung menangkap sosok pria berkacamata dengan hoodie hitam yang melambaikan tangan.

“Raka?”

Raka mengangguk cepat. “Iya.”

Rayan tertawa kecil. “Mukamu kelihatan kayak orang jetlag.”

“Memang jetlag,” jawab Raka sambil menarik kopernya ke sisi trotoar. “Gila, perjalanan dua puluh jam lebih. Rasanya badan remuk.”

“Welcome to the club, bro,” Rayan menepuk pundaknya. “Yuk, kita ke apartemen. Deket kok.”

Sepanjang jalan, mereka berbincang. Rayan sudah dua tahun di Kanada dan sudah cukup paham lika-liku hidup sebagai mahasiswa perantauan.

“Gimana rasanya pertama kali ngerasain udara Kanada?” tanya Rayan sambil berjalan santai.

Raka menarik jaketnya lebih erat. “Dingin sih, tapi belum seberapa.”

Rayan tertawa. “Tunggu aja pas winter. Angin di sini kayak punya niat jahat.”

Mereka sampai di sebuah bangunan apartemen sederhana. Tidak besar, tapi cukup nyaman. Rayan membuka pintu dan langsung mengarahkan Raka ke kamarnya.

“Ini kamarmu. Ukurannya nggak gede, tapi cukup lah.”

Raka melihat sekeliling. Sebuah ranjang kecil, meja belajar, dan lemari pakaian yang sudah disediakan pemilik apartemen. Ia meletakkan kopernya dan merebahkan diri di kasur.

“Anjir, akhirnya bisa tidur di kasur.”

Rayan menyandarkan diri di pintu. “Jangan tidur dulu, nanti makin jetlag.”

“Tapi ngantuk banget, bro.”

“Yaudah, tapi sejam aja. Nanti malam kita ke supermarket, kau butuh belanja makanan. Harga makan di luar mahal.”

Raka mengangkat ibu jarinya, lalu menutup mata sejenak.

Di luar, matahari mulai meredup. Langit Toronto berubah jingga, sementara lampu-lampu jalan mulai menyala.

Hari pertama belum berakhir. Dan esok, petualangan baru menanti.

 

Hangat di Tengah Dingin

Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh malam ketika Raka terbangun dari tidur singkatnya. Kepalanya masih terasa berat, efek dari perjalanan panjang dan perbedaan zona waktu yang cukup ekstrem. Matanya menyesuaikan diri dengan cahaya redup dari lampu kamar.

“Bangun, bro. Udah jam segini,” suara Rayan terdengar dari balik pintu. “Kita ke supermarket sekarang, sebelum kau kelaparan tengah malam.”

Raka bangkit perlahan, merasakan betapa pegal seluruh tubuhnya. Ia meraih hoodie dari koper, lalu keluar kamar.

Apartemen mereka cukup sederhana—dua kamar tidur, satu ruang tamu kecil dengan sofa tua, dan dapur mungil yang hanya berisi kulkas, kompor listrik, serta beberapa rak dapur kosong. Raka menduga, Rayan bukan tipe orang yang suka memasak.

“Kalau di sini, belanja makanan itu penting,” ujar Rayan saat mereka melangkah keluar. “Harga makanan di restoran mahal, jadi kita biasanya masak sendiri. Kalau nggak, bakal tekor.”

Raka mengangguk paham. Ia sudah mendengar cerita serupa dari teman-teman yang lebih dulu merantau ke luar negeri. Tapi mendengar dan mengalami sendiri jelas berbeda.

Mereka berjalan menyusuri trotoar yang bersih. Udara dingin mulai menusuk lebih dalam dibanding siang tadi. Raka merapatkan jaketnya, sedangkan Rayan tampak santai, seolah suhu seperti ini sudah biasa baginya.

“Tunggu aja nanti Desember,” Rayan menimpali, seolah membaca pikiran Raka. “Salju turun, suhu bisa minus. Waktu pertama kali ngalamin, rasanya kayak pengen pulang ke Indonesia.”

“Nggak kepikiran balik?” tanya Raka sambil memasukkan tangannya ke saku jaket.

“Pernah, dulu. Tapi udah sejauh ini, ya harus dijalani.”

Mereka tiba di sebuah supermarket yang cukup besar. Dari luar, kaca jendela memantulkan cahaya lampu neon, menambah kesan hangat di tengah udara dingin. Begitu masuk, aroma roti panggang langsung menyambut.

“Supermarket di sini beda, ya,” komentar Raka sambil mendorong troli kecil.

“Ya, terbiasa aja nanti,” sahut Rayan. “Oke, kita mulai dari yang penting. Beras, telur, daging ayam, sayur. Jangan beli yang aneh-aneh dulu.”

Raka mengikuti Rayan menyusuri lorong-lorong supermarket. Barang-barang tersusun rapi di rak, dengan label harga yang… cukup bikin kaget.

“Anjir, harga telur segini?” Raka mengernyit, melihat label harga yang jauh lebih mahal dibanding di Indonesia.

Rayan tertawa. “Makanya kita nggak bisa boros. Tapi jangan khawatir, kalau bisa masak, bisa lebih hemat.”

Raka memilih beberapa bahan makanan, lalu menatap bagian rak makanan instan. “Mie instan di sini ada rasa Indonesia nggak?”

“Ada, tapi mahal.”

Setelah selesai berbelanja, mereka menuju kasir. Raka mengeluarkan kartu debit yang baru dibuatnya di bank kampus siang tadi. Saat transaksi berhasil, ia menghela napas lega—ini pertama kalinya ia benar-benar bertransaksi dalam mata uang asing.

Mereka berjalan pulang dengan kantong belanjaan di tangan. Jalanan mulai sepi, hanya sesekali mobil melintas. Angin bertiup lebih kencang, membuat Raka menarik tudung jaketnya.

Begitu sampai apartemen, Raka menaruh belanjaannya di dapur. “Gue lapar, bro. Tapi nggak bisa masak.”

Rayan menghela napas panjang. “Gue bisa bantu, tapi jangan harap enak.”

Mereka mulai memasak bersama. Meski awalnya canggung, Raka mulai memahami cara menggunakan kompor listrik dan bagaimana mengolah bahan makanan seadanya. Setelah setengah jam, sepiring nasi dengan ayam tumis sederhana tersaji di meja.

“Kita makan seadanya dulu,” kata Rayan.

“Tapi setidaknya ini hasil masakan sendiri,” balas Raka sambil tersenyum.

Mereka makan dalam diam, hanya sesekali bercanda tentang makanan yang sedikit hambar. Tapi ada rasa puas di dalamnya—ini bukan sekadar makan malam biasa, melainkan langkah kecil menuju kemandirian.

Saat malam semakin larut, Raka menatap kota Toronto dari jendela. Lampu-lampu gedung berkelap-kelip, mobil-mobil melaju di jalanan yang masih ramai, sementara angin malam membawa kesan bahwa negeri ini benar-benar berbeda dari rumahnya.

Tapi di tengah semua perbedaan itu, ada satu hal yang ia sadari—perlahan, ia mulai merasa bahwa tempat ini bukan sekadar tempat asing. Ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Sesuatu yang mungkin bisa ia sebut sebagai rumah keduanya.

 

Mencari Ritme di Negeri Orang

Raka terbangun pagi-pagi dengan kepala yang masih berat. Tidur di tempat baru selalu butuh adaptasi, tapi ia tak punya waktu untuk malas-malasan. Hari ini adalah hari pertama kelasnya di kampus, dan ia tak mau terlambat.

Rayan sudah duduk di meja dapur, menyeruput kopi sambil membaca sesuatu di laptopnya. “Lu bangun juga akhirnya,” katanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar.

Raka menguap sambil meraih jaketnya. “Gue takut telat. Kampus jauh, nggak?”

“Naik subway, lima belas menit.”

Mereka keluar apartemen dan berjalan ke stasiun bawah tanah. Udara pagi masih menusuk, tapi Raka sudah mulai terbiasa. Di dalam subway, orang-orang tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Beberapa memakai headphone, ada yang membaca buku, dan sisanya hanya menatap layar ponsel.

“Orang sini cuek, ya,” gumam Raka.

Rayan mengangguk. “Bukan berarti nggak ramah, mereka cuma nggak terlalu peduli urusan orang lain.”

Begitu tiba di stasiun dekat kampus, mereka berjalan melewati trotoar yang dipenuhi mahasiswa. Gedung-gedung tinggi berdiri kokoh di sekeliling mereka, dengan pepohonan maple yang mulai berubah warna menjadi jingga dan merah.

“Kalau lo butuh tempat nongkrong, ada kafe di seberang jalan itu,” kata Rayan, menunjuk ke arah bangunan kecil dengan jendela besar. “Kopi di sana enak. Tapi mahal.”

Raka tertawa. “Apa-apa mahal di sini, ya?”

“Makanya cari kerja part-time,” Rayan menyenggol lengannya. “Nanti gue kasih tahu tempat yang nerima mahasiswa.”

Sesampainya di kampus, Raka merasa kecil di antara lautan mahasiswa dari berbagai negara. Ruang kelasnya luas, dengan kursi-kursi yang ditata rapi seperti auditorium kecil. Saat dosen masuk, suasana langsung hening.

Semua terasa cepat. Perkuliahan berlangsung dalam bahasa Inggris dengan kecepatan yang nyaris membuat kepala Raka pusing. Ia mencatat sebisanya, meskipun ada beberapa istilah akademik yang masih asing di telinganya.

Saat kelas usai, seorang mahasiswa duduk di sampingnya. “Hey, you’re new here, right?”

Raka menoleh. Laki-laki itu berambut ikal, berkacamata, dan mengenakan hoodie abu-abu.

“Yeah, I just got here this week,” jawab Raka.

“Nice. I’m Jake,” katanya sambil mengulurkan tangan.

“Raka.”

Mereka berbincang sejenak sebelum akhirnya berjalan keluar kelas. Dari obrolan singkat itu, Raka tahu bahwa Jake berasal dari Australia dan sudah lebih dulu berada di kampus ini selama satu tahun.

“Kalau butuh bantuan, bilang aja,” kata Jake sebelum berpisah.

Hari pertama ini melelahkan. Raka berjalan keluar gedung, kepalanya masih penuh dengan materi kuliah yang terasa padat. Ia menatap langit, yang mulai diselimuti awan kelabu. Sepertinya akan hujan.

Ia baru saja akan berjalan menuju stasiun ketika melihat seorang gadis berdiri di depan papan pengumuman. Rambutnya panjang dan tergerai, dan ia tampak sibuk mencatat sesuatu di buku kecilnya.

Entah kenapa, Raka merasa pernah melihatnya.

Ia mengerutkan kening, mencoba mengingat. Saat gadis itu berbalik, mata mereka bertemu sesaat. Gadis itu tampak terkejut, lalu tersenyum kecil.

“Raka?”

Raka butuh beberapa detik sebelum menyadari siapa gadis itu.

“Asha?”

Gadis itu tertawa pelan. “Gila. Aku nggak nyangka ketemu kamu di sini!”

Asha. Teman SMA yang dulu cukup dekat dengannya, tapi kehilangan kontak setelah mereka lulus. Dan sekarang, di belahan dunia yang berbeda, mereka kembali bertemu.

Raka tak tahu apakah ini kebetulan atau memang dunia ini lebih kecil dari yang ia kira. Tapi satu hal yang pasti, pertemuan ini bisa jadi awal dari sesuatu yang baru. Sesuatu yang tak ia duga sebelumnya.

 

Menemukan Rumah di Negeri Orang

Asha tertawa kecil, menatap Raka dengan ekspresi tak percaya. “Serius, aku masih nggak nyangka ketemu kamu di sini.”

Raka mengusap tengkuknya. “Sama. Gue bahkan nggak tahu lo kuliah di sini.”

“Aku ambil jurusan yang beda sama kamu, makanya kita nggak ketemu di kelas.” Asha memasukkan buku kecilnya ke dalam tas. “Gimana hari pertama di kampus?”

Raka mendesah. “Otak gue masih jet lag. Dosen ngomong cepet banget, gue cuma bisa nyatet separuhnya.”

Asha tersenyum. “Santai, nanti juga terbiasa.”

Mereka berjalan ke arah halte bus, melanjutkan obrolan mereka seperti dua teman lama yang akhirnya dipertemukan kembali. Kota ini dingin, tapi ada kehangatan dalam percakapan mereka.

Di apartemen, Rayan sudah bersandar di sofa dengan laptop di pangkuannya. “Lama banget. Lo nyasar, ya?”

“Ketemu temen lama,” jawab Raka sambil menjatuhkan diri ke sofa.

Rayan menutup laptopnya. “Gue tadi dapet info soal kerja part-time. Ada tempat yang butuh barista. Lo tertarik?”

Raka mengangkat alis. “Gue nggak jago bikin kopi.”

“Siapa juga yang jago pertama kali? Nanti bisa belajar.”

Akhirnya, keesokan harinya Raka pergi ke kafe yang dimaksud. Tempatnya kecil, tapi hangat dan nyaman. Aroma kopi memenuhi udara, dan suara mesin espresso bersahutan dengan obrolan pelanggan.

“Lo yakin bisa?” tanya Rayan sambil melipat tangan di dada.

Raka menghela napas. “Kita lihat aja nanti.”

Hari pertama kerja adalah bencana kecil. Raka sempat menumpahkan susu, salah menghafal pesanan, bahkan hampir memecahkan gelas. Tapi manajer kafe, seorang pria paruh baya bernama Miguel, hanya tertawa. “Nggak ada yang langsung jago, anak muda,” katanya.

Malamnya, Raka pulang dengan kaki pegal dan kepala pening. Tapi anehnya, ia merasa puas.

Seminggu berlalu. Raka mulai terbiasa dengan ritme kampus dan pekerjaannya. Ia sering bertemu Asha, sesekali nongkrong di kafe dekat kampus. Mereka membicarakan banyak hal—tentang masa SMA, tentang impian mereka, tentang bagaimana rasanya hidup jauh dari rumah.

“Aku kadang masih kangen rumah,” kata Asha suatu hari, mengaduk kopinya dengan pelan. “Tapi di sini, aku juga nemuin hal-hal yang bikin aku betah.”

Raka menatap uap yang naik dari cangkirnya. “Gue juga. Awalnya ngerasa sendirian, tapi ternyata… gue bisa nemuin tempat gue sendiri di sini.”

Mereka bertukar senyum.

Musim gugur berganti musim dingin. Daun-daun maple yang dulu merah dan jingga, kini telah gugur, meninggalkan ranting-ranting yang tertutup salju.

Raka berdiri di jendela apartemen, menatap butiran salju pertama yang turun. Ia tersenyum kecil.

Negeri ini, yang dulu terasa asing, kini mulai terasa seperti rumah.

 

Hidup di negeri orang itu kayak naik roller coaster—banyak naik turunnya, kadang bikin perut mules, tapi kalau udah nemuin ritmenya, rasanya nagih. Raka berangkat dengan mimpi dan pulang dengan cerita.

Bukan cuma tentang belajar di kampus bergengsi atau kerja part-time di kafe, tapi tentang menemukan keluarga di tempat yang nggak pernah dia bayangin jadi rumah. Karena ternyata, rumah itu bukan soal tempat, tapi tentang orang-orang yang bikin kita nggak lagi ngerasa sendirian.

Leave a Reply