Daftar Isi
Gimana rasanya ninggalin rumah, pergi ke negeri orang, dan dipaksa bertahan sendirian? Buat yang pernah atau lagi ngerasain merantau, pasti paham gimana campur aduknya perasaan. Cerita ini bukan cuma soal kerja di luar negeri, tapi juga tentang gimana kerasnya hidup ngajarin seseorang buat jadi lebih kuat. Siap-siap ikut merasakan perjalanannya!
Merantau ke Luar Negeri
Langkah Terpaksa di Negeri Asing
Langit senja di Bandara Haneda masih terang meski waktu hampir menunjukkan pukul enam sore. Lampu-lampu di landasan pacu mulai menyala, menciptakan kilauan di antara pesawat-pesawat yang mendarat dan lepas landas. Di antara kerumunan orang yang berlalu-lalang dengan koper masing-masing, seorang pemuda berdiri kaku, matanya menatap sekeliling dengan perasaan yang sulit dijelaskan.
Arya menarik napas panjang, mencoba menenangkan dadanya yang berdegup kencang. Tas ransel di pundaknya terasa lebih berat dari biasanya, seakan menampung seluruh beban yang ia bawa sejak meninggalkan Surabaya.
“Jadi ini Jepang…” gumamnya pelan.
Udara dingin menyusup di antara jaket tipisnya, membuatnya sedikit menggigil. Ia datang di akhir musim gugur, saat angin mulai menusuk dan dedaunan kuning-oranye mulai berjatuhan. Berbeda jauh dari kota asalnya yang panas dan lembap sepanjang tahun.
Langkahnya berat saat menuju pintu keluar. Kepalanya masih terasa pusing akibat penerbangan panjang, tapi itu bukan apa-apa dibandingkan perasaan kosong yang mengendap di dadanya. Ia tidak tahu apa yang menunggunya di sini. Ia hanya tahu satu hal: ia tidak punya pilihan lain selain bertahan.
Di luar bandara, seorang pria berusia sekitar empat puluhan sudah menunggunya. Rambutnya sedikit beruban, wajahnya tegas dengan ekspresi serius. “Arya, ya?” tanyanya dalam bahasa Indonesia yang kaku.
Arya mengangguk. “Iya, Pak. Saya Arya.”
Pria itu tidak banyak bicara. Ia hanya mengisyaratkan Arya untuk mengikutinya ke mobil. Namanya Pak Surya, supervisor yang akan mengawasi para pekerja baru dari Indonesia.
Perjalanan dari bandara ke asrama terasa canggung. Hanya ada suara mesin mobil dan sesekali GPS yang memberikan arahan. Arya duduk diam, matanya memperhatikan jalanan Tokyo yang begitu berbeda dari yang ia bayangkan. Jalan-jalannya bersih, rapi, dan penuh dengan cahaya dari billboard elektronik. Kendaraan berjalan dengan tertib, tidak ada suara klakson membahana seperti di kota asalnya.
“Ini pertama kali kamu ke Jepang?” tanya Pak Surya, memecah keheningan.
“Iya, Pak,” jawab Arya singkat.
Pak Surya mengangguk kecil. “Nanti di pabrik kamu bakal kerja bareng anak-anak Indonesia lain. Ada yang udah di sini lebih dulu. Mereka bakal bantu kamu adaptasi.”
Arya hanya mengangguk.
Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan sederhana dengan cat abu-abu. Bangunan itu terdiri dari dua lantai dengan beberapa jendela kecil. Tidak ada yang istimewa, tapi cukup untuk tempat berteduh.
“Asrama ini buat para pekerja asing. Kamarmu di lantai dua,” ujar Pak Surya sambil menyerahkan sebuah kunci. “Kamu istirahat dulu. Besok pagi aku jemput buat ke pabrik.”
Arya mengucapkan terima kasih sebelum menyeret koper kecilnya menaiki tangga sempit. Lorong asrama sepi, hanya terdengar suara langkah kakinya yang menggema. Ia menemukan kamarnya, membuka pintunya, dan terdiam sejenak.
Ruangan itu kecil. Hanya ada kasur lipat di sudut, meja kecil dengan kursi, serta lemari sederhana yang sudah sedikit usang. Sebuah jendela kecil menghadap ke jalan, tapi pemandangannya tidak menarik—hanya gedung lain yang berdiri tak jauh dari situ.
Arya menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Matanya menatap langit-langit, pikirannya mengembara. Ia ingat wajah ibunya saat mengantarnya ke bandara, senyum yang dipaksakan agar tidak terlihat sedih.
“Kamu hati-hati di sana, ya, Nak…”
Suara ibunya masih terngiang di kepalanya, membuat dadanya terasa sesak.
Ia tahu merantau bukan perkara mudah. Tapi baru beberapa jam di negeri asing ini, ia sudah merasakan betapa beratnya hidup jauh dari rumah.
Arya memejamkan mata, mencoba mengusir rasa sepi yang mulai menyusup. Ia harus bertahan. Tidak ada pilihan lain. Besok, hidup barunya akan dimulai.
Pekerjaan, Kesepian, dan Onigiri Murah
Bunyi alarm ponsel menusuk keheningan pagi, menggema di kamar kecil itu. Arya terbangun dengan mata berat, tubuhnya masih lelah setelah perjalanan panjang kemarin. Udara pagi di Jepang jauh lebih dingin dari yang ia perkirakan, membuatnya enggan beranjak dari bawah selimut tipis yang diberikan asrama.
Tapi ia tidak bisa berlama-lama. Hari pertamanya bekerja sudah menunggu.
Dengan langkah malas, ia menuju kamar mandi bersama di ujung lorong. Beberapa penghuni asrama lain juga sudah bersiap-siap. Ada yang masih setengah sadar menggosok gigi, ada yang sibuk menyisir rambut, dan ada yang sekadar berdiri di depan wastafel, menatap bayangan diri mereka sendiri seakan bertanya-tanya bagaimana mereka bisa berakhir di sini.
“Hei, kamu anak baru, ya?”
Arya menoleh. Seorang pria bertubuh agak pendek dengan wajah ramah berdiri di sampingnya, tangannya masih penuh busa sabun dari wajahnya yang sedang dicuci.
“Iya,” jawab Arya sambil membasuh mukanya dengan air dingin.
“Aku Reza. Dari Jakarta,” pria itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.
“Arya. Surabaya,” balasnya, menerima uluran tangan itu.
“Kamu kerja di bagian mana?”
“Nggak tahu, masih harus nunggu arahan dari Pak Surya.”
Reza mengangguk kecil. “Semoga dapet bagian yang nggak terlalu berat. Ada beberapa posisi yang kerjaannya lumayan ringan, tapi ada juga yang…” Ia mendesis, mengisyaratkan sesuatu yang tidak menyenangkan.
Arya tidak bertanya lebih lanjut. Ia sudah siap dengan kemungkinan terburuk.
Setengah jam kemudian, mereka sudah berdiri di depan pabrik. Bangunan besar berwarna abu-abu itu menjulang dingin di bawah langit pagi yang mendung. Puluhan pekerja berbaris di depan gerbang, sebagian besar wajah-wajah Asia seperti dirinya—Indonesia, Vietnam, Filipina.
Pak Surya mendatangi Arya dan beberapa pekerja baru lainnya. “Hari ini kalian mulai di bagian pengepakan. Nggak usah khawatir, kerjaannya nggak sulit. Intinya cepat dan teliti.”
Arya mengangguk. Ia diberi seragam kerja berwarna biru tua, lengkap dengan topi dan masker. Setelah itu, ia bersama Reza dan beberapa pekerja lain dibawa ke dalam ruangan yang luas. Di sana, suara mesin berdengung, dan beberapa pekerja tampak sibuk memasukkan produk ke dalam kotak.
Seorang supervisor Jepang bernama Tanaka-san memberikan instruksi singkat dalam bahasa Jepang yang kemudian diterjemahkan oleh Pak Surya. “Masukkan produk ke dalam kotak, pastikan tidak ada yang rusak, lalu segel dan tumpuk di palet. Kerjanya harus cepat, nggak boleh banyak bengong.”
Arya mengambil posisinya dan mulai bekerja. Awalnya, pekerjaan itu terasa mudah—hanya memasukkan barang ke dalam kotak dan menyegelnya. Tapi setelah satu jam, tangannya mulai pegal. Kecepatan kerja juga meningkat, membuatnya harus berpacu dengan waktu.
“Nggak segampang yang keliatan, ya?” ujar Reza yang berdiri di sebelahnya.
Arya hanya tersenyum kecil. Ia tidak mau mengeluh. Ini baru hari pertama.
Saat jam makan siang tiba, Arya dan Reza menuju kantin pabrik. Menu hari itu adalah semangkuk kecil nasi dengan potongan ayam teriyaki dan sedikit sayuran.
“Makan di kantin pabrik itu mahal kalau tiap hari,” kata Reza sambil menyendok nasinya. “Makanya banyak yang lebih pilih beli di minimarket atau masak sendiri di asrama.”
Arya hanya mengangguk. Ia sadar uang yang ia miliki harus dikelola dengan baik. Upahnya memang lebih besar dibanding kerja di Indonesia, tapi biaya hidup di Jepang tidak murah.
Setelah makan, ia berjalan ke minimarket terdekat. Ia tidak membeli apa-apa, hanya ingin melihat harga makanan di sini. Rak-rak penuh dengan makanan siap saji, dan matanya tertuju pada onigiri di bagian pendingin.
130 yen.
Dengan kurs rupiah, itu sekitar 14 ribu. Lumayan murah dibanding makanan kantin pabrik.
Arya mengambil satu, lalu membayarnya di kasir. Setelah keluar dari minimarket, ia duduk di bangku kayu yang menghadap ke jalanan sepi. Ia membuka kemasannya, menggigit sedikit, lalu menghela napas.
Rasanya enak. Tapi juga terasa asing.
Ia tidak tahu apakah ia bisa terbiasa dengan semua ini.
Tapi untuk sekarang, ia hanya bisa bertahan.
Di Antara Mesin dan Kesunyian
Hari-hari di pabrik berlalu seperti roda mesin yang terus berputar tanpa henti. Pagi dimulai dengan alarm nyaring, kerja monoton di ruangan yang dipenuhi suara dengung, lalu pulang dengan badan pegal dan pikiran lelah. Satu-satunya hiburan adalah obrolan singkat dengan Reza di sela-sela jam istirahat dan onigiri minimarket yang semakin sering ia beli.
Namun, semakin lama, Arya mulai merasa ada yang berbeda.
Ia memperhatikan bahwa beberapa pekerja senior dari Indonesia tampak bekerja dengan ekspresi kosong, seolah hanya sekadar bertahan. Beberapa bahkan sering mengeluh soal atasan Jepang yang terlalu menuntut atau aturan kerja yang terasa tidak masuk akal.
“Kamu tahu nggak?” bisik Reza suatu hari saat mereka beristirahat di pojokan kantin. “Ada orang yang kerja di sini sampai lima tahun, tapi nggak pernah naik posisi.”
Arya menoleh. “Kenapa?”
Reza mengangkat bahu. “Karena mereka nggak bisa bahasa Jepang. Atasan di sini lebih milih ngasih posisi lebih bagus ke orang yang bisa bahasa mereka.”
Arya terdiam. Selama ini, ia hanya fokus bekerja dan bertahan hidup, tapi tidak pernah berpikir soal kemungkinan untuk berkembang. Apakah ia akan terjebak di posisi ini selamanya?
Malamnya, di kamar asrama yang sempit dan dingin, ia menatap layar ponselnya. Jari-jarinya menggulir forum pekerja Indonesia di Jepang. Ia membaca cerita-cerita tentang mereka yang berhasil mendapatkan pekerjaan lebih baik setelah belajar bahasa Jepang.
Ia menghela napas. Mungkin sudah saatnya ia melakukan sesuatu.
Beberapa hari setelahnya, Arya mulai mencari-cari kelas bahasa Jepang murah. Pilihan terbaik adalah mengikuti kursus online di malam hari setelah pulang kerja. Itu berarti waktunya untuk beristirahat akan berkurang, tapi ia tahu ini penting.
Reza mengernyit saat mendengarnya. “Serius kamu mau belajar bahasa Jepang setelah kerja seharian?”
Arya mengangguk. “Aku nggak mau selamanya cuma kerja di pabrik kayak gini.”
Reza terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Kalau gitu, semoga berhasil.”
Dan malam itu, setelah pulang dengan badan lelah dan tangan masih terasa kebas akibat pekerjaan yang terus berulang, Arya menyalakan laptopnya. Ia membuka aplikasi kursus online, memasang headset, dan mulai mendengarkan kata-kata dalam bahasa yang terasa asing di telinganya.
Satu kata demi satu kata. Satu kalimat demi satu kalimat.
Ia tidak tahu apakah ia bisa berhasil, tapi satu hal yang ia yakini: ia tidak boleh berhenti di sini.
Jalan Pulang yang Berbeda
Malam-malam panjang berlalu dengan mata yang berusaha tetap terbuka di depan layar laptop. Sering kali, Arya tertidur di meja dengan headset masih terpasang di telinganya. Tapi perlahan, kata-kata asing yang dulu hanya bunyi tanpa makna mulai bisa ia mengerti.
Setiap pagi di pabrik, ia mulai mencoba menangkap percakapan pekerja Jepang. Kadang ia gagal, kadang ia salah mengartikan, tapi ia terus mencoba.
“Selalu ada jalan kalau kita mau nyari,” pikirnya dalam hati.
Suatu hari, supervisor Jepang, Tanaka-san, tiba-tiba memanggilnya. Arya sempat panik, takut ia melakukan kesalahan.
“Kamu bisa bahasa Jepang?” tanya Tanaka-san dalam bahasa yang masih terdengar cepat di telinganya.
Arya menelan ludah. “Sedikit.”
Tanaka-san mengangguk pelan, lalu memberi isyarat untuk mengikutinya.
Di ruangan kecil yang dipenuhi tumpukan dokumen dan komputer, ia ditunjukkan daftar barang produksi yang harus diperiksa sebelum dikirim ke gudang. Biasanya, pekerjaan ini dilakukan oleh pekerja yang sudah lebih lama di sana.
“Kamu coba bantu cek ini,” kata Tanaka-san.
Arya terdiam sejenak sebelum akhirnya mengambil dokumen itu. Ia membaca tulisan-tulisan Jepang yang sebagian sudah ia kenal, lalu mengangguk.
Ia bisa melakukannya.
Dari hari itu, pekerjaannya berubah. Ia tidak lagi hanya berdiri berjam-jam di jalur pengepakan, tapi mulai belajar tentang administrasi pabrik. Reza terkejut saat mendengar kabar itu.
“Gila, kamu naik posisi?”
Arya mengangkat bahu. “Nggak tahu ini bisa dibilang naik posisi atau bukan, tapi kerjaan baru ini lebih bagus dari sebelumnya.”
Reza tersenyum kecil. “Kamu hebat.”
Arya hanya tertawa pelan. Ia tahu ini bukan soal hebat atau tidak. Ini tentang bertahan dan mencari jalan keluar.
Beberapa bulan kemudian, ia mendapat tawaran yang lebih besar—kesempatan untuk bekerja di bagian logistik dengan kontrak yang lebih panjang. Ia bisa memilih untuk tetap di Jepang lebih lama atau pulang ke Indonesia dengan pengalaman dan keterampilan baru.
Dan pada akhirnya, ia memilih pulang.
Ia tidak menyesali keputusannya merantau, tapi ia juga tahu kapan saatnya kembali.
Di bandara, sebelum berangkat, ia melihat kembali kota yang telah mengubahnya. Kota yang dulu terasa dingin dan asing, tapi kini penuh dengan kenangan dan pelajaran hidup.
Saat pesawat lepas landas, ia menghela napas panjang.
Ia berangkat sebagai seseorang yang dipaksa pergi.
Tapi ia pulang sebagai seseorang yang lebih kuat.
Kadang, hidup nggak ngasih kita pilihan selain maju terus. Merantau bukan cuma soal ngejar gaji gede atau pengalaman kerja, tapi juga soal nemuin diri sendiri di tempat yang asing.
Dan pada akhirnya, pulang bukan berarti kalah—tapi bukti kalau seseorang udah berhasil menaklukkan tantangan dan jadi lebih baik dari sebelumnya. So, kalau lagi berjuang di luar sana, jangan nyerah!