Daftar Isi
Gini deh, pernah nggak sih ngerasa kalau perbedaan tuh kadang bikin orang makin jauh? Padahal, kalau ditenun bareng, justru bisa jadi sesuatu yang luar biasa. Nah, di Desa Waringin, ada cerita soal orang-orang yang hampir kehilangan kebersamaan mereka—cuma gara-gara beda cara pandang.
Untungnya, mereka sadar kalau merajut kebangsaan itu lebih penting daripada terus-terusan berantem. Gimana caranya mereka menyatukan lagi yang udah hampir retak? Cus, baca sampe habis!
Merajut Kebangsaan
Benang Yang Mulai Kusut
Pagi itu, matahari bersinar hangat di atas Desa Cipta Mulya, menyoroti jalanan kecil yang mulai ramai oleh aktivitas warga. Aroma kopi hitam yang baru diseduh bercampur dengan bau tanah yang masih lembap setelah hujan semalam. Biasanya, pagi seperti ini penuh dengan tawa dan obrolan ringan di warung-warung pinggir jalan. Tapi kali ini, suasana terasa berbeda. Warga tampak berkumpul di balai desa, ekspresi mereka serius.
Di tengah keramaian, Pak Wicaksana berdiri dengan gagah, mencoba menenangkan warga yang mulai saling bersuara dengan nada tinggi. “Tenang, tenang! Kita di sini buat mencari solusi, bukan buat berdebat tanpa arah!” serunya.
Pak Darman, pria Batak dengan suara lantang, menyilangkan tangan di dada. “Aku setuju sama balai budaya, tapi kenapa desainnya harus Jawa? Memangnya kita yang lain cuma numpang di desa ini?”
“Betul, Pak!” timpal Bu Minah, perempuan Dayak yang berdiri di dekatnya. “Kami juga bagian dari desa ini. Kalau balai budaya cuma mencerminkan satu suku, terus di mana tempat untuk budaya kami?”
Di sisi lain ruangan, Pak Jaya, pria keturunan Tionghoa yang sudah puluhan tahun menetap di Cipta Mulya, menghela napas sebelum akhirnya ikut bersuara. “Kenapa kita nggak buat yang netral aja? Tanpa unsur adat tertentu, jadi semua orang merasa nyaman.”
Beberapa warga mengangguk, tapi ada juga yang tampak tak setuju. Seorang pria paruh baya, Pak Wiryo, menggeleng. “Tapi ini kan desa di tanah Jawa. Wajar kalau kita pakai arsitektur Jawa juga.”
Perdebatan makin sengit. Beberapa orang mulai berbicara bersamaan, suara mereka bercampur aduk. Ada yang setuju dengan desain awal, ada yang merasa tidak dihargai, dan ada yang bingung harus memihak siapa.
Dari kejauhan, Laksana memperhatikan semuanya dengan gelisah. Ia berdiri di dekat pintu, menyandarkan tubuhnya ke tiang kayu. Sebagai guru di desa ini, ia sering mengajarkan murid-muridnya tentang persatuan dan kebhinekaan. Tapi sekarang, melihat orang-orang dewasa berselisih karena perbedaan, ia merasa ada yang salah.
Tiba-tiba, suara gebrakan meja membuat semua orang terdiam.
“Cukup!” suara berat itu berasal dari Pak Wicaksana. “Kalau kita begini terus, balai budaya itu nggak bakal jadi-jadi. Kita harus cari jalan tengah, bukan saling tarik-menarik kepentingan!”
Suasana menjadi lebih tenang, meski ketegangan masih terasa di udara. Pak Wicaksana menarik napas panjang, lalu melanjutkan, “Kita pikirkan dulu baik-baik. Sekarang, rapat aku tutup.”
Warga mulai bubar, tapi jelas sekali kalau masalah ini belum selesai.
Sejak rapat itu, suasana desa mulai berubah. Biasanya, warga saling sapa dengan akrab saat bertemu di jalan. Tapi kini, beberapa orang mulai menjaga jarak.
Di warung kopi milik Pak Jaya, biasanya orang-orang berkumpul untuk mengobrol ringan. Tapi hari ini, hanya ada beberapa pelanggan. Bahkan, ada yang sengaja melewati warungnya tanpa singgah.
Pak Jaya mengusap meja kayu dengan kain lap, sambil memperhatikan seorang pelanggan yang baru saja pergi tanpa menghabiskan kopinya. “Ini udah mulai nggak sehat,” gumamnya.
Di sisi lain desa, anak-anak yang biasanya bermain bersama kini mulai terbagi dalam kelompok-kelompok kecil. Ada yang memilih bermain dengan teman dari suku yang sama, seolah takut kalau mereka bercampur, mereka akan kehilangan identitasnya.
Laksana melihat semua itu dengan hati berat. Ia menyaksikan murid-muridnya yang biasanya tak pernah peduli dari mana mereka berasal, kini mulai saling menghindar.
Ia menghela napas panjang, lalu berjalan menuju rumah neneknya, Nenek Gendis. Jika ada seseorang yang bisa memberinya nasihat, pasti itu neneknya.
Saat sampai di rumah kayu sederhana itu, ia menemukan Nenek Gendis sedang duduk di beranda, merajut kain tenun dengan sabar. Laksana tersenyum kecil dan duduk di sebelahnya.
“Nenek, desa kita sedang nggak baik-baik aja,” katanya pelan.
Nenek Gendis tetap merajut, tanpa menoleh. “Aku tahu, Nak. Aku bisa merasakannya dari udara.”
Laksana menatap kain tenun di tangan neneknya. “Kenapa dulu kita bisa hidup rukun, tapi sekarang malah ribut gara-gara bangunan?”
Nenek Gendis berhenti sejenak, lalu mengangkat kain tenun itu. “Coba lihat kain ini. Menurut kamu, apa yang bikin kain ini indah?”
Laksana mengamati motif dan warna-warna yang berpadu di dalamnya. “Karena ada banyak warna dan pola yang berbeda?”
Nenek Gendis tersenyum. “Benar. Kalau cuma satu warna, apa akan seindah ini?”
Laksana menggeleng. Ia mulai mengerti apa yang dimaksud neneknya.
“Kita nggak bisa memaksakan semua harus sama. Justru perbedaan yang membuat kita kuat,” lanjut Nenek Gendis. “Tapi kalau benang-benangnya nggak dirajut dengan baik, kain ini bisa lepas. Sama seperti desa kita sekarang.”
Laksana terdiam, merenungkan kata-kata neneknya. Ada sesuatu yang harus ia lakukan. Tapi apa?
Di luar sana, Desa Cipta Mulya masih diam dalam ketegangan. Hubungan yang dulunya erat kini seperti benang yang mulai kusut, siap terurai kapan saja.
Namun, di beranda rumah kecil itu, seorang pemuda mulai menyusun rencana. Sesuatu harus dilakukan untuk menyatukan kembali desa ini—sebelum semuanya benar-benar terlepas.
Kain Tenun Yang Terkoyak
Laksana berdiri di depan papan tulis kelasnya, menatap wajah-wajah murid-murid yang biasanya ceria. Tapi pagi ini, suasana terasa berat. Anak-anak duduk dalam kelompok kecil, seolah ada batas tak terlihat di antara mereka. Biasanya, Bima dan Anton duduk berdampingan, tapi kini mereka memilih tempat terpisah. Dinda dan Mei, yang dulu selalu berbagi bekal, bahkan tak saling menyapa.
Laksana mengetuk papan tulis dengan telapak tangannya, menarik perhatian mereka. “Hari ini kita belajar tentang persatuan,” katanya.
Beberapa anak mengangkat kepala, tapi banyak juga yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Ada yang tahu kenapa negara kita disebut Bhinneka Tunggal Ika?” tanyanya lagi.
Hening.
Biasanya, banyak tangan yang terangkat untuk menjawab pertanyaannya, tapi kali ini hanya ada satu—Rama, anak yang selalu bersemangat dalam pelajaran sejarah.
“Itu berarti berbeda-beda tapi tetap satu,” jawab Rama hati-hati.
“Benar. Tapi menurut kalian, apa artinya?”
Tak ada jawaban. Anak-anak itu berpikir, tapi sebagian dari mereka terlihat ragu.
Laksana berjalan mendekati meja mereka dan menghela napas. “Kenapa kalian mendadak diam? Bukannya dulu kalian bangga dengan keberagaman kita?”
Anton mengangkat bahu. “Tapi orang-orang di desa sekarang nggak gitu, Pak.”
“Kenapa nggak?”
Bima, yang biasanya paling vokal, kini bersuara dengan nada lemah. “Soalnya orang dewasa aja ribut. Kalau mereka aja nggak bisa akur, kenapa kita harus?”
Jawaban itu menusuk hati Laksana. Anak-anak ini mencontoh apa yang mereka lihat. Jika orang dewasa menunjukkan perpecahan, bagaimana mungkin generasi setelahnya bisa belajar tentang persatuan?
Ia menyandarkan punggungnya ke meja, berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, “Kalian tahu? Aku pernah dengar cerita dari Nenek Gendis tentang kain tenun.”
Anak-anak mulai tertarik. Mereka tahu kalau cerita dari Nenek Gendis selalu penuh makna.
“Kain tenun itu dibuat dari banyak benang dengan warna berbeda. Kalau satu benang putus, kainnya bisa rusak. Sama seperti desa kita sekarang. Kalau kita terus membiarkan perbedaan ini jadi alasan buat saling menjauh, lama-lama hubungan kita bakal koyak.”
Dinda mengangkat tangan. “Jadi, kita harus nyatu lagi?”
Laksana tersenyum. “Ya. Dan aku butuh bantuan kalian.”
Di luar kelas, suasana desa makin tak menentu. Warga semakin terbagi, bukan hanya karena perdebatan soal balai budaya, tapi juga karena perasaan tak nyaman yang mulai tumbuh di hati mereka.
Warung Pak Jaya makin sepi. Orang-orang lebih memilih membeli dari tempat lain, seolah keturunan Tionghoa sepertinya bukan lagi bagian dari desa ini. Bu Minah pun mulai jarang berbicara dengan tetangga-tetangganya yang dulu sering berbagi makanan dengannya.
Pak Wicaksana masih berusaha menjaga ketertiban, tapi ketegangan terlalu besar. Rapat desa berikutnya pun dibatalkan karena warga enggan bertemu satu sama lain.
Sementara itu, Laksana mengumpulkan anak-anak di balai desa yang mulai terbengkalai. Ia membawa mereka ke sana bukan untuk belajar seperti biasa, tapi untuk sesuatu yang lebih penting.
“Kita mau ngapain di sini, Pak?” tanya Rama.
Laksana menatap mereka satu per satu. “Kita bakal nunjukin ke orang-orang dewasa kalau perbedaan itu bukan alasan buat saling menjauh.”
Mei mengernyit. “Caranya?”
Laksana mengeluarkan beberapa lembar kain warna-warni dari dalam tasnya. “Kita bakal buat kain tenun kebangsaan.”
Anak-anak saling berpandangan.
“Aku mau kalian jahit kain ini jadi satu, meskipun warnanya beda-beda. Kita bakal buat sesuatu yang nunjukin kalau kita tetap bisa nyatu meski nggak sama.”
Anak-anak mulai bersemangat. Mereka memilih kain-kain yang mereka suka, menjahitnya perlahan. Ada yang ragu-ragu, ada yang masih kesulitan, tapi mereka terus mencoba.
Hari berlalu, dan berita tentang “kain tenun kebangsaan” mulai menyebar ke desa. Beberapa orang dewasa yang awalnya acuh, mulai penasaran.
Suatu siang, Pak Jaya datang ke balai desa dan melihat anak-anak yang tengah asyik bekerja. “Kalian buat apa?” tanyanya.
“Kain tenun kebangsaan,” jawab Bima bangga.
Pak Jaya mengamati kain itu. Warna-warnanya cerah, motifnya tak beraturan, tapi justru itu yang membuatnya indah.
“Kalian yang ngajarin ini?” tanyanya pada Laksana.
Laksana menggeleng. “Mereka sendiri yang mau.”
Pak Jaya terdiam, lalu tersenyum kecil. “Boleh aku ikut bantu?”
Hari itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa pekan terakhir, seorang dewasa dan anak-anak bekerja bersama dalam satu tempat.
Namun, meski benang-benang mulai dijalin kembali, masih ada bayangan perpecahan yang mengintai di sudut desa. Sesuatu harus dilakukan sebelum semuanya benar-benar tak bisa diperbaiki.
Menjalin Warna Dalam Festival
Hari itu, cahaya matahari terasa lebih hangat dari biasanya. Di balai desa, anak-anak masih sibuk menyulam kain tenun mereka. Namun, sesuatu yang lebih besar mulai terjadi—beberapa warga desa mulai berdatangan. Awalnya hanya Pak Jaya, lalu Bu Minah, kemudian Pak Wicaksana yang biasanya sibuk menjaga ketertiban. Mereka datang bukan sekadar menonton, tapi ikut duduk bersama anak-anak, menyulam satu per satu potongan kain warna-warni menjadi satu kesatuan yang lebih besar.
Di sudut balai desa, Mei membetulkan jahitan Rama yang sedikit miring. Anton mengulurkan benang pada Dinda. Mereka yang sebelumnya terpecah kini duduk berdampingan lagi, seolah-olah tidak pernah ada batas di antara mereka.
Pak Jaya mengusap kain yang sudah cukup panjang itu dengan jemarinya. “Ini cantik sekali,” gumamnya. “Dulu, waktu kecil, ibuku juga pernah bercerita soal kain tenun kebangsaan. Katanya, setiap benang punya makna, setiap warna punya cerita.”
Laksana tersenyum mendengar kata-kata itu. “Dan setiap tangan yang menjahitnya punya harapan.”
Pak Wicaksana mengangguk. “Mungkin sudah saatnya kita berhenti memperdebatkan perbedaan dan mulai mencari cara buat menyatukan desa ini lagi.”
Tiba-tiba, Mei berseru, “Kenapa kita nggak tampilin kain ini di festival desa nanti?”
Semua mata langsung tertuju padanya.
“Festival desa?” tanya Dinda. “Bukannya tahun ini nggak ada?”
“Siapa bilang?” Mei bangkit berdiri. “Kita yang buat!”
Anton menggaruk kepalanya. “Tapi orang-orang masih banyak yang nggak akur. Mereka bahkan malas ketemu satu sama lain.”
“Itulah kenapa kita harus bikin festival ini,” jawab Mei dengan mata berbinar. “Kita harus kasih tahu kalau desa ini masih bisa bersatu. Kalau kain ini bisa kita rajut, kenapa kita nggak bisa?”
Laksana menepuk bahu Mei. “Aku setuju.”
Sejak saat itu, balai desa tak lagi sepi. Anak-anak bekerja lebih keras, bukan hanya untuk menyelesaikan kain tenun mereka, tapi juga mempersiapkan festival. Mereka menyiapkan panggung kecil, memasang lampion warna-warni, dan mengajak warga untuk ikut serta.
Namun, tak semua orang langsung setuju. Ada yang masih skeptis, ada yang tetap bersikeras bahwa perpecahan ini tak bisa diperbaiki begitu saja.
Pak Wicaksana bahkan menemui beberapa tetua desa yang masih menolak untuk menghadiri acara itu.
“Apa gunanya festival kalau semua orang masih saling curiga?” tanya salah satu tetua dengan nada dingin.
Pak Wicaksana menatap mereka dengan serius. “Karena kita perlu alasan buat kembali duduk bersama. Dan kalau kita nunggu semuanya sempurna dulu, kita nggak akan pernah mulai.”
Akhirnya, setelah banyak perdebatan dan negosiasi, tanggal festival pun ditentukan.
Hari itu tiba.
Lapangan desa yang semula muram kini penuh warna. Meja-meja dihiasi kain tenun yang sudah selesai, memamerkan hasil kerja keras anak-anak dan warga yang akhirnya ikut membantu. Panggung kecil yang mereka buat dihiasi bendera merah putih yang berkibar gagah.
Di tengah lapangan, kain tenun besar yang mereka jahit selama berminggu-minggu digantung tinggi, membentuk tirai besar yang warnanya berkilau di bawah sinar matahari.
Laksana berdiri di tengah panggung, menatap wajah-wajah yang dulu saling menjauh, kini mulai kembali berdampingan.
“Selamat datang di Festival Kebangsaan kita!” serunya.
Sorak sorai kecil terdengar. Mungkin belum sebesar festival-festival sebelumnya, tapi ini adalah awal.
Mei, Bima, Anton, dan Dinda naik ke atas panggung, membawa kain kecil yang dijahit dari potongan kain tenun besar mereka.
“Kami mau kasih ini buat desa,” kata Mei. “Sebagai tanda kalau kita tetap satu, meskipun kita semua berbeda.”
Pak Wicaksana menerima kain itu, menggenggamnya dengan erat. “Dan kami, orang-orang tua, berjanji untuk menjaga warisan ini.”
Di antara kerumunan, ada orang-orang yang masih diam, masih ragu, tapi melihat semua ini terjadi di depan mata mereka—melihat anak-anak mereka sendiri yang memimpin jalan—perlahan, hati mereka mulai luluh.
Pak Jaya melangkah maju, berdiri di depan panggung. “Dulu, kita selalu bilang kalau desa ini adalah rumah untuk semua orang,” katanya lantang. “Hari ini, kita ingat lagi alasan kenapa kita dulu bisa hidup rukun.”
Dan dengan itu, satu per satu warga mulai tersenyum, mulai berbicara lagi, mulai menjabat tangan yang sempat mereka hindari.
Langit sore mulai berubah jingga ketika suara gamelan menggema, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, Desa Waringin kembali hidup.
Namun, masih ada satu hal yang belum selesai.
Menyulam Kembali Luka Lama
Festival sudah berakhir, tetapi gaungnya masih terasa di setiap sudut desa. Balai desa yang dulu sepi kini kembali ramai. Warga yang selama ini saling menghindar mulai kembali bertukar sapa, meski ada yang masih canggung. Namun, satu hal yang tak bisa diabaikan—suasana desa mulai terasa lebih hangat.
Di tengah lapangan, kain tenun besar mereka masih tergantung, tertiup angin sore. Mei berdiri di bawahnya, memandanginya dengan bangga.
“Siapa sangka ini bisa jadi sebesar ini,” gumamnya.
Di sebelahnya, Laksana tersenyum tipis. “Karena ini bukan cuma soal kain, tapi soal kita semua yang akhirnya duduk bersama lagi.”
Namun, meski semuanya mulai membaik, ada sesuatu yang masih menggantung di udara—sebuah luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.
Hari itu, para tetua desa berkumpul di balai desa. Ada Pak Jaya, Pak Wicaksana, Bu Minah, dan beberapa orang lain yang dulu berseberangan pendapat.
“Luka lama nggak bisa sembuh dalam semalam,” kata Pak Wicaksana. “Tapi kita juga nggak bisa terus-terusan membiarkannya menganga.”
Bu Minah mengangguk. “Kita harus benar-benar bicara, bukan cuma pura-pura baik.”
Maka, untuk pertama kalinya sejak perpecahan itu terjadi, mereka mengadakan musyawarah besar. Warga desa, tua maupun muda, berkumpul di balai desa. Tidak ada yang berteriak, tidak ada yang saling menyalahkan. Mereka berbicara—jujur, apa adanya.
Dinda memberanikan diri angkat bicara. “Waktu itu, aku ikut-ikutan marah, padahal aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sekarang aku sadar, aku cuma memperburuk keadaan.”
Rama menghela napas panjang. “Aku juga. Aku merasa desa ini udah nggak seperti dulu lagi, tapi ternyata, kita sendiri yang membuatnya begitu.”
Pak Jaya yang selama ini diam akhirnya bersuara. “Aku juga punya kesalahan. Aku terlalu keras kepala sampai nggak sadar kalau semua ini cuma akan membuat kita semakin jauh.”
Satu per satu, orang-orang mulai mengakui perasaan mereka. Ada yang mengaku takut, ada yang menyesal, ada yang sedih karena kehilangan teman-teman mereka selama ini. Tidak ada lagi yang saling tuding, tidak ada lagi yang menolak kenyataan.
Di tengah suasana yang penuh emosi itu, Anton berdiri dan mengangkat sepotong kain kecil.
“Aku nggak ngerti soal politik orang dewasa,” katanya. “Tapi aku tahu satu hal—kita semua sudah menjahit kain ini bersama. Dan aku nggak mau kain ini jadi sia-sia.”
Suasana hening sejenak, sebelum akhirnya Pak Wicaksana berdiri. “Aku rasa, kita harus buat sesuatu yang bisa terus mengingatkan kita bahwa kita ini satu.”
Mei tersenyum. “Bagaimana kalau kita letakkan kain tenun ini di tengah balai desa? Jadi siapa pun yang datang ke sini, akan selalu ingat bahwa kita pernah bersatu?”
Warga desa saling berpandangan. Ide itu sederhana, tapi maknanya sangat besar.
Akhirnya, mereka sepakat. Kain tenun itu akan menjadi simbol baru desa mereka—bukan sekadar kain, tetapi pengingat bahwa mereka pernah hampir terpecah, dan mereka memilih untuk merajut kembali kebersamaan itu.
Beberapa hari kemudian, kain tenun besar itu dipasang di tengah balai desa, di bawah atap yang menaungi mereka semua. Anak-anak melihatnya dengan bangga, sementara para orang tua menatapnya dengan harapan.
Di antara kerumunan, Pak Jaya menepuk bahu Pak Wicaksana. “Kita mungkin butuh waktu buat menyembuhkan semuanya, tapi setidaknya, kita sudah mulai.”
Pak Wicaksana mengangguk. “Dan kali ini, kita nggak akan membiarkan perbedaan memisahkan kita lagi.”
Di luar, angin berhembus pelan, membawa harum tanah basah setelah hujan semalam. Desa Waringin mungkin belum sempurna, tapi setidaknya, mereka sudah mulai berjalan ke arah yang benar.
Mereka sudah memilih untuk merajut kembali kebangsaan dan kebhinekaan mereka—dan kali ini, mereka tidak akan membiarkan benang itu terlepas lagi.
Jadi gini, nggak ada yang namanya desa, kota, atau bahkan negara yang isinya seragam semua. Perbedaan itu pasti ada, tapi kalau semua orang keras kepala dan nggak mau ngalah, ujung-ujungnya yang ada cuma perpecahan.
Desa Waringin udah kasih contoh kalau merajut kebersamaan itu bukan sekadar wacana, tapi beneran bisa dilakukan. Tinggal kita aja nih, mau tetap bertahan di zona nyaman masing-masing atau ikut ngerajut Indonesia yang lebih kuat? Pilihan ada di tangan kita!


