Daftar Isi
Hai, siapa yang pernah ngerasa stuck dalam hidup? Kayak udah berusaha, tapi mimpi tetap jauh di depan mata.
Nah, cerita ini tentang Ravas, si pemimpi yang akhirnya bangkit dan mulai bergerak, meskipun awalnya terasa berat. Yuk, simak perjalanan Ravas, dari yang hanya berandai-andai hingga meraih impian yang sebenarnya!
Meraih Impian
Terjebak Dalam Angan-angan
Senja mulai merayap perlahan, mengubah langit kota menjadi lukisan jingga yang temaram. Di dalam sebuah kamar sempit dengan dinding yang dipenuhi catatan dan coretan tulisan, seorang pemuda duduk membisu di depan laptopnya. Layarnya menyala terang, tapi kursornya tetap berkedip di atas halaman kosong.
Ravas sudah duduk di sana selama hampir dua jam. Tangannya menggantung di atas keyboard, tapi tak ada satu huruf pun yang ia ketik. Matanya menatap kosong, pikirannya melayang jauh ke tempat yang hanya bisa dijangkau oleh angan-angannya.
Di dalam kepalanya, ia sudah menjadi seorang penulis terkenal. Ia bisa melihat wajahnya terpampang di billboard besar, buku-bukunya menghiasi rak toko ternama, dan orang-orang mengantre untuk mendapatkan tanda tangannya. Wawancara eksklusif, pujian dari kritikus, undangan dari penerbit besar—semuanya tampak begitu nyata. Begitu nyata hingga ia lupa bahwa dunia nyata tidak berjalan dengan cara seperti itu.
Ketukan keras di pintu tiba-tiba mengusik lamunannya.
“Ravas! Kamu di dalam?”
Suara itu terdengar sedikit kesal. Itu Raka, sahabatnya sejak SMA.
Ravas tidak langsung menjawab. Ia masih setengah sadar dari dunia angannya. Ketukan di pintu semakin keras.
“Ravas, buka pintunya, jangan diam aja!”
Dengan enggan, Ravas berdiri dan membuka pintu. Raka berdiri di ambang pintu dengan ekspresi tidak sabar. Jaketnya sedikit kusut, dan napasnya terdengar berat, seperti habis berlari.
“Kamu lagi ngapain?!” Raka langsung masuk tanpa menunggu dipersilakan. Matanya menyapu ruangan yang penuh dengan kertas-kertas berserakan. “Jangan bilang kamu lupa sama wawancaranya?”
Ravas mengerutkan dahi. “Wawancara apa?”
Mata Raka membelalak. “Kamu serius? Wawancara sama penerbit, Ravas! Yang udah kita atur dari minggu lalu! Sekarang udah jam berapa?!”
Ravas menoleh ke layar laptopnya. 19.45.
Seketika, perutnya terasa kosong. Napasnya tercekat. Matanya membelalak, seolah-olah baru menyadari kesalahan yang baru saja ia buat.
“Wawancaranya… jam tujuh, kan?” suaranya terdengar pelan, nyaris seperti bisikan.
Raka menghela napas panjang. “Iya. Dan mereka nggak bisa nunggu selama ini. Aku udah coba tahan mereka, tapi mereka punya jadwal lain. Kamu tahu ini kesempatan langka, kan? Kamu yang bilang mau jadi penulis. Kamu yang bilang mau terbitin buku. Tapi sekarang? Kamu bahkan nggak berusaha buat datang!”
Ravas terdiam. Dadanya terasa sesak.
“Aku…” Ravas ingin mencari alasan, tapi tidak ada yang bisa ia katakan.
“Kamu apa? Jangan bilang kamu sibuk nulis, karena aku lihat sendiri laptop kamu masih kosong,” Raka menunjuk layar laptop yang hanya menampilkan halaman putih tanpa satu pun kata tertulis.
Ravas menunduk. Raka benar. Ia tidak sedang menulis. Ia hanya tenggelam dalam pikirannya sendiri, berkhayal tentang kesuksesan tanpa pernah melakukan apa-apa.
“Kamu nggak sadar, kan?” suara Raka melembut, meski masih terdengar kecewa. “Kamu selalu bilang mau jadi penulis, tapi kamu nggak pernah benar-benar menulis. Kamu cuma bermimpi.”
Ravas meremas tangannya sendiri. Sesuatu di dalam dirinya terasa runtuh.
“Kamu tahu yang lebih buruk dari gagal?” Raka melanjutkan, suaranya lebih pelan. “Nggak pernah mulai sama sekali.”
Hening. Hanya suara kipas laptop yang berputar pelan di ruangan itu.
Ravas tidak bisa membantah. Ia tidak bisa mengelak. Dan untuk pertama kalinya, ia menyadari betapa bodohnya dirinya selama ini.
Tapi waktu tidak bisa diputar kembali. Kesempatan itu sudah hilang. Dan ia hanya bisa menatap layar laptopnya yang kosong, merasa lebih hampa dari sebelumnya.
Ketukan Yang Menyadarkan
Malam terasa lebih panjang dari biasanya. Ravas masih duduk di kursinya, menatap layar laptop yang tetap kosong. Raka sudah pergi hampir setengah jam lalu, tapi kata-katanya terus terngiang di kepala Ravas.
“Kamu tahu yang lebih buruk dari gagal? Nggak pernah mulai sama sekali.”
Ia mengusap wajahnya dengan kasar. Kesal. Bukan pada Raka, tapi pada dirinya sendiri.
Pikirannya melayang ke masa-masa lalu, saat pertama kali ia bermimpi menjadi seorang penulis. Dulu, ia selalu berkata bahwa ia akan sukses, akan menerbitkan buku, akan menjadi sosok yang dikenal. Tapi bertahun-tahun berlalu, yang ia lakukan hanyalah membayangkan—bukan bertindak.
Tangannya mengepal di atas meja.
“Aku selalu begini. Selalu berharap, tapi nggak pernah benar-benar bergerak.”
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menutup laptopnya dengan satu gerakan. Kakinya melangkah menuju jendela, membuka tirai tipis yang menggantung di sana. Dari balik kaca, ia melihat pemandangan kota yang dipenuhi lampu-lampu jalanan. Orang-orang masih berlalu-lalang, menjalani hidup mereka. Tidak seperti dirinya—terjebak dalam pikirannya sendiri.
Ketukan di pintu kembali terdengar. Kali ini lebih pelan, lebih ragu.
Ravas menoleh.
“Ravas?” suara Raka terdengar dari balik pintu.
Ravas tidak segera menjawab. Ia merasa tidak pantas menghadapi sahabatnya sekarang. Tapi Raka tidak pergi.
“Aku tahu kamu masih bangun.”
Ravas menghela napas dan akhirnya berjalan ke pintu, membukanya.
Raka berdiri di sana, tangannya menyelip di saku jaketnya. Tidak ada lagi kemarahan di wajahnya, hanya ekspresi lelah.
“Maaf.” Suara Ravas nyaris seperti bisikan.
Raka mengangkat alis. “Buat apa?”
“Buat semua yang aku lakuin hari ini. Buat semua kesempatan yang aku sia-siakan.”
Raka tidak langsung menjawab. Ia hanya mengamati Ravas, lalu akhirnya masuk ke kamar tanpa diundang.
“Jadi, kamu mau ngeluh atau mau ngubah keadaan?”
Ravas menutup pintu di belakangnya. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana.”
Raka bersandar di meja belajar, menyilangkan tangan. “Aku cuma mau tanya satu hal. Kenapa kamu pengen jadi penulis?”
Ravas terdiam. Ia tidak menyangka Raka akan menanyakan itu.
“Aku…” ia mengerutkan kening, mencoba menyusun kata-kata. “Aku suka menulis sejak kecil. Aku suka menciptakan dunia sendiri, karakter sendiri. Aku pengen bikin cerita yang bisa bikin orang ngerasa sesuatu.”
“Terus kenapa kamu nggak nulis?”
Ravas menghela napas. “Aku takut. Takut gagal. Takut tulisan aku jelek. Takut nggak ada yang baca.”
Raka menatapnya tajam. “Jadi kamu lebih memilih nggak ngapa-ngapain?”
Ravas tidak bisa menjawab. Karena itu benar.
“Kamu sadar, kan?” Raka melanjutkan. “Setiap kali kamu berandai-andai tentang sukses, tentang jadi penulis terkenal, kamu nggak pernah mikirin prosesnya. Kamu cuma ngelihat hasil akhirnya.”
Ravas mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya. Ia benci mengakuinya, tapi Raka benar.
“Kamu nggak bisa nerbitin buku kalau kamu nggak nulis, Vas.”
Hening. Ravas menunduk, mencoba menyerap semua yang baru saja dikatakan sahabatnya.
“Aku udah bantu kamu dapetin kesempatan itu, dan kamu buang begitu aja,” lanjut Raka. “Tapi itu belum berarti semuanya selesai. Kamu bisa tetap mulai sekarang.”
Ravas menatap Raka dengan keraguan. “Tapi aku udah kehilangan kesempatan itu.”
“Kesempatan bisa datang lagi. Yang nggak bisa balik itu waktu.”
Ravas terdiam. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar ditampar oleh realita.
Raka menepuk bahunya pelan. “Mulai dari sekarang, Vas. Berhenti cuma berandai-andai. Kalau kamu mau jadi penulis, ya, nulis.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Raka berbalik dan menuju pintu.
“Tunggu.” Suara Ravas terdengar lebih mantap kali ini. “Mau nemenin aku nulis?”
Raka menoleh dan tersenyum tipis. “Akhirnya.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Ravas membuka laptopnya—bukan untuk melamun, tapi untuk benar-benar mulai menulis.
Setiap Kata Adalah Langkah
Suara ketikan memenuhi kamar yang biasanya hanya dipenuhi keheningan. Ravas duduk di depan laptopnya, jari-jarinya bergerak di atas keyboard. Tidak cepat, tidak lancar, tapi ia menulis.
Raka duduk di kasur dengan laptop di pangkuannya, sesekali melirik ke arah Ravas, memastikan temannya benar-benar bekerja, bukan sekadar menatap layar kosong seperti biasanya.
“Jangan baca aku nulis apa.” Ravas mengerutkan kening tanpa menoleh.
“Aku nggak baca,” jawab Raka santai. “Cuma memastikan kamu nggak mandek di tengah jalan.”
Ravas mendesah pelan. Memangnya bisa? Menulis setelah bertahun-tahun hanya berandai-andai terasa seperti mencoba berlari setelah bertahun-tahun duduk diam. Rasanya canggung. Setiap kata yang ia ketik terasa dipaksakan, kaku, bahkan jelek.
Tapi ia tetap menulis.
“Berapa halaman?” tanya Raka setelah beberapa saat.
“Baru dua.”
“Kamu nggak berhenti buat edit, kan?”
Ravas diam.
Raka menghela napas panjang. “Ravas.”
“Aku cuma ngerasa ini jelek banget,” gumamnya sambil menatap layarnya dengan frustasi. “Kata-katanya aneh. Aku kayak nggak bisa nulis sama sekali.”
Raka menutup laptopnya sendiri lalu berdiri dan berjalan ke arah Ravas. “Ya kalau kamu terus ngedit, ya, nggak bakal selesai. Nulis dulu, edit nanti.”
Ravas mendongak. “Tapi kalau jelek—”
“Siapa yang peduli kalau jelek? Kamu kan bukan mau langsung nerbitin sekarang.”
Ravas menghela napas. Ia tahu Raka benar, tapi tetap saja…
“Kamu tahu nggak? Semua penulis yang kamu kagumi pasti punya draft pertama yang jelek.”
Ravas menatap layar laptopnya lagi. Ia pernah membaca wawancara penulis-penulis favoritnya, dan mereka memang mengatakan hal yang sama.
“Tapi mereka tetap nyelesain ceritanya,” lanjut Raka. “Dan itulah kenapa mereka berhasil.”
Ravas mengetukkan jemarinya di atas meja. Ia ingin menyangkal, tapi tidak bisa.
Akhirnya, ia kembali menatap layarnya.
Oke. Tidak peduli sejelek apa tulisannya, ia akan tetap lanjut menulis.
Waktu berlalu tanpa terasa.
Dua jam. Empat jam.
Saat akhirnya Ravas berhenti mengetik, matanya terasa perih karena terlalu lama menatap layar. Ia mengerjap beberapa kali, lalu melihat ke arah Raka.
Sahabatnya itu sudah tertidur di kasur dengan posisi yang sangat tidak nyaman, kepalanya menempel di dinding, laptop masih terbuka di sampingnya.
Ravas tersenyum kecil, lalu melirik layar laptopnya sendiri.
Lima belas halaman.
Ia tidak percaya. Ini pertama kalinya ia menulis sebanyak ini dalam satu malam.
Jari-jarinya bergerak di atas touchpad, men-scroll ke atas, membaca ulang apa yang sudah ia tulis. Kalimatnya masih berantakan, banyak bagian yang terasa canggung, tapi… ada sesuatu di sana.
Sesuatu yang nyata.
Sesuatu yang selama ini hanya ada dalam lamunannya, kini mulai memiliki bentuk.
Ia menutup laptopnya dengan hati-hati, lalu melihat ke arah jendela. Matahari sudah mulai muncul di ufuk timur.
Ia merasa anehnya ringan. Seolah beban yang selama ini menahannya telah sedikit terangkat.
Mungkin… ini yang terasa saat akhirnya berhenti berandai-andai dan mulai bertindak.
Mungkin… ini langkah pertamanya.
Dan kali ini, ia tidak akan berhenti.
Menemukan Jalan
Hari-hari berlalu, dan Ravas semakin tenggelam dalam dunia yang ia ciptakan. Setiap pagi ia bangun dengan semangat baru. Setiap detik yang ia habiskan untuk menulis, ia rasakan sebagai langkah menuju impian yang selama ini terpendam. Namun, tidak semua berjalan mulus.
Suatu malam, saat Ravas sedang asyik menulis, sebuah pesan muncul di layar laptopnya. Raka mengirimkan foto dengan caption: “Coba lihat!”
Ravas mengklik tautan yang terlampir dan terkejut melihat berita tentang kontes penulisan yang akan diadakan di kotanya. Hadiah utama adalah kesempatan untuk menerbitkan novel.
Rasa berdebar muncul. Ini kesempatan yang ia tunggu-tunggu, tapi… ada rasa ragu yang menyusup.
“Ravas!” suara Raka menyentak Ravas dari lamunannya. Raka tiba-tiba muncul di depan pintu, bersemangat. “Kamu sudah lihat berita tentang kontes itu?”
Ravas mengangguk, tetapi hatinya bergetar. “Ya, aku lihat.”
“Jadi, kamu mau ikutan?”
“Saya… masih bingung.”
Raka mengerutkan dahi. “Kenapa bingung? Ini kesempatanmu! Kamu sudah nulis banyak, kan?”
“Ya, tapi…” Ravas menghela napas. “Bagaimana jika aku nggak bisa menang? Bagaimana jika tulisanku masih jelek?”
Raka melangkah mendekat. “Ravas, kamu sudah berjuang keras untuk sampai di titik ini. Kamu nggak bisa kembali ke masa lalu dan mengubah semua ketidakpastian itu. Yang bisa kamu lakukan sekarang adalah melanjutkan.”
Ravas terdiam. Dalam hati, ia tahu Raka benar. Tapi rasa takut itu sulit dihilangkan.
“Setiap penulis yang pernah kamu kagumi pasti pernah merasakan hal yang sama. Ketakutan itu wajar, tapi kalau kamu terus mendengarkan suara negatif itu, kamu nggak akan pernah maju,” kata Raka, nadanya tegas.
Ravas menatap sahabatnya, lalu mengalihkan pandangannya ke laptop. Momen-momen ketika ia berhasil menulis, ketika kata-kata mengalir seperti air, terlintas dalam pikirannya. Apakah semua itu sia-sia?
“Aku akan mendaftar.” Suara Ravas terdengar lebih mantap dari sebelumnya.
Raka tersenyum lebar. “Itu dia! Sekarang kamu tinggal menulis dan menyempurnakan ceritamu.”
Seminggu kemudian, Ravas mengirimkan karyanya. Dengan hati berdebar, ia menekan tombol kirim. Rasanya seperti mengirimkan bagian dari jiwanya.
Hari-hari setelahnya terasa penuh ketegangan. Setiap kali notifikasi di ponselnya berbunyi, ia berharap itu adalah kabar baik. Namun, kadang ia terjebak dalam pikirannya, membayangkan hal terburuk.
Namun, saat pengumuman pemenang tiba, Ravas berusaha mengabaikan rasa takutnya. Raka menemaninya di depan laptop, keduanya berdoa dalam hati.
Saat nama Ravas disebut sebagai pemenang, jantungnya berdegup kencang.
“Aku menang?” Ravas mengerjap, tidak percaya.
Raka melompat, memeluknya dengan penuh semangat. “Kamu berhasil, Ravas! Aku tahu kamu bisa!”
Ravas tertegun, air mata haru menggenang di pelupuk matanya. Tidak hanya kemenangan ini yang ia raih, tetapi juga keberanian untuk mengejar mimpinya.
Ia menyadari, perjalanan ini tidak hanya tentang menulis, tetapi tentang menemukan kekuatan dalam dirinya sendiri. Tentang berani melangkah meskipun dihadapkan pada ketakutan.
Kini, langkahnya bukan hanya berandai-andai. Setiap kata yang ia tulis adalah bukti bahwa impian bisa menjadi nyata, bahwa ia tidak hanya menjadi penonton dalam hidupnya sendiri.
Ravas memandangi layar laptopnya, di mana kisah-kisahnya akan segera dibagikan kepada dunia. Ia tersenyum, menyadari bahwa ini baru awal dari perjalanan yang lebih besar.
Dan saat matanya berkilau penuh harapan, ia tahu—ia siap menghadapi semua tantangan yang ada di depan.
Jadi, siapa bilang impian itu cuma ilusi? Ravas membuktikan bahwa dengan usaha dan keberanian, semuanya bisa jadi nyata! Jangan takut buat mulai, karena setiap langkah kecil itu berarti.
Siapa tahu, kisahmu selanjutnya yang bakal menginspirasi orang lain. Ayo, jangan menunggu lagi, wujudkan impianmu sekarang juga!


