Menyelamatkan Budaya yang Hampir Punah: Kisah Kampung Lembayung

Posted on

Pernah kepikiran enggak sih, kenapa budaya lokal kita makin ke sini makin terlupakan? Anak-anak lebih hafal gerakan dance TikTok daripada tari tradisional, gamelan kalah sama lagu-lagu viral, dan kain batik cuma dipakai pas ada acara formal. Kampung Lembayung juga hampir kehilangan semua itu… sampai akhirnya ada yang berani bilang, cukup! Dan dari situlah, perjuangan gila-gilaan ini dimulai!

 

Kisah Kampung Lembayung

Nyala Terakhir di Panggung Bambu

Langit senja di Kampung Lembayung memerah keemasan, seakan menyimpan kehangatan terakhir sebelum malam turun. Di tengah alun-alun desa, panggung bambu berdiri kokoh meski usianya tak lagi muda. Tiang-tiangnya sudah mulai lapuk, tapi tetap tegak seolah enggan menyerah pada waktu. Anyaman janur melilit di sudut panggung, diiringi kain batik yang berkibar ditiup angin.

Di belakang panggung, Rakai mengencangkan ikatan selendang di pinggangnya. Keringat sudah membasahi pelipisnya meski matahari belum sepenuhnya tenggelam. Malam ini, dia dan beberapa anak desa akan menampilkan tari Lenggasor—tarian yang dulu menjadi kebanggaan Kampung Lembayung. Tapi satu hal yang mengganjal di benaknya adalah jumlah penonton.

“Kai, yakin ini bakal berhasil?” suara Lintang terdengar di belakangnya, sedikit ragu.

Rakai tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap hamparan sawah di kejauhan, mencoba menenangkan pikirannya. “Kalau aku enggak yakin, aku enggak akan berdiri di sini.”

Lintang mendesah, lalu duduk di atas balok kayu di samping panggung. “Dulu alun-alun ini selalu penuh setiap kali ada pertunjukan. Sekarang? Sepi. Semua orang sibuk sama urusan mereka sendiri.”

“Tapi kita enggak boleh ikut-ikutan lupa,” Rakai menoleh menatap Lintang. “Kalau bukan kita yang jaga budaya sendiri, siapa lagi?”

Lintang terdiam. Ia tahu Rakai benar. Tapi realitanya? Orang-orang sudah tak seantusias dulu. Anak muda lebih tertarik dengan hal-hal baru, dan tari Lenggasor dianggap kuno. Bahkan kabarnya, panggung bambu ini akan dibongkar dalam waktu dekat untuk dijadikan pusat perbelanjaan.

“Lintang, aku enggak mau malam ini jadi malam terakhir tari Lenggasor. Setidaknya, kalau ini benar-benar pertunjukan terakhir, aku mau orang-orang masih bisa melihat betapa indahnya budaya kita,” kata Rakai lagi, kali ini lebih pelan.

Lintang menatap wajah temannya yang penuh tekad. Ia tahu, Rakai tak akan menyerah begitu saja. “Aku cuma enggak mau kamu kecewa kalau enggak ada yang peduli.”

“Kalau enggak ada yang peduli, aku bakal tetap menari,” jawab Rakai mantap.

Malam semakin gelap, lampu-lampu minyak mulai dinyalakan di sekeliling panggung. Beberapa warga desa mulai berdatangan, meski jumlahnya tak sebanyak dulu. Rakai berdiri di belakang panggung, memperhatikan wajah-wajah yang hadir. Ada beberapa anak kecil yang duduk di pangkuan orang tua mereka, ada beberapa remaja yang datang dengan wajah bosan, bahkan ada beberapa orang tua yang terlihat ragu-ragu.

Di antara mereka, terlihat seorang pria tua dengan sorban hitam—Pak Jatmiko, kepala desa. Ia duduk di kursi paling depan, dengan ekspresi datar yang sulit ditebak.

Rakai menelan ludah. Ia tahu, jika malam ini gagal menarik perhatian, maka panggung bambu itu benar-benar akan dibongkar.

“Semua siap?” tanyanya kepada para penari di belakang panggung.

Anak-anak yang dia ajari mengangguk, meski wajah mereka tegang. Lintang menepuk bahu Rakai sekali. “Ayo. Kita tunjukin ke mereka kalau budaya ini masih hidup.”

Rakai mengangguk, lalu melangkah ke tengah panggung. Genderang pertama ditabuh, dan dalam gelapnya malam, nyala terakhir dari panggung bambu itu mulai menyala kembali.

 

Lenggasor, Tarian yang Hampir Dilupakan

Genderang bertalu, menghantarkan nada yang menggema di alun-alun desa. Lampu minyak berkerlap-kerlip, bayangannya menari di atas panggung bambu yang sudah tua. Rakai berdiri di tengah panggung, selendang kuning melilit di lengannya, matanya fokus ke depan. Ia bisa merasakan detak jantungnya berpacu, bukan karena gugup, tapi karena ia tahu malam ini adalah kesempatan terakhirnya untuk membuktikan bahwa tari Lenggasor belum mati.

Ia melirik ke samping, melihat Lintang dan anak-anak yang sudah dia latih. Wajah mereka tegang, tapi begitu genderang kembali dipukul, tubuh mereka mulai bergerak, mengikuti ritme yang sudah mereka hafal di luar kepala.

Langkah pertama dimulai. Kaki menghentak tanah bambu, tangan melayang di udara, tubuh mereka bergerak selaras dengan alunan musik yang mengalir seperti ombak. Tari Lenggasor adalah tarian yang menggambarkan ketangguhan seorang prajurit, namun di balik gerakannya yang tegas, ada kelembutan yang menyelip di setiap lenggoknya.

Beberapa anak kecil di barisan penonton mulai berbisik-bisik, mata mereka berbinar melihat tarian yang mungkin belum pernah mereka lihat sebelumnya. Namun, ada juga yang duduk dengan wajah bosan, sesekali melirik layar ponsel mereka.

Di kursi paling depan, Pak Jatmiko masih duduk dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya tetap sulit ditebak.

Ketika bagian klimaks tarian tiba, Rakai dan Lintang saling bertukar pandang. Mereka tahu inilah bagian yang paling sulit—gerakan berputar cepat yang harus dieksekusi dengan sempurna.

Satu… dua… tiga…

Mereka mulai berputar dalam satu poros, selendang mereka berkibar di udara seperti lidah api yang menari.

Tepuk tangan mulai terdengar, satu, dua, lalu bertambah banyak. Beberapa warga yang awalnya hanya melihat tanpa ekspresi kini mulai tergerak. Bahkan beberapa remaja yang tadinya sibuk dengan ponselnya mulai mengangkat kepala, tertarik dengan pertunjukan di depan mereka.

Tapi lalu—

“BRAK!”

Salah satu papan bambu di panggung tiba-tiba patah! Seorang anak kecil yang ikut menari hampir terjatuh ke bawah, tapi Rakai dengan sigap menarik tangannya. Lintang juga melompat cepat, menahan keseimbangan panggung agar tidak goyah.

Penonton menahan napas. Suasana yang tadinya penuh semangat berubah tegang. Beberapa orang tua mulai berbisik cemas.

Namun, Rakai tidak berhenti.

Ia kembali berdiri tegak, lalu menghentakkan kakinya ke lantai panggung, memberi isyarat kepada semua penari. Mereka harus terus maju.

Satu ketukan genderang terdengar, lalu satu lagi. Dan seolah memahami bahwa tarian ini belum berakhir, anak-anak yang tadi hampir panik kembali menemukan irama mereka.

Rakai melanjutkan gerakan terakhirnya, lalu dalam satu hentakan keras, mereka semua berlutut dengan kepala tertunduk. Musik berhenti.

Hening.

Lalu—

Tepuk tangan meledak.

Bukan hanya dari anak-anak kecil, bukan hanya dari orang-orang tua, tapi juga dari para remaja yang awalnya terlihat bosan. Bahkan, di kursi paling depan, Pak Jatmiko perlahan bangkit dari tempat duduknya, wajahnya sedikit berubah.

Rakai menarik napas panjang, dadanya naik turun. Ia tidak peduli dengan keringat yang membasahi tubuhnya, atau dengan rasa nyeri di kaki akibat hentakan tadi. Yang ia tahu, mereka telah berhasil.

Namun, pertanyaannya sekarang—apakah ini cukup untuk menyelamatkan panggung bambu mereka?

 

Gerakan Kaki, Denyut Tradisi

Tepuk tangan masih menggema di alun-alun desa. Beberapa anak kecil tertawa senang, sementara orang-orang tua mengangguk penuh rasa bangga. Namun, bagi Rakai, semua sorakan itu hanya seperti angin lalu. Pikirannya tertuju pada satu hal—tatapan Pak Jatmiko yang masih sulit ditebak.

Pria itu berjalan mendekati panggung, langkahnya pelan namun penuh wibawa. Warga desa yang tadi masih ramai berbicara langsung terdiam. Lintang menggigit bibirnya, jari-jarinya mengepal di sisi roknya. Rakai sendiri berdiri tegak, menunggu keputusan yang bisa menentukan masa depan panggung bambu ini.

Pak Jatmiko menatap panggung yang sudah mulai rapuh. Pandangannya turun ke kaki para penari yang masih berdiri dengan napas tersengal. Lalu, tanpa peringatan, ia berdehem dan berkata dengan suara berat,

“Kalian menari dengan baik.”

Beberapa warga tampak terkejut. Mereka pasti mengira kepala desa akan langsung mengatakan bahwa panggung ini akan dibongkar.

“Tapi…” Pak Jatmiko melanjutkan. “Apakah kalian pikir pertunjukan satu malam cukup untuk menyelamatkan budaya ini?”

Rakai mengepalkan tangannya. Ia tahu ini bukan hanya tentang tari Lenggasor, tapi juga tentang bagaimana budaya mereka perlahan-lahan mulai terkikis oleh zaman.

“Enggak cukup,” jawab Rakai mantap. “Tapi ini langkah pertama.”

Pak Jatmiko menaikkan sebelah alisnya. “Langkah pertama?”

Lintang yang sejak tadi diam akhirnya angkat suara. “Budaya kita mulai hilang bukan karena orang-orang enggak peduli, tapi karena enggak ada yang ngajarin lagi. Anak-anak di sini bahkan enggak tahu apa itu tari Lenggasor sebelum Rakai ngajarin mereka. Kalau dikasih kesempatan, mereka bisa belajar dan bangga sama budaya sendiri.”

Rakai mengangguk. “Kalau desa ini bisa bikin pusat perbelanjaan, kenapa enggak bisa bikin pusat budaya?”

Pak Jatmiko terdiam. Beberapa orang di sekitarnya mulai saling berbisik.

Rakai melangkah ke depan. “Kami enggak minta banyak, Pak. Biarkan kami pakai panggung ini, ajarin anak-anak desa tentang budaya kita lagi. Enggak cuma tari, tapi juga musik, batik, seni ukir, apa aja. Kalau orang desa kita sendiri enggak mengenal budayanya, gimana bisa berharap orang luar bakal peduli?”

Sejenak, tak ada yang berbicara. Pak Jatmiko menatap Rakai lama, sebelum akhirnya menghela napas pelan.

“Kalian benar. Budaya enggak bisa bertahan hanya dari satu pertunjukan,” katanya. “Tapi kalian juga harus buktiin kalau ini bukan semangat sementara.”

Mata Rakai berbinar. Ia tahu ini bukan janji pasti, tapi setidaknya, masih ada harapan.

Pak Jatmiko lalu menoleh ke arah warga yang berkumpul. “Saya ingin tahu, siapa yang mendukung ide ini?”

Suasana hening sesaat. Lalu, tiba-tiba, seorang bapak tua dengan sarung lusuh mengangkat tangannya. “Saya mendukung. Cucu saya nari tadi. Kalau anak-anak muda ini mau ngajarin budaya lagi, saya rasa itu hal bagus.”

Menyusul, seorang ibu-ibu dengan kebaya hijau berkata, “Anak-anak butuh lebih dari sekadar sekolah. Mereka juga butuh tahu siapa mereka.”

Satu per satu, warga mulai mengangkat tangan mereka. Bahkan beberapa remaja yang tadinya cuek akhirnya ikut mengangguk.

Pak Jatmiko tersenyum kecil. “Baik. Kalau kalian serius, tunjukkan. Dalam satu bulan ke depan, buktikan kalau budaya ini masih bisa hidup di Kampung Lembayung.”

Rakai dan Lintang saling bertukar pandang. Ada tantangan besar di depan mereka, tapi ini juga kesempatan yang tidak boleh disia-siakan.

Panggung bambu mereka masih berdiri. Untuk sekarang.

 

Api yang Tak Padam

Bulan bergeser semakin tinggi di langit, tapi bagi Rakai dan Lintang, malam ini baru permulaan. Setelah keputusan Pak Jatmiko, mereka tahu tak ada waktu untuk bersantai. Satu bulan bukan waktu yang lama, tapi cukup untuk membuktikan bahwa budaya ini masih punya tempat di hati warga Kampung Lembayung.

Esok harinya, Rakai dan Lintang langsung bergerak. Mereka mengumpulkan anak-anak yang ikut menari tadi malam, lalu mengajak lebih banyak lagi. Tak hanya anak-anak, beberapa orang dewasa yang dulu pernah menari Lenggasor juga datang. Ada Pak Karso, mantan penari Lenggasor yang kini sudah menua, namun matanya berbinar saat mendengar budaya ini akan dihidupkan kembali.

“Aku kira aku bakal mati sebelum lihat tarian ini lagi,” katanya dengan suara serak.

Rakai tersenyum. “Pak Karso bisa bantu kami ngajarin gerakan yang mungkin kami belum tahu.”

Pak Karso mengangguk. “Aku bisa ajarin gerakannya, tapi kalian yang harus bikin anak-anak ini percaya bahwa budaya ini milik mereka juga.”

Semangat itu pun menyebar. Setiap sore, alun-alun desa dipenuhi suara musik gamelan yang kembali dimainkan. Beberapa warga yang awalnya ragu mulai berdatangan untuk menonton. Bahkan anak-anak yang dulu sibuk dengan ponselnya mulai penasaran dan ikut berlatih.

Tak hanya tari Lenggasor, mereka juga mengajarkan cara membuat batik, memainkan alat musik tradisional, dan mengukir kayu seperti yang dulu pernah dilakukan leluhur mereka. Rakai sadar, budaya bukan hanya soal tarian, tapi juga soal bagaimana cara hidup mereka sebagai orang Lembayung.

Hari-hari berjalan cepat, dan akhirnya, satu bulan berlalu.

Di malam yang sudah dijanjikan, alun-alun desa kembali dipenuhi warga. Kali ini, panggung bambu mereka sudah diperbaiki berkat gotong royong warga. Lampu-lampu minyak menerangi setiap sudut, menciptakan suasana magis yang jarang terlihat di kota-kota besar.

Pertunjukan dimulai. Rakai berdiri di tengah panggung, bersama Lintang dan anak-anak yang telah berlatih keras selama sebulan terakhir. Musik bergema, dan tubuh mereka mulai bergerak, lebih mantap dari sebelumnya. Tak ada lagi keraguan, tak ada lagi ketakutan.

Saat gerakan terakhir selesai, tepuk tangan kembali membahana. Kali ini, bukan hanya dari warga desa, tapi juga dari tamu-tamu luar yang datang karena mendengar cerita tentang kebangkitan budaya di Kampung Lembayung.

Pak Jatmiko berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke tengah panggung. Ia menatap Rakai dan Lintang, lalu berkata dengan suara lantang,

“Kalian sudah membuktikan bahwa budaya ini masih hidup.”

Sorak-sorai terdengar dari para warga. Beberapa anak kecil melompat kegirangan, sementara orang-orang tua mengangguk penuh bangga.

“Mulai hari ini,” lanjut Pak Jatmiko, “Kampung Lembayung tidak hanya akan dikenal sebagai desa biasa, tapi sebagai pusat budaya yang akan terus berkembang.”

Rakai menatap Lintang, dan Lintang tersenyum padanya. Mereka tahu, perjalanan ini belum berakhir. Akan ada lebih banyak tantangan, akan ada lebih banyak hal yang harus mereka lakukan.

Tapi malam ini, mereka tahu satu hal pasti—api yang telah mereka nyalakan tidak akan padam lagi.

 

Jadi, budaya itu bukan sesuatu yang bakal hilang kalau kita tetap menjaganya. Enggak perlu nunggu jadi orang hebat atau punya panggung besar buat mulai peduli. Kadang, cukup dari satu langkah kecil—seperti Rakai dan Lintang—yang berani bilang, Budaya kita enggak boleh mati. Dan siapa tahu, langkah kecil itu justru jadi awal dari sesuatu yang lebih besar. Jadi, udah siap buat ikut jaga budaya lokal, atau masih mau cuek aja?

Leave a Reply