Daftar Isi [hide]
Pernah gak sih nunggu seseorang dengan sepenuh hati, tapi akhirnya sadar kalau yang ditunggu gak akan pernah datang? Rasanya kayak ngegenggam pasir, makin erat digenggam, makin hilang pelan-pelan. Cerpen ini tentang Saskia, cewek yang selama lima tahun masih percaya sama janji seseorang yang pergi.
Dia tahu, dalam hatinya, kalau itu semua cuma harapan kosong. Tapi tetep aja… dia pura-pura gak sadar. Sampai akhirnya, hujan di tahun kelima bikin semuanya pecah. Siap buat baca cerita yang bakal nyisain rasa sesak di dada? Yuk, langsung aja!
Sebuah Penantian yang Sia-Sia
Janji Di Bawah Langit Mendung
Hujan masih enggan turun, meski langit sudah kelabu sejak tadi. Awan menggantung rendah, seakan menunggu sesuatu, sama seperti dua orang yang berdiri di bawah pohon rindang di tepi jalan kota.
Saskia menggigit bibirnya pelan, matanya menatap pria di hadapannya dengan ragu. Jemarinya saling meremas, kebiasaan lamanya saat hatinya sedang tak menentu.
“Kamu benar-benar harus pergi?” tanyanya akhirnya, suaranya nyaris tenggelam oleh riuh kendaraan yang lalu-lalang.
Pria di hadapannya, Naren, menatapnya dalam sebelum menghela napas. “Aku harus, Sas.”
Jawaban itu terdengar mantap, meski di baliknya ada keraguan yang tak ia tunjukkan.
Saskia menunduk, mencoba mengendalikan emosinya. Seharusnya dia sudah siap, seharusnya sejak awal dia tahu ini akan terjadi. Tapi tetap saja, rasa itu menghimpitnya dengan kejam.
“Aku gak tahu… aku bisa nunggu kamu atau enggak,” gumamnya, jujur pada kegelisahannya sendiri.
Naren tersenyum kecil. Senyum yang sama seperti yang dulu membuat Saskia jatuh hati. Ia meraih tangan gadis itu, menggenggamnya erat seolah ingin menyakinkan sesuatu.
“Aku bakal balik, Sas,” katanya pelan. “Aku janji.”
Saskia mengangkat wajahnya, menatap mata pria itu dengan getir. “Jangan buat aku yakin kalau akhirnya kamu—”
“Aku gak akan pergi selamanya,” potong Naren cepat. “Cuma sebentar. Setahun, dua tahun… aku bakal balik. Kamu percaya aku, kan?”
Saskia terdiam. Percaya? Mungkin, di saat itu, ia masih punya keyakinan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bahwa kepergian bukan berarti kehilangan.
Akhirnya, ia mengangguk.
Naren tersenyum lega. Ia melonggarkan genggamannya, tapi tidak benar-benar melepas. “Kalau kamu ragu… tiap tahun, di tanggal ini, kita ketemu di sini. Sampai aku balik.”
Saskia menelan ludahnya, seakan mencoba memahami ucapan itu. Ia mengembuskan napas, lalu tersenyum tipis.
“Jangan lupa janji kamu,” katanya pelan.
Naren menatapnya lama sebelum akhirnya melepaskan genggaman mereka sepenuhnya. Ia mundur beberapa langkah, lalu berbalik.
Saskia memperhatikan punggungnya menjauh, semakin lama semakin tak terlihat di antara keramaian kota.
Saat ia tak lagi bisa melihat sosok itu, hujan turun perlahan.
Mungkin itu pertanda. Atau sekadar kebetulan.
Tapi Saskia masih berdiri di sana, membiarkan air hujan membasahi pipinya—atau mungkin air mata yang ia sembunyikan sejak tadi.
Tahun-tahun yang Hampa
Tahun pertama, Saskia datang dengan hati penuh harap.
Ia memakai dress biru muda—warna yang selalu Naren bilang cocok dengannya. Rambutnya tergerai rapi, dengan sedikit gelombang di ujungnya. Di tangannya, sebuah payung lipat berwarna abu-abu ia genggam erat, berjaga-jaga kalau hujan turun seperti tahun lalu.
Ia menunggu di tempat yang sama, di bawah pohon rindang yang pernah menyaksikan janji yang terucap. Matanya terus mencari, menatap setiap orang yang lewat dengan harapan menemukan sosok yang dikenalnya.
Tapi hari itu, Naren tidak datang.
Saskia masih bisa menenangkan hatinya. Mungkin dia sibuk. Mungkin ada sesuatu yang membuatnya terlambat. Ia bertahan sampai langit benar-benar gelap, sampai dingin mulai menusuk kulitnya. Saat akhirnya ia pulang, kekecewaan itu hanya ia telan dalam diam.
Tahun kedua, Saskia datang lagi.
Dengan dress putih polos, rambut yang dikuncir setengah, dan payung yang sama. Langit mendung seperti tahun lalu, seakan semesta masih mengingat janji itu.
Lagi-lagi, ia menunggu.
Lagi-lagi, Naren tidak datang.
Kali ini, rasa sesak itu lebih besar. Tapi ia menenangkan diri. Mungkin tahun depan… mungkin dia masih belum bisa sekarang.
Tahun ketiga, ia tetap datang.
Entah kenapa.
Padahal, jauh di dalam hati, ia sudah mulai sadar bahwa harapannya semakin tipis. Tapi ada bagian dari dirinya yang menolak berhenti. Bagian yang terus menggenggam janji itu erat-erat.
Lalu tahun keempat datang.
Saskia masih berdiri di tempat yang sama, meski kali ini tanpa dress cantik, tanpa rambut yang ditata rapi. Hanya kaus biasa dan celana jeans. Ia mulai merasa konyol. Mulai mempertanyakan kenapa ia terus datang setiap tahun hanya untuk merasakan sakit yang sama.
Namun anehnya, ia tetap bertahan.
Ia tahu Naren mungkin sudah tidak ingat lagi dengan janji itu. Mungkin pria itu sekarang sedang sibuk dengan hidupnya di tempat lain, bersama orang lain. Mungkin, sejak tahun pertama pun ia sudah tidak berniat kembali.
Tapi Saskia pura-pura tidak sadar.
Ia masih ingin percaya—meski hatinya tahu betul, harapan itu hanya tinggal serpihan kecil yang sebentar lagi akan hilang sepenuhnya.
Hujan dan Air Mata
Langit kembali mendung di tahun kelima.
Saskia berdiri di tempat yang sama, seperti empat tahun sebelumnya. Tapi kali ini, tak ada lagi payung di tangannya. Tak ada dress cantik, tak ada harapan yang menyala.
Ia datang bukan karena masih percaya.
Ia datang karena ingin memastikan bahwa ia benar-benar sudah kehilangan.
Matanya menatap kosong ke jalanan yang ramai. Dulu, setiap kali ia berdiri di sini, matanya selalu gelisah, mencari sosok yang tak pernah muncul. Tapi kini, ia bahkan tidak peduli lagi.
Lima tahun.
Seharusnya ia sudah berhenti sejak lama. Seharusnya ia sudah berhenti berharap sejak tahun kedua—atau bahkan sejak tahun pertama, saat Naren tidak datang. Tapi entah kenapa, kakinya tetap melangkah ke tempat ini setiap tahunnya, seperti kebiasaan bodoh yang sulit ia hentikan.
Saskia mendongak ke langit yang semakin gelap. Udara terasa dingin, angin berembus lebih kencang. Rasanya seperti déjà vu. Seperti hari itu, saat Naren pergi dan menjanjikan sesuatu yang tak pernah ia tepati.
Tapi kali ini, tidak ada lagi janji di hatinya.
Hanya keheningan yang menyesakkan.
Saat rintik hujan mulai turun, Saskia tidak beranjak. Hujan itu terasa familiar—seperti teman lama yang selalu datang bersamaan dengan kekecewaannya.
Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya pecah.
Tidak ada isakan pelan. Tidak ada usaha untuk menyembunyikannya. Ia menangis begitu saja di tengah hujan, membiarkan dirinya tenggelam dalam sesak yang sudah ia pendam selama lima tahun.
Tangannya mengepal, kukunya menekan kulit telapak tangannya sendiri. Sakit, tapi tidak sebanding dengan perih yang memenuhi dadanya.
“Kamu jahat, Ren…”
Suaranya tenggelam dalam suara hujan.
Tak ada yang mendengar. Tak ada yang peduli.
Ia tertawa kecil di antara tangisnya. Tertawa yang hambar, putus asa, menyadari betapa bodohnya dirinya selama ini.
Ia tahu, sejak lama, bahwa Naren tidak akan datang.
Ia sadar, sejak awal, bahwa janji itu hanya sekadar ucapan yang tidak berarti.
Tapi tetap saja, ia memilih menunggu.
Dan sekarang, setelah lima tahun, apa yang ia dapatkan?
Tidak ada.
Hanya luka yang semakin dalam.
Hanya rasa sesak yang semakin tak tertahankan.
Hujan semakin deras, tapi Saskia tidak peduli. Untuk pertama kalinya, ia membiarkan semuanya tumpah—air mata, kekecewaan, dan harapan bodohnya yang seharusnya sudah ia buang sejak lama.
Melangkah Pergi
Hujan masih turun deras. Jalanan basah, udara semakin dingin, tapi Saskia tetap berdiri di sana, membiarkan air hujan menyatu dengan air matanya.
Untuk pertama kalinya dalam lima tahun, ia tidak berharap lagi.
Tidak lagi menunggu.
Tidak lagi berandai-andai kalau tiba-tiba Naren muncul dari kejauhan dengan senyum yang ia rindukan. Tidak lagi membayangkan kalau pria itu datang dengan wajah penuh penyesalan, meminta maaf karena telah membuatnya menunggu begitu lama.
Tidak ada lagi semua itu.
Saskia memejamkan mata, membiarkan pikirannya mengulang semua kenangan bodoh yang ia genggam erat selama ini.
Janji itu.
Harapan itu.
Kekecewaan yang ia coba abaikan bertahun-tahun.
Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir perih yang masih tersisa di dadanya. Ada sesuatu yang akhirnya ia sadari hari ini—sesuatu yang seharusnya ia sadari sejak dulu.
Menunggu bukan tentang seberapa lama seseorang bertahan.
Menunggu juga bukan tentang seberapa besar keyakinan seseorang terhadap janji yang diberikan.
Menunggu adalah pilihan.
Dan hari ini, Saskia memilih untuk berhenti.
Ia menunduk, melihat genangan air di bawahnya. Wajahnya yang terpantul di sana tampak lelah, pucat, dengan mata sembab dan senyum yang begitu pahit.
Ia tertawa kecil. Kali ini bukan karena kebodohannya, tapi karena perasaan lega yang perlahan mengalir di dadanya.
Hatinya masih sakit, masih sesak. Tapi setidaknya, ia tahu bahwa ia tidak akan kembali ke tempat ini tahun depan. Tidak akan berdiri di sini lagi, menunggu sesuatu yang tak akan pernah datang.
Perlahan, ia melangkah pergi.
Dan untuk pertama kalinya, setelah lima tahun menunggu, kakinya benar-benar bergerak menjauh—tanpa niat untuk kembali.
Lima tahun menunggu, dan akhirnya Saskia sadar… bahwa yang pergi gak selalu kembali. Dan yang lebih menyakitkan dari ditinggalkan adalah menyadari bahwa selama ini dia hanya menggenggam janji yang gak pernah benar-benar ada.
Kadang, kita bukan gak sadar kalau udah ditinggal. Kita cuma gak mau nerima kenyataannya. Tapi, sekuat apa pun kita bertahan, pada akhirnya… ada saatnya kita harus berhenti dan melangkah pergi. Jadi, buat kamu yang masih nunggu sesuatu yang gak pasti… yakin masih mau buang waktu lebih lama?