Menunggu Matahari: Cerpen Inspiratif Tentang Mencari Kesempatan Baru

Posted on

Kamu pernah nggak sih ngerasa hidup kamu kayak nunggu sesuatu yang belum datang-datang? Kayak, berharap banget matahari terbit, tapi kok lama banget. Nah, cerpen ini cerita tentang gimana kita seringnya kelamaan nunggu, padahal, terkadang kita cuma perlu siap aja buat mulai gerak.

Jadi, yuk, kita bareng-bareng lihat gimana seorang perempuan yang akhirnya ngerasa kalau hidup bukan soal nunggu matahari datang, tapi lebih tentang gimana kita bisa siap menyambut apa aja yang datang ke kita.

 

Menunggu Matahari

Matahari dan Kopi Pagi

Dimas duduk di meja makan kecil yang sudah dikuasai oleh setumpuk koran dan cangkir kopi yang tinggal sedikit. Pagi itu sepertinya lebih lama dari biasanya. Matahari di luar jendela tampak malu-malu, seperti baru bangun tidur, meski jam sudah menunjukkan pukul sembilan lewat. Dari jendela, Dimas bisa melihat awan menggantung rendah, seolah-olah menghalangi matahari untuk muncul dengan sempurna.

“Tahu nggak, Dim, matahari itu tiba-tiba jadi malas banget belakangan ini,” suara Nasya datang dari pintu dapur. Dia melangkah masuk dengan kaos oblong dan rambut yang berantakan, tampak seperti baru bangun dari tidur panjang.

Dimas mengangkat alis, setengah terkejut. “Matahari malas? Kamu serius, Nas?” tanyanya sambil menyeruput kopi, berusaha keras untuk tidak tersenyum.

Nasya mengangguk, serius. “Iya, serius. Coba deh lihat itu. Udah jam sembilan, tapi matahari kayak nggak mau nunjukin sinarnya yang penuh. Harusnya dia tuh bangun dari subuh, terus terang benderang, bukan kayak gini, tertunda-tunda.” Dia menunjuk ke arah langit yang masih dipenuhi awan kelabu.

Dimas menahan tawa, merasa heran. “Jadi, menurut kamu, kalau matahari terlambat, itu alasan kamu untuk nggak kerja?”

Nasya memutar bola matanya, seakan-akan Dimas sudah bertanya hal yang paling bodoh sepanjang hari. “Iya, lah! Gimana bisa aku produktif kalau matahari aja males-malesan?” jawabnya, seakan itu adalah penjelasan yang sangat logis.

Dimas menatap Nasya dengan senyum kecil. “Maksud kamu, kamu nunggu matahari terbit dulu baru mulai kerja? Aku nggak percaya deh.”

“Yah, gimana ya, kalau alam semesta aja nggak mendukung, ya aku juga nggak bisa mulai kerja dengan penuh semangat.” Nasya memutar-mutar sendok di gelasnya, terlihat seperti orang yang benar-benar percaya dengan teorinya.

“Alam semesta?” Dimas tertawa ringan, hampir tersedak kopi. “Jadi, kalau matahari telat, berarti alam semesta nggak mendukung kamu buat kerja? Nggak lucu itu, Nas.”

Nasya menyandarkan punggungnya ke kursi dengan ekspresi serius. “Kamu nggak ngerti, Dim. Setiap pagi itu kayak punya energi baru, kan? Tapi kalau matahari aja terlambat, ya mood-nya nggak bisa maksimal. Kalau nggak maksimal, ya kerjaan jadi terbengkalai.”

“Jadi kamu cuma nunggu matahari buat mulai kerja?” tanya Dimas, nggak bisa menahan tawa.

“Yup, persis.” Nasya mengangguk sambil melipat kedua tangannya di depan dada. “Gimana bisa sih aku duduk depan laptop, mikirin tugas, sementara dunia aja masih setengah tidur?”

Dimas memutar mata, mencoba untuk lebih serius. “Kamu tahu nggak, banyak orang di luar sana yang udah mulai kerja bahkan sebelum matahari terbit. Mereka tuh nggak nunggu-nunggu kayak kamu.”

Nasya menatapnya penuh perhatian. “Mereka yang lebih cepat itu bisa jadi manusia biasa. Tapi aku ini luar biasa, Dim.” Nasya tersenyum nakal. “Aku tuh nggak bisa kalau nggak punya alasan. Kalau matahari aja nggak ada di langit, buat apa aku ngelakuin sesuatu yang biasa-biasa aja?”

Dimas tertawa lagi. “Kamu itu, Nas, aneh banget. Tapi lucu sih.”

Nasya mengangkat bahu. “Kamu nggak usah bingungin aku. Ini cara aku biar tetap semangat. Kalau matahari aja nggak ngerti cara kerja, ya aku nggak bisa terlalu keras sama diri sendiri.”

Lalu, tiba-tiba, dari jendela di belakang Nasya, muncul seorang anak kecil yang berlari dengan ceria sambil memegang papan selancar kecil. “Matahari terbit!” teriaknya dengan semangat, seakan-akan seluruh dunia sudah siap menghadapi hari.

Dimas menoleh, sedikit kaget melihat kegembiraan anak itu yang begitu kontras dengan keengganan Nasya untuk memulai hari. “Tuh, lihat, Nas. Itu anak kecil aja semangat banget. Kamu udah kalah duluan.”

Nasya melirik ke luar jendela, lalu kembali menatap Dimas. “Aku belum kalah, Dim. Ini strategi. Aku menunggu matahari dengan cara yang lebih… filosofis.”

“Filosofis?” Dimas tak bisa menahan tawa. “Jadi, kamu lagi menunggu momen aja gitu? Matahari ada di luar, tapi kamu masih nggak siap?”

Nasya mengangkat dagunya dengan angkuh. “Iya, momen itu penting. Kalau nggak ada momen yang tepat, bagaimana aku bisa memulai hal-hal besar?”

Dimas menggelengkan kepala, memutuskan untuk menyerah. “Oke deh, Nas. Kamu bisa terus menunggu matahari terbit, tapi aku udah lebih dulu nyiapin deadline yang nungguin aku.”

Nasya melirik Dimas, kemudian kembali ke arah langit. “Kamu serius mau pergi kerja? Matahari masih setengah jalan, Dim. Ayo deh, pikir-pikir lagi.”

Dimas berdiri dari kursinya, mengambil tas kerjanya. “Kalau kamu tetap nunggu matahari yang sempurna, aku bisa jadi udah selesai kerja, lho.”

Nasya menghela napas, tapi dia senang melihat Dimas berusaha untuk menggoda dengan cara yang konyol. “Yaudah deh, pergi sana. Nanti kamu baru tahu kenapa aku nggak bisa buru-buru.”

Dimas tersenyum, lalu melangkah ke pintu. “Mudah-mudahan nanti matahari bisa bikin kamu lebih produktif ya, Nas.”

“Jangan khawatir, Dim,” jawab Nasya sambil kembali menatap langit. “Suatu saat, kamu bakal lihat kalau aku beneran benar. Matahari itu memang harus datang tepat waktu.”

Dengan tawa yang terlepas, Dimas keluar dari apartemen itu, meninggalkan Nasya yang tetap berdiam diri menunggu “momen” yang sempurna. Sebelum dia menutup pintu, Dimas bisa mendengar Nasya menggerutu pelan, “Matahari sih nggak ngerti apa-apa.”

Dan hari itu, sekali lagi, Nasya memenangkan argumen dengan alam semesta yang tampaknya lebih banyak diam ketimbang bertindak. Tapi siapa tahu, mungkin besok dia akan menemukan cara lain untuk meyakinkan Dimas.

 

Keterlambatan yang Terlalu Jauh

Dimas kembali ke kantor, membawa setumpuk pekerjaan yang sudah menunggu. Sementara itu, Nasya masih di apartemennya, duduk di meja makan dengan gelas kosong di depannya. Pagi ini terasa seperti tunda, seperti semua hal yang berjalan lebih lambat dari seharusnya. Matanya menatap layar ponsel, melihat pesan-pesan yang belum dibaca, tugas-tugas yang belum dikerjakan. Tapi, ada sesuatu yang terasa lebih penting dari semua itu—sinar matahari.

“Kenapa ya, aku merasa dia telat terus belakangan ini?” gumamnya, sambil menatap keluar jendela. Seperti biasa, awan masih menggantung rendah, menghalangi jalan matahari untuk datang dengan maksimal. Sepertinya, Nasya akan memulai harinya dengan sedikit penundaan lagi.

Matahari. Nasya merasa seperti punya hubungan yang tak terpisahkan dengan benda itu, yang kadang datang, kadang enggan. Tapi, sepertinya sekarang, dia benar-benar merasa kesal. “Keterlambatan yang terlalu jauh,” bisiknya pada diri sendiri.

Pekerjaan? Belakangan terasa seperti hal yang bisa ditunda. Bahkan tugas yang mudah sekalipun. Nasya merasa seperti berada di ruang hampa, di mana dunia berjalan begitu cepat sementara dia tetap terjebak di zona nyaman—menunggu matahari.

Pagi itu, dia memutuskan untuk melakukan hal yang biasa dia lakukan ketika merasa tak ada motivasi: mengirim pesan pada Dimas. Tapi kali ini, bukan soal pekerjaan. Tidak juga soal tugas-tugas yang menumpuk. Dia ingin tahu, apa Dimas merasakan hal yang sama? Atau jangan-jangan dia sudah mulai menikmati kenyataan bahwa dunia ini bergerak cepat, tanpa menunggu siapa pun?

“Dim,” tulisnya, “kemarin kamu bilang matahari nggak peduli sama aku. Tapi sekarang, aku yakin dia beneran cuma datang kalau dia mood doang. Gimana menurut kamu, apa ini salah aku?”

Tidak butuh waktu lama, Dimas membalas. “Nasya, kamu itu punya cara unik untuk mempersalahkan hal-hal yang nggak bisa kamu kontrol. Tapi nggak, kamu nggak salah. Cuma, kamu harus paham, dunia ini nggak nunggu kita buat siap, ngerti?”

Nasya menyeringai membaca pesan itu, merasa sedikit tersinggung, tapi juga paham dengan apa yang dimaksud Dimas. Tapi dia tetap punya cara untuk membela dirinya. “Mungkin kamu benar, Dim. Tapi coba deh kamu bayangin, gimana rasanya nungguin matahari datang dan nggak pernah dapet sinarnya sepenuhnya. Gimana bisa mulai hari kalau energinya cuma setengah-setengah?”

Dimas membalas dengan cepat. “Aku rasa kamu udah kebanyakan mikir soal itu, Nas. Kamu terlalu banyak waktu untuk nunggu. Dunia itu bukan soal nunggu atau nggak nunggu, tapi soal ngambil kesempatan yang ada.”

Nasya mengetuk-ngetuk meja dengan jari, merasa sedikit tersentil. Mungkin benar kata Dimas. Tapi hatinya tetap merasa tidak lengkap. Ada sesuatu dalam dirinya yang merasa tidak puas dengan hanya “menjalani hari” begitu saja. Seperti ada bagian yang hilang, sebuah elemen yang harus datang dari luar untuk memulai segala sesuatunya dengan penuh energi.

Akhirnya, dia memutuskan untuk keluar. “Oke, oke. Aku nggak bisa terus-terusan kayak gini,” pikirnya. “Matahari harus lihat aku dong!”

Dengan langkah sedikit malas, Nasya keluar dari apartemen, berjalan menuju kafe favoritnya. Mungkin udara luar bisa memberinya inspirasi baru. Jalanan di kota itu tidak terlalu ramai, sepertinya banyak orang memilih untuk tetap di dalam ruangan, menikmati kenyamanan rumah mereka, sama seperti dirinya yang tadinya merasa tidak ingin bergerak.

Namun, tiba-tiba, ada sebuah suara yang memanggilnya dari belakang. “Nasya!”

Dia menoleh, dan tampaklah sosok yang sudah dikenalnya. Reza, teman kuliahnya dulu. Mereka sempat berteman baik, namun entah kenapa, mereka jarang bertemu lagi setelah lulus. Reza, dengan rambut yang lebih panjang dan kacamata hitam di tangan, tersenyum lebar.

“Eh, Reza! Lama nggak ketemu!” Nasya hampir lupa dengan keberadaan teman lama itu, dan senang akhirnya bisa bertemu. “Kamu ngapain di sini?”

Reza menepuk-nepuk perutnya. “Cuma jalan-jalan. Lagi ngadem. Kamu sendiri, lagi nggak ngapa-ngapain?”

Nasya mengangkat bahu, sedikit bingung. “Yah, aku lagi menunggu… lebih tepatnya, menunggu matahari buat datang dengan bener. Aku nggak bisa mulai hari kalo nggak ada sinar yang bener.”

Reza tertawa keras, seakan-akan Nasya baru saja mengucapkan sesuatu yang lucu. “Kamu serius, Nas? Matahari nggak peduli sama kamu, tau. Dia terbit karena emang tugasnya begitu.”

Nasya merasa sedikit kesal, tapi tidak mau terlihat terlalu emosional. “Ya, aku tahu itu. Tapi kayaknya kita semua butuh alasan yang lebih besar buat memulai, kan?”

Reza mengangguk pelan, lalu menatap langit. “Bener juga sih. Tapi menurut aku, matahari tuh cuma kayak reminder. Ingat, besok bakal ada lagi hari baru. Tapi kalau kamu terus-terusan nungguin sinar sempurna, bisa-bisa nggak ada kesempatan yang kamu ambil.”

Nasya merasa seperti mendapat pelajaran baru. Mungkin dia terlalu banyak berpikir tentang sesuatu yang bisa jadi sangat sederhana. Tapi di dalam hatinya, dia tetap merasa ada sesuatu yang hilang. Mungkin memang seperti kata Dimas dan Reza—selama matahari masih terbit, seharusnya dia cukup bersyukur.

Namun, satu hal yang Nasya pelajari dari percakapan itu adalah: meskipun dunia bergerak cepat dan matahari terus muncul terlepas dari siap atau tidaknya, dia harus menemukan cara untuk mengejar kesempatan, bukan hanya menunggu sinar yang sempurna.

“Makasi, Reza. Kamu memang selalu punya cara buat bikin orang berpikir,” kata Nasya sambil tersenyum kecil.

Reza membalas senyum itu. “Iya, kok. Jadi, kamu jadi bisa mulai kerja atau masih nunggu matahari bener-bener terbit?”

Nasya tertawa pelan. “Nunggu deh, tapi kali ini, aku bakal lebih cepat bergerak setelahnya.”

Dan di tengah kota yang sibuk itu, Nasya merasa sedikit lebih siap untuk menghadapinya—meskipun matahari mungkin masih enggan muncul sepenuhnya.

 

Anak Kecil dan Filosofi Sederhana

Sehari setelah percakapan panjang dengan Reza, Nasya berjalan menyusuri jalanan yang mulai sedikit ramai. Meski matahari pagi itu masih tertutup awan, dia merasa hari ini sedikit berbeda. Rasanya, sedikit lebih ringan. Entah kenapa, dia merasa seperti bisa mengatasi segala hal yang tadinya terasa berat, hanya dengan berpikir sedikit lebih sederhana.

Nasya mendengar tawa riang dari kejauhan, dan segera melihat seorang anak kecil yang sedang bermain bola di taman kecil dekat kafe. Anak itu berlari-lari sambil menendang bola, tidak peduli dengan awan yang masih menggantung, atau dengan kenyataan bahwa langit belum benar-benar cerah. Setiap kali bola itu terlepas dari kakinya, anak itu berteriak, “Matahari! Ayo datang! Aku siap main!”

Nasya berhenti di tempat, menatap anak itu dengan penuh perhatian. Ada sesuatu yang menarik tentang cara anak itu berbicara dengan alam semesta. Tidak ada keraguan, tidak ada pertanyaan. Hanya keyakinan sederhana bahwa matahari akan datang tepat waktu, karena itu memang sudah tugasnya. Sepertinya, anak kecil itu tahu sesuatu yang Nasya tidak tahu—bahwa kadang, hal-hal yang paling besar bisa dimulai dengan keyakinan yang paling kecil.

Anak itu lari mendekat ke arah Nasya, bola yang hampir jatuh ke kaki Nasya. Tanpa banyak bicara, Nasya menendang bola itu kembali. Anak itu tertawa senang, lari mengejar bola itu dengan energi yang tak terbendung.

“Eh, omong-omong, kamu nggak takut kalau matahari nggak datang?” tanya Nasya sambil melirik anak itu, yang sedang memungut bola dan berlari kembali ke arah Nasya.

Anak itu berhenti sejenak, mengernyitkan keningnya, lalu dengan polos menjawab, “Matahari pasti datang, Kak! Dia nggak pernah telat, cuma kadang aku aja yang belum siap.”

Nasya terkejut mendengar jawaban itu. Sederhana, tapi penuh makna. Anak itu seperti tahu bahwa kunci dari segala yang dia tunggu-tunggu bukan terletak pada seberapa lama atau seberapa sering sesuatu datang, tapi lebih kepada seberapa siap dia menyambutnya.

“Kamu yakin banget, ya?” tanya Nasya, masih mencoba memahami filosofi aneh anak kecil itu.

“Iya! Kalau matahari telat, ya berarti aku juga yang belum siap. Aku belum siap main, mungkin. Tapi dia pasti datang kok. Cuma waktu aku belum pas.”

Nasya terdiam. Kali ini, kata-kata anak kecil itu terasa lebih dalam dari yang dia kira. Seperti sebuah cahaya yang masuk ke dalam pikirannya yang tadinya penuh kabut. Mungkin dia terlalu lama menunggu kesempurnaan, menunggu sinar yang sempurna, menunggu kondisi yang ideal. Padahal, kalau dia hanya sedikit lebih siap, segala sesuatunya mungkin bisa lebih baik.

Anak kecil itu kembali berlari, menggiring bola, seolah-olah dia tahu persis apa yang harus dilakukan dengan kehidupannya—terus berlari, terus bermain, tanpa menunggu matahari datang lebih dulu. Nasya hanya bisa memandangnya, dengan senyum yang tak terkontrol. “Kamu luar biasa, nak,” bisiknya pelan.

Matahari tetap tidak menampakkan diri sepenuhnya, namun dalam hatinya, Nasya merasa ada sesuatu yang berubah. Keyakinan anak itu, cara pandangnya terhadap dunia, tentang bagaimana semuanya bergerak sesuai waktu yang tepat, itu memberi dia secercah harapan baru.

Menjelang siang, Nasya kembali ke apartemennya. Langkahnya lebih ringan, pikirannya lebih tenang. Saat dia duduk kembali di meja makan, menatap layar laptopnya yang sudah penuh dengan tugas yang belum dikerjakan, ada satu pemikiran yang terus mengganggu. Mungkin, selama ini, dia terlalu banyak menunggu—menunggu matahari, menunggu sinar yang sempurna. Padahal, tugasnya adalah tetap bergerak, tetap berlari mengejar bola hidup meski langit belum sepenuhnya cerah.

Dengan senyum tipis, Nasya membuka dokumen di laptopnya, mulai mengetik. “Mungkin aku nggak butuh alasan yang sempurna,” pikirnya. “Mungkin, cukup dengan keyakinan sederhana bahwa setiap hari adalah kesempatan baru.”

Saat itu, sinar matahari yang semula tertutup awan mulai muncul perlahan, memberi cahaya yang lembut ke dalam ruangan. Nasya tidak terlalu peduli apakah itu terlambat atau tidak. Hari itu, dia sudah cukup siap untuk menjalani semuanya.

 

Kebebasan dalam Menyambut

Hari-hari berlalu, dan Nasya merasa seperti mendapatkan ritme baru dalam hidupnya. Tidak ada lagi penantian tanpa ujung—tidak ada lagi harapan yang tertunda karena menunggu kondisi yang sempurna. Seiring dengan berjalannya waktu, dia menyadari bahwa hidup bukan tentang menunggu sinar matahari datang dengan cara yang diinginkan. Tetapi, tentang bagaimana kita bisa menyambut hari apapun itu dengan segala hal yang kita punya.

Suatu pagi, Nasya memutuskan untuk kembali ke kafe yang biasa dia kunjungi, tempat di mana semuanya terasa lebih ringan, lebih hidup. Udara pagi yang sejuk terasa berbeda kali ini. Tidak ada lagi perasaan hampa seperti dulu. Dia datang dengan sebuah keputusan yang sudah dia buat beberapa hari sebelumnya: untuk berhenti menunda, untuk berhenti menunggu sinar yang sempurna, dan untuk lebih banyak bergerak, lebih banyak menikmati perjalanan.

Ketika dia memasuki kafe, barista yang biasa menyapanya tersenyum lebar. “Selamat pagi, Nasya! Senang lihat kamu datang lagi,” kata barista itu.

Nasya mengangguk dengan senyum yang lebih lebar dari biasanya. “Iya, aku juga senang bisa datang lagi.”

Dia memesan kopi seperti biasa, tapi kali ini, ada rasa berbeda. Rasa percaya diri yang sebelumnya hilang kini kembali dengan penuh. Tidak lagi sebagai penonton dalam kehidupannya, Nasya merasa seperti pemain utama yang sedang menjalani setiap detik dengan penuh keberanian.

Sambil menunggu kopinya, Nasya duduk di sudut kafe yang sama. Dia memperhatikan orang-orang di sekitarnya—beberapa sibuk dengan pekerjaan, beberapa berbicara dengan teman-temannya, beberapa tampak seperti sedang berjuang dengan masalah mereka sendiri. Tapi Nasya tidak merasa terasing. Justru, dia merasa seperti bagian dari dunia yang lebih besar, dunia yang penuh dengan kesempatan, dunia yang memberikan kesempatan setiap hari.

Beberapa menit kemudian, kopi pesanan Nasya datang. Dia mengangkat cangkirnya perlahan, menyesapnya sambil memandang keluar jendela. Langit mulai cerah, matahari terbit sempurna, seperti memberikan izin bagi Nasya untuk menikmati hari tanpa penundaan lagi.

Saat itulah, ponselnya berbunyi. Ternyata, itu pesan dari Dimas.

“Dim, sudahkah matahari datang sempurna hari ini?” tulisnya, dengan emoji matahari yang cerah.

Nasya tersenyum membaca pesan itu. Ada sesuatu yang terasa hangat dalam dirinya, sebuah perasaan seperti ada benang merah yang menghubungkannya dengan orang-orang di sekitarnya, walau dia tidak tahu pasti apa yang mengikatnya dengan mereka. Mungkin itu adalah kesamaan dalam menjalani hidup, dalam bergerak menuju tujuan yang sama—untuk terus melangkah meski kadang jalan tidak semulus yang diinginkan.

“Ya, Dim,” balasnya dengan emoji matahari yang cerah. “Aku sudah siap untuk hari ini.”

Beberapa menit kemudian, ponsel kembali bergetar. Kali ini, bukan hanya Dimas. Ada pesan dari Reza.

“Jadi, kamu akhirnya keluar dari zona nyaman ya?” tulis Reza, disertai emoji yang menyemangati.

Nasya tertawa pelan. “Iya. Aku sadar, kalau aku terus menunggu, aku nggak bakal dapet kesempatan. Jadi, hari ini aku bergerak. Mataku nggak cuma menunggu sinar, tapi mencari cara untuk membuat hari ini berarti.”

Reza membalas dengan cepat. “Itu baru Nasya yang aku kenal! Good luck, ya! Kamu pasti bisa.”

Nasya menatap layar ponselnya, merasa seolah dunia mendukung setiap langkah kecil yang dia buat. Dia tahu bahwa tidak ada hari yang sempurna. Tidak ada matahari yang selalu terbit tepat waktu. Tapi hari ini, dia merasa cukup siap. Siap untuk bergerak, siap untuk mencoba, siap untuk menerima setiap hal baru yang datang—sekalipun terkadang itu datang terlambat, atau tidak seperti yang dia bayangkan.

Dia meminum kopinya habis, lalu berdiri, menatap langit yang semakin cerah. Ada perasaan baru yang mengalir dalam dirinya, perasaan kebebasan. Kebebasan untuk memilih langkahnya sendiri, kebebasan untuk menyambut hari meski sinar matahari kadang datang terlambat.

“Selamat datang, hari baru,” bisiknya pelan, sebelum melangkah keluar dari kafe itu.

Dan dunia, seperti biasa, terus bergerak.

 

Jadi gini, kadang kita mikir kalau hidup harus sesuai rencana, harus sempurna, baru deh bisa jalan. Tapi, kenyataannya, hidup itu nggak selalu nunggu sinar matahari datang.

Kadang, kamu cuma butuh bergerak, siap untuk apa pun yang ada. Kalo kamu udah siap, pasti ada kesempatan baru yang datang. Dan itu,  adalah hal paling keren tentang hidup.

Leave a Reply