Mentari di Ujung Senja: Cinta yang Berpisah di Batas Dua Dunia

Posted on

Pernah nggak sih ngerasain jatuh cinta sama seseorang yang sebenarnya nggak bisa kamu genggam? Kayak ada, tapi nggak sepenuhnya nyata. Kayak dekat, tapi cuma bisa disentuh dengan hati. Cerita ini bukan sekadar tentang cinta biasa, tapi tentang pertemuan dua dunia yang nggak seharusnya bersinggungan.

Tentang seseorang yang datang bersama senja, dan harus pergi sebelum malam benar-benar jatuh. Kalau kamu pernah nungguin sesuatu yang nggak pasti, atau pernah berharap waktu bisa berhenti sedikit lebih lama, siap-siap buat ngerasain cerita ini sampai ke dalam hati.

Mentari di Ujung Senja

Senja yang Membawa Kembali

Langit di ufuk barat berpendar lembayung, membentuk gradasi warna yang begitu indah hingga seolah-olah waktu melambat. Angin bertiup lembut, menggoyangkan permukaan danau yang memantulkan warna senja seperti cermin raksasa. Aroma tanah yang sedikit lembap bercampur dengan wangi dedaunan yang diterpa angin.

Di tepian danau itu, seorang pemuda berdiri dengan mata yang tak pernah lepas dari garis cakrawala. Tubuhnya tegak, tapi ada ketegangan dalam sorot matanya. Sesekali jemarinya mengepal, lalu mengendur. Seakan ada sesuatu yang ia tunggu—atau seseorang.

Suara gemerisik terdengar dari arah pepohonan di seberang. Dari balik ranting-ranting yang menggugurkan daun, sosok seorang gadis muncul. Langkahnya ringan, nyaris tanpa suara. Gaunnya yang berwarna lembayung bergoyang tertiup angin, dan rambut panjangnya yang sedikit berantakan berkilauan di bawah cahaya yang mulai meredup.

Pemuda itu tetap diam. Bibirnya sedikit terbuka, tapi tidak ada kata yang keluar. Matanya menatapnya seakan ingin memastikan bahwa yang ia lihat bukan sekadar imajinasinya.

“Kamu masih di sini,” suara gadis itu terdengar. Tenang, tapi menyimpan sesuatu yang sulit dijelaskan.

Pemuda itu mengerjap. “Aku selalu di sini,” jawabnya pelan.

Gadis itu tersenyum kecil, tapi ada sorot sendu di matanya. Ia melangkah mendekat, tapi tetap menjaga jarak. “Sudah berapa lama kamu menunggu?”

Pemuda itu menghela napas, matanya kembali mengarah ke cakrawala. “Aku nggak tahu. Aku cuma… selalu datang ke sini setiap senja.”

Angin kembali berhembus, membuat daun-daun kering di tanah berputar sebentar sebelum jatuh kembali. Gadis itu menunduk, seolah mencari kata yang tepat. Lalu ia mengangkat wajahnya, matanya menatap pemuda itu dalam-dalam.

“Kamu tahu aku nggak bisa selalu di sini, kan?”

“Aku tahu,” pemuda itu menjawab, tapi suaranya terdengar lemah. “Tapi aku tetap berharap.”

Hening sejenak. Suara gemercik air dari danau menjadi satu-satunya yang terdengar. Gadis itu mengangkat tangannya, seakan ingin menyentuh pemuda itu. Tapi di detik terakhir, ia ragu, dan tangannya hanya menggantung di udara.

“Kamu harus berhenti menunggu,” katanya akhirnya, suaranya nyaris seperti bisikan.

Pemuda itu menoleh, matanya menyipit sedikit, seakan berusaha membaca sesuatu di balik kata-kata itu. “Dan kalau aku nggak bisa?”

Gadis itu menghela napas. “Kalau kamu terus menunggu, kita cuma akan terjebak di sini. Di batas antara terang dan gelap. Antara ada dan tiada.”

Pemuda itu tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya, mencoba menemukan jawaban di dalam mata gadis itu. Tapi sebelum ia bisa berkata apa pun, angin kembali bertiup lebih kencang, membawa serta aroma senja yang semakin memudar.

Gadis itu tersenyum kecil, lalu melangkah mundur. “Senja hampir habis,” katanya lirih. “Aku harus pergi.”

Pemuda itu mengepalkan tangannya. “Besok… kamu bakal datang lagi, kan?”

Gadis itu tidak langsung menjawab. Matanya menatap garis cakrawala, lalu kembali ke pemuda itu.

“Kita lihat saja,” katanya, sebelum tubuhnya perlahan mulai samar, terserap oleh cahaya yang meredup.

Angin berhembus sekali lagi, lebih dingin dari sebelumnya.

Dan di tepi danau itu, pemuda itu kembali sendiri.

 

Pertemuan di Antara Dua Dunia

Malam merayap perlahan, meninggalkan sisa-sisa senja yang masih menggantung di ufuk barat. Pemuda itu masih berdiri di tepi danau, membiarkan angin malam menyentuh kulitnya yang mulai terasa dingin. Ia menghela napas panjang, lalu berbalik pergi.

Keesokan harinya, langkahnya kembali membawanya ke tempat yang sama. Danau itu masih setenang kemarin, dikelilingi pepohonan yang menjulang seperti penjaga setia. Langit mulai berubah warna saat matahari perlahan turun.

Angin kembali berbisik, membawa serta aroma yang begitu familiar. Lalu dari balik pepohonan di seberang, gadis itu muncul. Sama seperti sebelumnya. Sama seperti senja-senja sebelumnya.

“Kamu datang lagi,” kata gadis itu, suaranya terdengar seperti angin yang menyapu permukaan air.

Pemuda itu menatapnya tanpa berkata-kata. Hari ini gadis itu tampak lebih pucat dari biasanya, meskipun senyum di wajahnya masih sama.

“Apa kamu ingat hari pertama kita bertemu?” tanya gadis itu tiba-tiba.

Pemuda itu mengernyit. “Kenapa nanya itu?”

Gadis itu tertawa kecil, suaranya terdengar samar. “Aku cuma ingin tahu… apa kamu masih mengingatnya.”

Pemuda itu terdiam sejenak, lalu menatap permukaan danau. “Aku ingat,” katanya akhirnya. “Aku pikir waktu itu aku cuma berhalusinasi. Aku duduk di sini sendirian, terus tiba-tiba kamu muncul entah dari mana.”

Gadis itu tersenyum tipis. “Dan kamu nggak takut?”

“Aku nggak tahu harus takut atau nggak. Rasanya cuma… aneh.” Pemuda itu meliriknya. “Tapi sekarang aku sadar, ada sesuatu yang lebih dari sekadar aneh.”

Gadis itu menunduk, tangannya menggenggam ujung gaunnya yang berkibar tertiup angin. “Apa kamu ingin tahu… kenapa aku selalu ada di sini saat senja?”

Pemuda itu mengangguk. “Iya. Aku ingin tahu.”

Gadis itu menatap cakrawala, matanya seakan menyimpan bayangan yang jauh. “Aku… seharusnya nggak bisa berada di dunia ini,” katanya pelan. “Tapi ada sesuatu yang membuatku tetap kembali. Sesuatu yang menahanku di batas antara ada dan tiada.”

Pemuda itu menegang. “Apa maksudmu?”

Gadis itu menoleh, menatapnya dengan mata yang kini tampak lebih dalam. “Aku… seharusnya sudah pergi sejak lama. Tapi aku masih di sini, karena…” Ia menggigit bibirnya, seakan ragu untuk melanjutkan.

Pemuda itu menunggu. Tapi sebelum gadis itu bisa melanjutkan, angin berhembus lebih kencang, membuat daun-daun kering berputar di udara. Langit mulai meredup lebih cepat dari biasanya.

Gadis itu menegang. “Aku harus pergi,” katanya buru-buru.

“Tunggu!” Pemuda itu melangkah maju, mencoba meraih tangannya. Tapi seperti sebelumnya, jemarinya hanya menembus udara kosong.

Gadis itu menatapnya dengan ekspresi penuh kebingungan, seolah ada begitu banyak yang ingin ia katakan, tapi waktu tak mengizinkannya. “Besok…” katanya dengan suara bergetar. “Kalau kamu masih ingin tahu… datanglah lagi.”

Dan sebelum pemuda itu bisa berkata apa-apa, gadis itu menghilang bersama senja yang telah habis.

 

BKetika Cahaya Mulai Redup

Senja datang lebih cepat hari ini. Awan-awan tipis berwarna jingga menggantung di langit, seolah menunggu sesuatu yang akan segera berakhir. Angin bertiup lebih pelan, membawa hawa yang lebih dingin dari biasanya.

Pemuda itu sudah berdiri di tepian danau sebelum matahari mulai turun. Matanya menatap ke arah pepohonan di seberang, menunggu sesuatu yang kini terasa semakin samar.

Dan akhirnya, dia muncul.

Gadis itu melangkah keluar dari bayangan pepohonan, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Gaunnya yang biasanya berkibar lembut kini tampak lebih kusam, nyaris menyatu dengan warna senja yang semakin pudar. Langkahnya lebih lambat, dan wajahnya lebih pucat dari sebelumnya.

“Kamu datang lagi,” suara gadis itu terdengar pelan, nyaris seperti hembusan angin yang melewati permukaan air.

Pemuda itu menatapnya dengan mata yang sarat dengan pertanyaan. “Kamu kenapa? Kamu kelihatan… berbeda.”

Gadis itu tersenyum tipis, tapi sorot matanya tidak bisa menyembunyikan sesuatu yang berat. “Aku lelah.”

“Lelah?” Pemuda itu mengernyit. “Apa maksudmu?”

Gadis itu menunduk, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Aku nggak bisa terus seperti ini.”

Pemuda itu melangkah mendekat, meskipun dia tahu percuma. “Kenapa? Aku belum tahu banyak tentang kamu. Kamu bilang aku harus datang lagi kalau masih ingin tahu. Aku di sini sekarang.”

Gadis itu menatapnya lama sebelum akhirnya berbicara. “Aku bukan bagian dari dunia ini, kamu tahu itu, kan?”

Pemuda itu mengepalkan tangannya. “Iya, aku tahu. Tapi aku juga tahu kalau kamu nggak sepenuhnya pergi.”

Gadis itu menghela napas. “Karena aku masih punya sesuatu yang menahanku di sini.”

“Apa?”

Mata gadis itu kembali menatap cakrawala yang semakin gelap. “Kamu.”

Pemuda itu terdiam. Dadanya tiba-tiba terasa berat.

“Kamu yang membuatku tetap ada di batas ini. Setiap hari, aku kembali karena kamu masih menungguku. Aku nggak bisa pergi kalau kamu masih ada di sini,” lanjut gadis itu. Suaranya terdengar lirih, nyaris bergetar.

Pemuda itu menelan ludah, matanya menatap gadis itu dalam-dalam. “Jadi… kalau aku berhenti datang ke sini, kamu bakal… hilang?”

Gadis itu mengangguk perlahan. “Aku bakal benar-benar pergi. Senja ini akan jadi yang terakhir.”

Angin bertiup lebih dingin. Permukaan danau mulai beriak perlahan.

“Tapi aku nggak mau,” suara pemuda itu terdengar rendah. “Aku nggak mau kamu pergi.”

Gadis itu tersenyum sendu. “Kamu nggak bisa menahanku selamanya.”

Pemuda itu terdiam.

“Aku harus pergi, dan kamu harus belajar merelakan.”

Mata pemuda itu memanas. “Kenapa harus sekarang? Kenapa harus hari ini?”

Gadis itu menatapnya dengan sorot penuh kasih. “Karena senja ini adalah senja terakhir yang diberikan untukku. Setelah ini, aku nggak akan bisa kembali lagi.”

Pemuda itu menggeleng, langkahnya maju meskipun dia tahu dia tak bisa menyentuhnya. “Kalau aku tetap datang ke sini besok… kamu masih akan ada di sini, kan?”

Gadis itu tersenyum, tapi kali ini ada air mata di sudut matanya. “Kalau aku bisa, aku ingin tetap ada. Tapi aku nggak bisa melawan batas ini.”

Angin kembali berhembus, lebih kencang dari sebelumnya.

Dan kali ini, pemuda itu merasa ketakutan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

 

Senja Terakhir

Angin bertiup semakin kencang, membuat permukaan danau bergetar dalam riak yang tidak biasa. Langit yang tadinya berwarna jingga mulai memudar, seolah bersiap menelan cahaya terakhir.

Pemuda itu berdiri diam di tempatnya, menatap gadis di depannya dengan mata yang dipenuhi emosi yang sulit dijelaskan. Rasa takut, marah, kecewa, dan kehilangan bercampur menjadi satu.

“Jadi ini akhirnya?” tanyanya pelan, suaranya hampir tak terdengar di antara desiran angin.

Gadis itu mengangguk perlahan. “Iya,” bisiknya. “Senja ini adalah yang terakhir. Setelah ini, aku nggak bisa kembali lagi.”

Pemuda itu mengepalkan tangannya. “Lalu aku harus apa? Aku harus pura-pura lupa kalau kamu pernah ada?”

Gadis itu tersenyum tipis, matanya menatap pemuda itu dengan kelembutan yang menyakitkan. “Kamu nggak harus lupa. Tapi kamu harus terus hidup, tanpa menungguku lagi.”

Pemuda itu menggeleng. “Aku nggak bisa.”

“Kamu bisa,” kata gadis itu lembut. “Kamu hanya perlu mencoba.”

Senja semakin meredup, cahaya keemasan di ufuk barat mulai berubah menjadi ungu kelam. Gadis itu terlihat semakin pudar, seolah angin yang bertiup membawanya perlahan pergi.

Pemuda itu menatapnya dengan mata yang mulai basah. “Aku nggak mau kamu pergi.”

Gadis itu tersenyum, kali ini dengan air mata yang mengalir di pipinya. “Aku juga nggak mau. Tapi ini bukan dunia untukku lagi.”

Pemuda itu melangkah maju, menatapnya dalam-dalam, berusaha mengukir wajah gadis itu dalam ingatannya untuk terakhir kalinya. “Kalau aku bisa mengulang waktu… aku ingin bertemu kamu lebih cepat.”

Gadis itu tertawa kecil, meskipun suaranya terdengar berat. “Aku juga.”

Mereka terdiam, membiarkan angin menyampaikan kata-kata yang tak sanggup diucapkan.

Lalu, tepat ketika matahari benar-benar tenggelam di balik cakrawala, tubuh gadis itu mulai diterpa cahaya lembut, seperti senja yang perlahan memudar. Ia menatap pemuda itu untuk terakhir kalinya, bibirnya melafalkan sesuatu yang tak terdengar.

Dan dalam sekejap, dia menghilang.

Senja telah benar-benar pergi.

Pemuda itu berdiri di tempatnya, membiarkan dinginnya malam merayap ke kulitnya. Matanya tetap menatap tempat gadis itu berdiri tadi, tapi yang tersisa kini hanya kegelapan.

Ia menghela napas panjang, lalu perlahan menutup matanya.

Besok, senja akan kembali datang. Tapi tidak akan ada lagi gadis itu. Tidak akan ada lagi bayangannya di tepian danau.

Namun, meskipun senja akan selalu datang dan pergi, kenangan tentang gadis itu akan tetap ada. Terukir di antara cahaya yang perlahan memudar, di antara angin yang berbisik lembut, dan di antara riak danau yang selalu menyimpan cerita yang tak lagi bisa diulang.

Senja terakhir telah berlalu. Tapi hatinya tahu, dia tidak akan pernah benar-benar pergi.

 

Ada yang datang, ada yang pergi. Ada yang nyata, ada yang cuma bayang-bayang. Tapi yang paling menyakitkan adalah ketika harus melepaskan sesuatu yang selama ini jadi alasan buat tetap bertahan.

Senja akan selalu kembali esok hari, tapi nggak semua yang datang bisa mengulang cerita yang sama. Dan nggak semua perpisahan bisa dihindari, meskipun hati masih ingin menunggu. Karena ada cinta yang memang ditakdirkan untuk tetap tinggal, meski tanpa wujud, hanya sebagai kenangan yang nggak akan pernah pudar.

Leave a Reply