Daftar Isi
Jadi, pernah nggak sih merasa kalau dunia ini tuh terlalu cepat? Semua orang sibuk banget dengan layar ponselnya, ngetik, scroll, swipe, dan semuanya serba instan.
Tapi, pernah nggak kepikiran kalau menulis itu nggak cuma tentang nyusun kata-kata—tapi tentang menghubungkan diri dengan sesuatu yang lebih dalam? Ini cerita tentang generasi milenial yang coba mencari makna lewat pena, kertas, dan perjalanan kata yang nggak selalu instan. Siapa tahu, kamu juga bisa nemuin hal yang selama ini kamu cari.
Mengukir Kata di Dunia Digital
Jejak Tinta di Era Digital
Ragiel duduk santai di pojok kafe, dikelilingi aroma kopi yang selalu membuatnya terjaga, meskipun malam sudah mulai menggelap. Matanya fokus pada layar laptop, menatap satu artikel tentang literasi yang selalu muncul tiap kali dia menelusuri media sosial. Artikel itu menulis tentang betapa rendahnya minat baca dan tulis di kalangan generasi milenial, sebuah topik yang cukup sering ia temui. Ia mengernyitkan dahi, sedikit bosan. “Lagi-lagi soal ini?” gumamnya dalam hati.
Dia beranjak dari meja, menatap layar ponselnya untuk sekadar mengalihkan perhatian dari artikel yang rasanya tidak akan menyelesaikan apa-apa. Kafe itu ramai, suara mesin kopi, bisikan percakapan, dan ketukan jari di atas keyboard memberi irama yang menyatu dengan malam. Ragiel menatap sekeliling, dan matanya berhenti pada seorang gadis di meja sebelah.
Gadis itu, dengan rambut terikat longgar dan buku catatan berkulit cokelat tua terbuka di hadapannya, terlihat tenang. Pena yang ada di tangannya bergerak perlahan, menari di atas kertas dengan gerakan yang hampir meditatif. Ragiel merasa seperti ada yang aneh. Bukannya ia belum pernah melihat orang menulis tangan, tapi dalam dunia yang semuanya serba digital, melihat seseorang menulis dengan pena di atas kertas terasa seperti menyaksikan sesuatu yang langka.
Tanpa pikir panjang, ia bangkit dan mendekat, menggeser kursinya pelan-pelan. “Hei, kamu lagi nulis apa?” tanyanya tanpa basa-basi, sedikit penasaran.
Gadis itu menoleh, tatapannya langsung mengunci dengan mata Ragiel. Ada senyuman tipis di wajahnya. “Cerita,” jawabnya singkat. “Tentang seseorang yang lupa caranya menulis dengan tangan.”
Ragiel mengernyitkan dahi. “Lupa menulis dengan tangan?” ulangnya, mencoba memahaminya. “Maksudnya, gimana?”
“Ya, gitu deh,” jawab gadis itu santai, seolah tidak ada yang aneh dengan idenya. “Mereka terlalu nyaman dengan keyboard dan layar, sampai-sampai nulis pakai tangan pun jadi terasa asing. Terlalu sering nyentuh smartphone dan laptop sampai lupa rasanya menulis dengan pena.”
Ragiel tertawa pelan. “Ceritamu agak aneh ya?” katanya, mencoba membalas dengan nada santai. “Banyak orang sekarang malah lebih suka ngetik daripada nulis tangan. Semua ada di digital sekarang, kenapa malah balik ke tulisan tangan?”
Gadis itu mengangkat bahu, menyandarkan punggungnya di kursi. “Tapi kan nggak salah juga kalau kita balik ke hal yang klasik, kan? Kadang, dengan menulis pakai tangan, kita lebih ngerasain emosi kita. Nggak bisa ngapus cuma dengan satu tombol. Setiap kata yang kita tulis itu punya jejaknya.”
Ragiel menatapnya bingung. “Jejaknya?”
“Ya,” jawabnya pelan, “jejak emosi. Ketika kamu menulis, kamu nggak bisa langsung mengubah apa yang udah tertulis. Gak kayak ngetik di laptop, yang bisa kamu hapus dan ganti kapan aja. Tulisan tangan itu lebih berkesan, lebih hidup.”
Ragiel terdiam, mencerna kata-kata gadis itu. Perasaan aneh mulai tumbuh di dadanya, seperti ada sesuatu yang ia lupakan. Ia selalu merasa nyaman dengan teknologi—keyboard dan layar ponsel adalah dunia yang ia kuasai. Tulisannya lebih cepat keluar kalau mengetik, lebih efisien. Tapi entah kenapa, mendengar penjelasan gadis itu, ada rasa penasaran yang tumbuh dalam dirinya. Apakah benar menulis dengan tangan memiliki makna yang lebih dalam?
“Jadi,” Ragiel membuka pembicaraan lagi, “kamu merasa menulis dengan tangan lebih berarti gitu?”
Gadis itu mengangguk dengan mantap. “Iya. Coba aja sesekali nulis tangan, kamu bakal ngerasain bedanya. Menulis itu kayak melukis, setiap goresan punya makna.”
Ragiel merasa kata-katanya terdengar bijak, tapi dia tetap merasa skeptis. “Aku sih nggak yakin kalau itu buat aku,” jawabnya, agak berat. “Tapi ya… siapa tahu.”
Gadis itu tersenyum lagi. “Kapan-kapan coba aja. Nggak ada salahnya kan kalau coba hal baru?”
Ragiel mengangguk, meskipun dalam hatinya ia ragu. Tak terasa, percakapan itu mulai berakhir dengan keheningan. Ia kembali ke mejanya, namun pandangannya tetap tertuju pada gadis itu. Sementara gadis itu kembali sibuk dengan bukunya, menulis dengan penuh konsentrasi, Ragiel merasa ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.
Sudah berhari-hari ia tidak menulis di luar layar. Bahkan catatan kuliah pun lebih banyak ditulis dengan laptop daripada buku catatan. Dan entah kenapa, kalimat tentang “jejak” itu terus terngiang di kepalanya. Apakah benar tulisan tangan punya jejak emosi yang lebih kuat?
Dengan rasa penasaran yang semakin memuncak, Ragiel menutup laptopnya pelan-pelan. Ia mengambil sebuah buku catatan kosong yang tergeletak di atas meja, dan mengambil pena dari saku jaket. Tangan kanannya gemetar sedikit saat menulis kata pertama. “Hari ini…”
Dia berhenti. Jari-jarinya terhenti di atas halaman kosong. Kata-kata itu sulit keluar. Bukannya menulis, ia malah merasa seperti sedang mencoba mencari kembali cara untuk menulis. Sebuah hal yang sudah sangat familiar, namun terasa asing.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Ragiel merasa bingung dengan sesuatu yang sederhana seperti menulis.
Gadis yang Menulis di Atas Kertas
Beberapa hari setelah percakapan singkat itu, Ragiel tidak bisa berhenti memikirkan tulisan tangan. Ia merasa aneh, seolah-olah ia telah melewatkan sesuatu yang penting dalam kehidupannya—sesuatu yang begitu sederhana, namun mempengaruhi cara ia berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Setiap kali tangannya terulur untuk membuka laptop, ia malah teringat akan pena dan buku catatan yang tergeletak di meja.
Hari itu, ia kembali ke kafe, tempat yang sama di mana percakapan itu bermula. Suasana kafe masih tetap sama, penuh dengan orang-orang yang sibuk dengan laptop, tablet, dan ponsel mereka. Tak ada yang menulis tangan, kecuali satu orang. Gadis itu—Nandira—masih duduk di meja yang sama, dengan buku catatannya yang selalu terbuka, pena di tangan, dan senyum tipis yang selalu menghiasi wajahnya saat menulis.
Ragiel merasa ada yang menarik dirinya untuk duduk di meja sebelahnya. Ia merasa sedikit canggung, tapi rasa penasaran mengalahkan segalanya.
“Hei,” Ragiel membuka percakapan dengan suara yang agak pelan, berusaha untuk tidak terdengar terlalu terburu-buru. “Kamu masih menulis, ya?”
Nandira mengangkat wajahnya dari bukunya dan tersenyum. “Tentu saja. Apa kamu pikir aku berhenti?” jawabnya, nada suaranya ringan, seperti percakapan antara teman lama.
Ragiel hanya tersenyum kecut. “Aku cuma… penasaran,” kata Ragiel, sedikit ragu. “Kamu beneran ngerasa menulis dengan tangan itu beda?”
Nandira menatapnya sejenak, lalu meletakkan pena di atas buku dan menatap Ragiel dengan penuh perhatian. “Iya, beda banget. Kamu nggak pernah coba?”
“Beberapa kali sih,” jawab Ragiel, “tapi selalu berakhir dengan laptop atau ponsel.”
Nandira tertawa kecil. “Nggak apa-apa. Paling nggak kamu coba kan. Tapi coba deh, Rasain bedanya.”
Ragiel mengangguk pelan, masih merasa ragu. “Ya, siapa tahu. Tapi aku nggak ngerti kenapa tulisan tangan bisa punya makna lebih.”
Nandira meraih buku catatannya dan membuka halaman berikutnya. “Kadang-kadang kita terlalu cepat untuk menyelesaikan sesuatu, tanpa sempat menikmati prosesnya. Ngetik itu cepat, tapi tangan yang bergerak lambat itu… membuat kita lebih sadar akan setiap langkah, setiap kata yang kita pilih.”
Ragiel terdiam, mencoba mencerna maksudnya. “Berarti… dengan menulis, kamu merasa lebih terkoneksi dengan apa yang kamu tulis?”
Nandira mengangguk. “Betul. Menulis dengan tangan itu seperti membuka bagian diri yang kadang terlupakan. Kamu nggak bisa buru-buru, kamu harus sabar.”
Ragiel melirik buku catatan Nandira. Ada sesuatu dalam cara dia menulis yang membuatnya terkesan—seperti ada kesenangan dalam setiap goresan. Padahal, di matanya, menulis itu harus efisien, cepat, dan praktis. Tapi kalimat-kalimatnya di buku catatan gadis ini tampak lebih dari sekadar kata-kata; mereka seperti aliran yang tidak terburu-buru, tidak perlu ditekan. Setiap huruf tampaknya memiliki tempatnya sendiri, dan itu menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar tulisan.
“Kalau kamu beneran penasaran,” Nandira melanjutkan, “kenapa nggak coba aja? Di sini, sekarang.”
Ragiel terkejut. “Sekarang?”
“Iya,” jawab Nandira sambil tersenyum, “Nggak ada salahnya, kan? Nulis sedikit di sini, lihat gimana rasanya.”
Tanpa menunggu lebih lama, Nandira menyerahkan buku catatannya kepada Ragiel. Ragiel menatap buku itu sebentar. Halaman-halamannya penuh dengan tulisan tangan yang rapi, terkadang dengan coretan-coretan kecil yang menunjukkan pemikiran yang mendalam. Ini bukan hanya sekadar tulisan biasa. Ragiel merasakan ada sesuatu yang lebih di balik tinta itu, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata.
“Mulai dari sini,” kata Nandira, menunjuk ke bagian kosong di halaman.
Ragiel memegang pena itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Untuk pertama kalinya setelah beberapa tahun, ia merasa seperti mengulang sesuatu yang lama terlupakan. Pena itu terasa asing, meskipun rasanya sudah lama sekali ia tidak memegang alat tulis seperti ini. Tangannya bergerak perlahan, menulis kata pertama dengan hati-hati, “Hari ini…”
Tulisan itu terlihat kaku dan tidak alami. Ragiel menarik napas panjang, merasakan getaran yang aneh di tangannya. Dia mencoba menulis lagi, kali ini lebih rileks. “Aku menulis…”
Namun, sesuatu mengganjal. Setiap goresan pena terasa lebih berat dari yang ia bayangkan. Seperti ada tekanan dari dalam dirinya yang berusaha keluar, namun selalu terhambat oleh keraguan. Bagaimana cara menulis dengan pena tanpa terburu-buru?
Nandira menatapnya, tidak mengatakan apa-apa, hanya membiarkan Ragiel melanjutkan sesuai ritmenya sendiri. Beberapa menit berlalu, dan Ragiel merasa sedikit lebih santai, meskipun tidak sepenuhnya nyaman. “Itu susah juga, ya,” katanya, meletakkan pena kembali ke meja.
Nandira tersenyum. “Nggak gampang, memang. Tapi kamu mulai merasain bedanya kan?”
Ragiel mengangguk pelan, meski dia tahu bahwa perasaan itu masih jauh dari yang Nandira jelaskan. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang membuatnya ingin mencoba lagi. Sesuatu yang ia rasa bisa menghubungkan dirinya dengan cara yang berbeda, cara yang selama ini hilang tertelan oleh dunia digital.
“Kalau aku terus coba, bisa nggak ya ngerasain hal yang kamu bilang?” tanya Ragiel, dengan sedikit rasa ingin tahu yang lebih besar daripada sebelumnya.
Nandira mengangguk dengan penuh keyakinan. “Pasti. Cuma butuh waktu.”
Dan di situlah Ragiel memulai langkah kecilnya. Tanpa ia sadari, malam itu ia tidak hanya belajar tentang menulis dengan tangan. Ia juga mulai memahami bahwa terkadang, dalam dunia yang serba cepat, ada banyak hal yang harus diproses perlahan, satu per satu—seperti setiap kata yang tertulis dengan tinta.
Kata yang Tertunda
Hari-hari berlalu begitu saja, tapi Ragiel merasa seperti ada yang berbeda. Meski ia kembali ke rutinitasnya yang biasa—laptop, ponsel, dan dunia maya—ada satu hal yang tidak bisa lepas dari pikirannya: buku catatan dan pena yang ia pegang di kafe itu. Terkadang, saat ia tengah menatap layar laptop, matanya tertumbuk pada pena yang tergeletak di meja, dan seketika ingatannya kembali pada percakapan dengan Nandira.
Sudah beberapa kali ia mencoba menulis lagi di buku catatan. Setiap kali, ia merasa seperti ada ketegangan yang menyelimuti tangannya. Rasanya seperti ada yang menghalangi aliran kata, membuatnya tidak bisa menulis dengan bebas. Tapi, setiap kali ia mengingat kalimat Nandira tentang “menulis itu bukan soal cepat, tapi soal bagaimana kamu merasakannya,” ia merasa seperti ada dorongan untuk terus mencoba.
Hari itu, saat Ragiel duduk di meja kafe, pena dan buku catatannya kembali tergeletak di hadapannya. Ia menatap halaman kosong itu, merasa seperti menantang dirinya sendiri untuk menulis dengan cara yang berbeda. Tiba-tiba, ponselnya berbunyi, mengalihkan perhatian. Ia membuka pesan dari temannya, Irwan.
“Bro, ada tugas kuliah nggak? Aku harus ngerjain deadline.”
Ragiel hanya tersenyum, mengetikkan balasan singkat, “Malah lagi ngopi, nih. Kerjaannya udah selesai.” Ia menatap layar ponselnya sejenak, merasa seperti ada sedikit kekosongan di dalam dirinya. Semua hal yang ia kerjakan selama ini selalu ada di dunia maya, dunia yang cepat, praktis, dan tanpa banyak perasaan.
“Masih sulit juga ya…” gumamnya pelan, menatap pena yang masih tergeletak di sana.
Tiba-tiba, ada suara yang menghentikan lamunannya.
“Pena masih disana, ya?”
Ragiel menoleh dan mendapati Nandira berdiri di samping meja, dengan senyum kecil yang sudah sangat ia kenal. Tangan Nandira menyentuh ujung pena itu, seolah mengingatkan Ragiel akan percakapan mereka beberapa hari yang lalu.
“Aku pikir kamu udah nggak tertarik sama menulis tangan,” kata Nandira sambil duduk di kursi di depan Ragiel. “Tapi kelihatannya kamu masih terjebak di antara dua dunia, ya?”
Ragiel terkejut mendengar kalimat itu. “Apa maksudmu?”
“Ya, kamu terjebak di dunia yang serba cepat, di mana segalanya cuma tinggal klik dan geser. Tapi di sisi lain, kamu juga merasa ada yang hilang, kan?” Nandira mengangkat alis, seolah tahu persis apa yang Ragiel rasakan.
“Bener banget,” Ragiel menjawab, agak terkejut. “Aku mulai merasa seperti… aku nggak bisa nulis lagi, Nandira. Semua jadi terasa terburu-buru, nggak ada yang ngisi.”
Nandira tersenyum tipis, tatapannya penuh pengertian. “Itu sebabnya kamu harus memberi ruang untuk diri kamu sendiri. Kalau kamu terus-terusan pakai cara yang cepat, kamu bakal kehilangan momen untuk menyatu dengan kata-kata. Cobalah menikmati setiap kalimat yang keluar dari tanganmu. Jangan terlalu terburu-buru.”
Ragiel merenung. Kata-kata itu terasa seperti sebuah panggilan yang sulit diabaikan. Ia memandangi buku catatan itu lagi, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, ia merasa seolah-olah tangannya siap untuk menulis. Ia mengangkat pena dengan perlahan, meletakkannya di atas halaman kosong.
“Menulis…,” Ragiel memulai, merasakan tekanan ringan di tangannya. “Menulis itu aneh, ya? Nggak gampang.”
Nandira duduk diam, mengamatinya, memberikan ruang yang cukup untuk Ragiel menyelesaikan kalimatnya. “Iya, menulis itu nggak cuma soal kata-kata. Kadang-kadang, menulis itu tentang memahami apa yang ada di dalam diri kita.”
Ragiel menarik napas dalam-dalam. Tangan kanannya mulai bergerak, menulis perlahan. “Aku nggak tahu kenapa aku harus menulis ini, tapi…” Ia berhenti sejenak, berpikir, lalu melanjutkan dengan hati-hati, “Aku mulai merasa seperti kata-kata itu mulai kembali. Kayak ada bagian dari diri aku yang udah lama hilang.”
Kata-kata itu terasa begitu asing, dan pada saat yang sama, sangat nyata. Ragiel merasa seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri, dan dalam beberapa detik itu, ia menyadari bahwa menulis bukan sekadar menyusun huruf. Menulis adalah cara untuk menghubungkan diri dengan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang lebih jujur daripada hanya sekadar informasi di layar.
“Aku mulai bisa merasainnya,” gumamnya, hampir tidak percaya pada dirinya sendiri.
Nandira tersenyum lebih lebar. “Itu dia. Kamu sudah mulai ngerasain bedanya. Kamu harus sering-sering melatihnya. Nggak cuma untuk tugas kuliah atau pekerjaan, tapi buat diri kamu sendiri.”
Ragiel menatap Nandira, merasa seperti ia baru saja menemukan sesuatu yang sangat berharga. “Aku nggak pernah tahu kalau menulis bisa terasa seperti ini.”
Nandira menepuk bahunya pelan, senyumnya tetap penuh keyakinan. “Itulah yang aku maksud. Kadang kita cuma butuh waktu untuk menemukan cara kita sendiri.”
Hari itu, Ragiel melanjutkan menulis. Setiap kalimat yang keluar terasa lebih natural, lebih mengalir. Beberapa kali, ia berhenti untuk berpikir, namun kali ini ia tidak terburu-buru. Kata-kata itu datang tanpa harus dipaksa, dan ia mulai merasakan ada sebuah keseimbangan yang sebelumnya hilang. Dalam setiap goresan pena, ia merasa semakin terkoneksi dengan dirinya sendiri.
Di luar jendela, langit sudah mulai gelap. Ragiel tahu, ada banyak hal yang masih harus ia pelajari tentang menulis. Namun satu hal yang pasti—ia tidak akan pernah lagi melihat pena dan buku catatan sebagai sesuatu yang usang. Karena menulis, seiring berjalannya waktu, ternyata bukan hanya soal kata-kata yang terungkap. Menulis adalah cara kita menghubungkan diri dengan dunia dan dengan diri kita sendiri. Dan itu, bagi Ragiel, adalah sesuatu yang lebih dari sekadar tinta di atas kertas.
Mengukir Langkah dengan Kata
Malam itu, Ragiel merasa seolah dunia di sekitarnya berubah begitu nyata. Kafe tempat ia duduk, dengan segala hiruk-pikuknya, tidak lagi menjadi tempat yang asing. Ia kini merasakannya seperti sebuah ruang yang penuh cerita, yang hanya bisa ia tangkap jika ia berhenti sejenak, menulis, dan memahaminya.
Dalam beberapa hari terakhir, Ragiel telah menghabiskan banyak waktu dengan buku catatan dan pena yang Nandira berikan padanya. Setiap kalimat yang ia tulis terasa seperti sebuah petualangan yang berkelanjutan—adakalanya ia menulis tentang mimpinya, tentang kegelisahannya, dan terkadang tentang hal-hal kecil yang tak ia sadari sebelumnya. Kata-kata itu mengalir bebas, tanpa tekanan, tanpa keraguan.
Namun, di dalam dirinya ada satu pertanyaan yang terus mengendap.
Apa yang terjadi ketika aku berhenti menulis?
Di luar sana, dunia tetap bergerak dengan cepat. Di luar sana, teman-temannya, Irwan, Vina, dan yang lainnya, tetap terjebak dalam rutinitas mereka—semuanya serba digital, serba cepat. Ragiel masih melihat mereka asyik dengan gadget mereka, berbicara tanpa berhenti, tetapi entah kenapa, kini ia merasa seolah ia sedang berada di luar dunia itu. Bukan dalam artian yang menyendiri, tetapi ia merasa lebih sadar—lebih hidup, lebih terhubung dengan setiap kata yang ia pilih.
Malam itu, ia kembali ke kafe yang sama, tempat pertama kali ia menulis tanpa paksaan. Buku catatannya terbuka di depannya, dan pena tergeletak di tangan kanannya. Di sampingnya, sebuah kopi hitam terhidang, menguap dengan aroma yang memikat. Ragiel menatap langit yang mulai gelap dari balik jendela, dan dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang lebih besar yang harus ia gali.
Ia menulis lagi.
“Menulis bukan hanya sekadar menyampaikan kata-kata. Menulis adalah tentang keberanian untuk merangkai kehidupan, satu kalimat demi satu kalimat.”
Tangan Ragiel bergerak dengan lebih percaya diri. Ia merasakan ketenangan yang luar biasa setiap kali ia menulis. Tidak ada tekanan waktu, tidak ada yang mendesaknya untuk segera selesai. Rasanya seperti ia sedang berbicara dengan dirinya sendiri, memberikan ruang untuk semua hal yang selama ini terpendam dalam pikirannya.
Setiap tulisan kini menjadi sebuah perjalanan, dan perjalanan itu—meskipun sederhana—merupakan bagian dari hidup yang ia jalani. Dunia digital dengan segala kecepatan dan kecanggihan itu, kini terasa jauh dari jangkauan. Ragiel tahu bahwa ia tidak bisa menghindarinya, tapi setidaknya, ia telah menemukan tempat di mana ia bisa berhenti sejenak dan meresapi semuanya.
Saat ia menulis, ia merasa seperti mengekspresikan dirinya dalam cara yang paling tulus. Ia menulis tentang momen-momen yang mungkin dianggap sepele oleh orang lain, tapi bagi Ragiel, itu adalah bagian dari perjalanan yang harus dihargai. Menulis adalah tentang menemukan diri dalam keheningan, tentang menyusun kata-kata yang mengungkapkan apa yang tersembunyi dalam dirinya.
Di seberang meja, Nandira datang lagi, membawa secangkir teh hangat. Ia duduk di sebelah Ragiel tanpa berkata-kata, hanya mengamati buku catatan yang terbuka di hadapan Ragiel.
“Bagaimana?” tanya Nandira akhirnya, memecah keheningan.
Ragiel tersenyum dan mengangkat buku catatannya, menunjukkan tulisan yang baru saja ia selesaikan. “Aku rasa, aku mulai memahami apa yang kamu maksud.”
Nandira mengangguk, matanya berbinar dengan kepuasan yang tidak bisa disembunyikan. “Kadang, kita terlalu sibuk mencari sesuatu yang besar dan spektakuler, padahal hal yang paling penting justru ada di dalam diri kita sendiri. Menulis itu adalah salah satu cara untuk menemukan itu.”
Ragiel mengangguk pelan, merasakan makna dari kata-kata itu menyelami jiwanya. “Iya,” katanya, dengan keyakinan yang baru ditemukan. “Ternyata menulis itu bukan soal hasil akhirnya. Itu tentang apa yang kita dapatkan dalam perjalanan menulis itu sendiri.”
Malam itu, Ragiel tidak hanya menulis kalimat-kalimat tentang dirinya. Ia menulis tentang perjalanan, tentang kesadaran, dan tentang dunia yang ia temui dengan cara yang lebih lambat, namun lebih kaya. Ia merasa bahwa setiap kata yang ia tulis membawa dirinya lebih dekat ke sesuatu yang lebih besar daripada sekadar tugas atau deadline. Menulis adalah cara Ragiel untuk menciptakan koneksi—antara dirinya dengan dunia, dan antara dirinya dengan dirinya sendiri.
Saat pena terhenti, Ragiel merasa puas. Tidak karena tulisan itu sempurna, tetapi karena ia tahu, di dalam perjalanan ini, ia telah menemukan bagian dari dirinya yang telah lama hilang.
Dan dengan itu, ia menyadari bahwa menulis bukanlah hal yang bisa diselesaikan dalam sekejap. Menulis adalah perjalanan yang tak akan pernah selesai. Ia adalah sebuah langkah yang harus terus dilangkahinya—satu kata, satu kalimat, satu halaman pada satu waktu.
Dengan senyuman yang tulus, Ragiel menutup buku catatannya, meletakkannya di atas meja, dan melihat ke luar jendela. Langit malam itu begitu cerah, dan meskipun dunia di luar sana bergerak dengan cepat, Ragiel tahu, ia tidak perlu lagi terburu-buru. Ia sudah menemukan jalannya.
Dan dalam setiap kata yang ia tulis, ia akan terus mengukir langkah.
Dan ya, menulis itu emang nggak ada habisnya. Kita mulai dengan satu kalimat, terus lanjut ke kalimat berikutnya, dan akhirnya sadar kalau kita udah berjalan jauh banget.
Di dunia yang serba cepat gini, menulis bisa jadi cara kita nyambungin diri sama sesuatu yang lebih… nyata. Jadi, jangan takut untuk mulai, walaupun nggak tahu bakal jadi apa. Karena yang penting, kamu udah melangkah.