Daftar Isi
Jadi anak rantau itu bukan cuma soal jauh dari rumah. Ini soal bertahan di tempat yang bahkan nggak peduli kamu ada atau nggak. Rehan tahu itu sejak hari pertama ia menginjakkan kaki di kota ini. Tanpa uang, tanpa kenalan, cuma modal tekad dan doa ibunya.
Tapi hidup di perantauan nggak seindah motivasi di internet. Ada darah, keringat, dan air mata yang nggak bisa ditunjukkan ke siapa-siapa. Yang bisa dilakukan cuma satu: maju terus, atau pulang dengan kepala tertunduk.
Mengukir Harapan di Negeri Orang
Jejak Pertama di Kota Asing
Rehan menatap jalanan yang ramai dengan mata yang masih menyisakan lelah. Trotoar dipenuhi pejalan kaki, beberapa terburu-buru, beberapa melamun seperti dirinya. Ransel di punggungnya terasa berat, bukan hanya karena isi di dalamnya, tapi juga harapan yang ia bawa dari kampung.
Ia menghela napas, melirik secarik kertas yang sejak tadi diremas di tangannya. Alamat kontrakan. Dari stasiun tadi, ia sudah naik angkot, bertanya pada beberapa orang, dan sekarang berdiri di depan gang kecil yang penuh dengan motor terparkir sembarangan.
“Kontrakan nomor 12,” gumamnya pelan.
Kakinya melangkah, melewati lorong sempit yang kanan-kirinya penuh jemuran pakaian. Beberapa pintu terbuka, memperlihatkan kehidupan di dalamnya. Ada yang sedang memasak di dapur sempit, ada yang sibuk di depan laptop, dan ada pula yang hanya duduk melamun di kursi plastik.
Akhirnya, ia menemukan nomor 12. Sebuah pintu kayu kusam dengan cat yang mulai mengelupas. Ia mengetuk pelan.
Tak lama, pintu terbuka. Seorang pria berambut acak-acakan dengan kaus oblong longgar menatapnya dengan mata mengantuk.
“Kamu siapa?” tanyanya langsung, suaranya berat karena baru bangun tidur.
Rehan menelan ludah. “Aku Rehan, yang tadi siang udah DP buat kontrakan ini.”
Pria itu mengucek matanya. “Oh, yang dari kampung, ya?”
Rehan mengangguk.
“Masuk aja.”
Ruangan di dalam sempit dan berantakan. Ada kasur lipat di pojok dengan selimut yang tidak terlipat rapi, kipas angin berdiri yang sudah miring ke samping, serta meja kecil yang penuh dengan bungkus mie instan dan botol air mineral kosong.
“Kamar kamu di sebelah situ,” kata pria itu sambil menunjuk pintu di pojok. “Aku Fadli, penghuni lama di sini. Kalo butuh apa-apa, tanya aja, asal jangan sering-sering.”
Nada suaranya datar, seperti tidak terlalu peduli. Rehan hanya tersenyum kecil dan mengangguk.
Setelah memasukkan tas ke dalam kamar kecilnya, Rehan duduk di kasur tipis yang sudah disediakan pemilik kontrakan. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kamarnya bahkan lebih kecil dari kamar di rumahnya, tapi ini sudah cukup.
Ia membuka ponselnya, ada satu pesan dari ibunya.
“Udah sampe, Nak? Jangan lupa makan ya, jangan telat sholat.”
Rehan tersenyum tipis. Ia mengetik balasan cepat.
“Udah, Bu. Aku baik-baik aja.”
Padahal kenyataannya, perutnya sudah keroncongan sejak tadi. Tapi ia belum punya keberanian untuk keluar dan mencari makan.
“Laper?”
Suara Fadli terdengar dari luar. Rehan menoleh dan melihat pria itu berdiri di depan pintunya sambil membawa sebungkus roti tawar.
“Nih, buat kamu. Anggap aja sambutan selamat datang di dunia perantauan.”
Rehan tertawa kecil, tapi tetap menerima roti itu. “Makasih, Bro.”
Fadli duduk di kursinya sendiri, membuka ponselnya, lalu berkata tanpa melihat ke arah Rehan, “Besok udah mulai kerja?”
“Iya. Pagi.”
Fadli mengangguk pelan. “Selamat datang di neraka, Bro.”
Rehan hanya tersenyum, mencoba menganggap itu sebagai candaan.
Tapi ia tahu, mulai besok, hidupnya akan benar-benar berubah.
Gugur di Langkah Pertama
Pagi pertama di perantauan dimulai dengan dering alarm yang menyakitkan telinga. Rehan mengusap wajahnya, berusaha menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa hari ini bukan lagi tentang bersantai di rumah atau berbincang dengan ibunya di dapur. Ini hari pertamanya bekerja.
Ia bangkit, mengenakan kemeja putih sederhana yang disetrika seadanya semalam. Celana hitam yang sedikit longgar membalut kakinya, sementara sepasang sepatu yang masih tampak baru melekat di kakinya.
“Kamu kerja di mana?” tanya Fadli dari kasurnya, masih setengah tidur.
“Restoran,” jawab Rehan sambil merapikan kerah bajunya di depan cermin kecil.
Fadli mendengus. “Hati-hati. Bos restoran biasanya galak.”
Rehan tidak terlalu menghiraukan. Ia berpamitan singkat sebelum keluar.
Restoran tempatnya bekerja tidak terlalu besar, tapi selalu ramai pelanggan. Begitu ia masuk, aroma minyak goreng dan bumbu rempah langsung menyerbu hidungnya. Seorang pria bertubuh besar dengan celemek hitam berdiri di dekat meja kasir, menatapnya dengan mata tajam.
“Kamu anak baru?” tanyanya dengan suara berat.
“Iya, Pak. Saya Rehan.”
Pria itu mengangguk. “Nama saya Pak Darma. Kamu nanti bagian belakang, cuci piring. Kalau udah nggak ada yang dicuci, bantuin angkat-angkat bahan ke dapur.”
Rehan mengangguk cepat. Ia sudah menyiapkan mental untuk pekerjaan ini. Bukan pekerjaan impian, tapi ini awal dari semuanya.
Tanpa banyak basa-basi, ia langsung masuk ke area belakang. Setumpuk piring kotor sudah menunggu di bak pencucian. Air sabun yang dingin menyentuh tangannya saat ia mulai menggosok lempengan-lempengan piring itu satu per satu.
Beberapa karyawan lain berlalu-lalang, sebagian sibuk memasak, sebagian lagi melayani pelanggan. Salah satu dari mereka, seorang pria berambut cepak, menepuk bahunya.
“Anak baru, ya?”
Rehan mengangguk.
“Santai aja, yang penting kerja cepet. Bos galak kalau kita lelet.”
Baru beberapa jam bekerja, Rehan sudah paham maksudnya. Pak Darma memang keras. Setiap kali melihat ada piring menumpuk atau lantai dapur yang basah, suaranya menggelegar.
“Rehan! Jangan lelet! Cuci yang bersih, jangan asal bilas!”
Rehan menahan napas, mencoba menelan rasa kesal.
Lalu datang masalah pertama.
Saat mengangkat tumpukan piring bersih ke rak, tangannya sedikit licin. Salah satu piring meluncur jatuh dan…
PRANGG!
Suara pecahan piring memecah suasana. Semua orang langsung menoleh ke arahnya.
Pak Darma menghela napas panjang, lalu berjalan mendekat.
“Kamu nggak bisa pegang piring, hah?”
“Saya nggak sengaja, Pak. Maaf.”
“Maaf nggak bisa bikin piring ini utuh lagi, kan?” suara Pak Darma makin tajam. “Kalau kayak gini terus, restoran bisa bangkrut.”
Rehan menunduk. Ia ingin membela diri, tapi tahu tidak ada gunanya.
Hari pertama, dan dia sudah membuat kesalahan.
Sorenya, saat pekerjaan selesai, Rehan berjalan pulang dengan langkah berat. Pikirannya dipenuhi suara bentakan Pak Darma.
Begitu sampai di kontrakan, ia duduk di lantai kamarnya yang sempit, menatap ponsel di tangannya. Ada pesan dari ibunya.
“Hari pertama gimana, Nak? Capek nggak? Semangat ya, Ibu doain.”
Rehan menelan ludah.
Tangannya mengetik.
“Baik, Bu. Aku senang kerja di sini.”
Lalu ia meletakkan ponselnya, menatap langit-langit kamar dengan perasaan campur aduk.
Hari pertama memang berat. Tapi ia tidak akan menyerah.
Titik Patah dan Luka yang Menganga
Malam itu, Rehan tertidur dengan tubuh kelelahan, tetapi pikirannya masih penuh dengan kejadian di restoran. Piring yang pecah, tatapan tajam Pak Darma, dan bisikan rekan-rekan kerja yang entah kasihan atau justru menertawakannya. Tapi tidur bukan pelarian yang nyaman, karena pagi datang lebih cepat dari yang ia harapkan.
Jam lima pagi, alarm bergetar di samping kepalanya. Rehan bangun dengan enggan. Otot-ototnya masih terasa pegal akibat kerja keras kemarin. Ia menarik napas dalam, berusaha meyakinkan diri kalau hari ini akan lebih baik.
Namun kenyataan sering kali lebih kejam dari harapan.
Begitu tiba di restoran, ia langsung dihampiri oleh seorang pelayan perempuan bernama Siska. Wajahnya manis, tapi bibirnya selalu seperti menyimpan sesuatu yang ingin ia katakan.
“Kamu dipanggil Pak Darma di dapur,” katanya singkat sebelum berlalu.
Rehan meneguk ludah. Ia berjalan ke belakang dengan langkah yang terasa lebih berat dari biasanya. Begitu masuk dapur, Pak Darma sudah berdiri dengan tangan bersedekap, ekspresinya tak bisa ditebak.
“Kamu pikir restoran ini tempat buat belajar santai?” Suaranya datar, tapi dingin.
Rehan mengerutkan dahi. “Maksudnya, Pak?”
Pak Darma mendengus. “Kamu lamban. Kerjaan kamu nggak bersih. Kamu pikir pelanggan bakal mau makan di restoran yang piringnya masih berminyak?”
Rehan terdiam. Ia tahu dirinya masih beradaptasi, tapi tak menyangka akan mendapat serangan sekeras ini.
“Kamu ini ngerantau buat kerja, bukan buat ngerepotin orang,” lanjut Pak Darma. “Kalau nggak bisa, ya pulang aja. Jangan buang waktu saya.”
Perkataannya menghantam Rehan seperti tamparan yang tak kasat mata.
Pulang? Kata itu terasa seperti hinaan. Apa ia harus menyerah hanya karena belum terbiasa?
Tapi sebelum ia bisa menjawab, suara tawa kecil terdengar dari belakang. Dua orang karyawan lain, Toni dan Arman, berdiri sambil menahan tawa.
“Baru juga mulai, udah dimarahin kayak gitu. Kasian amat,” celetuk Toni.
“Biasa, anak baru kan gitu,” tambah Arman. “Sebulan juga paling udah cabut.”
Rehan mengepalkan tangan, tapi menahan diri.
Ia tidak akan memberikan mereka kepuasan melihatnya terpancing emosi.
Hari itu berjalan dengan lebih buruk dari kemarin. Rehan berusaha bekerja lebih cepat, lebih teliti, tapi rasanya tidak ada yang benar di mata Pak Darma. Satu kesalahan kecil, satu noda minyak yang tertinggal, dan suara bentakan pun datang lagi.
Menjelang siang, Rehan mulai merasa perutnya kosong. Ia belum sempat makan sejak pagi. Tapi waktu untuk istirahat tidak ada, karena pesanan semakin banyak dan piring kotor menumpuk seperti gunung kecil di bak pencucian.
Siska lewat di dekatnya, membawa nampan berisi hidangan yang baru keluar dari dapur.
“Kamu belum makan?” tanyanya pelan.
Rehan hanya menggeleng.
Siska menatapnya sebentar sebelum melanjutkan pekerjaannya.
Sore hari, saat restoran mulai sepi, Rehan keluar sebentar untuk menghirup udara segar di gang belakang restoran. Ia bersandar ke dinding, mengusap wajah dengan tangan yang masih basah.
Lalu, pintu dapur terbuka.
Siska muncul dengan sebungkus nasi di tangannya.
“Ambil ini,” katanya, menyerahkan bungkusan itu.
Rehan menatapnya ragu. “Ini buat aku?”
Siska mengangguk. “Kalau kamu pingsan di dapur, siapa yang bakal cuci piring?”
Rehan tersenyum kecil dan menerima makanan itu. Ini mungkin hal kecil, tapi bagi seseorang yang sedang berada di titik terendah seperti dirinya, perhatian sekecil apa pun terasa besar.
Malam itu, saat kembali ke kontrakan, ia menatap dirinya di cermin kecil yang tergantung di dinding. Wajahnya kusam, rambutnya berantakan, matanya terlihat lebih lelah dari sebelumnya.
Ia mengambil ponsel, membaca ulang pesan ibunya dari kemarin.
Ibu pasti berpikir anaknya sedang baik-baik saja di perantauan.
Padahal, kenyataannya ia hampir menyerah.
Tapi tidak.
Ia tidak boleh pulang dengan tangan kosong.
Ia belum selesai berjuang.
Cahaya di Ujung Perjalanan
Malam itu, Rehan tidak langsung tidur seperti biasanya. Ia duduk di lantai kontrakan sempitnya, menatap langit-langit dengan pikiran yang berkelindan.
Hari-hari di restoran terasa semakin berat. Setiap pagi ia bangun dengan tubuh lelah, setiap malam ia pulang dengan hati yang hampir menyerah. Tapi entah kenapa, kata-kata Pak Darma yang menyuruhnya pulang justru semakin menguatkan tekadnya.
Ia tidak akan pulang dengan tangan kosong.
Ia tidak akan pulang sebagai pecundang.
Pagi itu, saat ia tiba di restoran, suasana dapur lebih ramai dari biasanya. Pak Darma berdiri di tengah ruangan, tangan bersedekap dengan wajah serius.
“Mulai hari ini, kita ada menu baru. Semua harus kerja lebih cepat. Rehan, kamu nggak cuma cuci piring. Kamu bantu di bagian sayur.”
Rehan terkejut. Biasanya, ia hanya berkutat di tempat pencucian. Ini pertama kalinya ia diperbolehkan menyentuh bahan makanan.
Ia mengangguk cepat, lalu segera bergabung dengan tim dapur.
Di sudut dapur, seorang koki senior, Bang Jaka, mengawasinya.
“Kamu potong wortel ini. Jangan terlalu tebal, jangan terlalu tipis.”
Rehan mengambil pisau dan mulai bekerja. Tangannya sedikit gemetar, tapi ia berusaha sebaik mungkin. Beberapa kali potongannya masih tidak rata, tapi Bang Jaka hanya mengangguk pelan.
“Nggak buruk buat pemula. Tapi kalau kamu mau bertahan di dapur ini, kamu harus lebih cepat dan lebih rapi.”
Rehan hanya mengangguk. Ia tahu ini bukan pujian, tapi setidaknya bukan hinaan.
Dan itu sudah cukup untuk hari ini.
Hari demi hari berlalu. Rehan mulai terbiasa dengan ritme kerja yang lebih cepat. Ia masih dimarahi sesekali, tapi tidak sekeras dulu. Bahkan Pak Darma mulai jarang mengomentari pekerjaannya, yang bagi Rehan adalah sebuah kemenangan kecil.
Namun, ujian terbesar datang di malam yang tidak ia duga.
Seorang koki tiba-tiba jatuh sakit tepat sebelum jam makan malam dimulai. Semua orang panik, termasuk Bang Jaka.
“Rehan, kamu bisa masak?”
Rehan membeku. Ia bisa memasak, tapi hanya untuk dirinya sendiri. Memasak untuk pelanggan? Itu sesuatu yang belum pernah ia lakukan.
Bang Jaka menatapnya tajam. “Kalau kamu ragu, mundur sekarang.”
Rehan menggenggam spatula di tangannya. Lalu, ia menarik napas dalam.
“Aku bisa.”
Dan untuk pertama kalinya, ia berdiri di depan kompor restoran, memasak bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk orang lain.
Malam itu, ia kembali ke kontrakan dengan perasaan yang berbeda. Ia masih lelah, tangannya masih pegal, tapi ada sesuatu yang terasa lebih ringan di dadanya.
Ponselnya bergetar.
Sebuah pesan dari ibunya masuk.
Apa kamu baik-baik saja di sana?
Rehan tersenyum kecil. Ia tidak lagi ragu dengan jawabannya.
Aku baik, Bu. Aku masih berjuang.
Rantau bukan cuma tempat asing. Ini adalah medan tempur. Entah kamu menang dan jadi lebih kuat, atau kamu kalah dan menyerah pulang. Tapi satu yang pasti, Rehan sudah melewati badai pertama.
Ia tidak lagi hanya seorang anak rantau yang berjuang untuk bertahan. Ia adalah seseorang yang mengukir harapannya sendiri, di tanah yang awalnya tidak menerimanya. Dan sekarang, dunia boleh tahu: ia tidak akan menyerah.