Daftar Isi
Pernah gak sih, kamu ngerasa pengen banget bisa ngatur waktu? Gimana kalau kamu bisa ngerubah masa lalu atau masa depan, cuma pake teknologi yang gila banget?
Nah, cerita ini bakal bawa kamu ke dalam dunia yang gak cuma tentang waktu, tapi juga pilihan-pilihan yang bisa nentuin hidup kamu ke depannya. Jadi, siap-siap aja buat dibawa ke dunia yang penuh keajaiban, risiko, dan pertanyaan besar: apakah kamu berani ngubah semuanya?
Mengubah Waktu
Pemecah Teori dan Penjelajah Ambisi
Hari itu langit Renzova diselimuti awan kelabu, seperti memantulkan suasana hati banyak siswa di Akademi. Musim ujian baru saja selesai, dan hampir semua siswa memilih beristirahat di asrama mereka. Tapi tidak dengan Arvin.
Aku berdiri di depan pintu perpustakaan, memperhatikan sosoknya dari kejauhan. Ia duduk di meja paling pojok, kepala tertunduk di atas buku besar yang terlihat seperti peninggalan abad lalu. Buku itu tampak terlalu tua, dengan sampul kulit yang mulai retak.
“Kenapa dia selalu seperti itu, sih?” gumamku sambil menyilangkan tangan. Arvin, si ‘Pemecah Teori.’ Siswa yang katanya bisa membuat mesin apa saja, dari pembersih udara sampai alat pembaca pikiran. Tapi bagiku, dia lebih seperti teka-teki yang susah ditebak.
“Vega, kamu ngintip dia lagi?” suara Kai membuatku terlonjak.
“Aku nggak ngintip! Aku cuma… penasaran.” Aku segera menyibukkan diri dengan membenahi rambutku, seolah-olah itu bisa menyembunyikan rasa malu.
“Penasaran? Ya, ya, aku percaya. Kamu penasaran sama ide-idenya, atau sama dia?” goda Kai sambil menyeringai.
Aku melotot ke arahnya. “Kai, kalau kamu nggak mau membantu, mending diam aja.”
Sore itu, aku menghabiskan waktu di laboratorium. Lab kimia adalah tempat favoritku sejak tahun pertama di Akademi. Ada sesuatu yang menenangkan dari bau bahan kimia dan suara lembut api pembakar Bunsen. Di hadapanku, ada cairan fluoresens hijau yang terus aku aduk perlahan.
“Kalau aku bisa mengubah energi cahaya menjadi sesuatu yang lebih stabil, aku bakal jadi yang pertama di dunia,” gumamku penuh semangat.
Tapi, sebelum aku bisa berpikir lebih jauh, pintu lab tiba-tiba terbuka. Dan, ya, tebak siapa yang masuk? Arvin. Dengan rambut berantakan dan ransel besar yang hampir sobek. Ia melangkah masuk tanpa menghiraukanku, langsung menuju meja sebelah.
“Arvin?” aku memanggilnya, tapi dia hanya mengangkat alis, lalu kembali fokus ke buku catatannya.
“Bisa nggak kamu kasih respon yang lebih ramah?” tanyaku sambil meletakkan tabung reaksi ke rak.
“Kalau aku ramah, kamu malah bakal curiga,” jawabnya santai, tanpa mengangkat kepala.
Aku mendengus kesal. “Aku cuma mau bilang, kamu kelihatan sibuk banget belakangan ini. Lagi apa sih?”
Dia menoleh kali ini, menatapku dengan mata gelap yang penuh misteri. “Nggak ada hubungannya sama kamu.”
Jawaban itu… klasik banget. Aku tahu dia nggak akan mudah berbagi, tapi tetap saja, rasa penasaranku makin besar.
Malamnya, aku nggak bisa tidur. Entah kenapa wajah Arvin terus terbayang di pikiranku. Apa yang dia sembunyikan? Kenapa dia nggak pernah mau bicara soal eksperimennya?
Aku memutuskan untuk keluar. Kampus sudah sepi, hanya ada suara jangkrik dan gemerisik dedaunan. Aku berjalan pelan ke arah lab fisika, tempat Arvin biasanya bekerja. Lampu di dalam menyala, dan dari jendela kecil di pintu, aku bisa melihat dia duduk di depan sesuatu yang terlihat seperti jam raksasa.
Tapi ini bukan jam biasa. Ada roda gigi besar yang berputar pelan, kabel-kabel menjuntai ke segala arah, dan di tengahnya ada semacam bola kristal yang memancarkan cahaya redup.
“Apa itu…?” bisikku pelan.
Tanpa sadar, aku membuka pintu dan melangkah masuk. Arvin langsung menoleh. “Vega? Kamu ngapain di sini?”
“Aku cuma…” Aku kehilangan kata-kata. Apa aku harus bilang kalau aku mengintipnya?
“Ini tempat berbahaya. Kamu nggak seharusnya di sini,” katanya sambil berdiri. Ada nada tegas dalam suaranya yang belum pernah aku dengar sebelumnya.
Aku memberanikan diri melangkah lebih dekat. “Apa itu, Arvin? Kamu bikin mesin waktu?”
Dia terlihat terkejut sesaat, lalu mendekati mesinnya, berdiri di antara aku dan alat itu seolah-olah melindunginya. “Ini cuma eksperimen. Jangan terlalu banyak tanya.”
“Tapi…” Aku mencoba menyela, tapi dia memotong.
“Vega, aku serius. Ini bukan sesuatu yang bisa kamu pahami sekarang. Kalau salah sedikit, efeknya bisa… mengerikan.”
Aku terdiam. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatku mundur selangkah. Dia tidak sedang main-main.
“Aku akan pergi, tapi aku tetap penasaran,” kataku akhirnya. Aku berjalan keluar, tapi sebelum menutup pintu, aku menoleh. “Hati-hati, Arvin. Aku tahu kamu orang pintar, tapi jangan sampai kamu kehilangan akal sehatmu.”
Dia tidak menjawab, hanya menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. Aku tahu satu hal: malam itu, aku baru saja menyentuh sesuatu yang jauh lebih besar dari apa yang bisa kubayangkan.
Rahasia Mesin Waktu
Malam terasa lebih panjang dari biasanya. Setelah percakapanku dengan Arvin di laboratorium, ada sesuatu yang terus menggantung di pikiranku. Mesin itu… bukan sekadar eksperimen biasa. Rasanya seperti ada gravitasi aneh yang menarik semua rasa ingin tahuku ke arahnya.
Tapi aku tahu, Arvin tidak akan membiarkan aku masuk terlalu jauh ke dalam dunianya. Bukan karena dia jahat atau sombong, tapi karena dia terlalu… hati-hati. Itu sifatnya yang paling menyebalkan sekaligus paling membuatku penasaran.
Keesokan harinya, aku sengaja melewati lorong laboratorium fisika saat waktu istirahat. Bukan karena aku berharap menemukan sesuatu, tapi aku ingin tahu apakah Arvin ada di sana. Saat aku melangkah pelan-pelan, aku mendengar suara dentingan logam dari dalam.
Aku berhenti sejenak, mencoba mendengar lebih jelas. Suara itu diikuti oleh gumaman rendah, suara Arvin yang terdengar seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri.
“Kalau aku tambahkan energi stabil di sini, mungkin…”
Aku mencoba mengintip melalui celah pintu, tapi sebelum aku bisa melihat apa pun, suara di belakangku membuatku hampir melompat.
“Kamu stalking dia lagi?” Kai berdiri dengan tangan disilangkan, senyum lebar menghiasi wajahnya.
“Shh! Jangan keras-keras!” Aku menariknya menjauh dari pintu.
Kai tertawa pelan. “Kamu serius banget. Apa sih yang bikin kamu tergila-gila sama Arvin?”
“Aku nggak tergila-gila sama dia. Aku cuma… penasaran,” jawabku cepat.
“Penasaran itu sama aja dengan tergila-gila,” katanya sambil mengangkat bahu. “Tapi oke, aku nggak akan ganggu. Aku cuma mau bilang, Vega, hati-hati sama Arvin. Dia bukan tipe orang yang terbuka, dan kalau kamu terlalu masuk ke dunia dia, kamu bisa…”
Aku melotot. “Bisa apa?”
Kai terdiam sebentar, lalu menurunkan suaranya. “Kamu bisa terluka.”
Aku menghela napas panjang. “Aku tahu risikonya, Kai. Tapi aku nggak akan mundur. Ilmu pengetahuan itu tentang mencari jawaban, bukan?”
Kai menggeleng sambil tersenyum kecil. “Terserah kamu, Vega.”
Sore itu, aku memutuskan untuk mengambil langkah lebih berani. Kalau Arvin nggak mau berbicara, maka aku yang akan mencari tahu. Aku masuk ke perpustakaan dan meminta izin ke pustakawan untuk mengakses arsip eksperimen lama.
“Mesin waktu… mesin waktu…” gumamku sambil menyisir rak-rak berdebu.
Setelah hampir satu jam mencari, aku menemukan buku tua berjudul “Paradoks Temporal: Eksperimen dan Bahayanya.” Aku membuka halaman demi halaman, dan mataku terpaku pada sebuah catatan.
“Mesin waktu, jika gagal, dapat menyebabkan distorsi temporal yang mengancam kestabilan ruang dan waktu. Subjek dalam radius mesin bisa kehilangan eksistensi mereka di dunia nyata.”
Aku menelan ludah. Apa ini yang sedang Arvin coba buat? Dan jika gagal, apa yang terjadi padanya… atau orang-orang di sekitarnya?
Saat malam tiba, aku kembali ke lab fisika. Kali ini, pintunya tidak terkunci. Aku tahu ini berisiko, tapi rasa ingin tahuku terlalu besar untuk diabaikan.
Aku melangkah masuk dan melihat mesin itu lagi, berdiri megah di tengah ruangan. Bola kristal di tengahnya kini memancarkan cahaya lebih terang, dan roda gigi di bawahnya berputar perlahan.
“Vega.”
Suara itu membuatku berbalik cepat. Arvin berdiri di pintu, wajahnya penuh amarah.
“Kamu nggak seharusnya di sini,” katanya tegas.
“Aku tahu,” jawabku pelan, “tapi aku nggak bisa tinggal diam.”
Dia melangkah mendekat, tatapannya tajam. “Kamu nggak ngerti. Ini bukan eksperimen biasa.”
“Aku tahu itu! Aku baca risikonya, Arvin. Distorsi temporal, kehilangan eksistensi… semua itu berbahaya.”
Dia terdiam. Untuk pertama kalinya, aku melihat keraguan di matanya.
“Aku nggak akan gagal,” katanya akhirnya. Tapi suaranya tidak sekuat biasanya.
“Dan kalau kamu gagal?” Aku mendekat, mencoba menantangnya. “Apa kamu siap kehilangan semuanya, Arvin? Apa itu sepadan?”
Dia menghela napas panjang, lalu menatapku dalam-dalam. “Vega, ada alasan kenapa aku melakukan ini.”
“Alasan apa?”
Dia tidak menjawab. Sebaliknya, dia menoleh ke mesin itu, seolah-olah mencoba mencari kekuatan dari alat buatannya.
“Ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan,” katanya pelan. “Tapi aku janji, aku akan menjelaskan semuanya… nanti.”
Aku tahu itu bukan jawaban yang aku inginkan, tapi setidaknya itu adalah janji. Dan untuk saat ini, itu cukup.
Malam itu, aku kembali ke asrama dengan pikiran penuh. Mesin waktu Arvin bukan sekadar eksperimen. Ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bahkan dia sendiri mungkin belum sepenuhnya pahami. Tapi satu hal yang aku tahu pasti: aku tidak akan membiarkannya menghadapi semua ini sendirian.
Ketika Waktu Berhenti
Aku berdiri di depan jendela asramaku, memandangi bulan yang tertutup awan tipis. Pikiranku tak bisa berhenti memutar ulang percakapan dengan Arvin di laboratorium semalam. Jelas ada sesuatu yang dia sembunyikan. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar ambisi pribadi atau sekadar eksperimen biasa.
Keesokan paginya, aku berjalan ke aula kampus. Seperti biasa, aula dipenuhi oleh siswa-siswa yang sibuk dengan rutinitas masing-masing. Tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Semua orang berbisik-bisik, dan suasana terasa lebih… intens.
Aku mendekati Kai yang sedang bersandar di salah satu tiang aula. Dia menyilangkan tangan di dada sambil menatap papan pengumuman.
“Ada apa?” tanyaku penasaran.
Dia menoleh sebentar, lalu mengangguk ke arah papan itu. “Lihat sendiri.”
Aku berjalan mendekat, dan mataku segera tertuju pada poster besar yang baru dipasang. “Kompetisi Proyek Inovasi Teknologi Akademi Renzova – Hadiah Utama: Pendanaan Proyek Tanpa Batas.”
Aku menghela napas. Kompetisi tahunan itu memang selalu menjadi puncak dari kehidupan akademis di Renzova. Tapi yang membuatku lebih kaget adalah nama yang terdaftar di posisi pertama peserta: Arvin Lestaros.
“Tentu saja dia ikut,” gumamku. Aku mencoba mencari namaku di daftar, tapi jelas aku belum mendaftar.
“Jadi, kamu nggak ikut?” tanya Kai tiba-tiba dari belakangku.
Aku menggeleng pelan. “Aku belum yakin. Tapi Arvin… Dia pasti ikut dengan mesin waktunya.”
Kai tersenyum tipis. “Kamu tahu, Vega, kalau Arvin menang, dia mungkin akan meninggalkan kita semua. Dia selalu terlihat seperti seseorang yang tidak benar-benar ada di sini.”
Aku tahu maksud Kai, tapi aku tidak bisa berhenti memikirkan kata-katanya. Arvin bukan tipe orang yang peduli pada pengakuan. Jika dia ikut, pasti ada alasan lebih besar di balik itu.
Sore itu, aku memutuskan untuk mengunjungi laboratorium lagi. Aku tahu risikonya, tapi rasa ingin tahu ini terlalu besar untuk diabaikan. Saat aku masuk, aku menemukan Arvin sedang berdiri di depan mesinnya. Dia terlihat lebih lelah dari biasanya, dengan lingkaran hitam di bawah matanya.
“Vega,” katanya tanpa menoleh. “Aku tahu kamu akan datang.”
Aku mendekat, mencoba melihat apa yang sedang dia kerjakan. “Jadi, kamu ikut kompetisi itu?”
Dia mengangguk pelan. “Aku harus.”
“Kenapa? Kamu bukan tipe orang yang peduli pada penghargaan atau dana.”
Dia terdiam sejenak, lalu menoleh padaku. “Aku ikut bukan untuk menang. Aku ikut karena aku butuh akses ke energi skala besar yang hanya bisa diberikan oleh fasilitas kampus.”
Aku mengernyit. “Energi? Untuk apa?”
Arvin menatapku dengan ekspresi serius. “Mesin ini hampir selesai. Tapi untuk mengaktifkannya sepenuhnya, aku butuh sumber energi yang bisa menstabilkan distorsi temporal. Dan satu-satunya cara untuk mendapatkannya adalah melalui kompetisi ini.”
Aku menggeleng tak percaya. “Arvin, kamu sadar kan kalau ini gila? Kamu sedang bermain dengan waktu. Apa kamu tahu risikonya?”
Dia tersenyum tipis, senyum yang tidak membuatku tenang sama sekali. “Aku tahu semua risikonya, Vega. Tapi aku juga tahu apa yang aku lakukan. Aku sudah mempelajari ini selama bertahun-tahun.”
Aku ingin marah, tapi sebagian diriku mengerti. Arvin adalah orang yang selalu berpikir seribu langkah lebih maju dari orang lain. Tapi tetap saja, ini bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh.
“Apa kamu tahu apa yang akan terjadi kalau kamu gagal?” tanyaku pelan.
Dia menatapku lama, lalu menjawab dengan suara rendah. “Kalau aku gagal, semuanya akan berakhir.”
Kata-katanya membuat tenggorokanku tercekat. Aku ingin memintanya berhenti, tapi aku tahu itu mustahil. Arvin bukan orang yang akan mundur begitu saja.
Hari kompetisi tiba lebih cepat dari yang aku duga. Aula utama kampus disulap menjadi ruang pameran besar, dengan meja-meja penuh prototipe dan alat-alat canggih. Tapi perhatian semua orang terpusat pada panggung utama, tempat mesin waktu Arvin berdiri megah.
Aku berdiri di antara kerumunan, jantungku berdegup kencang. Arvin melangkah ke atas panggung dengan percaya diri, meskipun aku tahu dia pasti merasa gugup.
“Selamat datang di demonstrasi saya,” katanya, suaranya terdengar mantap. “Hari ini, saya akan menunjukkan kepada kalian semua bahwa waktu bukanlah batasan. Waktu adalah alat, dan kita bisa mengendalikannya.”
Aku merasa tenggorokanku mengering. Arvin menekan beberapa tombol di panel mesinnya, dan bola kristal di tengah mesin mulai bersinar. Cahaya itu semakin terang, membuat seluruh aula terdiam.
“Aku tidak percaya dia benar-benar melakukannya,” bisik Kai di sampingku.
Saat roda gigi mesin mulai berputar lebih cepat, aku merasakan udara di sekitar kami berubah. Suara berdengung memenuhi ruangan, dan bola kristal tiba-tiba memancarkan cahaya yang begitu terang hingga aku harus menutup mata.
Tiba-tiba, semuanya berhenti. Waktu… benar-benar berhenti.
Aku membuka mataku perlahan dan melihat sekeliling. Semua orang di aula membeku, seperti patung. Hanya aku dan Arvin yang masih bergerak. Dia berdiri di tengah panggung, menatapku dengan tatapan penuh kemenangan.
“Ini adalah kekuatan waktu, Vega,” katanya pelan. “Dan sekarang, aku akan membuktikan bahwa aku bisa mengubahnya.”
Aku hanya bisa berdiri terpaku, menyadari bahwa apa yang terjadi di depan mataku bukan lagi sekadar eksperimen. Ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar… dan mungkin jauh lebih berbahaya.
Kekuatan yang Tak Terduga
Aku merasakan detak jantungku semakin cepat, setiap detiknya terasa lebih berat. Arvin berdiri di sana, dengan senyum yang semakin lebar, saat dunia di sekitar kami terhenti. Aku bisa melihat dia menggerakkan tangannya, seolah-olah mengendalikan segala hal yang membeku di sekitarnya. Semua orang di aula—semua yang tadinya penuh dengan suara—terdiam begitu saja.
Kita hanya berdua.
“Apa yang kamu lakukan?” suaraku serak, berusaha tetap tenang meski kenyataannya aku merasa terperangkap dalam sesuatu yang tak bisa kujelaskan. Waktu itu sendiri bagaikan kekuatan hidup yang tiba-tiba bisa dicabut dariku.
Arvin menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan. “Aku melakukan apa yang aku impikan sejak lama. Aku mengendalikan waktu, Vega. Ini bukan hanya tentang mesin ini. Ini tentang mengubah masa lalu, masa depan, dan bahkan sekarang.”
Aku ingin berteriak, ingin berlari, tetapi tubuhku terasa sangat kaku. Mungkin karena takut, mungkin juga karena rasa ingin tahu yang lebih besar dari rasa takut itu sendiri. Aku ingin tahu apa yang ada di balik semua ini.
“Arvin, kamu harus menghentikan ini,” kataku, berusaha agar suaraku tetap terdengar tegas. “Apa yang kamu lakukan bisa merusak segalanya.”
Dia menoleh padaku, tapi kali ini senyumnya tak seterik dulu. Ada sedikit keraguan di matanya, meski hanya sekejap. “Aku tahu risiko itu. Tapi tak ada yang akan tahu kecuali aku mencoba. Tak ada yang pernah benar-benar mencoba untuk mengubah waktu. Semua orang takut pada konsekuensinya. Tapi aku tidak.”
“Tak ada yang bisa mengubah waktu begitu saja. Ini bukan permainan, Arvin,” jawabku, kali ini dengan nada yang lebih keras. Aku tahu dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri dengan kata-katanya, dan aku tidak ingin membiarkannya terus tenggelam dalam ilusi itu.
Arvin terdiam sejenak, dan aku bisa melihat pikirannya sedang berputar cepat. “Kamu benar,” katanya pelan. “Tapi aku sudah di sini. Terlalu jauh untuk mundur.”
Aku merasakan ketegangan yang mengalir di udara. Waktu yang terhenti seperti ini bukanlah keadaan yang normal. Ini adalah kekuatan yang bisa mengubah segalanya—bukan hanya realitas, tapi bahkan seluruh konsekuensi dari setiap pilihan yang pernah dibuat.
“Arvin,” aku menatapnya, “kamu tidak sendirian di dunia ini. Ada orang-orang yang peduli padamu. Kamu tidak bisa hanya mengubah semuanya begitu saja tanpa memikirkan dampaknya.”
Dia menatapku lebih dalam, dan ada keheningan yang lama antara kami. Aku tahu itu adalah saat yang sangat berat untuknya. Terkadang, ketika seseorang sudah berada terlalu dalam dalam suatu obsesi, dia tak bisa melihat jalan keluar.
“Tapi aku sudah kehilangan banyak waktu, Vega. Dan aku tidak bisa membiarkan itu sia-sia.”
Dengan satu gerakan cepat, dia mengaktifkan kembali mesin itu, dan aku merasakan goncangan hebat saat bola kristal itu bersinar terang sekali lagi. Cahaya itu menyebar ke seluruh aula, dan aku bisa merasakan waktu mulai bergerak lagi. Perlahan tapi pasti, orang-orang di sekitar kami mulai bergerak, dan suara kembali memenuhi ruangan.
Namun, aku bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tidak semestinya. Ada kekosongan di antara Arvin dan aku, seperti jarak yang tak bisa dijembatani. Seperti ada garis waktu yang berbeda antara kami—garis waktu yang aku tak bisa mengikuti.
“Arvin,” aku berbisik, “apa yang kamu ubah? Apa yang sudah kamu ubah?”
Dia tidak menjawab. Dia hanya menatapku dengan pandangan kosong, dan aku tahu saat itu, aku kehilangan Arvin.
Saat mesin berhenti menyala, aula kembali tenang. Waktu berjalan normal, seperti sebelumnya. Orang-orang di sekitar kami tidak menyadari apa yang baru saja terjadi, kecuali aku dan Arvin. Semua kembali seperti semula—namun berbeda.
Aku melangkah mundur, perasaan campur aduk menguasai diriku. Arvin sudah mengubah sesuatu yang tak bisa dikembalikan. Dunia yang aku kenal, waktu yang aku pahami, semuanya terasa seperti teka-teki yang pecah.
“Vega,” suara Arvin terdengar lemah di belakangku. “Aku… aku tidak tahu apa yang aku lakukan. Aku hanya ingin—”
Aku berhenti dan menatapnya. Dia tampak rapuh, lebih rapuh dari yang aku bayangkan. “Arvin, kamu harus bertanggung jawab atas apa yang kamu lakukan.”
Tapi dia hanya mengangguk, matanya kosong. Ada ketidaksadaran yang kurasakan dari sikapnya. Arvin sudah berhasil menciptakan dunia baru, tapi dia tidak lagi merasa menjadi bagian darinya.
“Jika kamu ingin memperbaikinya, kita harus bersama-sama mencari cara,” kataku, suara bergetar. “Kita tidak bisa mengubah segala sesuatunya sendirian.”
Arvin mengangkat wajahnya perlahan, matanya yang kosong kini mulai terlihat lebih jelas. Aku bisa melihat bahwa dia mendengarkan, meskipun ragu. Kami berdiri di sana, dua orang yang telah menciptakan perubahan besar, namun tidak tahu apakah kami bisa mengembalikannya.
Namun satu hal yang pasti, dunia yang baru ini tidak akan pernah sama lagi. Dan entah bagaimana, aku merasa bahwa aku tidak bisa meninggalkan Arvin begitu saja. Ini adalah perjalanan yang harus kami tempuh bersama.
Dengan langkah berat, kami berbalik dan berjalan ke luar aula, menatap masa depan yang kini terbuka lebar di depan kami—saat dunia dan waktu tidak lagi memiliki batas.
Akankah kami bisa memperbaiki semuanya? Atau apakah ini hanya awal dari sebuah kekacauan yang lebih besar?
Hanya waktu yang bisa memberi jawabannya.
Jadi, apa kamu masih percaya bahwa waktu itu tak tergantikan? Atau justru, kamu mulai berpikir kalau mungkin, ada kesempatan kedua di luar sana? Arvin udah ngerasain betapa beratnya mengubah takdir, dan siapa tahu, kadang perubahan terbesar datang dari keputusan-keputusan kecil yang kita ambil.
Tapi, apakah semua yang kita ubah selalu berakhir baik? Cuma waktu yang bakal kasih jawabannya. Sampai jumpa di cerita berikutnya, siapa tahu, kita bisa belajar lebih banyak tentang bagaimana kita semua terhubung lewat pilihan yang nggak pernah kita sadari.