Menghidupkan Kembali Permainan Nyata: Cerita Seru Tentang Pemuda Masa Kini yang Melawan Era Digital

Posted on

Di zaman sekarang, kebanyakan anak muda lebih asyik scroll layar ketimbang main bareng di dunia nyata. Taman-taman yang dulu ramai sekarang berubah jadi tempat duduk-duduk sambil menatap ponsel. Tapi gimana kalau ada sekelompok pemuda yang nggak mau kalah sama teknologi dan berusaha menghidupkan kembali keseruan masa kecil mereka?

Cerpen ini bakal ngajak kamu nostalgia ke era permainan beneran—bukan sekadar skor di game online, tapi tawa, keringat, dan momen seru bareng teman-teman. Yuk, simak kisah mereka yang berusaha bikin dunia nyata tetap asik di tengah gempuran digital!

Menghidupkan Kembali Permainan Nyata

ANTARA NOTIFIKASI DAN LINTASAN RODA

Sore itu, langit mulai berwarna jingga, memberikan semburat keemasan di atas taman kota. Angin berhembus sejuk, menggoyangkan dedaunan yang mulai berguguran di pinggir lintasan sepatu roda. Di tengah suasana tenang itu, suara roda beradu dengan aspal terdengar berulang kali, sesekali diselingi tawa lepas dan teriakan penuh semangat.

“Woy, Damar! Balapan nggak?!” seru Keenan sambil meluncur mendekati teman-temannya yang duduk di bangku kayu di pinggir lintasan.

Damar meneguk air dari botol minumnya dan menyeringai. “Aku pikir kamu udah kapok kalah mulu?”

Keenan mendengus, memasang ekspresi tertantang. “Kali ini beda. Aku udah latihan diam-diam.”

“Yakin, Ken?” Gendis terkikik sambil mengikat ulang tali sepatunya. “Jangan sampai nantinya malah ngejedug aspal lagi, ya.”

Arta yang duduk di samping Damar langsung tertawa keras. “Iya! Terakhir kali kamu tantangin Damar, kamu nyungsep ke semak-semak, bro.”

Keenan memutar matanya kesal, tapi tetap tersenyum. “Ah, udah lah! Ayo balapan, siapa takut?”

Damar berdiri, meregangkan kakinya sedikit sebelum memasang sepatunya lebih erat. “Oke, tapi jangan nangis kalo kalah lagi.”

Lintasan sepatu roda taman itu tidak terlalu ramai sore ini. Hanya ada mereka dan beberapa orang lain yang lebih banyak sibuk duduk-duduk atau sekadar berjalan-jalan di sekitar. Dulu, tempat ini selalu penuh dengan anak-anak yang berlari-larian, bermain kejar-kejaran atau naik sepeda bersama. Sekarang, kebanyakan lebih memilih duduk di bangku, menunduk ke layar ponsel mereka.

Damar menatap sekilas ke arah sekelompok anak muda yang duduk berjejer di bawah pohon rindang. Tak ada satu pun yang bicara. Beberapa memasang earphone, sibuk dengan video yang entah apa, sementara lainnya sibuk mengetik atau sekadar menggulir layar tanpa ekspresi.

Gendis yang melihat arah pandangan Damar ikut menghela napas pelan. “Dulu taman ini nggak sesepi ini, ya?”

Damar menoleh, mendapati Gendis menatap ke arah yang sama dengannya.

“Kamu sadar juga?” tanya Damar.

Gendis mengangguk. “Dulu anak-anak main bola di lapangan sana, ada juga yang bawa layangan. Sekarang?” Ia melirik anak-anak yang duduk diam dengan ponsel mereka. “Aku nggak bilang main hape itu salah, tapi…”

“Tapi orang jadi lupa cara main beneran,” potong Arta sambil menyandarkan tubuhnya ke bangku.

Keenan ikut menimpali. “Iya. Dulu waktu kecil kita dilarang main hape biar lebih banyak main di luar. Sekarang, kita yang main di luar malah dibilang ketinggalan zaman.”

Damar terkekeh kecil, menendang ringan aspal di bawahnya dengan roda sepatunya. “Mungkin nanti bakal ada kelas khusus di sekolah buat ngajarin anak-anak cara main bareng tanpa hape.”

Arta tertawa. “Wah, bayangin aja, ada pelajaran ‘Cara Main Petak Umpet 101’ atau ‘Teknik Main Kelereng yang Baik dan Benar’.”

Gendis ikut tertawa kecil, tapi ada sedikit nada prihatin di dalamnya. “Tapi beneran deh, aku kadang ngerasa kehilangan sesuatu. Kayak… ada sesuatu yang hilang dari masa kecil kita yang nggak bisa didapetin generasi setelah kita.”

Hening sejenak. Keempatnya sama-sama memandang ke arah taman yang dulu penuh kenangan. Tak ada lagi anak-anak yang berlomba lari, tak ada suara teriakan antusias saat seseorang menang lomba lompat tali, tak ada lagi yang berkumpul berkeliling di lapangan kecil hanya untuk menentukan siapa yang bakal jadi ‘penjaga’ dalam permainan bentengan.

Tiba-tiba, suara roda yang berdecit tajam membuyarkan lamunan mereka. Keenan sudah bersiap di garis awal lintasan, melirik Damar dengan ekspresi penuh keyakinan.

“Yuk lah, udah nostalgia mulu!” serunya. “Balapan atau nggak, nih?”

Damar tersenyum dan segera meluncur ke sampingnya. “Oke, ayo kita buat taman ini hidup lagi, meskipun cuma dengan suara roda kita.”

Arta mengangkat tangannya, bersiap memberi aba-aba. “Satu… dua… TIGAAA!”

Damar dan Keenan langsung melesat, angin berhembus kencang saat mereka melaju cepat di atas lintasan. Mereka tak peduli siapa yang menang atau kalah. Yang mereka tahu, di momen ini, mereka masih bisa menikmati permainan yang sesungguhnya—sesuatu yang tak bisa diberikan oleh layar ponsel atau notifikasi media sosial.

Dan sore itu, taman yang hampir mati kembali mendengar tawa anak muda, meskipun hanya untuk sesaat.

TAMAN YANG KIAN SEPI

Keenan terengah-engah saat akhirnya meluncur ke garis akhir, hanya beberapa detik setelah Damar sampai lebih dulu. Ia membungkuk, bertumpu pada lututnya sambil berusaha mengatur napas.

“Lagi-lagi kalah,” gumamnya kesal, tapi senyum tetap mengembang di wajahnya.

Damar menepuk bahu Keenan sambil tertawa. “Setidaknya sekarang kamu nggak nyungsep ke semak-semak.”

Arta dan Gendis yang menyaksikan dari pinggir lintasan ikut bersorak riuh. “Kamu nggak menang, tapi minimal udah bikin perkembangan, Ken!” kata Gendis sambil terkikik.

“Perkembangan apaan? Aku tetap aja kalah,” balas Keenan sambil nyengir.

Saat mereka tertawa bersama, sebuah suara notifikasi terdengar nyaring dari bangku taman tak jauh dari mereka. Sekelompok anak muda yang tadi hanya duduk-duduk langsung reflek menengok ke ponsel masing-masing. Beberapa dari mereka tersenyum kecil, beberapa lainnya mengetik dengan cepat, seakan sedang terlibat dalam percakapan yang lebih penting dari apa pun yang ada di dunia nyata.

Damar memperhatikan mereka sebentar, lalu duduk di bangku terdekat. Ia bersandar, menatap langit yang mulai berubah warna, sambil menghela napas panjang. “Gimana, ya? Aku ngerasa kita makin asing sama orang-orang seumuran kita sendiri.”

Arta menoleh ke arah sekelompok anak muda yang sibuk dengan ponselnya, lalu mengedikkan bahu. “Bukan kita yang asing, Mar. Mereka yang udah terlalu nyaman di dunia mereka sendiri.”

Keenan ikut duduk di samping Damar. “Kita juga main hape, tapi nggak separah itu, kan?”

“Bukan soal main hapenya, sih,” Gendis menyandarkan tubuhnya ke bangku. “Masalahnya, mereka lupa kalau dunia nyata ini juga ada.”

Damar mengangguk pelan. “Aku ingat dulu waktu kecil, taman ini rame banget. Ada yang main bola, ada yang lari-larian, bahkan ada abang-abang jualan yang sampe kehabisan dagangan.”

Mereka berempat terdiam sejenak, membiarkan suara angin dan gemerisik dedaunan menggantikan obrolan. Taman ini masih ada, lintasan sepatu roda masih terawat, dan bangku-bangku masih berdiri kokoh. Tapi atmosfernya berbeda. Tidak ada keriuhan khas masa kecil mereka, tidak ada anak-anak yang berebut giliran main, tidak ada suara tangis gara-gara kalah lomba lari atau suara riang saat menemukan teman baru.

Damar melemparkan pandangannya ke langit. “Dulu, aku selalu berpikir taman ini bakal selalu penuh.”

Gendis menatapnya. “Kamu kira bakal kayak gimana?”

Damar tersenyum kecil, ada sedikit rasa getir di dalamnya. “Aku kira kita bakal tumbuh besar di sini, bareng anak-anak lain. Aku pikir nanti bakal ada generasi setelah kita yang nerusin kebiasaan ini. Tapi ternyata nggak.”

Arta menghela napas. “Mungkin dunia kita emang udah berubah.”

Keenan menyikut lengannya pelan. “Iya, tapi bukan berarti kita harus berhenti main, kan?”

Damar menoleh ke arah Keenan yang masih memasang senyum santainya. “Aku nggak bilang kita harus berhenti.”

“Lagian,” lanjut Keenan, “mungkin kita bisa bikin sesuatu biar taman ini hidup lagi.”

Gendis mengangkat alis. “Bikin sesuatu? Maksudnya?”

Keenan mengangkat bahu. “Aku nggak tahu. Tapi rasanya terlalu sayang kalau kita cuma diem aja ngelihat taman ini berubah jadi tempat nongkrong yang nggak ada suaranya.”

Damar menatap taman di hadapannya. Sesuatu berputar di kepalanya—sebuah ide, mungkin. Ia tidak tahu pasti apakah itu bisa berhasil atau tidak, tapi setidaknya, mereka bisa mencoba.

Matahari semakin turun, dan langit berubah menjadi perpaduan oranye dan ungu. Tapi di dalam kepala Damar, sesuatu mulai muncul. Sesuatu yang bisa membawa kembali suara ke taman yang hampir mati ini.

JATUH, BANGKIT, DAN TERTAWA

Malam itu, setelah pulang dari taman, Damar duduk di depan laptopnya. Ia membuka media sosial, menatap layarnya beberapa saat sebelum mulai mengetik sesuatu.

Dulu, taman kota ini adalah tempat paling seru. Tempat di mana anak-anak lari-larian, suara tawa menggema, dan kita bisa jatuh-bangun sambil main tanpa peduli waktu. Sekarang? Hanya sekadar tempat duduk dan scroll hape. Gimana kalau kita bikin tempat ini hidup lagi? Minggu sore, kita main sepatu roda bareng. Gak perlu jago, gak perlu malu. Yang penting, kita main bareng lagi. Berani?

Damar membaca ulang tulisannya, lalu menekan tombol unggah.

Ia tidak terlalu berharap banyak. Mungkin hanya Gendis, Keenan, dan Arta yang bakal datang, atau mungkin beberapa orang lain yang penasaran. Tapi di dalam hatinya, ada harapan kecil bahwa masih ada orang-orang yang merindukan permainan nyata.


Hari Minggu pun tiba. Sore itu, langit cerah, dengan angin sepoi-sepoi yang sempurna untuk bermain di luar. Damar tiba di taman lebih awal, mengenakan sepatu rodanya dan mulai melakukan pemanasan.

Tak lama, Keenan, Gendis, dan Arta datang. “Gimana?” tanya Arta, melirik sekeliling taman yang masih tampak sepi.

Damar mengangkat bahu. “Entah. Mungkin cuma kita yang datang.”

Gendis menepuk bahunya. “Yaudah, kalaupun cuma kita, setidaknya kita masih bisa seru-seruan, kan?”

Baru saja mereka bersiap untuk mulai bermain, seseorang tiba-tiba datang menghampiri. Seorang cowok dengan hoodie abu-abu, membawa sepatu roda di tangannya. “Ini bener tempat buat main sepatu roda, kan?” tanyanya ragu.

Damar menatapnya sebentar, lalu tersenyum. “Iya. Mau gabung?”

Cowok itu mengangguk. Tak lama kemudian, datang lagi dua orang cewek yang juga membawa sepatu roda, lalu sekelompok anak laki-laki yang tampak penasaran, meski tidak membawa perlengkapan apa pun.

“Eh, ternyata ada yang beneran datang,” bisik Keenan sambil menyikut lengan Damar.

Damar tertawa kecil. “Ya, meskipun masih dikit.”

Mereka mulai bermain. Yang sudah jago meluncur dengan percaya diri, sementara yang baru pertama kali mencoba masih canggung dan sering hampir jatuh. Taman yang tadinya sunyi mulai dipenuhi suara roda berdecit, tawa, dan sesekali teriakan panik saat seseorang hampir terjungkal.

Salah satu anak baru, seorang cewek berkacamata, tiba-tiba kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk di tengah lintasan. “Aduh!”

Gendis segera menghampirinya. “Kamu nggak apa-apa?”

Cewek itu mengusap lututnya yang sedikit tergores, lalu tertawa kecil. “Kayaknya aku terlalu kaku.”

“Gapapa! Justru jatuh itu bagian paling seru,” sahut Keenan dari kejauhan.

Cewek itu tersenyum dan mencoba bangkit lagi. Tidak ada yang merasa malu karena jatuh. Tidak ada yang sibuk menunduk ke layar. Semua orang di taman itu tertawa, membantu satu sama lain, dan menikmati permainan dengan cara yang tidak bisa diberikan oleh dunia digital.

Matahari mulai tenggelam, tapi tidak ada yang ingin pulang terlalu cepat. Damar menatap sekeliling, melihat bagaimana taman ini perlahan hidup kembali, meskipun masih jauh dari keramaian masa kecilnya dulu.

Tapi ini awal yang baik.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, taman ini kembali dipenuhi suara tawa anak muda.

MENGHIDUPKAN KEMBALI PERMAINAN NYATA

Hari sudah semakin gelap, tetapi tidak ada yang langsung beranjak pulang. Lampu-lampu taman mulai menyala, menerangi lintasan sepatu roda yang masih dipenuhi anak muda yang tertawa dan bercanda satu sama lain.

Damar duduk di bangku kayu sambil mengatur napas. Gendis duduk di sampingnya, membetulkan tali sepatunya yang sedikit longgar. “Seru banget,” katanya dengan senyum lebar. “Aku nggak nyangka bakal sebanyak ini yang datang.”

Damar mengangguk, menatap orang-orang yang masih asyik bermain. “Aku juga. Awalnya kupikir bakal cuma kita berempat.”

Keenan meluncur mendekat, menyeka keringat di dahinya. “Bro, kalau kita bikin ini rutin tiap minggu, kira-kira bakal makin rame nggak, ya?”

Arta yang ikut duduk di bangku mengangguk mantap. “Harusnya sih iya. Buktinya aja yang awalnya cuma kita, sekarang ada belasan orang.”

Damar terdiam sebentar, memikirkan ucapan Keenan. Ide itu terdengar menarik—membuat permainan di dunia nyata kembali hidup. Mungkin sepatu roda hanya permulaan.

“Gimana kalau kita nggak cuma sepatu roda?” Damar akhirnya bersuara.

Gendis menoleh dengan alis terangkat. “Maksudnya?”

Damar mengedikkan bahu. “Ya… kita bikin ini lebih besar. Nggak cuma sepatu roda, tapi juga permainan lain. Main bentengan, petak umpet, gobak sodor, atau apapun yang dulu kita mainkan waktu kecil.”

Keenan berseru, “Gila! Itu bakal keren banget! Aku udah lama nggak main bentengan.”

Arta terkekeh. “Sama, bro. Terakhir kali aku main bentengan kayaknya waktu SD.”

Gendis tampak berpikir sebentar, lalu tersenyum. “Itu ide bagus, Mar. Kita bisa ngajak lebih banyak orang. Biar mereka ngerasain lagi gimana rasanya main beneran.”

Damar menatap taman di hadapannya. Malam ini, mereka telah membuktikan bahwa masih ada orang-orang yang ingin bermain tanpa harus bergantung pada layar. Dan jika mereka bisa membuat ini terus berjalan, mungkin suatu hari taman ini akan kembali penuh seperti dulu.

“Jadi, minggu depan?” tanya Keenan dengan mata berbinar.

Damar tersenyum. “Minggu depan.”

Dan dengan itu, mereka tidak hanya mengembalikan permainan nyata ke dalam hidup mereka, tetapi juga memberi kesempatan bagi generasi mereka untuk merasakan kembali serunya masa kecil yang sempat hilang.

Taman ini akan hidup lagi.

Dan mereka akan memastikan itu terjadi.

Di tengah dunia yang semakin digital, cerita ini ngingetin kita kalau keseruan nggak selalu ada di layar ponsel. Kadang, momen paling berharga justru terjadi saat kita benar-benar hadir di dunia nyata—tertawa, jatuh, bangkit, dan berbagi kebahagiaan bareng teman-teman.

Jadi, kapan terakhir kali kamu main beneran tanpa gangguan notifikasi? Mungkin ini saatnya buat lepas sebentar dari dunia digital dan nikmatin permainan nyata lagi. Karena kenangan terbaik bukan yang tersimpan di galeri, tapi yang hidup dalam hati.

Leave a Reply