Menghadapi Ketidakpastian: Cerpen Kehidupan Sehari-Hari yang Menginspirasi dan Menyentuh

Posted on

Kadang hidup itu nggak ada petunjuknya, ya. Kita cuma jalanin aja, bingung, galau, tapi tetep aja berusaha menikmati apa yang ada. Cerita ini bakal ngingetin kamu kalau, meskipun ketidakpastian itu pasti ada, kita masih punya cara buat nikmatin setiap detik yang lewat.

Siapa tahu, kamu juga bisa nemuin sedikit ketenangan kayak Arya yang lagi coba berdamai sama hidupnya. Jadi, siap nggak buat jalanin hari-hari dengan cara yang berbeda?

 

Menghadapi Ketidakpastian

Kopi Hitam dan Pagi yang Terlambat

Pagi itu dimulai dengan sedikit keterlambatan. Arya bangun dengan mata yang berat, seolah dunia tahu kalau ia tak ingin menjalani hari. Rasanya, segala hal yang dilakukannya sejak beberapa hari terakhir terasa seperti rutinitas yang dijalani tanpa semangat. Ia membuka jendela kamar, membiarkan udara pagi yang agak dingin menyentuh kulitnya, meski hanya sebentar. Di luar, jalanan mulai dipenuhi orang-orang yang berangkat kerja, ada yang terburu-buru, ada yang santai, dan ada juga yang sepertinya tak peduli dengan waktu. Arya hanya menatap mereka dari balik jendela, lalu menutupnya kembali dengan malas.

Ponsel di meja tidurnya bergetar, dan layar menunjukkan pesan dari Tama.

“Bro, ngopi yuk. Aku udah di warung kopi.”

Arya menatap pesan itu sejenak. Tidak ada yang spesial dengan ngopi pagi bersama Tama. Mereka sudah sering melakukannya, hanya untuk menghabiskan waktu tanpa beban. Namun, pagi itu, entah kenapa, sesuatu yang sangat sederhana itu terasa seperti hal yang paling ditunggu.

“Ngopi aja, lah,” gumamnya sambil berdiri dan meraih jaket yang tergantung di lemari.

Dua puluh menit kemudian, Arya sudah duduk di warung kopi kecil yang menjadi tempat favorit mereka. Tempat itu selalu ramai, dengan aroma kopi yang menyebar memenuhi udara. Aroma yang kadang bisa membuat Arya merasa sedikit hidup, meski tubuhnya sering kali tidak mendukung. Pagi itu, aroma kopi terasa lebih kuat dari biasanya, seolah ingin memberitahunya bahwa hari ini akan berbeda, atau mungkin memang hanya perasaan itu saja.

Tama sudah duduk di meja yang biasa, dengan secangkir cappuccino di tangan. Dari cara Tama memegang gelas itu, Arya bisa menebak bahwa sahabatnya itu sudah berada di sana cukup lama. Tama, yang memang tipe orang yang selalu datang lebih awal. Tak ada yang aneh, kecuali kenyataan bahwa di warung kopi itu, ada seorang yang duduk di meja sebelah yang mengenakan masker, menatap layar ponselnya dengan sangat fokus. Arya mencoba untuk tidak terlalu memikirkan hal itu dan langsung menatap ke arah Tama.

“Kenapa gue merasa lo makin kurus aja?” sapa Tama, langsung ke intinya.

Arya tertawa ringan. “Diet, bro. Pake stres,” jawabnya sambil menyeruput kopi hitam yang sudah datang. Kopi hitam, selalu jadi pilihan pertama setiap kali dia datang ke tempat ini. Seperti halnya Tama yang tak pernah bisa lepas dari cappuccino.

Tama mendekatkan wajahnya ke meja, menatap Arya dengan serius. “Tapi lo nggak usah bohong deh. Gue tahu, lo nggak lagi diet. Lo ada masalah, kan?”

Arya terdiam sejenak, menatap gelas kopinya. Ia tahu Tama selalu bisa melihat melalui apapun yang ia coba sembunyikan. Dalam diam, Arya merasa ada semacam perasaan berat yang menggelayuti dirinya, namun ia tak tahu harus bagaimana menjelaskan perasaan itu.

“Udah mulai ke dokter kan?” Tama melanjutkan, seolah tahu arah pikirannya.

Arya mengangguk pelan. “Iya, udah. Tapi… ya gitu deh.”

Tama tak bertanya lebih jauh. Mereka memang jarang membahas hal-hal yang terlalu personal. Tapi dari cara Tama menatapnya, Arya tahu sahabatnya itu paham kalau ada sesuatu yang sedang terjadi, sesuatu yang tak bisa dihindari. Mereka berdua hanya duduk dalam keheningan, menyesap kopi mereka, menikmati pagi yang meskipun agak aneh, tapi tetap terasa nyaman.

Hari itu, seperti biasa, diisi dengan percakapan ringan tentang berbagai hal. Dari tentang kerjaan, sampai hal-hal sepele yang tak pernah penting. Sesekali ada tawa yang terdengar keras dari meja sebelah, ada orang yang bercanda, atau sekelompok anak muda yang sibuk dengan ponselnya. Namun, Arya merasa hidupnya mulai berbeda. Semuanya terasa seperti menunggu sesuatu, menunggu waktu yang akan datang tanpa tahu kapan. Seolah-olah, ada yang sedang menghitung mundur di dalam dirinya, meski dia berusaha mengabaikannya.

Tama kembali membuka percakapan. “Lo tahu kan, hidup itu nggak bisa diprediksi. Bisa jadi kita ketemu orang yang nggak pernah kita bayangkan, bisa jadi kita mengalami hal-hal yang nggak pernah kita harapkan. Tapi hidup kan harus tetap dijalani, bahkan saat semuanya terasa berat.”

Arya tersenyum tipis. “Iya, gue tahu. Tapi kadang gue mikir, untuk apa semua ini? Kenapa gue harus lakuin hal yang nggak gue suka?”

Tama hanya mengangkat bahu. “Karena lo hidup, bro. Cuma itu yang bisa gue jawab.”

Arya menatap sahabatnya itu dengan tatapan kosong. Kadang memang jawabannya sesederhana itu, tapi kenapa terasa begitu rumit? Ada rasa takut yang tak bisa diungkapkan, rasa takut akan sesuatu yang akan datang, meski tak bisa dikendalikan.

Percakapan mereka terhenti saat seorang wanita datang ke warung kopi, terlihat buru-buru dan tampak seperti sedang mencari seseorang. Arya tidak terlalu memikirkan hal itu. Tetapi Tama yang melihatnya sempat melontarkan komentar ringan. “Lihat deh, orang-orang yang datang ke sini, kayaknya semua lagi mengejar sesuatu.”

Arya mengangguk pelan, dan dalam hatinya dia bertanya, Apakah gue sedang mengejar sesuatu juga? Namun, untuk menjawab pertanyaan itu, Arya tahu jawabannya belum jelas. Satu hal yang pasti, hari-hari ini semakin terasa lebih berat, meski dirinya berusaha seolah semuanya baik-baik saja.

Di luar, matahari semakin tinggi, dan Arya masih duduk di sana, memandangi dunia yang terus berputar tanpa tahu harus berbuat apa.

Hari itu, di tengah percakapan yang ringan dan kopi yang terasa lebih pahit, Arya tahu satu hal: terkadang, hidup ini memang perlu dinikmati meski tak tahu berapa lama lagi kita akan punya kesempatan untuk melakukannya.

 

Saat Bola Waktu Menggelinding

Hari-hari berlalu, namun rasa yang sama tetap menggelayuti Arya. Setiap pagi yang datang, ia mulai merasakan sesuatu yang tidak terungkapkan, sesuatu yang lebih berat dari sekadar tubuh yang lemah. Dulu, ia tak pernah terlalu memikirkan waktu—seakan-akan hari-hari akan selalu ada untuk dijalani. Tetapi kini, waktu seperti bergulir begitu cepat dan tak bisa dihentikan. Meski ia mencoba menutupi rasa itu, ada yang tak bisa disembunyikan.

Pagi itu, matahari bersinar cerah, tetapi Arya merasakan angin sejuk yang datang menerpa wajahnya seperti sapaan lembut. Sesuatu yang tidak sering ia rasakan. Ia berjalan menuju halte bus dengan langkah yang lebih pelan dari biasanya, merasa dunia sekitar bergerak dengan kecepatan yang tak bisa ia ikuti. Meskipun ia harus pergi ke tempat kerja, perasaan itu terus membayangi, dan seolah ada bagian dari dirinya yang ingin berlari, menghindar, melupakan sejenak kenyataan yang sudah ada.

Di halte, bus datang lebih cepat dari yang ia duga. Arya melangkah masuk dengan sedikit malas, dan memilih duduk di kursi dekat jendela. Tak ada yang istimewa, hanya suara bising kendaraan, percakapan orang-orang, dan beberapa iklan yang terpasang di luar jendela. Ia menatap jalanan yang terbentang luas, tetapi pikirannya tetap melayang, jauh dari tempat itu.

Tama mengirim pesan lagi.

“Udah sampai kantor? Ngopi lagi nanti sore?”

Arya menekan tombol balas.

“Iya, sampe. Mungkin nanti. Ngopi aja, ya.”

Pesan itu sudah cukup, tak perlu penjelasan lebih lanjut. Arya tak ingin berlama-lama berbicara soal hal-hal yang lebih rumit, biar saja semuanya berjalan dengan sendirinya. Seperti biasanya, pertemuan sore hari dengan Tama menjadi kesempatan untuk melupakan segala hal yang tak ingin dihadapi.

Pekerjaan di kantor berjalan seperti biasa. Tidak ada yang luar biasa. Komputer di depan, tumpukan dokumen, dan percakapan-percakapan yang terasa lebih datar dari biasanya. Setiap kali Arya berusaha fokus, pikirannya kembali melayang, membayangkan hari-hari yang akan datang, yang seolah sudah dijadwalkan tanpa persetujuan darinya.

Saat waktu menunjukkan pukul lima sore, Arya pun melangkah keluar dari kantor menuju warung kopi. Udara sudah mulai dingin, dan langit tampak memerah, pertanda bahwa matahari akan segera terbenam. Tidak banyak orang yang ada di warung kopi saat ia sampai, hanya beberapa meja yang terisi oleh pelanggan yang sibuk dengan ponsel mereka.

Tama sudah duduk di meja pojok, secangkir cappuccino di depannya. Kali ini, wajah Tama terlihat sedikit lebih serius, tak seperti biasanya yang selalu penuh tawa.

“Lo kenapa? Kok diem banget,” ujar Arya, sambil duduk dan menyandarkan tubuh pada kursi.

Tama mengangkat gelas cappuccino-nya, menatap Arya sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Lo pernah mikir nggak sih, kalau hidup itu kayak bola yang terus bergulir tanpa lo bisa berhentiin?”

Arya terdiam, sedikit bingung dengan pertanyaan Tama yang tiba-tiba. “Maksud lo?”

Tama menyeringai sedikit. “Ya, maksud gue, kita selalu dikejar waktu. Kita selalu berusaha untuk ‘menang’ tapi kadang nggak sadar, kita udah dikejar terus. Lo tahu kan, hari-hari lo mulai bergulir tanpa bisa lo kontrol?”

Arya menatapnya, dan untuk pertama kalinya, kalimat Tama terasa seperti pukulan ringan yang langsung masuk ke dalam kepala. Benar juga. Hidup seolah-olah diputar dengan kecepatan yang tak bisa dibendung. Setiap detik berlalu dengan cepat, dan ia tak tahu harus berbuat apa. Hari-hari terasa seperti bola yang menggelinding, terus bergerak tanpa ada yang bisa menghentikannya.

“Lo juga ngerasain itu, kan?” tambah Tama, lebih pelan.

Arya hanya mengangguk. “Iya, gue rasa semua orang pasti ngerasain yang sama.”

Tama menatap kosong ke luar jendela. “Jangan terlalu mikirin waktu, bro. Lo tahu hidup itu penuh ketidakpastian, jadi nggak ada gunanya juga khawatir tentang apa yang belum datang.”

Arya mencerna kata-kata Tama. Semakin ia berpikir, semakin terasa bahwa hidup ini memang tidak bisa diprediksi. Terkadang, ia merasa seperti seseorang yang sedang berlari mengejar sesuatu yang tak akan pernah bisa dicapai, padahal yang dibutuhkan mungkin hanya berhenti dan menikmati momen yang ada.

Tama lalu berdiri dan mengangkat gelasnya. “Hidup ini nggak lama, bro. Tapi itu bukan alasan buat kita berhenti menikmati setiap detiknya.”

Arya tersenyum, meskipun senyum itu terasa sedikit pahit. “Iya, lo benar.”

Mereka kembali duduk, membiarkan suasana warung kopi yang tenang mengelilingi mereka. Arya tahu bahwa hari-hari seperti ini akan terus berlalu, dan meskipun ada bagian dalam dirinya yang ingin berhenti dan menghindar, ia juga tahu bahwa hidupnya—seperti bola yang terus bergulir—harus diterima. Dan mungkin, justru dengan menerima ketidakpastian itu, ia bisa mulai menikmati perjalanan yang tak bisa dihentikan.

 

Di Sela Kesendirian

Malam itu, Arya kembali pulang lebih larut dari biasanya. Suasana rumah terasa sepi, hanya ada suara kipas angin yang berputar pelan di ruang tamu. Di luar, langit sudah gelap, namun tak ada bintang yang tampak. Seperti hidupnya, yang kadang terasa begitu kosong meski dunia terus berjalan.

Setelah melepas jaketnya, ia duduk di sofa ruang tamu, menatap layar ponsel yang kosong. Pesan-pesan yang ia terima sudah dibaca, namun tak ada yang ingin ia balas. Mungkin karena ia merasa sudah tidak tahu lagi harus berbicara apa. Ia pun memutuskan untuk menonton beberapa video yang tak penting di YouTube, berharap bisa melupakan perasaan kosong yang kembali menguasainya.

Namun, matanya tetap terfokus pada jam dinding yang berdetak pelan. Seiring waktu, perasaan yang sudah lama tersembunyi mulai muncul lagi. Sesuatu yang semakin hari semakin sulit untuk diabaikan. Rasa takut akan apa yang akan datang, atau lebih tepatnya, rasa takut akan ketidakpastian yang selalu menghantuinya. Apakah hari-harinya akan selalu seperti ini?

Kebisuan di rumahnya menjadi begitu menyakitkan. Arya tahu, meskipun banyak orang yang hadir di kehidupannya, ada bagian dari dirinya yang selalu merasa sendirian. Bahkan, saat ada Tama di sampingnya, ia merasa tidak ada yang benar-benar bisa memahami apa yang sedang dirasakannya. Begitu juga dengan pekerjaan, meskipun ia dikelilingi oleh banyak orang, tetap saja, tak ada yang tahu apa yang sedang terjadi di dalam dirinya.

Tama memang selalu menjadi tempat pelarian, sahabat yang selalu ada, tetapi Arya juga mulai merasa bahwa dia tidak bisa terus-menerus mengandalkan Tama. Ada kalanya, dia harus menghadapi semuanya sendiri. Dan, malam itu, di ruang tamu yang sunyi, Arya menyadari satu hal: tak ada lagi yang bisa dia hindari. Waktu yang ia coba lupakan akhirnya akan datang, dengan atau tanpa izin darinya.

Ponselnya berbunyi lagi. Pesan dari Tama.

“Bro, gue tau lo lagi diem banget, tapi lo jangan biarin diri lo nyelam terus. Kita harus ketemu lagi. Ada hal yang perlu lo denger.”

Pesan singkat itu membuat Arya terdiam. Sama seperti beberapa pesan sebelumnya, kali ini, ada yang berbeda. Tama selalu tahu cara untuk menenangkan dirinya, walaupun Arya tahu, perasaan itu hanya sementara. Untuk sesaat, ia merasa sedikit terhibur, dan sebuah keinginan untuk bertemu Tama muncul begitu saja.

Tanpa banyak berpikir, ia membalas pesan Tama.

“Oke, gue ke warung kopi lagi nanti. Sampai jam berapa?”

Tama membalas cepat.

“Sama jam sebelumnya, bro. Nanti gue tunggu.”

Arya tidak butuh alasan lebih untuk pergi. Tak ada yang lebih melegakan daripada berbicara dengan Tama—meski ia tahu bahwa percakapan itu kadang tidak membawa jawaban, tetapi setidaknya itu membuatnya merasa tidak sendiri. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan, tapi begitu nyata bagi Arya.

Sesampainya di warung kopi, langit malam sudah semakin gelap. Warung kopi masih terlihat ramai, dengan beberapa meja yang sudah terisi, namun di pojok, Tama tetap duduk sendiri, menunggu. Arya duduk di hadapannya, kali ini lebih tenang daripada sebelumnya. Mereka berdua tidak langsung berbicara, hanya menyapa dan mulai memesan kopi mereka. Kopi hitam untuk Arya, cappuccino untuk Tama. Keduanya sudah terbiasa dengan pesanan masing-masing.

Tama menyeruput kopinya, lalu memulai percakapan. “Lo tahu, kan, waktu itu terus bergerak tanpa peduli apa yang kita lakukan. Kadang kita lupa, kalau waktu itu adalah kesempatan yang nggak bisa kita ulang.”

Arya menatapnya sejenak, lalu mengangguk pelan. “Gue nggak tahu. Gue cuma merasa… kayak nggak punya kendali atas hidup gue.”

Tama menatapnya lebih serius kali ini, ada sedikit ketegangan di mata sahabatnya itu. “Lo pikir lo sendirian, bro, tapi kenyataannya, kita semua ngalamin hal yang sama. Cuma beda cara kita ngadepinnya.”

Arya merenung sejenak. Sesekali, ia memandang ke luar jendela, melihat cahaya lampu jalanan yang menerangi trotoar. Ada sesuatu di luar sana yang menarik perhatian, sesuatu yang terus bergerak tanpa menunggu siapa pun. “Mungkin gue nggak bisa lari dari ini. Tapi gue nggak siap, Tama.”

Tama mendekat sedikit, seakan ingin memastikan bahwa Arya mendengarnya dengan benar. “Lo nggak perlu siap. Lo cuma perlu terima. Kita nggak pernah tahu apa yang akan datang. Yang kita bisa lakukan cuma jalanin, dan nikmatin setiap momen yang kita punya.”

Arya menatapnya, merasa seolah-olah ada sesuatu yang menghangatkan dadanya. “Mungkin gue nggak pernah belajar buat nikmatin hal kecil dalam hidup.”

Tama tertawa kecil, lalu mengangkat gelasnya. “Sama kayak gue. Tapi lo tahu, kan? Kadang yang paling berharga itu bukan hal besar. Coba liat di sekitar lo. Semua orang cuma kejar hal-hal besar, tapi nggak ada yang benar-benar peduli sama hal kecil.”

Arya merasa ringan mendengar kalimat itu, meski hatinya tetap terhimpit dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Hari itu, dia merasa seperti sedang berada di persimpangan, tapi setidaknya, ada satu hal yang bisa ia pegang—bahwa hidup ini harus dijalani, meski kadang terasa begitu berat.

Perlahan, percakapan mereka berlanjut, tetapi kali ini, tidak ada lagi beban yang mengikat. Hanya ada secangkir kopi dan teman yang menemani. Di tengah kesendirian yang ia rasakan, Arya mulai mengerti bahwa meski jalan hidupnya tak selalu mudah, ia tidak harus berjalan sendirian.

 

Menemukan Kelegaan dalam Ketidakpastian

Pagi berikutnya, matahari terbit dengan cerah, namun sesuatu dalam diri Arya terasa lebih ringan. Mungkin karena ia sudah memutuskan untuk berhenti menentang waktu dan perasaan yang terus mengikutinya. Mungkin karena percakapan semalam memberi ruang baru di kepalanya, tempat di mana ia mulai bisa menerima ketidakpastian yang datang tanpa harus merasa takut. Mungkin, sesederhana itu.

Ia bangun dari tempat tidur dengan langkah yang lebih pasti, meskipun masih ada rasa cemas yang mengendap. Namun, kali ini, ia tahu bahwa ia tidak perlu lari darinya. Setiap hari adalah bagian dari perjalanan yang tak bisa dihindari, dan Arya memilih untuk menikmatinya. Meskipun tak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, ada sesuatu dalam hatinya yang percaya bahwa semua akan baik-baik saja.

Di luar rumah, dunia berjalan seperti biasa. Orang-orang beraktivitas, mobil-mobil berlalu-lalang, dan jalanan tetap ramai dengan hiruk-pikuk kota yang tak pernah berhenti. Tetapi bagi Arya, semuanya terasa berbeda. Ada semacam kedamaian yang tak bisa ia ungkapkan. Mungkin itu karena ia mulai menerima kenyataan bahwa hidup bukan tentang menghindar atau mengejar sesuatu yang tak bisa dicapai, tetapi lebih tentang bagaimana cara kita menjalani setiap detik yang ada, meskipun dengan ketidakpastian yang tak terelakkan.

Sore itu, Arya kembali duduk di warung kopi dengan Tama, kali ini tanpa rasa terburu-buru atau cemas. Mereka berdua berbicara tentang banyak hal—tentang pekerjaan, tentang dunia yang terus berputar, dan tentang hal-hal kecil yang sering kali kita lupakan. Arya merasa lebih ringan, seolah beban yang selama ini mengikatnya perlahan mulai terlepas.

“Sekarang gue mulai ngerti, Tama,” kata Arya, sambil menyeruput kopinya. “Kadang kita terlalu sibuk mikirin masa depan, sampai lupa menikmati apa yang ada sekarang. Gue pikir gue udah terlalu khawatir tentang apa yang belum datang.”

Tama tersenyum, seakan tahu apa yang ada di pikiran Arya. “Kadang kita butuh waktu buat ngerasain itu, bro. Waktu yang kita kira hilang, ternyata nggak hilang kok. Cuma kita aja yang lupa buat ngelihatnya.”

Arya mengangguk pelan, merasa lega dengan kata-kata itu. Ia tahu bahwa meskipun hidup ini penuh ketidakpastian, yang terpenting adalah bagaimana cara kita menjalani hari-hari, dengan penuh kesadaran dan tanpa rasa takut. Terkadang, kita butuh teman untuk mengingatkan kita bahwa kita tidak harus sendiri. Dan terkadang, kita hanya perlu berhenti, menarik napas, dan menikmati setiap detik yang ada.

Malam itu, saat pulang ke rumah, Arya merasa bahwa ia telah menemukan sesuatu yang penting dalam hidupnya. Ia tidak bisa menghentikan waktu, tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi, tetapi ia bisa memilih bagaimana cara menjalani hari-harinya. Tidak lagi dengan rasa takut atau cemas yang terus membayangi, tetapi dengan kesadaran bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan, dan selama kita mampu merasakannya, setiap langkah yang kita ambil akan penuh makna.

Ketika ia berdiri di depan pintu rumah, Arya menatap langit malam yang kembali gelap. Tidak ada bintang yang terlihat, tetapi ia merasa seolah-olah bintang itu ada di dalam dirinya, menyinari langkahnya yang perlahan berjalan ke depan.

Dan meskipun tak ada yang tahu apa yang akan datang, Arya tahu satu hal: ia akan terus berjalan, menikmati setiap momen, dan menemukan kelegaan dalam ketidakpastian.

 

Jadi, hidup itu bukan soal apa yang bakal terjadi besok atau minggu depan. Kadang, yang paling penting itu adalah gimana kita ngejalanin hari ini, dengan segala ketidakpastian dan kebingungannya.

Seperti Arya, mungkin kita semua cuma perlu berhenti sebentar, tarik napas, dan ngerasain apa yang ada di sekitar kita. Karena kadang, kebahagiaan itu bukan di ujung jalan, tapi di setiap langkah yang kita ambil. So, nikmatin aja hidup, bro!

Leave a Reply