Daftar Isi
Pernah nggak sih ngerasa kalau dunia yang kita tinggali ini kayak bukan tempat kita? Atau malah ngerasa terjebak di antara banyak pilihan dan ketakutan yang nggak bisa dijelaskan? Cerita ini bakal ngajak kamu untuk menyelami sebuah dunia yang penuh ilusi, di mana si tokoh utama, Eltharion, harus bertarung melawan bayangan dirinya sendiri.
Di balik setiap pilihan, ada dunia lain yang menunggu untuk dijelajahi—dan bukan cuma dunia luar, tapi juga dunia dalam diri kita yang sering kita hindari. Yuk, baca sampai habis dan lihat gimana Eltharion menghadapi ketakutan yang selama ini dia coba lupakan!
Menghadapi Bayangan Diri
Gerbang Arhavel
Langit malam menggantung rendah, kelam tanpa bintang, ketika Eltharion melangkah masuk ke dalam perpustakaan tua yang berdiri di tepi kota. Gedung itu sudah lama ditinggalkan, debu mengendap di rak-raknya, dan cahaya bulan yang menembus kaca jendela yang retak memberikan kesan bahwa tempat ini adalah saksi bisu dari sesuatu yang terlupakan. Udara di dalamnya terasa dingin, hampir tidak wajar, seperti ada sesuatu yang mengawasi setiap langkah yang ia ambil. Ia tidak tahu apa yang membawanya kemari—mungkin kebosanan, mungkin naluri aneh yang berbisik di dalam dirinya. Tapi langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sesuatu di ujung ruangan, tersembunyi di antara buku-buku usang dan kertas-kertas yang nyaris hancur dimakan waktu.
Di atas meja kayu lapuk, ada sebuah buku bersampul hitam yang tampak lebih baru dibandingkan yang lain. Tidak ada judul di sampulnya, hanya ukiran emas berbentuk lingkaran yang berpendar samar. Ada sesuatu yang tidak wajar dari buku itu, seperti jika disentuh, sesuatu yang lebih besar dari sekadar halaman kertas akan terbuka. Meski begitu, rasa ingin tahu mengalahkan kewaspadaannya. Tangannya meraih buku itu, membuka halaman pertama, dan saat matanya mulai membaca huruf-huruf yang seolah berubah bentuk di hadapannya, dunia di sekelilingnya bergetar.
Angin kencang tiba-tiba bertiup dari arah yang tidak jelas, membuat rak-rak buku berderit keras. Ruangan itu terasa memutar, dan Eltharion terhuyung, mencoba berpegangan pada meja, tapi tubuhnya terasa ringan, seperti sedang jatuh ke dalam ruang kosong. Suara-suara berbisik di telinganya, bahasa asing yang tidak ia mengerti namun entah bagaimana terasa familiar. Sebelum kesadarannya sepenuhnya hilang, ia sempat melihat cahaya ungu berpendar dari halaman buku itu, lalu semuanya menjadi gelap.
Ketika ia membuka mata, ia tidak lagi berada di perpustakaan.
Langit di atasnya tidak seperti yang ia kenal—ungu pekat dengan bintang-bintang besar yang berkilauan seperti berlian. Udara terasa aneh, lebih berat, mengandung aroma yang tidak bisa ia deskripsikan. Ia berdiri di tengah padang rumput berwarna keperakan yang bergoyang pelan seolah hidup, dan di kejauhan, ada hutan dengan pepohonan menjulang tinggi yang batangnya berkilauan seperti kristal. Kakinya terasa goyah, pikirannya masih kacau, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
“Kau akhirnya datang.”
Suara itu terdengar dari belakangnya. Eltharion berbalik cepat, matanya bertemu dengan sosok pria tua berjubah abu-abu yang berdiri tegak di bawah pohon besar. Wajahnya tertutup bayangan, tetapi matanya bersinar biru terang, menembus seperti sedang membaca isi pikirannya.
“Siapa kamu?” suara Eltharion terdengar lebih serak dari yang ia kira. “Di mana aku?”
Pria tua itu tidak langsung menjawab. Ia melangkah mendekat, jubahnya berkibar tertiup angin yang tidak terasa nyata. “Tempat ini disebut Arhavel,” katanya akhirnya. “Dunia yang berada di antara kenyataan dan halusinasi.”
Eltharion mengerutkan kening. Kata-kata itu terdengar tidak masuk akal. “Aku hanya membaca buku di perpustakaan, lalu tiba-tiba aku ada di sini. Ini cuma mimpi, kan?”
Pria tua itu tersenyum tipis, tapi tidak ada kehangatan di matanya. “Kamu pikir ini hanya mimpi?” ia mengangkat satu tangan, dan tiba-tiba, angin di sekitar mereka berputar, menciptakan pusaran kecil yang mengangkat debu ke udara. “Arhavel bukan sekadar ilusi, bukan pula sekadar kenyataan. Ini adalah cerminan dari mereka yang tersesat di dalam pikirannya sendiri.”
Eltharion merasakan sesuatu yang dingin merambat di tubuhnya. Ada sesuatu dalam nada suara pria itu yang membuat dadanya terasa berat, seperti ada beban tak terlihat yang mulai menekan jiwanya. “Jadi… apa aku terjebak di sini?”
“Kamu sudah ada di sini sejak lama, kau hanya tidak menyadarinya.”
Kata-kata itu menggema dalam benaknya, dan sesuatu di dalam dirinya memberontak. Ia ingin membantah, tapi saat ia mencoba berbicara, kepalanya berdenyut dengan rasa sakit yang tiba-tiba. Gambar-gambar melintas di pikirannya—bayangan kota yang terbakar, suara jeritan, seorang perempuan berambut perak yang menatapnya dengan tatapan penuh luka. Semua itu terasa nyata, terlalu nyata untuk sekadar halusinasi.
Eltharion menggigit bibirnya, mencoba mengendalikan napasnya. “Aku tidak paham… Apa yang terjadi padaku?”
Pria tua itu tidak menjawab. Ia hanya menatapnya lama sebelum berkata, “Pertanyaan itu hanya bisa kamu jawab sendiri.”
Lalu, tanpa peringatan, tanah di bawah kaki Eltharion bergetar. Dari kejauhan, terdengar suara gemuruh, seperti sesuatu yang besar sedang mendekat. Angin bertiup semakin kencang, dan tiba-tiba, bayangan hitam merayap di atas tanah, bergerak cepat menuju mereka.
“Waktunya tidak banyak,” pria tua itu berkata. “Jika kamu ingin keluar dari Arhavel, kamu harus menemukan siapa dirimu sebenarnya.”
Sebelum Eltharion sempat bertanya lebih jauh, bayangan itu sudah hampir mencapai mereka. Pria tua itu mengangkat tangannya sekali lagi, dan dalam sekejap, semuanya menjadi gelap.
Bayangan dan Bisikan
Eltharion tersentak. Tubuhnya terasa melayang sebelum akhirnya menghantam permukaan yang dingin dan keras. Napasnya tersengal saat ia mencoba memahami apa yang terjadi. Sekitarannya kini gelap pekat, hanya suara napasnya sendiri yang menggema di ruang kosong. Tidak ada pria tua itu, tidak ada bayangan hitam yang mendekat—hanya kegelapan yang terasa terlalu nyata, seakan-akan ia telah jatuh ke dalam kehampaan tanpa batas.
Tiba-tiba, ada bisikan. Pelan, nyaris tak terdengar, tapi jelas memanggil namanya. “Eltharion…” Suara itu datang dari segala arah, menggema di dalam kepalanya. Ia mencoba mencari sumbernya, tapi tidak ada apa pun selain kegelapan. Namun, semakin lama ia mendengar, semakin ia menyadari sesuatu—suara itu bukan satu, melainkan banyak. Puluhan, mungkin ratusan, berbicara serempak dalam nada yang mengusik pikirannya.
“Kamu tersesat…”
“Kamu tidak nyata…”
“Kamu bukan siapa-siapa…”
Denyutan di kepalanya semakin kuat. Eltharion menekan kedua sisi kepalanya, mencoba mengusir suara-suara itu, tapi mereka terus berbicara, membisikkan ketakutan yang selama ini tidak ingin ia akui. Napasnya semakin berat, dadanya terasa sesak.
“Aku… bukan siapa-siapa?” gumamnya tanpa sadar.
Lalu, seperti menjawab pertanyaannya, cahaya redup mulai muncul di depannya. Samar-samar, cahaya itu membentuk sosok seseorang. Seorang perempuan dengan rambut panjang berwarna perak, berdiri di tengah kegelapan dengan tatapan yang tidak bisa ia artikan. Matanya, yang seharusnya terasa asing, justru menyimpan sesuatu yang anehnya familiar.
“Kamu hampir menemukan jawabannya.”
Suara perempuan itu lembut, namun tajam, menusuk langsung ke dalam kesadarannya. Eltharion ingin bertanya siapa dia, tetapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya. Ada sesuatu tentang perempuan ini yang membuat pikirannya kacau—seperti kenangan yang seharusnya ia ingat, tapi terkubur begitu dalam di bawah lapisan waktu yang entah sejak kapan mengunci ingatannya.
“Siapa kamu?” akhirnya ia berhasil mengeluarkan suara.
Perempuan itu tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan—campuran antara kerinduan, kesedihan, dan sesuatu yang hampir menyerupai penyesalan.
“Kamu sudah tahu,” katanya pelan. “Kamu hanya tidak ingin mengakuinya.”
Eltharion mengepalkan tangannya, merasa frustrasi dengan jawaban yang tidak memberinya kejelasan. Tapi sebelum ia bisa mengatakan apa pun, ruangan gelap itu mulai bergetar. Bayangan di sekeliling mereka bergerak, membentuk sesuatu—siluman hitam dengan mata merah menyala, melingkari mereka seperti pemangsa yang siap menerkam.
“Kita tidak punya banyak waktu.” Perempuan itu melangkah mendekat. “Dengar, Eltharion. Arhavel bukan sekadar tempat. Ini adalah cerminan dari dirimu. Jika kamu tidak bisa menghadapi kenyataan, kamu akan terjebak di sini selamanya.”
Kata-kata itu memukulnya seperti palu. Ia ingin menyangkalnya, mengatakan bahwa semua ini hanya kebetulan, bahwa ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir. Tapi jauh di dalam dirinya, ia tahu perempuan itu tidak berbohong.
“Kamu harus memilih,” lanjut perempuan itu, suaranya semakin mendesak. “Tetap tenggelam dalam ilusi ini, atau berjuang untuk keluar.”
Bayangan hitam itu mulai bergerak lebih dekat, merayap seperti kabut yang hidup. Dalam sekejap, mereka melesat ke arahnya, dan dalam refleks, Eltharion mengangkat tangan untuk melindungi dirinya.
Namun, sesuatu yang tidak ia duga terjadi.
Ketika bayangan itu hampir menyentuhnya, cahaya biru meledak dari dalam dirinya. Cahaya itu menyelimuti tubuhnya, memukul mundur bayangan hitam yang langsung melolong kesakitan sebelum menghilang dalam pusaran asap pekat. Eltharion terengah-engah, tubuhnya masih diselimuti kilauan biru yang perlahan meredup.
Perempuan berambut perak itu tersenyum tipis. “Kamu mulai mengingat.”
Eltharion menatap tangannya yang masih berpendar samar, lalu kembali menatap perempuan itu. “Apa yang baru saja terjadi? Apa ini?”
“Potongan dirimu yang selama ini tersembunyi.” Perempuan itu mengulurkan tangan, jemarinya nyaris menyentuh wajahnya. “Kamu lebih dari yang kamu kira, Eltharion. Tapi untuk benar-benar memahami siapa dirimu… kamu harus pergi lebih dalam.”
Sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, tubuhnya kembali terasa ringan. Segalanya mulai kabur, seperti dunia di sekitarnya sedang terhisap oleh sesuatu yang tidak terlihat. Perempuan itu semakin jauh, sosoknya tertelan oleh gelap yang kembali menyelimuti pandangan Eltharion.
Dan sekali lagi, semuanya menjadi hitam.
Jalan di Antara Ilusi
Eltharion terbangun dengan napas memburu. Dingin merayap di tengkuknya, bukan karena suhu udara, melainkan ketakutan yang belum sepenuhnya pudar. Ia masih bisa merasakan sisa-sisa cahaya biru yang tadi menyelimuti tubuhnya, tetapi sekarang hanya ada kegelapan yang sedikit demi sedikit memudar, digantikan oleh sesuatu yang lebih nyata. Tanah di bawahnya keras, berbatu, dengan retakan yang bersinar samar seperti lava beku. Di kejauhan, kabut tipis bergulung-gulung, menyembunyikan apa pun yang mungkin bersembunyi di baliknya.
Ia menggerakkan jari-jarinya, memastikan dirinya masih utuh. Semua terasa nyata, dari denyut halus di pelipisnya hingga desiran angin yang membawa aroma logam dan sesuatu yang membusuk. Ini bukan mimpi, atau jika memang mimpi, maka ini adalah mimpi yang tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.
Lalu, terdengar langkah kaki.
Eltharion menegang. Ia menoleh cepat, matanya mencari sumber suara, tapi kabut terlalu tebal untuk bisa melihat dengan jelas. Jantungnya berdetak lebih cepat, tetapi bukan karena takut. Ada sesuatu yang familiar dengan suara langkah itu. Perlahan, sosok mulai muncul dari balik kabut.
Seorang pria.
Tidak, bukan sembarang pria.
Eltharion merasakan jantungnya seperti berhenti sesaat ketika akhirnya bisa melihat wajah orang itu. Rahangnya mengeras, tubuhnya sedikit condong ke belakang seperti baru saja dipukul sesuatu yang tak kasatmata. Karena pria yang berdiri di hadapannya, dengan mata kosong dan sorot dingin, adalah dirinya sendiri.
“Sial…” bisiknya tanpa sadar.
Kembaran itu diam, hanya menatapnya dengan ekspresi yang tidak bisa ia baca. Pakaiannya sama seperti yang Eltharion kenakan, tetapi ada sesuatu yang berbeda—auranya, caranya berdiri, cara matanya menatapnya seperti sedang menghakimi.
“Aku menunggumu,” kata kembaran itu akhirnya, suaranya datar.
Eltharion menggertakkan giginya. “Siapa kamu?”
Kembaran itu memiringkan kepalanya sedikit, seolah pertanyaannya adalah sesuatu yang konyol. “Aku adalah kamu.”
Eltharion mengepalkan tangannya, merasakan kemarahan yang ia sendiri tidak pahami. “Omong kosong. Aku bukan kamu, dan kamu bukan aku.”
Kembaran itu tidak bereaksi, tetapi matanya sedikit menyipit. “Lalu, siapa kamu?”
Pertanyaan itu menghantam Eltharion lebih keras daripada yang ia kira. Ia membuka mulutnya, ingin menjawab, tapi kata-kata itu tidak keluar. Keningnya berkerut. Siapa dia?
Eltharion. Itu jelas. Itu namanya. Tapi… siapa dia sebenarnya?
Ia merasa seolah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang selama ini ada tetapi tak pernah benar-benar ia sadari.
“Kamu tidak bisa menjawab, bukan?” Kembaran itu melangkah mendekat. “Itu karena kamu sudah lama tidak mengenali dirimu sendiri.”
Eltharion mundur selangkah, perasaan tidak nyaman menjalar di tubuhnya. Ini bukan pertama kalinya ia merasa ada bagian dari dirinya yang hilang, tetapi mendengarnya dari seseorang—dari dirinya sendiri—membuat semuanya terasa lebih nyata.
“Aku adalah bagian dirimu yang kau lupakan,” lanjut kembaran itu. “Bagian yang kau tolak, yang kau buang jauh-jauh. Aku adalah rasa takutmu, kemarahanmu, penyesalanmu… Aku adalah semua yang tidak ingin kau akui.”
Eltharion mengepalkan tangannya lebih erat. “Kalau memang begitu, kenapa aku harus mendengarkanmu?”
Kembaran itu tersenyum miring, senyum yang mengingatkannya pada sesuatu yang jauh lebih gelap. “Karena kalau kamu tidak menghadapi aku, kamu tidak akan pernah keluar dari sini.”
Seketika, kabut di sekitar mereka mulai berputar, membentuk pusaran yang perlahan-lahan mengecil, seperti perangkap yang siap menelan mereka berdua. Tanah bergetar, dan dari balik kabut, bayangan-bayangan mulai bermunculan—bayangan yang bentuknya tidak jelas, tetapi matanya merah menyala seperti yang ia lihat sebelumnya.
“Ayo, Eltharion.” Kembaran itu membuka kedua tangannya, seolah mengundangnya untuk bertarung. “Hadapi aku. Hadapi dirimu sendiri.”
Eltharion menelan ludah. Ia tidak tahu bagaimana cara menghadapi ini, tetapi satu hal yang ia tahu pasti—ia tidak bisa mundur.
Tidak lagi.
Menemukan Jalan Pulang
Bayangan itu semakin mendekat, bergulung-gulung seperti ombak yang tak terhentikan. Eltharion bisa merasakan energi yang memancar dari sosok kembaran itu, sesuatu yang kuat dan menuntut. Angin berputar semakin kencang, namun di tengah-tengah kekacauan ini, ada satu hal yang mulai terasa jelas—di dalam dirinya sendiri, ia menyadari bahwa ia telah cukup lama menghindari kenyataan yang paling ia takuti. Semua yang terjadi, semua yang ia lihat, bukanlah sebuah kebetulan. Arhavel adalah dunia yang tercipta dari ketakutannya, dari bagian dirinya yang ia coba lupakan.
Kembaran itu semakin dekat, namun Eltharion tidak bergerak mundur. “Kamu benar,” katanya dengan suara yang lebih tenang dari yang ia kira. “Aku menghindarinya. Aku selalu menghindar.”
Kembaran itu hanya menatapnya dengan mata kosong, tidak terlihat terkejut, tidak ada emosi. “Lalu, kenapa kamu tidak menghadapi dirimu sendiri?”
Tanyaannya menggema di benaknya. Apa yang ia takutkan? Mengapa ia begitu takut untuk menerima dirinya sendiri, dengan semua kelemahan, kemarahan, dan kekecewaan yang ia pendam selama ini?
Eltharion merasa seperti dibekukan sesaat, tapi kemudian, ada dorongan kuat di dalam dirinya. Ia menarik napas panjang, merasakan beratnya di dadanya, dan berkata pelan, “Aku takut.”
Kembaran itu tersenyum dingin. “Takut pada apa?”
“Takut kalau aku tidak bisa mengubah apa pun. Takut jika aku terus mengulang kesalahan yang sama. Takut kalau… aku tidak cukup baik.”
Kembaran itu mengangguk pelan, seolah ia sudah tahu jawabannya sejak awal. “Kamu bukan satu-satunya yang merasa seperti itu. Tapi ketahuilah, Eltharion, rasa takutmu adalah penghalang terbesarmu. Kau selalu mencari jalan keluar tanpa pernah menghadapi kenyataan di dalam dirimu.”
Lalu, ada keheningan sejenak sebelum kabut itu mulai menghilang, seolah merespons kata-kata kembaran tersebut. Seiring kabut yang menghilang, tanah yang tadinya keras dan retak mulai retak semakin lebar, dan dari dalamnya muncul cahaya yang hangat, menyelimuti tubuh Eltharion dengan lembut.
Cahaya itu mengalir melalui dirinya, menyembuhkan luka-luka batin yang tak terlihat, dan dengan setiap detiknya, rasa takutnya mulai memudar. Tidak ada lagi suara bisikan. Tidak ada lagi bayangan yang mengejarnya. Hanya dirinya, cahaya, dan ketenangan yang mengalir ke dalam jiwa yang sebelumnya terluka.
Kembaran itu menghilang perlahan, seolah menjadi bagian dari cahaya yang kini menyelimuti Eltharion sepenuhnya. Ia tidak lagi merasa terjepit, terperangkap dalam ilusi yang selama ini ia ciptakan. Kini, ia merasa utuh—untuk pertama kalinya dalam hidupnya.
Ketika cahaya itu akhirnya meredup, Eltharion membuka matanya. Ia tidak berada di tempat yang gelap atau penuh kabut. Tidak ada lagi dunia yang retak dan gelisah. Ia berdiri di tepi danau yang tenang, airnya berkilauan seperti kaca, dan di kejauhan, gunung-gunung menjulang tinggi dengan puncaknya yang tertutup salju. Angin semilir menyentuh wajahnya, membawa aroma segar dari pohon-pohon pinus. Dunia ini terasa nyata, lebih nyata daripada yang pernah ia rasakan sebelumnya.
Ia tersenyum, merasakan kebebasan yang belum pernah ia rasakan. Dunia ini, meski masih penuh dengan ketidakpastian, kini terasa lebih bisa dihadapi. Di dalam dirinya, ia telah menemukan kekuatan untuk menerima siapa dirinya—seluruhnya, baik buruknya, kekurangannya, dan potensi yang selama ini terpendam.
Sebuah suara datang dari belakangnya, lembut dan mengenalnya, namun kali ini tidak ada ketakutan yang mengikutinya. “Kamu sudah kembali.”
Eltharion berbalik, dan untuk pertama kalinya, ia merasa tidak lagi terasing dengan apa yang ada di sekelilingnya. Ia melihat seorang perempuan berambut perak, tersenyum dengan penuh pengertian.
“Aku tahu ini tidak mudah,” kata perempuan itu. “Tapi kamu telah melakukannya.”
Dengan langkah mantap, Eltharion berjalan ke arahnya. “Aku tidak tahu ke mana aku akan pergi setelah ini, tapi aku tahu satu hal—aku siap untuk itu.”
Perempuan itu mengangguk, lalu memandang langit yang mulai terang. “Begitulah seharusnya. Tidak ada lagi jalan yang salah, karena kamu telah memilih untuk berjalan.”
Di sana, di dunia yang tidak lagi asing, Eltharion merasa seperti seorang yang baru lahir. Dunia ini, dengan segala keindahan dan ketidakpastiannya, kini menjadi tempat yang ingin ia jelajahi—dengan semua yang ia miliki dan tanpa ada lagi rasa takut yang menahannya.
Gimana? Seru banget kan ceritanya? Gak cuma tentang perjalanan di dunia paralel, tapi juga tentang gimana kita sering lari dari masalah dan ketakutan yang ada di diri sendiri. Tapi inget, walaupun jalan itu penuh rintangan, yang penting adalah bisa berani hadapi semuanya.
Kalau Eltharion aja bisa nemuin kekuatan dalam dirinya, kita juga pasti bisa! Semoga ceritanya bisa ngebuka perspektif baru buat kalian dan nggak cuma jadi hiburan, tapi juga jadi pelajaran hidup.


