Menggapai Nostalgia: Kisah Mengharukan Liburan di Rumah Nenek

Posted on

Jelajahi kisah emosional dalam Menggapai Nostalgia: Kisah Mengharukan Liburan di Rumah Nenek, sebuah cerpen yang membawa Anda ke Desa Sumberjaya, tempat Zafira Kaelani menemukan kembali cinta dan luka masa lalu bersama neneknya dan tiga sahabat. Dengan detail memikat tentang kehidupan desa, kenangan keluarga, dan perjalanan batin yang menyentuh, cerita ini menawarkan inspirasi untuk merangkul nostalgia dan menyembuhkan hati. Siapkah Anda menyelami kehangatan dan kesedihan dari rumah nenek?

Menggapai Nostalgia

Panggilan dari Masa Lalu

Pagi itu, udara di kota besar terasa pengap, dipenuhi bunyi klakson dan hiruk-pikuk yang tak pernah berhenti. Aku, Zafira Kaelani, duduk di sudut kecil apartemenku yang sempit, menatap jendela kaca yang hanya menawarkan pemandangan gedung-gedung beton. Di usia 29 tahun, hidupku terasa seperti roda yang terus berputar tanpa tujuan—pekerjaan sebagai desainer grafis membuatku sibuk, tapi juga kosong. Di meja kecil di sampingku, ada secangkir kopi hitam yang sudah dingin, dan sebuah surat usang yang baru saja tiba pagi tadi. Amplop cokelat itu berbau kertas tua, ditulis tangan dengan tinta yang sedikit memudar, dan alamat pengirimnya membuat jantungku bergetar: “Rumah Nenek, Desa Sumberjaya.”

Surat itu dari Nenek Tarian Sari, wanita tua yang selalu punya cerita hangat tentang masa lalu. Tulisannya bergetar, tapi penuh makna: “Zafira, cucuku tersayang, nenek sudah tua dan ingin bertemu sebelum waktu nenek habis. Datanglah ke rumah nenek di Desa Sumberjaya, bawa hati dan kenanganmu. Nenek rindu.” Kata-kata itu seperti pukulan pelan di dadaku. Aku belum pernah kembali ke desa itu sejak ayahku meninggal lima tahun lalu, dan kenangan tentang rumah nenek—dengan aroma kayu bakar dan suara ayam berkokok—terasa seperti luka yang kubuang jauh.

Aku menatap kalender di dinding. Hari ini, 5 Juni 2025, adalah hari yang tepat untuk memulai sesuatu yang baru. Tanpa berpikir panjang, aku mengambil ponsel dan menelepon Rhea Vindra, sahabatku sejak kuliah yang selalu punya cara untuk membuatku berani. “Rhea, aku mau ke rumah nenek di Sumberjaya. Aku butuh temen. Ikut nggak?” suaraku sedikit gemetar. Rhea, dengan tawanya yang khas, langsung setuju. “Aku bawa dua orang lagi, ya? Kasian kalau cuma kita berdua ngobrol sama nenekmu yang cerewet,” candanya. Aku tersenyum, meski ada rasa campur aduk di hati.

Beberapa jam kemudian, Rhea tiba dengan mobil kecilnya, bersama dua teman yang belum pernah kukenal baik: Jovan Elindra, seorang penulis perjalanan dengan kacamata bulat dan rambut panjang yang selalu diikat, serta Mirza Calista, seorang fotografer yang pendiam tapi punya mata tajam untuk menangkap keindahan. Mereka membawa ransel besar, seolah siap untuk petualangan panjang. “Kita bakal bikin cerita di desa itu, Zafira,” kata Jovan dengan nada penuh antusiasme. Mirza hanya mengangguk, tapi senyum kecilnya memberi rasa nyaman.

Perjalanan dari kota menuju Desa Sumberjaya memakan waktu sekitar empat jam. Jalanan beraspal mulus perlahan berganti menjadi jalan tanah yang berdebu, dikelilingi sawah hijau dan pepohonan yang bergoyang tertiup angin. Di dalam mobil, Rhea memutar lagu-lagu lama yang pernah kami dengarkan saat kuliah, sementara Jovan bercerita tentang bukunya yang terinspirasi dari desa-desa terpencil. Mirza, dari kursi belakang, sesekali mengambil foto pemandangan melalui jendela, cahaya kamera kecilnya menyelinap di antara obrolan kami. Aku menatap jalan, pikiranku melayang ke kenangan bersama ayah—suara tawa kami saat memancing di sungai kecil dekat rumah nenek, aroma masakan nenek yang selalu hangat.

Ketika kami tiba di Desa Sumberjaya, matahari sudah mulai condong ke barat, mewarnai langit dengan jingga lembut. Rumah nenek berdiri di ujung desa, sebuah bangunan kayu tua dengan atap genteng yang sedikit miring. Dindingnya penuh goresan waktu, dan halaman depan dipenuhi tanaman kembang sepatu yang mulai layu. Nenek Tarian Sari berdiri di beranda, bersandar pada tongkat kayunya, wajahnya penuh kerutan tapi matanya berbinar saat melihatku. “Zafira… akhirnya,” katanya pelan, suaranya serak tapi penuh cinta. Aku berlari memeluknya, dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, air mata mengalir tanpa kusadari.

Kami masuk ke dalam rumah, disambut aroma kayu bakar dan rempah-rempah dari dapur. Ruangan itu kecil, dengan lantai kayu yang berderit setiap kali dilangkahi, dan dinding dipenuhi foto-foto lama—aku kecil bersama ayah, nenek dengan kakek yang sudah tiada, dan keluarga besar yang kini tercerai berai. Rhea, Jovan, dan Mirza duduk di tikar usang, mengobrol dengan nenek tentang desa dan kehidupan di kota. Nenek tertawa kecil, tapi aku bisa melihat tangannya gemetar saat menuang teh ke cangkir-cangkir kecil yang sudah retak.

Malam itu, kami makan bersama di meja kayu panjang—sayur bayam rebus, tempe goreng, dan ikan bakar yang dimasak nenek dengan resep turun-temurun. Suasana hangat, tapi ada kesedihan yang tak terucap. Setelah makan, nenek mengajakku ke kamar belakang, tempat dia menyimpan kotak kayu tua. Dia membukanya perlahan, mengeluarkan sebuah foto ayahku saat masih muda, berdiri di halaman rumah dengan senyum lebar. “Ayahmu selalu bilang kamu akan jadi orang hebat, Zafira,” katanya, matanya berkaca-kaca. “Tapi nenek tahu, kamu juga membawa lukanya sendiri.”

Aku menatap foto itu, merasakan sesak di dada. Lima tahun lalu, ayah meninggal karena sakit yang tak terdeteksi tepat waktu, dan aku tak sempat mengucapkan selamat tinggal. Rasa bersalah itu masih menggerogotiku, dan kini, di rumah nenek, aku merasa seperti berdiri di ambang pintu masa lalu yang ingin kuhadapi. Nenek memegang tanganku, suaranya lembut, “Jangan takut, cucu. Rumah ini punya cerita, dan kamu bagian darinya.”

Malam semakin larut, dan kami duduk di beranda, ditemani suara jangkrik dan angin sepoi-sepoi. Rhea bercerita tentang masa kuliah kami yang penuh tawa, Jovan berbagi rencananya menulis tentang desa ini, dan Mirza menunjukkan foto-foto yang dia ambil sore tadi—pemandangan sawah, rumah nenek, dan senyumku yang sedikit kaku. Aku hanya mendengarkan, menatap langit penuh bintang, dan merasa bahwa perjalanan ini akan membawaku pada sesuatu yang lebih dalam—mungkin penyembuhan, mungkin penutupan, atau keduanya.

Di malam itu, aku tahu bahwa rumah nenek bukan hanya tempat untuk berlibur. Ia adalah cermin yang akan memaksaku menghadapi kenangan, luka, dan cinta yang telah lama kubuang. Dan dengan kehadiran Rhea, Jovan, dan Mirza, aku merasa ada kekuatan untuk melangkah lebih jauh ke dalam cerita yang belum selesai.

Jejak Kenangan di Pagi Desa

Pagi di Desa Sumberjaya menyapa kami dengan lembut, seperti bisikan alam yang penuh nostalgia. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah-celah jendela kayu rumah nenek, membangunkanku dari tidur yang dipenuhi mimpi tentang ayah. Aku, Zafira Kaelani, terbangun dengan perasaan aneh—campuran antara rindu dan ketenangan yang tak kukenal selama bertahun-tahun. Aroma tanah basah dan kayu bakar dari dapur nenek memenuhi udara, membawa ingatan tentang pagi-pagi di masa kecil, saat aku berlari di halaman mengejar ayam bersama ayah.

Aku melangkah keluar dari kamar, lantai kayu berderit di bawah kakiku, dan menemukan nenek sudah sibuk di dapur kecilnya. Dia mengenakan daster sederhana berwarna biru pudar, rambut putihnya yang dikuncir rapi terlihat kontras dengan wajahnya yang penuh kerutan. “Pagi, Nek,” sapaku, suaraku masih serak oleh sisa tidur. Nenek menoleh, senyumnya hangat seperti matahari pagi. “Pagi, Zafira. Ayo bantu nenek siapin sarapan. Kita masak bubur ayam kesukaan ayahmu dulu,” katanya, tangannya gemetar saat mengaduk panci besar di atas tungku kayu.

Aku duduk di bangku kecil dekat dapur, membantu nenek mengupas bawang merah dan memotong daun bawang. Aroma bawang goreng yang mulai tercium membuat perutku keroncongan, tapi lebih dari itu, setiap gerakan nenek membawa kenangan. “Ayahmu selalu bilang bubur ini obat rindu,” kata nenek tiba-tiba, suaranya penuh kerinduan. Aku hanya mengangguk, tak tahu harus menjawab apa. Rasa bersalah karena tak bisa mengucapkan selamat tinggal pada ayah masih menghantuiku, dan berada di rumah ini membuat luka itu terasa lebih nyata.

Rhea, Jovan, dan Mirza akhirnya bangun, rambut mereka kusut dan wajah mereka masih penuh tanda bantal. “Wah, baunya enak banget!” seru Rhea, langsung duduk di meja kayu panjang yang sudah disiapkan nenek. Jovan, dengan kacamata bulatnya yang sedikit miring, membawa buku catatannya, seolah siap mencatat setiap detail pagi ini. Mirza, seperti biasa, membawa kamera kecilnya, mulai memotret apa saja—mangkuk-mangkuk tanah liat yang disusun nenek, tungku kayu yang menyala, dan tangan nenek yang penuh urat saat menuang bubur ke mangkuk.

Kami sarapan bersama, bubur ayam hangat dengan taburan bawang goreng, kacang tanah, dan sedikit kecap manis terasa seperti pelukan dari masa lalu. Nenek bercerita tentang masa kecilku, tentang bagaimana aku pernah jatuh ke selokan kecil di belakang rumah karena terlalu asyik mengejar capung. Rhea tertawa terbahak-bahak, sementara Jovan mencatat sesuatu dengan cepat, mungkin ide untuk cerita barunya. Mirza, dengan caranya yang pendiam, menunjukkan foto yang baru saja dia ambil: tanganku yang memegang mangkuk bubur, dengan latar belakang nenek yang tersenyum. “Ini bagus,” katanya singkat, tapi aku tahu dia sedang berusaha menangkap esensi momen ini.

Setelah sarapan, nenek mengajak kami berjalan ke kebun kecil di belakang rumah. Kebun itu tak lagi seluas dulu, tapi masih penuh kenangan. Pohon mangga tua yang dulu sering kunaiki bersama ayah masih berdiri kokoh, meski beberapa dahannya sudah kering. Ada juga petak kecil tanaman cabai dan kolplay yang nenek rawat dengan penuh kasih sayang. “Ini kebun ayahmu dulu,” kata nenek, tangannya menyentuh daun kolplay dengan lembut. “Dia selalu bilang, tanam sesuatu biar hidupmu punya akar.” Aku menatap tanaman itu, merasakan sesak di dada. Ayah memang selalu punya cara untuk mengajarkan sesuatu, tapi aku merasa gagal menjadi “akar” yang dia harapkan.

Rhea, yang melihatku terdiam, mengalihkan perhatian dengan mengajak kami ke sungai kecil di dekat kebun. “Ayo, kita main air! Kayak zaman kecil, Zafira!” candanya, sudah melepas sepatu dan melangkah ke tepi sungai. Airnya jernih, mengalir pelan dengan suara gemericik yang menenangkan. Jovan, dengan celana yang digulung sampai lutut, ikut masuk, tertawa saat Rhea menyipratkan air ke arahnya. Mirza duduk di tepi sungai, memotret kami dengan ekspresi fokus yang khas. Aku berdiri agak jauh, kaki telanjangku menyentuh air dingin, tapi pikiranku melayang ke kenangan bersama ayah, saat kami memancing ikan kecil dengan umpan cacing yang kami gali dari kebun.

Tiba-tiba, Rhea berteriak, “Zafira, lihat ini!” Dia memegang sesuatu di tangannya—sebuah batu kecil berbentuk hati, licin oleh air sungai. “Kamu bilang dulu ayahmu kasih kamu batu kayak gini, kan?” Aku mendekat, dan saat melihat batu itu, air mata tiba-tiba mengalir. Aku ingat hari itu dengan jelas: ayah memberiku batu serupa, berkata, “Ini hati ayah, Zafira. Jaga baik-baik.” Aku kehilangan batu itu bertahun-tahun lalu, tapi melihat yang satu ini membuatku merasa ayah ada di sini, berbicara melalui sungai.

Sore itu, kami kembali ke rumah nenek, membawa beberapa ikan kecil yang berhasil ditangkap Jovan—meski sebagian besar hanya membuat kami tertawa karena kegagalan kami. Nenek tersenyum melihat kami, tapi ada kesedihan di matanya. Saat kami duduk di beranda, dia berkata pelan, “Zafira, nenek tahu kamu masih simpan rasa bersalah soal ayahmu. Tapi dia nggak pernah menyalahkanmu. Dia bangga sama kamu.” Kata-kata itu seperti pisau kecil di hatiku, membukanya lebih leletapi juga memberi sedikit kelegaan.

Malam itu, kami duduk bersama di ruang tengah, ditemani lampu minyak tanah yang cahayanya temaram. Jovan membaca beberapa catatan perjalanannya, Rhea bercerita tentang rencananya membuka studio seni kecil, dan Mirza menunjukkan foto-foto yang dia ambil di sungai—gambar diriku yang menatap air dengan ekspresi mel Mendesak. Aku memegang batu hati itu di tangan, merasakan kehangatan yang aneh, seolah ayah sedang memelukku dari jauh.

Desa Sumberjaya, dengan kesederhanaannya, seolah sedang membukakan pintu kenangan satu per satu. Aku tahu perjalanan ini masih panjang, dan rumah nenek masih menyimpan cerita yang akan membawaku lebih dekat pada penyembuhan—orang-orang di sekitarku, dan diriku sendiri.

Bayang-Bayang di Tengah Hening

Pagi ketiga di Desa Sumberjaya datang dengan udara yang sedikit lebih sejuk, seolah alam turut merasakan perubahan batin yang mulai tumbuh di dalam diriku. Aku, Zafira Kaelani, terbangun oleh suara ayam berkokok yang bercampur dengan derit kayu rumah nenek saat angin pagi menyelinap melalui celah-celah jendela. Jam di dinding menunjukkan pukul 06:30 WIB, dan sinar matahari pagi menyelinap ke dalam kamar, menerangi foto ayah yang kutaruh di samping ranjang semalam. Batu hati yang Rhea temukan di sungai masih kugenggam erat, terasa hangat di telapak tanganku, seperti jembatan menuju kenangan yang kini mulai kuhadapi.

Aku melangkah keluar, menemukan nenek sudah duduk di beranda, menatap ke arah sawah yang mulai diselimuti kabut tipis. Dia mengenakan selendang lusuh berwarna cokelat, tangannya memegang cangkir teh jahe yang uapnya menari pelan di udara dingin. “Pagi, Nek,” sapaku pelan, duduk di sampingnya. Nenek menoleh, senyumnya leletapi ada kesedihan di matanya. “Pagi, Zafira. Nenek tadi mimpi ayahmu. Dia bilang dia baik-baik saja di sana,” katanya, suaranya hampir tenggelam oleh suara angin. Aku menelan ludah, merasakan benjolan di tenggorokan. Kata-kata nenek seperti membuka luka lama, tapi juga memberi sedikit kedamaian.

Rhea, Jovan, dan Mirza bergabung beberapa menit kemudian, membawa aroma kopi instan yang mereka seduh di dapur. Rhea, dengan rambut yang masih kusut, duduk di lantai beranda sambil menggoyang-goyangkan kakinya. “Kita harus jelajah desa hari ini, Zafira! Nenek bilang ada hutan kecil di utara yang punya cerita,” katanya antusias. Jovan, dengan buku catatannya yang sudah penuh tulisan, mengangguk setuju, sementara Mirza mengeluarkan kamera, siap menangkap momen baru. Nenek tersenyum, “Iya, hutan itu dulu tempat ayahmu suka bermain. Kalian boleh ke sana, tapi hati-hati.”

Setelah sarapan sederhana—nasi hangat dengan telur ceplok dan sambal yang dibuat nenek—kami memutuskan untuk berjalan ke hutan kecil di utara desa. Perjalanan memakan waktu sekitar tiga puluh menit, melewati jalan tanah yang dipenuhi jejak kaki dan sisa-sisa padi yang baru dipanen. Hutan itu tak terlalu lebat, tapi penuh pesona dengan pohon-pohon jati tua dan suara burung yang berkejaran di antara dahan. Aroma tanah basah dan daun yang mulai menguning memenuhi udara, membawa kenangan tentang ayah yang pernah membawaku ke sini untuk mencari kayu bakar.

Di tengah hutan, kami menemukan sebuah pohon besar dengan akar yang menonjol dari tanah, membentuk semacam kursi alami. Jovan duduk di sana, membuka bukunya dan mulai menulis, sementara Rhea berlari ke arah semak-semak, mencari bunga liar yang bisa dia bawa pulang. Mirza, seperti biasa, sibuk dengan kameranya, memotret pohon tua itu dari berbagai sudut. Aku berdiri di dekat pohon, menyentuh kulitnya yang kasar, dan tiba-tiba ingatan melintas—ayah mengajarku cara memanjat pohon ini, tertawa saat aku terjatuh tapi langsung bangkit lagi.

“Zafira, lihat ini!” panggil Rhea, memegang seikat bunga kecil berwarna ungu. “Cantik, ya? Kayak hiasan buat nenek.” Aku tersenyum, mendekat, tapi pikiranku masih terpaku pada pohon itu. “Ayahku dulu suka bawa aku ke sini,” kataku pelan. “Dia bilang hutan ini punya jiwa, dan kalau kita dengar baik-baik, kita bisa dengar ceritanya.” Rhea menatapku, matanya penuh empati. “Mungkin dia masih di sini, Zafira. Dalam angin, atau di suara burung itu.”

Sore itu, kami duduk di bawah pohon, berbagi cerita. Jovan bercerita tentang perjalanan pertamanya ke desa terpencil yang mengubah caranya menulis, sementara Mirza, untuk pertama kalinya, berbagi tentang ibunya yang meninggal saat dia masih kecil. “Aku ambil foto buat nyimpan kenangan, biar aku nggak lupa wajahnya,” katanya, suaranya lembut tapi penuh luka. Rhea memeluknya, dan aku merasa ada ikatan baru di antara kami—luka yang berbeda, tapi saling melengkapi.

Kembali ke rumah nenek, kami membawa bunga-bunga yang dipetik Rhea dan beberapa foto baru dari Mirza. Nenek tersenyum melihat bunga itu, mengaturnya dalam vas tua yang retak. “Ayahmu dulu suka bawa bunga kayak gini buat nenek,” katanya, matanya berkaca-kaca. Malam itu, kami duduk di ruang tengah, ditemani lampu minyak tanah yang berkedip-kedip. Nenek membuka kotak kenangan lagi, kali ini mengeluarkan buku harian ayah yang penuh tulisan tangan. “Ini buat kamu, Zafira,” katanya, menyerahkannya dengan tangan gemetar.

Aku membuka buku itu perlahan, membaca entri pertama: “Hari ini, Zafira jatuh dari pohon, tapi dia bangkit dengan tawa. Aku bangga punya anak sekuat dia.” Air mata mengalir, dan untuk pertama kalinya, aku merasa ayah tak menyalahkaniku. Rhea, Jovan, dan Mirza duduk di sampingku, mendengarkan saat aku membaca beberapa halaman, suaraku terbata-bata. Jovan mencatat beberapa kalimat, Mirza mengambil foto buku itu, dan Rhea memegang tanganku, memberi kekuatan.

Malam itu, aku berjalan ke halaman belakang sendirian, membawa buku harian ayah. Di bawah langit penuh bintang, aku membaca lebih banyak—tentang harapan ayah untukku, tentang cintanya yang tak pernah dia ucapkan langsung. Angin bertiup pelan, membawa suara daun yang bergoyang, dan aku merasa seperti ayah sedang berbisik, “Aku di sini, Zafira.” Desa Sumberjaya, dengan hutan dan rumah tuanya, seolah menjadi saksi dari perjalanan batin yang mulai membawaku pada penyembuhan. Tapi aku tahu, masih ada satu hari lagi, dan cerita ini belum selesai.

Cahaya di Ujung Kenangan

Pagi terakhir di Desa Sumberjaya menyapa dengan cahaya matahari yang lembut, menyelinap melalui celah-celah atap rumah nenek dan menerangi ruangan yang penuh kenangan. Jam di dinding menunjukkan pukul 09:18 WIB, dan suara ayam berkokok bercampur dengan desir angin pagi menciptakan simfoni yang terasa seperti pengantar perpisahan. Aku, Zafira Kaelani, terbangun dengan perasaan campur aduk—ada kelegaan karena telah menghadapi luka masa lalu, tapi juga rasa berat karena harus meninggalkan tempat yang telah membukakan hatiku. Buku harian ayah masih terbuka di samping ranjang, halaman terakhir yang kubaca semalam penuh dengan harapan untukku, membuatku merasa seperti dia masih ada di sini, menjagaku.

Aku melangkah keluar, menemukan nenek duduk di beranda dengan selendang cokelatnya, menatap ke arah sawah yang mulai diselimuti kabut tipis. Di tangannya, ada foto kecil ayah dan aku saat masih kecil, tertawa di bawah pohon mangga. “Pagi, Nek,” sapaku pelan, duduk di sampingnya. Nenek menoleh, matanya berkaca-kaca tapi penuh kehangatan. “Pagi, Zafira. Nenek senang kamu datang. Hari ini, kita ke kuburan ayahmu, ya? Biar kamu bisa bilang apa yang belum sempat kamu ucapin,” katanya, suaranya lembut tapi penuh makna.

Rhea, Jovan, dan Mirza bergabung beberapa menit kemudian, membawa aroma teh jahe yang nenek siapkan. Rhea, dengan senyum lebarnya, mengusulkan, “Ayo, kita bikin hari ini spesial. Kita bawa bunga buat ayah Zafira, dan mungkin kita bisa foto bareng di kuburan, biar ada kenangan baru.” Jovan mengangguk, bukunya sudah terbuka untuk mencatat momen ini, sementara Mirza mengeluarkan kamera, siap menangkap setiap detail. Nenek tersenyum, “Bagus ide itu. Ayahmu pasti senang.”

Setelah sarapan nasi uduk sederhana dengan ikan teri dan sambal, kami berjalan menuju pemakaman desa yang terletak di bukit kecil di sebelah timur. Perjalanan memakan waktu sekitar dua puluh menit, melewati jalan tanah yang licin oleh embun pagi dan sawah-sawah hijau yang memantulkan cahaya matahari. Di tangan, aku membawa seikat bunga liar yang kami petik dari kebun nenek, sementara Rhea membawa keranjang kecil berisi lilin dan korek api. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah dan bunga, seolah alam turut menyambut kami.

Kuburan ayah terletak di sudut pemakaman, nisan sederhana dari batu putih dengan tulisan tangan nenek: “Aji Kaelani, Suami dan Ayah Terbaik.” Aku berlutut di depannya, meletakkan bunga-bunga itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Nenek berdiri di sampingku, memegang tanganku erat-erat. “Bilang apa yang ada di hatimu, Zafira,” bisiknya. Aku menelan ludah, air mata mulai mengalir. “Ayah, maaf aku nggak sempat bilang aku sayang kamu. Aku rindu kamu setiap hari, dan aku janji akan jadi orang yang kamu banggakan,” kataku pelan, suaraku terbata-bata.

Rhea menyalakan lilin, meletakkannya di depan nisan, sementara Jovan membaca puisi pendek yang dia tulis spontan tentang ayah dan cinta yang tak pernah hilang. Mirza mengambil foto—gambar diriku yang berlutut dengan nenek di samping, bunga-bunga liar yang tersebar, dan lilin yang berkelip di tengah kabut tipis. “Ini bakal jadi kenangan indah, Zafira,” katanya, suaranya penuh perasaan. Rhea memelukku dari belakang, dan untuk pertama kalinya, aku merasa luka itu mulai sembuh, bukan hilang, tapi menjadi bagian dari kekuatanku.

Kami duduk di sekitar nisan selama beberapa saat, berbagi cerita tentang ayah. Nenek bercerita tentang bagaimana ayah selalu membantunya memanen padi, meski sering tertawa karena tak pandai membedakan padi dan rumput. Jovan menambahkan catatan tentang kehangatan keluarga yang dia rasakan di desa ini, sementara Rhea bercerita tentang kenangan pertamanya bertemu ayah saat mengunjungiku dulu. Mirza, dengan caranya yang pendiam, menunjukkan foto-foto yang dia ambil—gambar pohon mangga, sungai, dan wajahku yang kini lebih tenang.

Sore itu, kami kembali ke rumah nenek, membawa hati yang lebih ringan. Nenek mengajak kami ke gudang kecil di belakang rumah, tempat dia menyimpan barang-barang lama. Di sana, dia mengeluarkan kotak kayu yang penuh debu, membukanya untuk menunjukkan pakaian ayah, alat memancingnya, dan sebuah buku sketsa kecil yang ternyata milikku saat masih kecil. “Ini lukisanmu buat ayah,” kata nenek, menunjukkan gambar sederhana aku dan ayah memancing. Aku tersenyum, air mata mengalir lagi, tapi kali ini penuh kebahagiaan.

Malam itu, kami mengadakan makan malam terakhir bersama. Nenek memasak ayam kampung bakar dengan bumbu racikannya, disajikan dengan nasi hangat dan sayur lodeh. Kami duduk di meja kayu panjang, tertawa dan berbagi cerita. Jovan membaca puisi terakhirnya tentang desa ini, Mirza menunjukkan foto-foto perjalanan kami, dan Rhea bernyanyi lagu lama yang pernah dinyanyikan ayah. Aku mengambil pena dan menulis di buku harian ayah, “Ayah, aku datang ke rumah nenek, dan aku menemukan kamu lagi. Terima kasih.”

Sebelum berangkat keesokan harinya, aku berdiri di beranda dengan nenek, memeluknya erat. “Kembali lagi, ya, Zafira. Rumah ini selalu terbuka buat kamu,” katanya, matanya penuh cinta. Rhea, Jovan, dan Mirza memuat barang ke mobil, tapi masing-masing meninggalkan sesuatu—Rhea meninggalkan bunga kering, Jovan catatan kecil, dan Mirza foto cetak pertama dari perjalanan ini. Saat mobil meninggalkan desa, aku menoleh ke belakang, melihat nenek yang melambai dengan tongkatnya, dan pohon mangga yang berdiri tegak di kejauhan.

Desa Sumberjaya, dengan rumah tuanya dan kenangan yang tersimpan di setiap sudut, telah menjadi tempat di mana aku menemukan penyembuhan. Batu hati di tanganku, buku harian ayah di ranselku, dan tawa teman-temanku menjadi pengingat bahwa cinta ayah tak pernah pergi—ia hidup dalam setiap langkahku, dan rumah nenek akan selalu menjadi cahaya di ujung kenangan.

Menggapai Nostalgia bukan hanya sekadar cerita, melainkan perjalanan emosional yang mengajarkan kita untuk menghadapi luka masa lalu dan menemukan kekuatan dalam cinta keluarga. Desa Sumberjaya dan rumah nenek menjadi saksi bagaimana Zafira dan sahabatnya menemukan kedamaian, menginspirasi Anda untuk mengejar kenangan Anda sendiri dan membangun cerita baru. Jangan lewatkan kisah ini yang akan membawa hangat di hati Anda seperti aroma masakan nenek!

Terima kasih telah menyelami kehangatan dan emosi dalam Menggapai Nostalgia. Semoga cerita ini menginspirasi Anda untuk mengunjungi kembali kenangan indah dan menciptakan momen baru bersama keluarga. Sampai jumpa di cerita berikutnya, dan jangan lupakan untuk selalu menggapai nostalgia dalam hidup Anda!

Leave a Reply