Menggapai Cahaya: Pentingnya Literasi Menulis bagi Generasi Milenial

Posted on

Di tengah gemerlap dunia digital, generasi milenial seperti Zethran Kael sering terjebak dalam kebisingan layar, kehilangan jati diri mereka. Cerpen Menggapai Cahaya: Pentingnya Literasi Menulis bagi Generasi Milenial mengajak Anda menyelami perjalanan emosional seorang pemuda yang menemukan kembali dirinya melalui kekuatan tulisan. Artikel ini akan mengungkap bagaimana literasi menulis menjadi alat transformasi bagi milenial, menawarkan inspirasi dan panduan praktis untuk mengatasi tantangan era modern dengan kreativitas yang mendalam.

Menggapai Cahaya

Bayang di Antara Layar

Pagi di kota Jakarta pada Senin, 16 Juni 2025, terasa ramai dengan suara klakson dan derit roda kendaraan di jalanan yang padat. Di sebuah kamar sempit di pinggir kota, Zethran Kael, seorang pemuda milenial berusia 24 tahun, duduk di kursi plastik tua sambil menatap layar laptopnya yang sudah penuh goresan. Zethran, dengan rambut acak-acakan dan kemeja lusuh yang belum disetrika, adalah tipikal anak muda modern—terhubung dengan dunia digital, tapi terisolasi dari dunia nyata. Matanya yang cekung menunjukkan malam yang tak lagi dihabiskan untuk tidur, melainkan untuk scrolling media sosial dan bermain game online hingga larut.

Zethran bangun setiap hari pukul 08:00 WIB, terlambat untuk pekerjaan paruh waktunya sebagai asisten desain grafis di sebuah startup kecil. Ia buru-buru menyikat gigi dengan sikat yang sudah memudar warnanya, menuang sereal instan ke mangkuk retak, dan memeriksa ponselnya yang penuh notifikasi—pesan dari teman, iklan, dan undangan untuk acara virtual yang tak pernah ia hadiri. Di dinding kamarnya, poster-poster film superhero dan stiker game favorit menempel acak-acakan, mencerminkan minatnya yang terpaku pada hiburan digital. Tapi di sudut ruangan, sebuah buku catatan berdebu tergeletak, peninggalan dari masa kecilnya ketika ia masih suka menulis cerita pendek—sebuah kenangan yang kini terlupakan.

Hari ini, Zethran menghadapi tenggat waktu proyek desain logo untuk klien startup-nya. Ia membuka laptopnya, tangannya bergerak cepat di atas keyboard, tapi pikirannya kosong. “Kenapa susah banget mikir ide?” gumamnya, mengusap wajahnya dengan frustrasi. Di layar, desainnya terlihat biasa saja, kurang kreatif, dan tak ada sentuhan emosi yang diharapkan klien. Bosnya, Pak Harun, sudah dua kali mengirim pesan marah: “Zethran, ini deadline besok! Kalau nggak selesai, kontrakmu bisa dipotong!” Tekanan itu membuat Zethran semakin panik, tapi ia tak tahu cara keluar dari kebuntuan itu.

Zethran adalah bagian dari generasi milenial yang terperangkap dalam gempuran teknologi. Sejak kecil, ia terbiasa dengan gadget—ponsel pertamanya diberikan ayahnya, Alm. Kael Raditya, seorang penulis novel yang meninggal saat Zethran masih remaja. Ayahnya pernah mengajarinya menulis, duduk bersama di meja kayu tua sambil mengisi buku catatan dengan cerita tentang petualangan dan harapan. “Zethran, tulis apa yang kamu rasakan. Itu cara kamu bicara ke dunia,” kata Alm. Kael dengan suara hangat yang masih terngiang di ingatannya. Tapi setelah ayahnya pergi, Zethran meninggalkan pena, menggantinya dengan keyboard dan layar yang tak pernah diam.

Pukul 10:20 WIB, Zethran memutuskan untuk jalan-jalan sebentar di taman kota dekat rumahnya, mencari udara segar untuk menghilangkan stres. Di taman, ia melihat anak-anak bermain dan seorang kakek tua duduk di bangku kayu, menulis di buku kecil dengan tangan yang gemetar. Zethran penasaran, mendekat, dan bertanya, “Pak, itu apa yang ditulis?” Kakek itu, bernama Pak Juwono, tersenyum lemah. “Ini jurnal harian, Nak. Aku tulis kenangan sama istriku yang sudah meninggal. Menulis bikin aku tetap hidup,” jawabnya, matanya berkaca-kaca.

Kata-kata Pak Juwono menusuk hati Zethran. Ia teringat ayahnya, yang juga menulis untuk mengungkapkan perasaannya, dan bagaimana tulisan itu menjadi warisan emosional baginya. Tapi Zethran hanya mengangguk kecil, lalu berjalan pergi, pikirannya kini bercampur antara rasa bersalah dan kebingungan. Di dalam hatinya, ada kerinduan untuk kembali menulis, tapi ia tak tahu harus memulai dari mana. Dunia digital telah mengambil alih waktunya, dan literasi menulis terasa seperti kenangan jauh yang tak lagi relevan.

Sore itu, Zethran kembali ke kamarnya, menghadapi laptop yang masih menampilkan desain logo yang tak selesai. Ia mencoba mencari inspirasi di internet—membaca artikel desain, menonton video tutorial, dan mengikuti tren di media sosial. Tapi semakin ia mencari, semakin ia merasa kosong. “Semua cuma copy-paste. Nggak ada jiwa,” gumamnya, menutup laptop dengan kasar. Di sudut matanya, buku catatan berdebu itu menarik perhatiannya. Ia mengambilnya, membukanya, dan menemukan tulisan tangan ayahnya di halaman pertama: “Zethran, tulisanmu adalah cermin jiwamu. Jangan biarkan dunia memadamkannya.”

Air mata Zethran jatuh di atas kertas, meninggalkan noda kecil. Ia teringat hari-hari bersama ayahnya, ketika mereka duduk berjam-jam untuk mencipta cerita tentang pahlawan yang melawan kegelapan dengan pena. Tapi kini, Zethran merasa seperti pahlawan yang kehilangan senjatanya, terjebak dalam dunia yang penuh layar dan suara bising. Ia menulis kalimat pertama setelah bertahun-tahun: “Aku hilang, tapi aku ingin menemukan diriku kembali.” Tulisan itu goyah, tapi terasa seperti napas pertama setelah lama tercekik.

Malam tiba, dan Zethran duduk di meja kayu tua ayahnya, ditemani lampu belajar yang redup. Ia mencoba menulis lagi, kali ini tentang perasaannya terhadap pekerjaan yang monoton dan tekanan dari bosnya. Kata-kata mengalir pelan, kadang terhenti, tapi ia terus berusaha. Di luar jendela, suara jangkrik mengisi malam, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Zethran merasa ada kedamaian di hatinya. Ia tahu literasi menulis bukan hanya tentang keterampilan, tapi tentang menemukan dirinya sendiri di tengah dunia yang terus bergerak cepat.

Tapi ketenangan itu tak bertahan lama. Pukul 23:00 WIB, ponselnya bergetar dengan panggilan dari Pak Harun. “Zethran, logo-nya mana? Besok pagi harus jadi, atau kamu keluar!” teriak bosnya di seberang telepon. Zethran menutup mata, merasa tekanan kembali menyelimuti. Ia menatap buku catatan di tangannya, lalu laptop yang masih terbuka. Di dalam hatinya, ada pertempuran—antara keinginan untuk kembali menulis dan kebutuhan untuk bertahan hidup. Ia tak tahu apakah literasi menulis bisa menyelamatkannya, tapi malam itu, di bawah cahaya lampu redup, Zethran memutuskan untuk mencoba. Untuk ayahnya, untuk dirinya, dan untuk generasi milenial yang mungkin juga kehilangan jati diri di balik layar.

Jejak Pena di Tengah Badai

Pagi di Jakarta pada Selasa, 17 Juni 2025, menyapa Zethran Kael dengan suara klakson yang tak pernah reda dan sinar matahari yang menyelinap melalui celah jendela kamarnya yang sempit. Jam menunjukkan pukul 08:15 WIB, dan Zethran terbangun dengan kepala penuh rasa bersalah setelah melewatkan tenggat waktu desain logo semalam. Ia duduk di kursi plastik tua, rambutnya masih acak-acakan, dan menatap laptop yang masih terbuka dengan layar kosong. Panggilan Pak Harun tadi malam masih bergema di telinganya—“Kamu keluar kalau nggak selesai!”—membuat dadanya terasa sesak. Tapi di samping laptop, buku catatan berdebu yang ia tulis semalam tergeletak, menjadi saksi bisu perjuangan batinnya untuk kembali ke literasi menulis.

Zethran memulai hari dengan langkah berat. Ia menyikat gigi dengan sikat yang sudah memudar, menuang sereal instan ke mangkuk retak, dan memeriksa ponselnya yang penuh notifikasi—pesan dari teman yang mengeluh tentang pekerjaan, iklan aplikasi baru, dan email dari Pak Harun yang menyatakan bahwa kontraknya akan dievaluasi sore ini. Ia buru-buru mengenakan kemeja lusuh yang belum disetrika, memutuskan untuk menghadapi bosnya dengan harapan bisa menyelamatkan pekerjaannya. Di dalam hatinya, ada rasa takut bercampur dengan keinginan untuk membuktikan bahwa ia bisa lebih dari sekadar desainer grafis yang monoton.

Di perjalanan ke kantor startup kecil itu dengan angkutan umum, Zethran duduk di sudut bus yang penuh sesak, menatap jendela dengan pandangan kosong. Ia membuka buku catatan dari tasnya, membaca kalimat yang ia tulis semalam: “Aku hilang, tapi aku ingin menemukan diriku kembali.” Tulisan itu terlihat goyah, tapi ada kekuatan di dalamnya yang membuatnya terkejut. Ia mulai menulis lagi di bus yang berguncang, mencoba menuangkan perasaannya tentang tekanan pekerjaan dan kerinduan akan ayahnya, Alm. Kael Raditya. Kata-kata mengalir pelan, seperti air yang mulai menyelinap melalui celah batu—sederhana, tapi penuh emosi.

Saat tiba di kantor, pukul 10:30 WIB, Zethran langsung dipanggil ke ruangan kecil Pak Harun. Bosnya, seorang pria berusia 40-an dengan rambut mulai menipis, menatapnya dengan muka masam. “Zethran, logo-nya mana? Klien sudah komplain, dan aku nggak bisa bela kamu lagi. Kalau sampai sore nggak ada hasil, kamu tahu konsekuensinya,” katanya, suaranya tajam seperti pisau. Zethran menunduk, tangannya mencengkeram buku catatan di saku celananya. “Maaf, Pak. Saya coba lagi, tapi saya butuh waktu,” jawabnya pelan, suaranya penuh keraguan.

Pak Harun mendengus, lalu menyuruhnya kembali bekerja. Zethran duduk di meja kerjanya, dikelilingi oleh rekan-rekan yang sibuk dengan laptop mereka. Ia mencoba membuka software desain, tapi pikirannya kacau. Ia teringat Pak Juwono di taman kemarin, yang menulis jurnal untuk menyimpan kenangan, dan ayahnya yang pernah berkata, “Tulisanmu adalah cermin jiwamu.” Dengan hati-hati, ia mengambil pena dan mulai menulis di buku catatan—bukan desain, tapi cerita tentang seorang pemuda yang terjebak dalam dunia digital dan mencari jalan keluar. Kata demi kata muncul, menggambarkan perjuangan batinnya, dan untuk pertama kalinya, ia merasa ada makna di balik setiap kalimat.

Sore itu, pukul 15:00 WIB, Zethran dipanggil lagi oleh Pak Harun. Ia membawa buku catatan dan laptop, hatinya berdebar kencang. “Pak, saya nggak selesaikan logo-nya, tapi saya punya ide lain,” katanya, lalu membacakan cerita pendek yang ia tulis. Cerita itu tentang seorang desainer yang menemukan inspirasi melalui tulisan, dan bagaimana ia mengubah proyeknya menjadi karya yang penuh jiwa. Pak Harun mendengarkan dengan ekspresi bingung, tapi saat Zethran selesai, ada kilatan aneh di matanya. “Ini… menarik. Tapi bagaimana ini bantu logo?” tanya bosnya, nada suaranya sedikit melunak.

Zethran mengambil napas dalam-dalam. “Pak, saya bisa buat logo yang punya cerita. Saya tulis konsepnya dulu, lalu desain berdasarkan itu. Tulisan bantu saya mikir lebih dalam,” jelasnya, suaranya mulai mantap. Pak Harun terdiam, lalu mengangguk pelan. “Baik, kamu punya waktu sampai besok pagi. Kalau berhasil, aku pertimbangkan lagi kontrakmu. Tapi kalau gagal, selesai,” katanya, lalu membiarkan Zethran pergi.

Malam itu, Zethran kembali ke kamarnya dengan pikiran yang penuh harap dan ketakutan. Ia duduk di meja kayu tua ayahnya, ditemani lampu belajar yang redup, dan mulai menulis konsep untuk logo. Ia menuangkan emosi—kerinduan pada ayahnya, tekanan pekerjaan, dan keinginan untuk membuktikan dirinya. Setelah beberapa jam, ia membuka laptop dan menerjemahkan tulisannya ke dalam desain: sebuah logo sederhana dengan elemen pena dan cahaya, melambangkan harapan dan kreativitas. Desain itu terasa hidup, berbeda dari karya sebelumnya yang kaku dan tanpa jiwa.

Tapi ketenangan itu segera digantikan oleh keraguan. Pukul 01:00 WIB, Zethran menatap layar dengan mata lelah. “Apa ini cukup baik? Apa Pak Harun akan terima?” gumamnya, tangannya gemetar. Ia teringat ejekan teman-temannya di media sosial yang sering menyebutnya “ketinggalan zaman” karena suka menulis, dan komentar bosnya yang selalu mengkritik kinerjanya. Di sudut matanya, foto ayahnya di dinding—seorang pria dengan senyum hangat memegang buku—menatapnya. “Ayah, aku takut gagal,” bisiknya, air matanya jatuh di atas meja.

Di tengah malam yang sunyi, Zethran membuka buku catatan ayahnya yang ia temukan di laci beberapa hari lalu. Di halaman tengah, ia menemukan tulisan tangan Alm. Kael: “Zethran, kalau kamu tersesat, tulis. Itu akan membawamu pulang.” Kata-kata itu seperti pelukan hangat dari masa lalu, memberinya kekuatan untuk melanjutkan. Ia menulis lagi, kali ini tentang ketakutannya dan harapannya, hingga tangannya pegal dan pena hampir patah. Di luar jendela, suara hujan mulai turun, menciptakan irama yang menenangkan, dan Zethran merasa ada cahaya kecil yang menyelinap ke dalam hatinya.

Pagi berikutnya, pukul 08:00 WIB, Zethran tiba di kantor dengan desain logo yang telah selesai. Ia menyerahkannya kepada Pak Harun dengan tangan gemetar. Bosnya memeriksanya lama, lalu mengangguk pelan. “Ini… bagus, Zethran. Ada jiwa di sini. Klien pasti suka,” katanya, suaranya penuh kejutan. Zethran tersenyum tipis, tapi di dalam hatinya, ia tahu ini baru awal. Literasi menulis telah membantunya menemukan inspirasi, tapi ia juga sadar bahwa perjalanan ini akan penuh tantangan. Untuk ayahnya, untuk dirinya, dan untuk generasi milenial yang mungkin juga kehilangan suara mereka, Zethran bertekad untuk terus menulis, menjadikannya cahaya di tengah badai kehidupan digital.

Suara di Tengah Kebisingan

Pagi di Jakarta pada Rabu, 18 Juni 2025, menyapa Zethran Kael dengan udara yang sedikit lebih sejuk setelah hujan semalam. Jam menunjukkan pukul 07:45 WIB, dan sinar matahari pagi menyelinap melalui celah jendela kamarnya yang sempit, menerangi meja kayu tua tempat ia menghabiskan malam sebelumnya. Zethran bangun dengan tubuh lelah namun hati yang sedikit lebih ringan—desain logo yang ia serahkan kemarin diterima oleh Pak Harun, dan klien tampak puas. Tapi di balik kemenangan kecil itu, ada rasa gelisah yang menggerogoti. Ia tahu literasi menulis telah membantunya menemukan inspirasi, namun dunia di sekitarnya masih penuh dengan kebisingan digital yang terus menariknya kembali.

Zethran memulai hari dengan rutinitas yang sedikit berubah. Ia bangun lebih awal, pukul 07:00 WIB, menyikat gigi dengan sikat yang sudah memudar, dan menuang sereal instan ke mangkuk retak—tapi kali ini, ia duduk sebentar di meja ayahnya, membuka buku catatan yang kini menjadi teman setianya. Ia menulis beberapa baris tentang perasaannya setelah kemenangan semalam: “Aku menang, tapi aku takut ini cuma keberuntungan. Apa aku bisa terus begini?” Tulisan itu goyah, tapi terasa seperti pijakan pertama menuju sesuatu yang lebih besar. Di dinding, foto Alm. Kael Raditya menatapnya dengan senyum hangat, seolah memberikan dorongan diam-diam.

Di perjalanan ke kantor dengan angkutan umum, Zethran duduk di sudut bus yang penuh sesak, tangannya sibuk dengan buku catatan. Ia menulis tentang keramaian kota, tentang wajah-wajah lelah di sekitarnya, dan tentang bagaimana ia ingin suaranya didengar di tengah semua itu. Kata-kata mengalir lebih lancar sekarang, seolah pena itu menjadi ekstensi dari jiwanya. Di halte, ia melihat seorang pemuda seusianya sibuk dengan ponsel, tertawa sendirian sambil scrolling media sosial, dan Zethran merasa ada kesamaan—ia dulu seperti itu, terjebak dalam dunia yang tak pernah puas.

Saat tiba di kantor pukul 09:15 WIB, Zethran disambut oleh suasana yang sedikit lebih ramah. Pak Harun memanggilnya ke ruangan kecil, wajahnya tak lagi masam seperti biasa. “Zethran, klien suka banget sama logo kemarin. Mereka minta kamu buat konsep lain buat kampanye mereka. Tapi kali ini, aku mau kamu tunjukin prosesnya,” katanya, suaranya penuh harap. Zethran mengangguk, tapi di dalam hatinya, ia merasa tekanan baru. Ia tahu desainnya berhasil karena tulisan, tapi bagaimana ia bisa menjelaskan itu kepada bosnya yang lebih suka angka dan tenggat?

Sepanjang hari, Zethran bekerja di meja kerjanya, dikelilingi oleh rekan-rekan yang sibuk dengan laptop mereka. Ia membuka buku catatan, menulis konsep kampanye—sebuah cerita tentang perjuangan generasi milenial untuk menemukan identitas di era digital. Ia gambarkan seorang pemuda yang keluar dari layar untuk mengejar mimpinya, dan bagaimana tulisan menjadi panduannya. Setelah beberapa jam, ia menerjemahkan ide itu ke dalam desain: poster dengan elemen pena yang memancarkan cahaya, melambangkan harapan dan kreativitas. Proses itu terasa alami, berbeda dari hari-hari ketika ia hanya mengikuti tren tanpa jiwa.

Tapi sore itu, pukul 15:30 WIB, masalah muncul. Seorang rekan kerja, Rian, mendekatinya dengan senyum sinis. “Zethran, lo nulis apa sih di buku itu? Kaya anak SD. Sekarang zamannya AI dan desain cepet, lo ketinggalan zaman!” katanya, diikuti tawa kecil dari yang lain. Zethran merasa wajahnya panas, tangannya mencengkeram pena dengan erat. “Ini cara aku mikir, Rian. Lo nggak ngerti,” balasnya pelan, tapi suaranya gemetar. Rian mengangkat bahu, lalu pergi, meninggalkan Zethran yang terdiam, rasa malu dan kemarahan bercampur di dadanya.

Malam tiba, dan Zethran pulang ke kamarnya dengan hati berat. Ia duduk di meja ayahnya, ditemani lampu belajar yang redup, dan membuka buku catatan. Ia menulis tentang ejekan Rian, tentang bagaimana ia merasa kecil di tengah dunia yang menuntut kecepatan, dan tentang kerinduan akan penerimaan. Air matanya jatuh di atas kertas, meninggalkan noda yang membuat tinta luntur, tapi ia terus menulis. Di luar jendela, hujan turun lagi, menciptakan irama yang menenangkan, dan Zethran merasa ada kekuatan dalam kesedihannya.

Pukul 21:00 WIB, Zethran mendapat pesan dari Pak Juwono, kakek yang ia temui di taman. “Nak Zethran, aku baca tulisan lo di komunitas online. Bagus, lanjutkan. Menulis itu kekuatan lo.” Zethran terkejut—ia tak ingat pernah mengunggah tulisannya, tapi ternyata ia secara tidak sengaja membagikannya di grup literasi yang ia ikuti beberapa hari lalu. Ia membuka platform itu dan melihat komentar positif dari anggota lain: “Ceritanya menyentuh,” “Teruslah menulis!” Kata-kata itu seperti obat bagi lukanya, membuatnya tersenyum untuk pertama kalinya sejak ejekan Rian.

Dengan semangat baru, Zethran menulis lagi, kali ini lebih panjang—sebuah esai tentang pentingnya literasi menulis bagi generasi milenial. Ia tulis tentang bagaimana teknologi memberi kenyamanan, tapi juga mencuri kreativitas, dan bagaimana menulis bisa menjadi jembatan untuk menyambungkan jiwa dengan dunia. Setelah selesai, ia mengunggahnya ke platform, hatinya penuh harap. Di tengah malam yang hening, ia membuka buku catatan ayahnya, membaca kalimat baru: “Zethran, suaramu akan didengar kalau kamu berani mengangkat pena.”

Pagi berikutnya, pukul 08:00 WIB, Zethran tiba di kantor dengan desain kampanye yang telah selesai, ditunjang oleh esai yang ia tulis. Ia menyerahkannya kepada Pak Harun, menjelaskan prosesnya dengan percaya diri. “Pak, ini konsepnya dari tulisan saya. Saya pikir generasi milenial butuh cerita, bukan cuma gambar,” katanya, suaranya mantap. Pak Harun memeriksanya lama, lalu mengangguk. “Ini luar biasa, Zethran. Ada jiwa di sini. Klien pasti suka,” katanya, suaranya penuh kekaguman.

Tapi di dalam hatinya, Zethran tahu perjuangan belum selesai. Ejekan Rian masih terngiang, dan dunia digital terus menariknya. Ia duduk di meja kerjanya, membuka buku catatan, dan menulis lagi—tentang kekuatan literasi untuk bertahan di tengah kebisingan. Di luar jendela, matahari bersinar terang, dan Zethran merasa suaranya mulai terdengar, meski masih lemah. Untuk ayahnya, untuk dirinya, dan untuk generasi milenial yang kehilangan jati diri, ia bertekad untuk terus menulis, menjadikannya cahaya di tengah badai.

Terbitnya Cahaya di Ujung Perjuangan

Pagi di Jakarta pada Senin, 23 Juni 2025, menyapa Zethran Kael dengan langit yang cerah, sebuah perubahan menyegarkan setelah beberapa hari hujan. Jam menunjukkan pukul 10:22 WIB, dan sinar matahari pagi menyelinap melalui celah jendela kamarnya yang sempit, menerangi meja kayu tua tempat ia menghabiskan malam-malam terakhir dengan pena dan buku catatan. Zethran bangun dengan tubuh yang sedikit lelah namun hati yang penuh harap—desain kampanye yang ia serahkan kemarin diterima dengan pujian oleh klien, dan esai yang ia tulis di platform online mulai menarik perhatian. Tapi di balik kemenangan itu, ada rasa tanggung jawab baru yang menggelora, dorongan untuk membuktikan bahwa literasi menulis bukan hanya untuk dirinya, melainkan untuk generasi milenial yang terjebak di dunia digital.

Zethran memulai hari dengan semangat yang berbeda. Ia bangun pukul 07:30 WIB, lebih awal dari biasanya, menyikat gigi dengan sikat yang sudah memudar, dan menyiapkan sarapan sederhana—roti tawar dengan selai yang hampir habis. Kali ini, ia tak buru-buru; ia duduk di meja ayahnya, membuka buku catatan, dan menulis tentang perasaannya: “Aku mulai menemukan diriku, tapi aku tak ingin berhenti di sini. Aku ingin cahaya ini menyentuh yang lain.” Tulisan itu terasa seperti janji pada dirinya sendiri, sebuah tekad untuk melangkah lebih jauh. Di dinding, foto Alm. Kael Raditya menatapnya dengan senyum hangat, seolah memberikan restu.

Di perjalanan ke kantor dengan angkutan umum, Zethran duduk di sudut bus yang penuh sesak, tangannya sibuk dengan buku catatan. Ia menulis tentang harapannya untuk menciptakan komunitas menulis bagi milenial, sebuah tempat di mana mereka bisa menemukan suara mereka sendiri. Kata-kata mengalir lancar, dan untuk pertama kalinya, ia merasa ada tujuan di balik setiap kalimat. Di halte, ia melihat pemuda yang sama seperti kemarin, sibuk dengan ponselnya, dan Zethran tersenyum kecil—ia tahu betapa sulitnya melepaskan kebiasaan itu, tapi ia juga tahu ada jalan keluar.

Saat tiba di kantor pukul 09:45 WIB, Zethran disambut oleh suasana yang lebih hangat. Pak Harun memanggilnya ke ruangan kecil, wajahnya penuh senyum langka. “Zethran, klien suka banget sama kampanye kemarin. Mereka minta lo buat workshop kreativitas buat tim mereka, dan aku pikir lo cocok jadi fasilitator. Tulisan lo itu inspirasi banget,” katanya, suaranya penuh kebanggaan. Zethran terkejut, tapi juga tersentuh. “Terima kasih, Pak. Saya akan coba yang terbaik,” jawabnya, suaranya penuh semangat.

Sepanjang hari, Zethran bekerja dengan penuh antusiasme, merancang rencana workshop. Ia menulis panduan sederhana di buku catatan—bagaimana menulis bisa membuka kreativitas, bagaimana pena bisa menjadi senjata melawan kebuntuan, dan bagaimana generasi milenial bisa menemukan identitas mereka melalui kata-kata. Ia bahkan membuat desain poster untuk acara itu, menggabungkan elemen pena dan cahaya yang menjadi ciri khasnya. Proses itu terasa seperti perjalanan spiritual, sebuah cara untuk menghormati warisan ayahnya.

Tapi tantangan muncul sore itu, pukul 15:00 WIB. Rian, rekan kerjanya yang suka mengejek, mendekatinya lagi, kali ini dengan nada lebih tajam. “Zethran, lo bikin workshop apa sih? Nulis itu kuno, orang sekarang pakai AI. Lo cuma cari perhatian!” katanya, diikuti tawa dari beberapa rekan lain. Zethran merasa wajahnya panas, tapi kali ini ia tak menunduk. “Rian, coba lo tulis apa yang lo rasakan. AI nggak bisa kasih jiwa, tapi tulisan bisa,” balasnya, suaranya teguh meski tangannya gemetar. Rian terdiam, lalu pergi dengan muka merah, meninggakan Zethran yang berdiri tegak, rasa bangga kecil mulai tumbuh di dadanya.

Malam itu, Zethran pulang ke kamarnya dengan pikiran penuh inspirasi. Ia duduk di meja ayahnya, ditemani lampu belajar yang redup, dan menyelesaikan rencana workshop. Ia juga memeriksa platform online, terkejut melihat esai pertamanya telah dibaca oleh lebih dari seratus orang, dengan komentar penuh dukungan: “Terima kasih, ini membukakan mataku,” “Ayo buat komunitas!” Kata-kata itu seperti angin segar, membuatnya tersenyum lebar. Ia menulis lagi, kali ini sebuah surat terbuka untuk generasi milenial, mengajak mereka mengangkat pena dan menemukan suara mereka.

Pukul 22:00 WIB, Zethran mendapat panggilan dari Pak Juwono. “Nak Zethran, aku bangga sama lo. Aku mau bantu lo buat komunitas menulis. Kita mulai dari taman, bagaimana?” tanya kakek itu dengan suara penuh semangat. Zethran terharu, air matanya jatuh tanpa suara. “Terima kasih, Pak. Saya mau banget,” jawabnya, suaranya bergetar. Malam itu, ia tidur dengan damai, memimpikan hari ketika pena menjadi simbol perubahan.

Sabtu, 28 Juni 2025, workshop pertama diadakan di taman kota. Zethran berdiri di depan puluhan milenial, membawa buku catatan dan pena, ditemani Pak Juwono dan beberapa anggota komunitas online. Ia memulai dengan membaca esai pertamanya, lalu mengajak peserta menulis tentang perasaan mereka. Awalnya, banyak yang ragu, sibuk dengan ponsel mereka, tapi perlahan, pena mulai bergerak. Suara tawa dan diskusi mengisi udara, dan Zethran merasa seperti ayahnya berdiri di sisinya, tersenyum bangga.

Sore itu, setelah workshop selesai, Zethran duduk di bangku kayu bersama Pak Juwono. “Nak, lo udah nemuin cahaya lo. Teruskan, ini baru awal,” kata kakek itu, menepuk pundaknya. Zethran mengangguk, menatap langit senja yang indah. Ia membuka buku catatan ayahnya untuk terakhir kalinya, membaca kalimat terakhir: “Zethran, cahayamu akan menerangi yang lain.” Air matanya jatuh, tapi kali ini penuh kelegaan.

Di bawah pohon besar di taman, Zethran berdiri dengan komunitas barunya, pena di tangan, dan hati yang penuh harap. Literasi menulis telah mengubahnya dari pemuda yang tersesat menjadi pemimpin yang menginspirasi. Untuk ayahnya, untuk dirinya, dan untuk generasi milenial, ia berjanji akan terus menulis, menjadikan kata-kata sebagai cahaya yang menerangi masa depan.

Kisah Zethran Kael dalam Menggapai Cahaya: Pentingnya Literasi Menulis bagi Generasi Milenial menunjukkan bahwa literasi menulis adalah kunci untuk menemukan cahaya di tengah kegelapan era digital. Dari seorang pemuda yang tersesat, Zethran bangkit menjadi inspirasi dengan membangun komunitas yang memperjuangkan kekuatan pena, membuktikan bahwa menulis dapat mengubah hidup dan masa depan generasi milenial. Jangan lewatkan cerpen menyentuh hati ini untuk memotivasi diri Anda memulai perjalanan menulis hari ini!

Terima kasih telah menyelami kisah inspiratif Zethran Kael yang penuh makna ini. Semoga cerita ini membangkitkan semangat Anda untuk menulis dan menemukan cahaya pribadi Anda. Sampai jumpa di artikel menarik berikutnya, dan jangan lupa bagikan inspirasi ini dengan orang-orang di sekitar Anda!

Leave a Reply