Mengejar Sakura: Liburan Tak Terlupakan Elisha di Jepang

Posted on

Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya penasaran dengan cerita seru liburan ke Jepang? Yuk, ikuti petualangan Elisha, seorang anak SMA yang gaul dan penuh semangat, saat menjelajahi Tokyo bersama keluarganya.

Dari hiruk-pikuk Shibuya Crossing hingga ramen terenak di sebuah restoran kecil, setiap momen liburannya dipenuhi dengan kehangatan, kejutan, dan pengalaman seru yang bikin kamu ingin segera mengemas koper! Jangan sampai ketinggalan cerita yang bikin senyum ini!

 

Liburan Tak Terlupakan Elisha di Jepang

Terbang Menuju Negeri Impian

Sejak kecil, aku selalu bermimpi pergi ke Jepang. Entah kenapa, segala hal tentang negeri itu terasa begitu magis bagiku. Dari gunung Fuji yang megah hingga bunga sakura yang bermekaran di musim semi, semuanya seperti memanggilku untuk datang. Dan sekarang, mimpi itu akhirnya jadi kenyataan.

Pagi itu, aku bangun lebih awal dari biasanya. Padahal, malam sebelumnya aku hampir tidak bisa tidur karena terlalu bersemangat. Aku melompat dari tempat tidur, mengecek koperku lagi untuk memastikan semua sudah siap. Pakaian, kamera, paspor, dan tentu saja, snack favoritku. “Al, cepetan turun! Kita harus ke bandara sekarang!” seru Mama dari bawah.

“Sebentar, Ma! Lagi cek koper!” jawabku sambil terburu-buru menutup ritsleting. Setelah memastikan semuanya oke, aku menyeret koperku keluar kamar dan menuruni tangga dengan riang.

Di perjalanan menuju bandara, aku tak henti-hentinya membayangkan bagaimana Jepang nanti. “Kira-kira suhunya dingin banget nggak, ya? Trus makanannya gimana?” tanyaku sambil menatap pemandangan jalan tol. Papa hanya tersenyum kecil dari balik kemudi, sementara Mama sibuk mencari informasi tentang tempat-tempat wisata di ponselnya.

Sesampainya di bandara, suasana ramai seperti biasa, tapi aku merasa semuanya lebih istimewa kali ini. Kami check-in, melewati pemeriksaan imigrasi, lalu menunggu di gate keberangkatan. Saat pengumuman boarding terdengar, hatiku berdebar. “Ini dia! Jepang, aku datang!” gumamku dalam hati.

Di dalam pesawat, aku duduk di samping jendela tempat favoritku. Begitu pesawat lepas landas, aku menatap keluar, melihat kota Jakarta perlahan mengecil di bawah. “Al, kamu nggak capek senyum terus dari tadi?” goda Mama. Aku hanya tertawa kecil, lalu kembali menatap awan.

Perjalanan 7 jam terasa seperti selamanya, tapi akhirnya pengumuman pendaratan membuatku kembali bersemangat. Begitu roda pesawat menyentuh landasan Narita, aku merasa seperti melangkah ke dunia baru. Udara dingin langsung menyapa saat aku keluar dari bandara. “Dingin banget!” seruku sambil membetulkan jaket.

Kami langsung naik kereta menuju Tokyo. Sepanjang perjalanan, aku tidak berhenti mengagumi pemandangan. Rumah-rumah kecil dengan atap miring, pohon-pohon tanpa daun karena musim semi baru saja mulai, semuanya terasa begitu indah.

Sesampainya di hotel, aku langsung ingin menjelajah. Tapi Mama bilang kami harus istirahat dulu. “Kita baru mulai besok, Al. Kalau kamu capek sekarang, nanti nggak bisa menikmati perjalanan,” katanya. Meski sedikit kecewa, aku tahu Mama benar.

Di malam pertama itu, aku duduk di balkon hotel, menatap lampu-lampu kota Tokyo yang gemerlap. Angin malam terasa dingin, tapi aku tetap tersenyum. Aku akhirnya ada di sini Jepang, negeri impianku. Dan ini baru awal dari perjalanan yang luar biasa.

 

Petualangan di Tengah Hiruk Pikuk Tokyo

Pagi pertama di Tokyo dimulai dengan suara alarm yang aku set terlalu pagi. Matahari baru saja naik, tapi aku sudah siap dengan sweater hangat dan sepatu ketsku. “Al, kamu semangat banget sih. Sarapan dulu dong,” kata Mama sambil menyodorkan semangkuk onigiri yang ia beli di konbini dekat hotel tadi pagi.

Aku mengambil satu, lalu menggigitnya perlahan. Rasanya unik, ada gurih dari nori dan manis dari isian di dalamnya. “Enak, Ma! Kita di Indonesia harus sering makan begini,” candaku. Mama hanya tertawa kecil, sementara Papa sedang sibuk memeriksa peta digital.

Tujuan pertama kami adalah Senso-ji, kuil tua di Asakusa. Aku tidak pernah menyangka Tokyo yang sering kulihat di film atau video akan terasa lebih hidup dari yang kubayangkan. Kami naik kereta dari stasiun terdekat. Semua terlihat begitu teratur dan bersih, tapi saat kereta datang, aku hampir salah masuk ke gerbong khusus perempuan. “Al, sini! Itu khusus ladies,” bisik Papa sambil tertawa kecil. Aku hanya nyengir malu.

Begitu sampai di stasiun Asakusa, aku langsung melihat suasana yang berbeda. Jalan menuju kuil dipenuhi orang. Penjual takoyaki, es krim matcha, dan dorayaki berjejer di sepanjang jalan Nakamise-dori. Aroma makanan yang menggiurkan membuatku tidak tahan. “Beli satu ya, Ma?” Aku menunjuk takoyaki yang sedang dimasak oleh seorang bapak tua dengan senyum ramah. Takoyakinya panas, kenyal, dan gurih. “Ini terbaik!” seruku sambil mengunyah.

Ketika sampai di Senso-ji, aku terdiam. Kuil ini terasa begitu megah dengan gerbang Kaminarimon yang besar dan lentera merah raksasa tergantung di tengah. “Ini yang sering aku lihat di buku!” Aku berlari kecil mendekat untuk mengambil foto. Setelah itu, aku mencoba ritual tradisional mencuci tangan dan wajah di sumur kecil sebelum masuk ke area kuil.

Aku juga ikut menggoyang-goyangkan omikuji, tabung kecil yang berisi kertas ramalan. Ketika menarik keluar kertasnya, aku membaca tulisan dalam bahasa Inggris: “Good Fortune.” Aku tersenyum lebar, merasa beruntung.

Namun, perjalanan hari itu tidak selalu mulus. Saat berjalan ke arah Tokyo Skytree untuk makan siang, hujan tiba-tiba turun. Kami yang tidak membawa payung langsung mencari tempat berteduh. “Hujan ini bikin suasana jadi lebih seru,” ucap Papa sambil tertawa, meskipun jaketnya sudah basah. Aku hanya bisa mengangguk, mencoba menikmati momen itu.

Sesampainya di restoran dekat Skytree, kami memesan ramen panas untuk menghangatkan tubuh. Kuahnya kental dan penuh rasa, ditambah dengan telur setengah matang yang sempurna. “Ini ramen terbaik yang pernah aku makan,” kataku sambil menyeka keringat di dahi.

Sore harinya, hujan sudah reda. Kami naik ke Tokyo Skytree, menantang diriku sendiri untuk mengatasi rasa takut ketinggian. Dari lantai observasi, aku bisa melihat seluruh kota Tokyo. Lampu-lampu mulai menyala seiring matahari tenggelam. “Indah banget,” gumamku pelan, merasa semua ini seperti mimpi.

Hari itu diakhiri dengan perjalanan pulang ke hotel yang sunyi tapi penuh kesan. Tubuhku lelah, tapi hatiku bahagia. Petualangan di Tokyo baru dimulai, dan aku tidak sabar untuk melanjutkannya.

 

Harajuku, Kejutan di Jalan Takeshita

Hari kedua di Tokyo, aku bangun dengan semangat yang meluap-luap. Hari ini jadwalnya adalah mengunjungi Harajuku, kawasan yang terkenal dengan mode unik dan jalan Takeshita yang ikonik. “El, jangan lupa bawa tas kecilmu. Jangan semua barang dimasukkan ke kantong!” seru Mama, mengingat kebiasaanku yang sering ceroboh.

Aku menatap bayanganku di cermin. Aku mengenakan sweater oversized berwarna pastel dengan rok denim dan sepatu kets putih yang baru kubeli. Aku ingin terlihat on point untuk jalan-jalan di tempat yang penuh gaya seperti Harajuku. “Oke, siap berangkat!” seruku sambil menyandang tas selempang kecilku.

Kereta menuju Harajuku penuh dengan orang-orang yang juga tampak bersemangat. Saat tiba di stasiun, aku langsung disambut oleh suasana yang berbeda. Harajuku terasa seperti dunia lain. Musik pop Jepang mengalun dari berbagai toko, sementara aroma manis dari crepes memenuhi udara. Jalan Takeshita penuh dengan anak muda yang berpakaian unik dari gaya lolita hingga streetwear. Aku hampir tidak bisa berhenti memotret mereka.

Kami memulai perjalanan dengan mencoba crepes Harajuku yang terkenal. Aku memilih isian stroberi segar, krim kocok, dan cokelat. Rasanya luar biasa, perpaduan manis dan segar yang sempurna. “Ma, ini harus dicoba!” Aku menyerahkan crepes itu ke Mama, sementara Papa sibuk memilih gantungan kunci lucu di toko suvenir.

Tapi, momen bahagia ini tiba-tiba berubah ketika aku menyadari sesuatu. “Tas kecilku?!” Aku meraba-raba, dan tas itu tidak lagi menggantung di pundakku. Jantungku berdegup kencang. Di dalam tas itu ada dompetku, ponsel, dan kartu hotel. “Ma, tasku hilang!” seruku panik.

Mama dan Papa langsung menghentikan aktivitas mereka. Papa mencoba menenangkan, tapi aku sudah hampir menangis. “Kita cari, Al. Jangan panik dulu,” kata Papa sambil mengajak kami berjalan mundur mengikuti jejak langkah yang tadi kami lalui.

Air mataku hampir tumpah ketika kami menyusuri jalanan Takeshita. Aku mengingat setiap toko yang aku kunjungi, setiap tempat aku berhenti untuk foto, berharap menemukan tas kecilku tergeletak di suatu sudut. Tapi hasilnya nihil.

Ketika aku hampir menyerah, seorang gadis Jepang dengan pakaian lolita mendekat. “Kore wa anatano desu ka?” tanyanya sambil menunjukkan tas kecilku. Aku tertegun. Gadis itu menjelaskan dengan bahasa Inggris terbata-bata bahwa ia menemukan tas itu di depan toko aksesoris.

“Arigatou! Arigatou gozaimasu!” Aku membungkuk berkali-kali, menahan air mata lega. Aku tidak percaya betapa beruntungnya aku. Setelah memeriksa isi tas, aku mendapati semuanya masih lengkap, termasuk ponsel dan dompetku.

Setelah kejadian itu, aku merasa lebih menghargai setiap momen di Harajuku. Kami melanjutkan perjalanan dengan lebih hati-hati. Aku membeli beberapa aksesori lucu sebagai kenang-kenangan dan bahkan mencoba pakaian tradisional yukata di salah satu toko.

Hari itu diakhiri dengan berjalan-jalan di Taman Yoyogi yang dekat dari Harajuku. Udara segar sore itu membantuku menenangkan pikiran. Aku duduk di bangku taman sambil menikmati sisa crepes yang Mama simpan untukku. “Al, pengalamanmu hari ini jadi pelajaran, kan?” Mama tersenyum sambil menggenggam tanganku. Aku mengangguk, merasa bersyukur atas apa yang sudah terjadi.

Di tengah semua itu, aku menyadari bahwa perjalanan ke Harajuku bukan hanya soal melihat mode atau mencoba makanan enak. Tapi juga soal bagaimana menghadapi kejadian tak terduga dengan ketenangan dan rasa syukur. Itu adalah pengalaman yang akan selalu aku kenang.

 

Malam Tak Terlupakan di Shibuya Crossing

Malam terakhir kami di Tokyo adalah puncak dari semua pengalaman seru selama liburan. Setelah kejadian di Harajuku, aku merasa lebih waspada, tetapi sekaligus lebih menghargai setiap momen. Rencana malam ini adalah mengunjungi Shibuya, salah satu distrik paling terkenal di Tokyo, untuk melihat gemerlap lampu kota dan menikmati makan malam di sebuah restoran ramen tradisional.

Kami tiba di stasiun Shibuya saat matahari mulai tenggelam. Langit Tokyo yang oranye berpadu dengan sorotan lampu neon dari papan iklan raksasa, menciptakan pemandangan yang sulit dilupakan. Langkah pertama keluar dari stasiun, aku langsung berhadapan dengan kerumunan yang bergerak di Shibuya Crossing persimpangan jalan tersibuk di dunia.

“Wow, ramai banget!” seruku sambil menggenggam tangan Mama. Papa tertawa kecil. “Ini baru Tokyo. Ayo kita coba menyeberang!”

Kami berdiri di antara ratusan orang yang menunggu lampu hijau. Begitu lampu berubah, semua orang bergerak seperti arus sungai yang mengalir deras. Aku, Mama, dan Papa berjalan bersama, tetapi aku memutuskan untuk berhenti sejenak di tengah persimpangan. “Elisha, cepat!” seru Mama, tetapi aku hanya tersenyum sambil memotret pemandangan sekitar. Rasanya seperti di tengah film.

Setelah menyeberang, kami memutuskan untuk naik ke sebuah kafe dengan pemandangan langsung ke Shibuya Crossing. Dari atas, aku bisa melihat kerumunan yang terus bergerak seperti gelombang manusia. Aku mengambil beberapa foto dan mengunggahnya ke Instagram. “Tokyo vibes, unforgettable moments,” tulisku di caption, disertai emoji hati dan bintang.

Kami kemudian berjalan menuju restoran ramen kecil yang direkomendasikan oleh resepsionis hotel kami. Suasana restoran itu sederhana namun hangat, dengan aroma kuah kaldu yang langsung membuat perutku keroncongan. Aku memesan ramen miso dengan topping telur setengah matang dan irisan daging babi yang tebal. Saat menyeruput kuahnya, aku hampir menangis. “Ini ramen terenak yang pernah aku makan!”

Di tengah makan malam, Papa mendapat pesan dari seorang teman lama yang tinggal di Tokyo. “El, kita akan bertemu Uncle Kenji sebentar. Dia mau mengajak kita ke tempat spesial,” kata Papa. Aku penasaran, tetapi juga bersemangat.

Setelah makan, kami berjalan kaki menuju tempat yang dimaksud. Uncle Kenji, teman Papa sejak kuliah, menjemput kami di depan sebuah toko elektronik besar. “Saya punya kejutan untuk kalian,” katanya dengan bahasa Indonesia yang fasih.

Dia membawa kami ke Sky Deck Shibuya Scramble Square, sebuah dek observasi yang terletak di lantai tertinggi gedung. Saat tiba di atas, aku benar-benar terpesona. Dari ketinggian, aku bisa melihat seluruh Tokyo yang bercahaya di bawah langit malam. Gedung-gedung tinggi, jalanan yang penuh dengan mobil, dan kerlap-kerlip lampu kota menciptakan pemandangan yang luar biasa.

Aku berdiri di dekat pagar kaca, membiarkan angin malam menerpa wajahku. “Mama, Papa, ini indah banget. Aku nggak pengen pulang,” kataku sambil memeluk mereka.

Mama tersenyum dan berkata, “Liburan ini memang spesial, ya, Al. Tapi justru karena itu, kita harus pulang membawa semua kenangan ini untuk terus disimpan.”

Aku mengangguk. Malam itu terasa seperti penutup sempurna untuk perjalanan kami. Saat turun dari Sky Deck, aku merasa penuh dengan rasa syukur atas setiap momen yang telah kami alami, dari rasa takut kehilangan tas di Harajuku hingga rasa kagum di Shibuya.

Tokyo tidak hanya memberiku pengalaman baru, tetapi juga pelajaran untuk menghargai keluarga, kejadian tak terduga, dan kebahagiaan sederhana. Ini adalah malam yang akan selalu aku ingat sebagai salah satu momen terbaik dalam hidupku.

 

Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Liburan ke Jepang bersama Elisha bukan hanya tentang mengunjungi tempat-tempat indah, tetapi juga menciptakan kenangan berharga bersama keluarga. Dari belajar budaya baru hingga menikmati kebersamaan, setiap detik perjalanan ini penuh dengan cerita. Jadi, sudah siap merencanakan liburan seru seperti Elisha? Jangan lupa bagikan pengalamanmu juga, ya!

Leave a Reply