Daftar Isi
Pernah nggak sih ngerasa kayak hidup kamu nggak fair banget? Kayak semua orang punya kesempatan lebih besar, sementara kamu cuma bisa ngeliat dari jauh? Aldrin, si pemuda ini, ngalamin itu banget. Berasal dari keluarga yang nggak punya banyak, tapi mimpi jadi pemain sepak bola profesional tuh nggak pernah hilang.
Dari latihan yang nggak kenal lelah, sampe jatuh bangun di lapangan, dia nggak pernah nyerah, meskipun dunia terus bikin dia ragu. Kalo kamu lagi ngerasa kayak Aldrin, mungkin cerpen ini bakal bikin kamu sadar kalo nggak ada yang nggak mungkin asal kamu nggak berhenti berusaha.
Mengejar Cita-Cita Sepak Bola
Lapangan Tanah yang Terkikis Waktu
Aldrin menghela napas, menatap lapangan tanah yang telah lama menjadi tempat ia menghabiskan sebagian besar waktunya. Tempat yang tidak pernah berubah—penuh kerikil tajam, rumput liar yang tumbuh di beberapa sudut, dan tiang gawang yang sudah agak miring. Di sinilah semua bermula, di lapangan yang jauh dari kemewahan, di mana bola yang ia tendang seolah bisa berbicara tentang setiap keinginannya. Tapi hari ini, ada rasa berbeda di dadanya. Sesuatu yang lebih berat dari biasanya.
“Din, kamu kenapa? Kok bengong gitu?” tanya Ardan, teman sekaligus rekan sekelompoknya, saat melihat Aldrin yang berdiri terlalu lama di sisi lapangan, bola hanya tergolek tak bergerak di kakinya.
Aldrin menoleh, tersenyum tipis meski senyum itu tak mencapai mata. “Nggak apa-apa. Pikirin… Seleksi nanti.”
Ardan mengangkat alis, matanya menilai. “Kamu nggak usah khawatir, Din. Kamu udah latihan lebih keras dari yang lain. Kalau kita bisa, ya kamu juga pasti bisa.”
Aldrin menggigit bibir bawahnya. “Lihat aja nanti.” Ia berbalik, melangkah menuju titik tengah lapangan. Lapangan ini terlalu kecil untuk impian sebesar yang ada di dalam kepalanya.
Sudah sebulan terakhir, mereka berdua, bersama beberapa teman lain, berlatih keras untuk seleksi tim sepak bola sekolah. Walaupun lapangan yang mereka gunakan sangat terbatas, Aldrin tidak pernah menyerah. Setiap tendangan, setiap putaran bola, selalu dipenuhi dengan harapan. Namun, harapan itu kian hari terasa semakin jauh. Setiap kali ia melirik ke teman-temannya yang menggunakan sepatu bola baru, seragam yang masih segar, ia merasa seperti seseorang yang tak pernah cocok berada di sana.
“Yuk, Din! Kita coba tendangan bebas lagi, siapa tahu ini bisa jadi senjata andalan kita!” seru Ardan dari ujung lapangan, menggiring Aldrin keluar dari lamunannya.
Aldrin mengangguk pelan dan berjalan mengikuti Ardan. Ia menatap bola yang tergeletak di atas rumput yang sudah hampir kering, memperhatikan teksturnya yang sudah tidak halus lagi, seperti kehidupannya yang semakin hari semakin terasa penuh kerikil.
Tendangan pertama, bola meluncur ke kiri gawang.
“Yah, kurang tepat!” Ardan berteriak sambil menepuk kepalanya. “Coba lagi, Din!”
Aldrin hanya mengangkat bahu dan mengatur posisi bola. Tangannya sedikit gemetar. “Aku… nggak yakin bakal lolos seleksi, Ar.”
“Kamu jangan bilang gitu! Kita semua juga nggak punya fasilitas kayak anak-anak dari sekolah lain. Tapi kalau nggak coba, ya nggak bakal tahu hasilnya.”
Aldrin hanya diam, menatap bola yang sekarang sudah berada di hadapannya. “Ya, tapi mereka… Mereka kan punya semua yang dibutuhkan. Sementara aku cuma punya ini.” Ia menendang bola itu, bola meluncur sempurna melewati gawang.
Ardan melompat kegirangan. “Nah! Itu baru namanya tendangan! Kamu bisa, Din!”
Aldrin hanya tersenyum tipis, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan. “Itu cuma kebetulan, Ar. Nanti kalau aku gagal, jangan kaget ya.”
Ardan menatapnya serius. “Gagal itu cuma sementara. Jangan biarkan itu menghalangimu. Yang penting sekarang adalah kamu berani mencoba, Din. Jangan lihat apa yang nggak ada di tangan kamu. Lihat apa yang bisa kamu lakukan dengan apa yang ada.”
Mereka berlatih sampai matahari mulai terbenam. Lapangan kecil itu semakin terasa sepi, hanya ada suara nafas mereka yang terengah-engah dan langkah kaki yang berat.
Saat pulang, Aldrin menyadari bahwa rasa cemasnya kian menggunung. Seiring dengan sepinya malam yang merayap, ia merasa semakin jauh dari mimpinya. Ia tahu jalan yang akan ditempuh tidak akan mudah, terutama dengan kenyataan bahwa ia berasal dari keluarga yang tidak mampu. Setiap malam, ibunya bekerja keras di warung kecil mereka, menjual makanan sederhana untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Aldrin sering berpikir, apakah impiannya ini akan hancur begitu saja? Apakah ia akan terus terjebak dalam kesulitan yang tak pernah berhenti?
“Din, ayo makan!” teriak ibunya dari dalam rumah, memanggilnya yang baru saja pulang dari lapangan.
Aldrin berjalan menuju rumah dengan langkah berat. “Iya, Ma.”
Saat duduk di meja makan, ia menatap piring sederhana yang sudah tersedia. Makanan yang selalu ada, meski tidak banyak. Di tengah kesederhanaan itu, ada sebuah harapan yang selalu diberikan ibunya: “Kamu bisa, Nak. Tidak ada yang mustahil.”
Namun, semakin ia mencoba, semakin ia merasa bahwa harapan itu perlahan memudar. Seleksi tinggal beberapa hari lagi, dan Aldrin merasa semakin tak percaya diri. Semua yang dilihatnya, semua yang dirasakannya, seolah memberitahunya bahwa mungkin ia bukanlah orang yang pantas meraih mimpi itu.
Malam itu, ia berbaring di kasur, menatap langit-langit yang gelap, memikirkan segala hal yang telah ia coba, yang mungkin tidak cukup. Matanya terpejam, namun pikiran tentang seleksi itu terus mengganggu. “Apa aku cukup baik?” tanyanya dalam hati. Tapi jawaban itu tidak datang.
Ketika pagi tiba, Aldrin tahu bahwa ia harus bangkit lagi. Tidak peduli seberapa besar keraguan yang ada di dalam dirinya. Mimpi itu—impian untuk menjadi pemain sepak bola yang terkenal—terus menyiksanya, mengingatkannya untuk terus berjuang, meskipun dunia seakan berkata bahwa ia tidak pantas.
Langkah yang Terhenti di Ujung Harapan
Aldrin berdiri di depan pintu kelas, matanya melirik daftar nama yang terpampang besar di papan pengumuman. Hatinya berdebar, keringat dingin mulai mengalir meski udara pagi itu terasa cukup sejuk. Suasana di sekitar terasa begitu hening, hampir seperti suara langkah kaki yang mengerucutkan harapan di dadanya. Ini adalah pengumuman yang sangat dinantikan—hasil seleksi tim sepak bola sekolah.
Teman-teman sebangkunya mulai mendekat, saling berbicara dengan cemas dan antusias. Mereka melihat papan pengumuman dengan harapan dan kegelisahan yang sama. Ardan berada di sampingnya, menepuk bahu Aldrin dengan senyum penuh keyakinan. “Gimana? Kalo nama kamu nggak ada, ya udah coba lagi tahun depan. Tapi aku yakin kok, kamu pasti masuk.”
Aldrin hanya mengangguk, meski pikirannya mengembara jauh. Ia tak tahu apakah ia siap untuk menghadapi kenyataan yang akan datang. Semua persiapannya, semua kerja kerasnya, apakah itu cukup? Mengingat keadaan yang tak pernah mendukung, ia merasa langkahnya sudah terhenti bahkan sebelum mulai berlari.
“Eh, lihat! Namamu ada di sini!” teriak Ardan tiba-tiba, suaranya menggetarkan udara pagi yang sepi. “Lihat, Din, kamu ada di daftar!”
Aldrin terdiam, matanya memandang papan pengumuman yang masih terlihat kabur. Perlahan, ia mendekat, mengusap matanya yang terasa berat. Nama-nama lainnya terus berlalu di pandangannya, hingga akhirnya ia menemukan yang dimaksud Ardan. Aldrin Alghifari.
Ia terdiam sejenak, mulutnya kering. Tiba-tiba dunia di sekitarnya terasa begitu hening, hanya suara detak jantungnya yang terdengar begitu keras. Itu dia. Namanya ada di sana. Tapi bukan kebahagiaan yang menghampirinya—hanya rasa takut dan cemas yang datang begitu saja.
“Ayo, Din! Kita harus siap latihan, ini kesempatan besar!” seru Ardan, bersemangat dan tanpa keraguan.
Aldrin mengangguk pelan, meskipun sejenak ia merasa kosong. Ia berjalan mengikuti Ardan menuju lapangan, langkahnya berat. Sesampainya di sana, ia melihat tim baru yang akan dibentuk. Di ujung lapangan, pelatih berdiri dengan ekspresi serius. Ia memandang satu per satu, seolah mengukur siapa yang pantas dan siapa yang hanya sekadar mengikuti arus.
“Selamat datang di tim. Hari ini kita mulai latihan intensif,” kata pelatih dengan suara keras yang membuat seluruh lapangan terdengar riuh. “Aku harap kalian semua siap bekerja keras. Tidak ada tempat untuk yang ragu.”
Aldrin merasakan dadanya berdegup cepat. Ia berdiri di antara pemain lainnya yang tampak lebih siap, lebih percaya diri. Semua yang ada di tim ini seolah sudah terbiasa dengan kehidupan profesional, sedangkan ia—hanya seorang anak yang berusaha mengejar mimpi meski tak ada yang mendukung. Setiap gerakan, setiap tendangan bola yang meluncur dari pemain lain terasa lebih sempurna. Mereka begitu cepat, begitu terampil, seolah tidak ada ruang untuk seseorang seperti Aldrin.
“Din, ayo! Jangan cuma bengong!” Ardan berteriak dari tengah lapangan, menyadarkannya dari lamunan.
Aldrin menggerakkan kakinya, melangkah cepat dan mulai bergabung dalam latihan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, ia merasa tubuhnya semakin berat. Setiap tendangan yang dilakukannya tidak sempurna. Setiap kali ia berlari, ia merasa seolah kaki-kakinya tidak bisa mengejar bola dengan cepat seperti yang lain. Di tengah latihan yang semakin intens, keraguan mulai menyeruak dalam hatinya.
Pelatih mendekat dan menatap Aldrin dengan tajam. “Apa kamu yakin bisa bertahan? Kami butuh pemain yang bisa memberikan yang terbaik, bukan yang hanya datang dan berharap.”
Aldrin hanya bisa menunduk. Kata-kata itu seperti sebilah pisau yang menusuk ke jantungnya. Ia merasa seperti orang asing di dunia yang bahkan tidak pernah mengundangnya. Mimpi yang selama ini ia genggam terasa semakin jauh, seolah ia tidak pernah benar-benar punya tempat di sini.
Sore itu, setelah latihan yang melelahkan, Aldrin duduk di bangku lapangan, menatap langit yang perlahan berubah merah keemasan. Ia merasa lelah, lebih lelah dari biasanya. Bukan hanya fisiknya, tapi juga hatinya. Rasa cemas yang ia rasakan semakin mengganggu. Apa benar ia bisa melewati semua ini? Apa ia cukup baik?
Ardan datang mendekat, duduk di sampingnya. “Kamu kenapa, Din? Kamu kelihatan lemes banget. Nggak ada yang salah kan?”
Aldrin menarik napas panjang, menatap bola yang tergeletak di kakinya. “Aku nggak tahu. Rasanya… aku nggak sekuat yang lain. Mereka lebih cepat, lebih terlatih, dan aku? Aku cuma punya semangat yang nggak tahu bakal cukup apa nggak.”
Ardan memandangnya dengan serius. “Din, itu masalahnya. Kamu terlalu mikirin apa yang nggak kamu punya. Coba fokus ke apa yang kamu punya. Semangatmu, perjuanganmu, itu semua hal yang nggak bisa dibeli. Mereka bisa punya peralatan canggih, tapi kalau nggak ada hati di dalamnya, itu semua percuma.”
Aldrin terdiam, mencoba mencerna kata-kata Ardan. Kadang, ia merasa kesepian dalam usahanya. Tapi mendengar kalimat itu, entah kenapa, sedikit banyak memberi kekuatan padanya. Mungkin, ia harus belajar lebih banyak tentang dirinya sendiri. Bukan sekadar tentang bola yang digulirkannya, tapi tentang keberanian untuk melangkah meski takut jatuh.
Pelatih datang mendekat dan memanggilnya, membuat Aldrin terkejut. “Aldrin, kamu ikut latihan pukul lima sore besok. Persiapkan diri.”
Hati Aldrin berdebar kencang. Besok akan ada latihan lanjutan, dan kali ini, ia tidak boleh ragu. Ia harus memberi yang terbaik. Karena, entah bagaimana, ia tahu ini adalah kesempatan yang tak bisa ia lewatkan begitu saja.
“Besok… aku harus lebih baik,” bisiknya pada dirinya sendiri, meski suara itu terdengar lebih seperti janji yang harus ia tepati, bukan hanya sekadar harapan kosong.
Keberanian yang Tak Terlihat
Hari-hari setelah itu berlalu dengan cepat, dan Aldrin semakin merasakan tekanan yang semakin besar. Setiap kali ia melangkah ke lapangan, tubuhnya terasa lebih berat. Semua latihan, setiap teknik yang dia coba, masih belum mampu mengalahkan keraguan dalam dirinya. Ia merasa seperti tidak ada kemajuan sama sekali. Teman-teman sekelompoknya terlihat jauh lebih cepat, lebih tangkas, dan lebih siap, sedangkan dirinya masih berjuang dengan dasar-dasar yang seharusnya sudah ia kuasai jauh sebelum ini.
Pada suatu sore, setelah latihan yang penuh kelelahan, Aldrin duduk di bangku kosong di sisi lapangan, memandangi bola yang tergeletak jauh darinya. Badannya keringatan, napasnya terengah-engah, dan hatinya penuh dengan rasa pesimis. Ia melihat para pemain lain, semua berbicara dengan gembira, sementara dia hanya bisa terdiam. Di dalam benaknya, ia bertanya-tanya apakah ia akan pernah menjadi bagian dari mereka, atau bahkan sekadar bertahan di sini.
“Ayo, Din! Kenapa kamu cuma duduk di sini?” suara Ardan terdengar menggema di udara sore itu. Ardan mendekat, membawa botol minuman dan duduk di sampingnya. “Kamu kelihatan kayak orang yang baru kalah perang. Ada apa?”
Aldrin hanya mengangkat bahu, menatap langit yang mulai gelap. “Aku nggak tahu. Aku merasa… kayak nggak pantas ada di sini. Semua orang punya skill lebih dari aku, mereka lebih cepat, lebih kuat. Aku merasa nggak ada yang spesial dari aku.”
Ardan menatapnya dengan serius. “Gini, Din. Kamu tuh punya sesuatu yang nggak dimiliki orang lain. Kekuatan kamu bukan cuma di kaki, tapi di kepala dan hati. Kamu nggak perlu jadi pemain yang paling berbakat, yang penting kamu punya keberanian untuk terus maju, untuk terus berjuang meskipun susah.”
Aldrin diam, mencerna kata-kata Ardan. Keberanian? Apakah itu cukup? Seiring dengan berjalannya waktu, dia mulai berpikir apakah keberanian saja bisa membawa perubahan besar dalam hidupnya. Semua yang dia punya hanyalah mimpi. Tapi tanpa kemampuan yang cukup, apakah itu cukup untuk bertahan?
Sejak sore itu, Aldrin merasa sesuatu mulai berubah dalam dirinya. Ketika ia kembali ke rumah, ibunya sedang sibuk menyiapkan makan malam. Aldrin hanya bisa duduk di meja, menatap makanan di hadapannya tanpa nafsu. Ayahnya, yang biasanya duduk di pojok ruangan sambil membaca koran, tiba-tiba menatapnya dengan tatapan tajam.
“Din, kenapa kamu kelihatan kosong begitu? Ada yang nggak beres?” tanya ayahnya pelan.
Aldrin menatap ayahnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku… nggak yakin bisa jadi pemain sepak bola, Pa. Semua yang aku coba, rasanya nggak cukup. Mereka semua lebih baik, lebih terlatih. Aku cuma punya mimpi, tapi nggak tahu gimana caranya.”
Ayahnya meletakkan koran dan menghela napas. “Dengar, Din. Kalau cuma berharap tanpa usaha, mimpi itu akan tetap jadi mimpi. Tapi kalau kamu serius, kamu harus siap untuk menghadapi kenyataan pahit. Kamu nggak akan selalu menang, tapi kamu harus selalu siap untuk mencoba lagi.”
Mendengar itu, Aldrin merasa dadanya sedikit lebih ringan. Kata-kata ayahnya seperti dorongan yang tak terlihat, memberi kekuatan meski tanpa jaminan kemenangan. Mungkin ayahnya benar. Ia tidak akan pernah tahu apa yang bisa ia capai jika ia tidak berusaha lebih keras.
Esok harinya, di lapangan yang sama, Aldrin berdiri di tengah latihan, matanya menatap bola dengan tekad yang baru. Pelatih mulai memberi perintah untuk latihan taktik, dan kali ini Aldrin tidak membiarkan dirinya terhanyut dalam ketakutan. Ia fokus, meskipun tubuhnya masih terasa lelah. Ia memutuskan untuk memberi 110% dari dirinya.
Ketika pelatih memberi instruksi untuk latihan passing cepat, Aldrin merasa sedikit gugup. Bola di kakinya terasa lebih berat dari biasanya, tetapi ia tahu ia harus mengatasinya. Bola itu digulirkannya dengan cepat, mengarah ke rekan setimnya, Ardan. Untuk pertama kalinya, bola itu bergerak dengan sempurna, tepat ke arah rekan setimnya tanpa ada gangguan. Seperti halnya tembakan pertama yang sempurna, rasanya itu adalah sebuah kemenangan kecil bagi Aldrin.
Pelatih menatapnya tajam, kemudian mengangguk. “Bagus, Aldrin. Kalau kamu terus latihan seperti ini, aku yakin kamu bisa berkembang.”
Kata-kata itu seperti angin segar yang meniup hatinya. Ia merasa seolah-olah ada sedikit cahaya yang menyinari kegelapan yang ia rasakan. Selama ini, ia terlalu fokus pada kekurangannya, tanpa memberi kesempatan pada dirinya untuk berkembang. Ia harus lebih berani menghadapi kenyataan dan terus berjuang, meskipun perjalanannya penuh dengan kegagalan.
Hari demi hari, Aldrin semakin fokus pada latihan. Ia mulai merasa sedikit lebih percaya diri. Meskipun kadang rasa tidak yakin itu kembali datang, ia berusaha menghadapinya dengan lebih dewasa. Setiap tetes keringat yang menetes, setiap langkah yang ia ambil, mulai mengukir sedikit perubahan dalam dirinya. Ia mulai sadar bahwa mimpi itu memang tidak mudah dicapai, tetapi bukan berarti itu mustahil.
Suatu hari, setelah latihan yang melelahkan, pelatih menghampirinya dengan senyum yang jarang terlihat. “Aldrin,” katanya, “kami akan bermain dalam pertandingan uji coba minggu depan. Aku ingin kamu masuk sebagai pemain inti. Tapi ingat, ini bukan hanya tentang skill. Ini tentang tekad.”
Aldrin terdiam, merasakan hatinya berdebar kencang. Ini kesempatan besar. Tapi di sisi lain, ia juga tahu bahwa tekad dan keberanian saja tidak selalu cukup. Ia harus membuktikan dirinya—bahwa ia lebih dari sekadar seorang pemuda dari keluarga yang tak mampu.
“Saya siap, Coach,” jawab Aldrin dengan penuh keyakinan, meskipun ada sedikit kecemasan yang menyelinap dalam dirinya. Tapi kali ini, ia tahu satu hal pasti: ia tidak akan menyerah begitu saja.
Langkah Terakhir Menuju Mimpi
Minggu itu datang dengan cepat. Hari pertandingan uji coba yang sudah ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Aldrin berdiri di sisi lapangan, menatap tim lawan yang sudah siap dengan jersey mereka yang berwarna cerah. Rasanya, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, sementara udara pagi yang sejuk membuat pikirannya terasa kabur. Ini bukan hanya tentang pertandingan biasa, ini adalah kesempatan untuk menunjukkan bahwa semua latihan, semua pengorbanan, dan semua perjuangannya selama ini tidak sia-sia.
Pelatih memberi isyarat kepada Aldrin untuk memasuki lapangan. Sebelum ia melangkah, Ardan menepuk bahunya. “Kamu pasti bisa, Din. Ingat, kamu di sini bukan karena keberuntungan, tapi karena kerja keras kamu. Fokus, dan mainkan seperti yang kamu latih.”
Aldrin mengangguk, merasakan sedikit semangat dari kata-kata Ardan. Ia melangkah ke tengah lapangan dengan kaki yang terasa berat, tapi tekad yang menguatkan dirinya. Begitu peluit pertandingan berbunyi, dunia seakan berhenti sejenak. Semua mata tertuju padanya. Ini adalah saat yang ia tunggu-tunggu, dan ia tahu, ia tidak bisa mengecewakan semua orang yang percaya padanya.
Pertandingan dimulai dengan cepat, bola bergulir dari kaki ke kaki. Aldrin merasa cemas di awal, tetapi ia mencoba tetap tenang, berusaha untuk tidak terjebak dalam ketegangan. Ketika bola datang kepadanya untuk pertama kalinya, ia tidak ragu. Tanpa berpikir panjang, ia mengoper bola dengan cepat, menuju Ardan yang sudah menunggu di sisi lapangan. Semua gerakan yang ia latih selama ini terasa seperti refleks alami, seperti tidak ada keraguan sama sekali. Bola itu meluncur dengan sempurna, melintasi udara dan jatuh tepat di kaki Ardan, yang segera melepaskan tembakan ke gawang.
Namun, bola itu gagal. Penjaga gawang lawan berhasil menepisnya.
Aldrin merasakan sedikit rasa kecewa, tetapi tidak lama. Ia tahu bahwa satu kegagalan bukanlah akhir dari segalanya. Mereka terus berlari, terus bertarung. Tak lama kemudian, giliran Aldrin yang mendapatkan bola kembali, kali ini di posisi yang lebih baik, lebih dekat dengan gawang. Ia bisa merasakan udara yang semakin tegang. Tiga pemain lawan sudah mendekat, tapi ia tidak panik. Ia ingat apa yang dikatakan pelatih—”Ini bukan hanya tentang skill. Ini tentang tekad.”
Aldrin berlari, menghindari satu, dua, dan akhirnya melepaskan tendangan. Bola itu meluncur dengan cepat, dan dalam sekejap, ia melesat melewati penjaga gawang lawan, masuk ke dalam gawang.
GOL.
Suara sorak sorai dari teman-temannya, pelatih, dan bahkan dari beberapa penonton di pinggir lapangan, mengisi udara. Aldrin hanya bisa berdiri di sana, menatap bola yang tergeletak di gawang, merasa seolah-olah dunia berhenti berputar sejenak. Ia tidak percaya apa yang baru saja ia lakukan. Kegembiraan dan kelegaan bercampur jadi satu. Ia tahu ini bukan hanya gol biasa. Ini adalah simbol dari segala usaha dan perjuangan yang ia lalui.
Setelah pertandingan berakhir dengan kemenangan timnya, Aldrin merasa ada perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Bukan hanya kemenangan yang membuatnya senang, tapi juga kenyataan bahwa ia bisa melangkah sejauh ini. Semua kekhawatiran, semua keraguan yang ia rasakan sebelumnya, terasa jauh, seakan terhapus dengan satu gol yang penuh makna.
Di ruang ganti, pelatih menghampirinya, menepuk bahunya. “Bagus, Aldrin. Kamu buktikan bahwa kamu pantas ada di sini. Ingat, ini baru permulaan. Kami akan terus mendukungmu.”
Ardan juga datang menghampiri dengan senyum lebar. “Lihat, kan? Aku bilang kamu bisa!”
Aldrin hanya tersenyum, matanya mulai berkaca-kaca. Semua perjuangan yang ia jalani seolah-olah membawanya ke titik ini, ke momen ini. Ia tahu ini bukan akhir dari perjalanan, ini baru permulaan. Tapi ia juga tahu satu hal yang pasti—tidak ada yang bisa menghalanginya jika ia terus berjuang dengan sepenuh hati.
Di luar, matahari sudah mulai terbenam, menyelimuti lapangan dengan cahaya yang lembut. Aldrin berdiri di tengah lapangan sejenak, menatap langit. Sesuatu dalam dirinya berubah. Mimpi itu masih jauh, tetapi ia sudah merasakan langkah pertama yang paling penting. Kini, ia tahu bahwa tak ada yang mustahil selama ia tidak menyerah.
Di tengah kebahagiaan itu, ia ingat kata-kata ibunya dan ayahnya, kata-kata yang mengingatkannya untuk tidak pernah berhenti berusaha. Mungkin ia berasal dari keluarga yang sederhana, tapi itu tidak menghalangi mimpi-mimpinya. Dan selama ada tekad, selama ada keberanian, tak ada yang tidak bisa diraih.
Aldrin tersenyum lebar, memandang ke depan. Hari-hari yang penuh tantangan akan datang, tetapi ia sudah siap untuk menghadapi semuanya. Karena bagi Aldrin, ini baru permulaan dari sebuah perjalanan panjang untuk meraih mimpinya menjadi pemain sepak bola profesional.
Jadi, apa yang bisa kita ambil dari cerita Aldrin? Kadang, jalan menuju mimpi itu nggak mulus, penuh rintangan dan kegagalan. Tapi, yang penting adalah nggak berhenti berusaha. Gagal sekali, dua kali, atau bahkan seratus kali sekalipun, selama kamu nggak nyerah, kamu pasti bisa meraih apa yang kamu impikan.
Aldrin udah buktiin itu, dan siapa tahu, kamu bisa jadi yang berikutnya. Jadi, jangan pernah ragu buat mengejar apa yang menurut kamu nggak mungkin. Karena, siapa tahu, mimpi itu bisa jadi kenyataan, asalkan kamu nggak berhenti berlari mengejarnya.