Mengatasi Kecemasan di Era Media Sosial: Kisah Inspiratif Zafira

Posted on

Hey, kamu pernah merasa terjebak dalam dunia medsos yang bikin cemas dan stres? Nah, cerita Zafira ini bisa jadi cermin buat kamu. Di tengah scrolling tanpa henti, dia dan teman-temannya menemukan cara untuk menyeimbangkan hidup mereka, sekaligus menjalin persahabatan yang menguatkan. Yuk, simak perjalanan seru mereka dalam menghadapi tantangan di era digital ini!

 

Kisah Inspiratif Zafira

Jendela Dunia

Di kota Kencana yang tenang, di sebuah taman yang dikelilingi pepohonan rindang, Zafira duduk di bangku kayu tua. Di tangannya, ada buku catatan tebal yang penuh coretan. Sesekali, ia mengangkat pandangannya ke langit, berusaha mencari inspirasi dari awan yang melayang. Momen-momen seperti ini adalah saat-saat terbaiknya, jauh dari hiruk-pikuk media sosial yang kadang membuatnya merasa tertekan.

Zafira adalah sosok remaja yang berbeda dari yang lain. Sementara teman-temannya lebih suka berpose dan memamerkan gaya hidup mereka di media sosial, Zafira lebih memilih dunia kata-kata. Ia adalah penulis, meski belum terkenal. Setiap kali ia membuka aplikasi “InstaTale” di ponselnya, ia merasakan campur aduk antara semangat dan kecemasan. Ia ingin karyanya diterima, tetapi ia juga merasa seolah terjebak dalam kompetisi yang tak ada habisnya.

“Eh, Zaf! Lagi nulis cerita lagi, ya?” suara riang terdengar dari belakangnya. Zafira menoleh dan melihat sahabatnya, Tania, datang dengan senyuman lebar.

“Iya, nih! Lagi coba cari ide baru. Tapi rasanya stuck banget,” jawab Zafira, mencoba membuang rasa frustrasinya.

Tania duduk di sebelahnya, mengintip catatan yang terbuka. “Kamu jangan terlalu mikirin tentang seberapa banyak likes atau komentar. Yang penting, kamu suka sama tulisanmu sendiri.”

Zafira menghela napas. “Iya, aku tahu. Tapi kadang aku merasa apa yang aku tulis itu tidak ada artinya. Lihat saja orang-orang di media sosial, mereka seolah hidup bahagia banget. Aku jadi berpikir, apakah ada yang mau baca ceritaku yang ‘biasa’ ini?”

Tania menggeleng. “Dengar, Zaf. Kehidupan di media sosial itu seringkali palsu. Tidak semua yang dipamerkan itu bahagia. Mereka mungkin hanya menunjukkan yang terbaik, padahal di balik itu, siapa tahu mereka lagi berjuang?”

“Gimana sih kamu bisa begitu optimis?” Zafira tersenyum. “Kadang aku cemburu pada mereka.”

“Cemburu? Untuk apa? Mereka bukan kamu. Kamu punya keunikan sendiri, dan itu yang harus kamu banggakan. Lagipula, kamu kan penulis! Cerita kamu bisa mengubah cara orang melihat dunia,” Tania menjawab dengan semangat.

Zafira terdiam. Ia mulai merenungkan kata-kata sahabatnya. Tania selalu bisa membuatnya merasa lebih baik. Namun, ketika melihat ponselnya, notifikasi dari InstaTale muncul: “Cerita terbarumu telah diposting!” Dia pun merasa seolah ada beban di dadanya.

“Ya sudah deh, aku coba lagi,” kata Zafira sambil tersenyum meski hatinya masih ragu. “Aku mau bikin cerita tentang seorang gadis yang terjebak dalam dunia media sosial, mungkin bisa jadi lebih relatable.”

“Good idea! Tapi ingat, jangan sampai dia kehilangan diri sendiri. Ceritakan juga tentang momen-momen kecil yang berharga, seperti kita di sini sekarang!” Tania memberi semangat.

Ketika senja mulai menyelimuti taman, Zafira teringat ada yang selalu ia lihat setiap sore: Aldo, pemuda dengan gitar yang sering mengisi keheningan. Dia selalu duduk di sudut taman, bermain lagu-lagu akustik yang lembut. Zafira merasa tertarik pada sosoknya. Dengan semangat, dia berkata, “Tania, yuk kita ke sana. Aku mau dengar Aldo main!”

Tania mengangguk setuju. Mereka berjalan menuju sudut taman di mana Aldo biasa bermain. Melihat pemuda itu dengan rambut ikal dan wajah yang tenang membuat Zafira merasa nyaman. Aldo tidak pernah terlalu peduli dengan media sosial. Dia lebih suka menyampaikan perasaannya melalui musik.

Begitu sampai, mereka mendengarkan melodi lembut yang mengalun. Aldo melihat mereka dan tersenyum. “Hey, Zafira! Tania! Lagi pada ngapain di sini?”

“Kami mau dengerin kamu main, Aldo. Lagi buntu nulis, jadi butuh inspirasi,” Zafira menjawab dengan antusias.

“Wah, semoga bisa membantu, ya!” Aldo tersenyum lebar, kemudian mulai memainkan lagu baru. Suara gitarnya yang indah membawa Zafira ke dalam lamunan. Dia merasa semua beban di pikirannya seolah menghilang.

“Tidak pernah main media sosial, ya, Aldo?” Tanya Zafira saat dia beristirahat.

“Aku sih lebih suka bermain di sini,” jawab Aldo sambil menunjuk ke sekeliling taman. “Media sosial itu bikin orang lebih fokus pada hal-hal yang tidak penting. Kita kadang lupa untuk menikmati momen yang sebenarnya.”

Zafira merasa ada sesuatu yang mengena di hatinya. “Mungkin kamu benar. Kadang, aku merasa terjebak dalam apa yang orang lain lihat. Rasanya capek juga, ya.”

Aldo mengangguk. “Jangan biarkan media sosial menentukan siapa kamu. Hidup itu lebih dari sekadar gambar di layar. Kamu punya banyak cerita yang bisa dibagikan.”

Obrolan mereka mengalir begitu saja, dan Zafira merasa semakin dekat dengan Aldo. Dia mulai berpikir, mungkin ada benang merah yang menghubungkan mereka dalam ketidakpastian dunia yang diciptakan oleh media sosial.

Saat malam semakin larut, Zafira pulang dengan pikiran yang penuh. Mungkin sudah saatnya ia melihat ke dalam dirinya sendiri, mengungkapkan apa yang ia rasakan tanpa terbebani oleh ekspektasi dunia luar. Dia tak sabar untuk menulis cerita barunya—tentang keindahan yang tak terduga dan hubungan yang lebih mendalam daripada sekadar tampilan.

Di atas tempat tidurnya, Zafira mengambil buku catatan dan mulai menulis. Di bawah cahaya lampu yang temaram, ia menggambar kata demi kata, menenun cerita yang baru. Kini, dia siap untuk mengeksplorasi jendela dunia yang sesungguhnya—dunia yang lebih nyata dan penuh makna.

 

Menggali Makna

Pagi di kota Kencana membawa cahaya baru yang hangat. Zafira terbangun dengan semangat yang menggelora, berkat inspirasi yang muncul semalaman. Dia bergegas ke meja belajarnya, yang dipenuhi dengan catatan, buku, dan secangkir kopi hangat. Di depan jendela, sinar matahari menembus celah tirai, menambah suasana ceria.

“Hari ini aku harus menulis!” gumam Zafira pada dirinya sendiri sambil membuka buku catatan. Ia ingin menciptakan karakter yang sejalan dengan pengalamannya—seorang gadis yang terjebak dalam dunia maya namun akhirnya menemukan jati dirinya. Sebelum mulai, ia meraih ponsel dan membuka aplikasi InstaTale. Melihat notifikasi yang memenuhi layar, hatinya bergetar. Beberapa orang telah memberi komentar positif tentang ceritanya.

“Wow, ternyata ada juga yang suka! Mungkin ini pertanda baik,” ujarnya sambil tersenyum. Namun, saat membaca komentar, ada satu yang membuatnya berpikir: “Kamu harus lebih bisa beradaptasi dengan zaman, jangan ketinggalan!” Zafira merasa seolah terjebak antara dunia yang ingin dia eksplorasi dan tuntutan dari luar.

Di sekolah, saat istirahat, Zafira dan Tania duduk di bangku taman sekolah. Mereka melihat teman-teman mereka berlarian dan berinteraksi dengan gadget di tangan masing-masing. Tania menatap Zafira dengan serius. “Zaf, kamu harus berbagi lebih banyak tentang apa yang kamu tulis. Siapa tahu bisa menginspirasi mereka?”

Zafira menggelengkan kepala. “Aku belum siap. Aku masih merasa ada yang kurang dalam karyaku. Tapi aku ingin sekali menunjukkan kepada mereka bahwa ada cara lain untuk menikmati hidup selain dari layar.”

“Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Coba ajak mereka ke taman, kasih tahu tentang pengalamanmu kemarin. Kita bisa buat semacam komunitas menulis. Siapa tahu mereka juga punya cerita menarik!” Tania mengusulkan dengan antusias.

Zafira memandang sahabatnya dengan semangat baru. “Itu ide bagus! Kita bisa adakan sesi berbagi cerita setiap minggu. Kita juga bisa buat postingan tentang itu di InstaTale. Siapa tahu bisa menginspirasi yang lain untuk menulis.”

Tania tersenyum lebar. “Itu dia! Ayo kita rencanakan!”

Setelah jam sekolah berakhir, Zafira dan Tania segera membuat poster untuk sesi berbagi cerita mereka. Mereka menyusun konsep yang menarik, mengundang semua orang tanpa memandang kemampuan menulis. Saat poster sudah jadi, mereka menempelkannya di dinding sekolah dengan penuh semangat.

Hari demi hari berlalu, dan Zafira merasa gembira melihat respon positif dari teman-temannya. Beberapa dari mereka bahkan menyatakan ketertarikan untuk ikut. Pada hari pertama sesi berbagi cerita, suasana di taman sekolah dipenuhi dengan tawa dan canda.

“Selamat datang di sesi berbagi cerita pertama kita! Senang sekali bisa berkumpul di sini. Mari kita saling mendengarkan dan belajar dari pengalaman masing-masing,” Zafira membuka acara dengan penuh semangat.

Mereka mulai bergiliran menceritakan kisah hidup mereka—tentang impian, perjuangan, dan bagaimana mereka merasakan tekanan dari dunia maya. Zafira mendengarkan dengan seksama, menemukan keunikan dalam setiap cerita. Ia tidak hanya belajar tentang orang lain, tetapi juga tentang dirinya sendiri.

Saat giliran Aldo tiba, Zafira merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Aldo berdiri di tengah kelompok, memegang gitarnya. “Aku mau berbagi tentang bagaimana musik membantuku menghadapi tekanan dari media sosial,” katanya dengan percaya diri.

“Dulu, aku juga terjebak dalam perangkap jumlah likes dan followers. Rasanya, aku tidak berharga jika tidak mendapat perhatian. Tapi, saat aku mulai bermain musik, aku menemukan kebahagiaan yang nyata. Sekarang, aku lebih fokus pada apa yang aku cintai,” Aldo menceritakan kisahnya dengan tulus.

Zafira merasa terinspirasi oleh keberanian Aldo. “Itu sangat menarik, Aldo. Musik memang bisa jadi pelarian yang indah. Tapi, bagaimana kamu tetap menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia maya?” Zafira bertanya.

Aldo tersenyum. “Sederhana saja. Aku menetapkan batasan. Setiap hari, aku pastikan waktu untuk bermain gitar dan berkumpul dengan teman-teman, tanpa gadget. Di situlah aku merasa hidup.”

Obrolan mereka semakin mendalam. Sesi berbagi itu tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan makna baru bagi Zafira. Dia merasa terhubung dengan teman-temannya dan semakin mantap untuk menulis ceritanya sendiri.

Beberapa minggu kemudian, Zafira mulai menuangkan semua pengalaman dan inspirasi dari sesi berbagi ke dalam cerita barunya. Dia menulis dengan sepenuh hati, menambahkan elemen realita yang dialaminya dan kisah teman-temannya. Karakter gadis dalam ceritanya mulai berkembang, bertransformasi dari sosok yang cemas menjadi yang berani mengungkapkan jati diri.

Ketika Zafira membagikan potongan cerita di InstaTale, dia merasa tidak ada lagi tekanan untuk tampil sempurna. Alih-alih, dia justru berharap bisa menjangkau hati orang-orang dan memberikan semangat untuk berani menjalani hidup yang lebih berarti.

Saat malam tiba, Zafira merenungkan perjalanan yang telah ia lalui. “Mungkin aku sudah mulai menemukan jalan yang tepat,” pikirnya, sambil menatap langit berbintang. Dia berjanji pada diri sendiri untuk terus menggali makna kehidupan yang sebenarnya, dan menuliskannya dengan penuh keberanian.

Dengan semangat baru, Zafira bertekad untuk melanjutkan cerita yang dia tulis. Dia tahu bahwa setiap kata yang ditulisnya bisa menjadi jendela bagi orang lain untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda.

 

Menemukan Diri

Matahari bersinar cerah di pagi hari, menciptakan suasana yang semangat bagi Zafira. Dia merasa siap untuk melanjutkan cerita yang sedang ditulisnya. Sesi berbagi cerita di taman telah menjadi rutinitas baru yang menyenangkan. Meskipun belum banyak orang yang hadir, setiap pertemuan membawa inspirasi baru yang tak ternilai. Zafira bertekad untuk membuat pertemuan kali ini lebih spesial.

Di tengah persiapan, Zafira memutuskan untuk membuat sebuah tema yang lebih mendalam untuk sesi kali ini. Ia ingin membahas bagaimana cara mengatasi kecemasan dan rasa tidak percaya diri yang muncul akibat pengaruh media sosial. Dia mulai merancang daftar pertanyaan yang bisa membantu menggali perasaan teman-temannya.

Sore itu, saat mereka berkumpul di taman, Zafira melihat wajah-wajah antusias di sekitar. “Selamat datang di sesi berbagi cerita kedua kita! Hari ini, kita akan membahas bagaimana media sosial kadang bisa membuat kita merasa tidak cukup baik. Mari kita saling mendengarkan,” katanya dengan semangat.

Semua orang duduk melingkar, dan Zafira mulai memimpin diskusi. “Siapa yang pernah merasa cemas setelah melihat foto atau status orang lain di media sosial?” tanyanya. Beberapa tangan langsung terangkat, dan Zafira merasa lega melihat respon tersebut.

Tania, sahabatnya, yang duduk di sampingnya, mengambil kesempatan untuk berbagi. “Aku sering merasa kayak gitu. Setelah melihat postingan teman-teman, kadang aku jadi merasa hidupku biasa saja. Sementara mereka seolah-olah selalu bahagia.”

Zafira mengangguk memahami. “Itu wajar. Kadang kita hanya melihat bagian terbaik dari hidup orang lain di media sosial. Namun, penting untuk diingat bahwa tidak semua yang kita lihat mencerminkan kenyataan.”

Satu per satu, teman-teman Zafira mulai bercerita tentang pengalaman mereka. Ada yang mengungkapkan betapa mereka merasa tertekan ketika foto mereka tidak mendapatkan banyak perhatian. Ada pula yang merasa tidak cukup menarik saat membandingkan diri dengan influencer yang mereka lihat di Instagram.

Zafira merasa suasana semakin menghangat. Dia mendengarkan setiap cerita dengan penuh perhatian, dan dalam hatinya, dia merasakan koneksi yang semakin dalam antara mereka. “Kita semua punya ketidakpastian masing-masing, tapi itu bukanlah hal yang harus kita sembunyikan. Kita seharusnya saling mendukung, bukan membandingkan,” ucap Zafira.

Mendengar itu, Aldo berinisiatif. “Bagaimana jika kita melakukan tantangan? Selama seminggu ke depan, kita coba untuk tidak membandingkan diri kita dengan orang lain di media sosial. Dan fokus untuk merayakan pencapaian kecil kita sendiri.”

Ide itu disambut baik oleh semua orang. Mereka mulai merencanakan tantangan tersebut, masing-masing berkomitmen untuk mencatat hal-hal kecil yang membuat mereka bahagia, tanpa mempedulikan pandangan orang lain.

Zafira merasa bersemangat. “Aku akan menuliskan semua pengalaman kita dalam ceritaku. Kalian semua adalah inspirasi bagi karakter yang sedang aku buat. Mari kita buktikan bahwa kita bisa saling mendukung dan menemukan kebahagiaan dalam diri sendiri.”

Sesi berbagi cerita itu berakhir dengan tawa dan semangat baru. Mereka semua berjanji untuk saling berbagi lagi di pertemuan berikutnya. Saat Zafira pulang, dia merasa hatinya hangat. Dia menyadari bahwa pertemanan dan dukungan adalah hal terpenting dalam hidup, jauh lebih berharga daripada jumlah likes atau followers di media sosial.

Malam itu, saat menulis, Zafira mengalirkan semua perasaan dan pengalaman ke dalam ceritanya. Dia menambahkan elemen-elemen yang lebih personal, menjadikan karakter yang ia buat lebih hidup. Zafira juga menyisipkan pesan-pesan positif yang didapat dari pertemuan mereka. Dia ingin ceritanya menjadi jembatan bagi orang lain untuk menemukan makna di balik kehidupan yang sering terlihat sempurna di dunia maya.

Hari-hari berlalu, dan tantangan yang mereka buat menjadi pengalaman berharga bagi Zafira dan teman-temannya. Mereka belajar untuk lebih menghargai diri sendiri, menerima kekurangan, dan menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil.

Saat pertemuan ketiga tiba, Zafira dan Tania mengatur segalanya dengan penuh semangat. “Aku tidak sabar untuk mendengar semua cerita kalian tentang tantangan ini,” ucap Zafira antusias.

Ketika semua berkumpul, suasana terasa lebih akrab. Zafira melihat wajah-wajah yang lebih percaya diri dan ceria. “Jadi, bagaimana? Apa yang kalian dapatkan dari tantangan ini?” tanyanya, melihat semua orang siap berbagi.

Masing-masing berbagi pencapaian kecil yang mereka temui dalam seminggu. Aldo menceritakan bagaimana dia berhasil menulis lagu baru yang mengungkapkan perasaannya tanpa merasa tertekan dengan ekspektasi orang lain. Tania berbagi tentang bagaimana dia belajar untuk mencintai dirinya sendiri dengan mengapresiasi usaha kecil yang ia lakukan setiap hari.

Zafira merasa terharu mendengar semua cerita tersebut. Dia menyadari bahwa setiap orang punya perjalanan unik, dan melalui berbagi, mereka bisa saling menguatkan.

Ketika malam tiba dan pertemuan itu berakhir, Zafira berjalan pulang dengan penuh harapan. Dia tahu, dengan setiap cerita yang dibagikan, mereka semakin dekat satu sama lain dan menjadikan dunia maya tempat yang lebih baik untuk semua. Zafira merasa bahwa, perlahan-lahan, dia telah menemukan jati diri yang selama ini dia cari.

 

Menyambut Masa Depan

Waktu berlalu, dan pertemuan-pertemuan di taman yang awalnya sederhana kini telah menjadi tradisi yang penuh makna bagi Zafira dan teman-temannya. Setiap minggu, mereka berkumpul, berbagi cerita, dan saling menginspirasi. Suasana semakin akrab, dan Zafira merasa sangat bersyukur memiliki teman-teman yang mendukung satu sama lain.

Di sebuah sore yang cerah, saat angin bertiup lembut, Zafira mengusulkan sesuatu yang berbeda. “Bagaimana kalau kita buat sebuah proyek kolaboratif?” tanyanya dengan semangat. “Kita bisa menuliskan pengalaman kita dan menjadikannya buku kecil tentang pentingnya menjaga kesehatan mental di era media sosial.”

Semua wajah tampak antusias. Tania langsung berseru, “Itu ide yang keren! Kita bisa membagikan kisah-kisah kita dan bagaimana cara kita mengatasi tekanan dari media sosial. Ini bisa membantu orang lain yang mungkin merasa sendirian!”

Zafira mengangguk. “Aku ingin agar setiap orang menulis pengalaman mereka selama tantangan ini dan hal-hal positif yang mereka temui. Dengan cara itu, kita bisa menunjukkan bahwa kita semua punya perjuangan yang sama, dan tidak ada yang sendirian.”

Malam itu, mereka duduk bersama di bawah langit berbintang, mengatur rencana untuk proyek buku kecil mereka. Setiap orang berkomitmen untuk menyumbangkan tulisan, mulai dari kisah perjuangan pribadi hingga refleksi tentang bagaimana mereka mengatasi tekanan dari media sosial. Zafira merasa bersemangat membayangkan buku ini akan memberi inspirasi bagi banyak orang.

Ketika semua tulisan terkumpul, Zafira menghabiskan waktu berhari-hari untuk menyunting dan merangkai cerita-cerita tersebut. Dia merasa betapa berartinya perjalanan yang mereka lalui bersama. Setiap halaman mencerminkan keberanian dan kejujuran, menciptakan jalinan yang kuat di antara mereka.

Akhirnya, buku kecil itu selesai. Zafira dan teman-temannya mengadakan acara peluncuran sederhana di taman tempat mereka selalu berkumpul. Mereka mengundang teman-teman lain, keluarga, dan siapa saja yang mau datang. Hari itu, Zafira merasa seperti mereka sedang merayakan lebih dari sekadar sebuah buku; mereka merayakan perjalanan, perjuangan, dan pencapaian yang telah mereka capai bersama.

Di tengah acara, Zafira berdiri di depan semua orang, memegang buku yang dicetak dengan sampul berwarna cerah. “Terima kasih kepada semua yang telah ikut berpartisipasi dalam proyek ini. Buku ini adalah cermin dari pengalaman kita, dan aku berharap bisa menginspirasi banyak orang di luar sana. Kita harus ingat, tidak ada yang sendirian dalam perjuangan ini.”

Sambutan hangat menggema di taman, dan Zafira bisa merasakan betapa bangganya mereka semua atas apa yang telah dicapai. Tania menyusul dengan pidato singkatnya, mengungkapkan rasa terima kasih atas persahabatan yang telah terjalin. “Ini bukan hanya tentang buku, tapi tentang bagaimana kita bisa saling mendukung dan menemukan kekuatan dalam diri kita masing-masing.”

Acara itu berlanjut dengan penuh kegembiraan, tawa, dan berbagi cerita. Mereka membagikan buku kepada setiap orang yang hadir, berharap pesan positif di dalamnya bisa menyebar ke banyak orang. Malam itu, Zafira merasa lebih dari sekadar penulis; dia adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, sebuah komunitas yang saling mendukung dan menguatkan.

Seiring waktu berlalu, Zafira melihat bagaimana teman-temannya semakin tumbuh dan berkembang. Mereka tidak hanya menjadi lebih percaya diri, tetapi juga lebih bijaksana dalam menggunakan media sosial. Setiap orang belajar untuk menyeimbangkan waktu online dan offline, serta saling mengingatkan untuk tetap fokus pada hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup.

Zafira pun merasakan perubahan dalam dirinya. Dia tidak lagi terjebak dalam perbandingan atau tekanan dari media sosial. Dengan dukungan teman-temannya, dia menemukan makna sejati dari kebahagiaan dan keberanian untuk menjadi diri sendiri. Dia belajar untuk menghargai momen-momen kecil dalam hidupnya dan memahami bahwa setiap orang memiliki perjalanan yang unik.

Malam itu, saat Zafira pulang, dia menatap bintang-bintang di langit dan tersenyum. Dia tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai. Ada banyak hal yang harus dijelajahi dan dipelajari. Dia bertekad untuk terus menulis, tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk orang lain yang membutuhkan suara dalam perjalanan mereka.

Dengan setiap langkah yang diambil, Zafira dan teman-temannya siap menyambut masa depan. Mereka telah mengubah cara pandang mereka terhadap media sosial dan menemukan kekuatan dalam diri mereka. Dan saat mereka melangkah ke hari-hari berikutnya, mereka tahu bahwa persahabatan yang terjalin akan selalu menjadi kekuatan terbesar dalam menghadapi tantangan yang akan datang.

 

Jadi, ingat ya, hidup di era media sosial bukan berarti kita harus terjebak dalam kepalsuan dan kecemasan. Seperti Zafira dan teman-temannya, kita bisa menemukan kekuatan dalam persahabatan dan tetap fokus pada hal-hal yang benar-benar penting. Yuk, bijak dalam menggunakan medsos, dan jangan lupa untuk menikmati setiap momen hidup kita! Sampai jumpa di kisah selanjutnya!

Leave a Reply