Menemukan Harapan di Jalanan: Cerita Inspiratif tentang Menolong Sesama

Posted on

Hai, kamu pernah ngerasa sendirian banget, tapi tiba-tiba ada seseorang yang bikin hidup kamu terasa lebih berarti? Nah, cerpen ini bakal ngajak kamu masuk ke dalam kisah dua orang yang awalnya berjuang sendiri di jalanan, tapi akhirnya saling menemukan harapan dan kekuatan satu sama lain. Siap-siap buat terharu, ya!

 

Menemukan Harapan di Jalanan

Langkah Tertatih di Jalan Basah

Hujan sudah turun sejak sore tadi, dan kini, saat malam mulai menelan kota, rintiknya malah semakin deras. Jalanan basah memantulkan cahaya lampu-lampu jalan, menciptakan bayangan-bayangan samar yang bergoyang di antara genangan.

Di trotoar yang licin, seorang pria tua berjalan tertatih-tatih. Langkahnya lambat, tangannya bergetar memegangi kantong plastik lusuh yang terlihat berat. Bajunya yang sudah tua semakin kumal terkena air hujan, dan napasnya tersengal setiap kali ia harus berhenti sejenak, merapatkan tubuh ke tembok bangunan untuk berteduh sebisanya.

Mobil-mobil melintas di jalan dengan kecepatan yang tidak berkurang, menimbulkan cipratan air dari ban yang menerjang genangan. Beberapa orang yang berlalu-lalang sekilas melirik pria tua itu, tapi tak ada yang benar-benar memperhatikannya. Entah karena memang tidak peduli, atau mungkin menganggapnya sebagai bagian dari pemandangan kota yang biasa—sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja.

Tak jauh dari situ, seorang pemuda berdiri di bawah atap minimarket. Hoodie abu-abunya sudah basah di beberapa bagian karena angin membawa butiran hujan ke arahnya. Tatapannya tertuju pada pria tua yang terus berjalan tertatih.

Hanya mengamati.

Bukan karena ragu, tapi lebih karena kebiasaan. Dalam dunia yang sering kali sibuk dengan urusan masing-masing, terkadang lebih mudah menjadi pengamat daripada bertindak.

Namun, ketika pria tua itu akhirnya berhenti di halte yang sepi dan hampir roboh, pemuda itu masih belum mengalihkan pandangannya.

Pria tua itu duduk perlahan, seolah setiap gerakan menimbulkan rasa sakit di tubuhnya. Dari kantong plastiknya, ia mengeluarkan sepotong roti. Roti itu terlihat sudah lembek, mungkin karena terkena air hujan. Dengan tangan yang gemetar, ia mencoba menyuapkan sepotong kecil ke mulutnya.

Tapi sebelum sempat menggigitnya, roti itu jatuh.

Tidak langsung tergeletak di tanah, tapi sempat terpental sedikit karena terpaan angin, sebelum akhirnya mendarat di aspal yang basah dan kotor.

Pria tua itu menatap roti itu tanpa ekspresi. Tidak ada gerakan untuk mengambilnya kembali. Hanya tatapan kosong yang dalam, seperti seseorang yang sudah terlalu lelah untuk merasa kecewa.

Pemuda yang sejak tadi mengamati pemandangan itu akhirnya melangkah. Dengan langkah cepat, ia melepas hoodie yang dikenakannya, menyisakan kaos tipis yang langsung menyerap dingin dari udara malam.

Ia berjalan mendekat, lalu tanpa banyak kata, menyodorkan hoodie itu ke pria tua yang masih terduduk diam.

“Pak, pake ini. Dingin.”

Pria tua itu menoleh perlahan. Tatapannya naik ke wajah pemuda itu, lalu turun ke hoodie yang disodorkan padanya. Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya ia meraih hoodie itu dengan tangan yang sedikit ragu.

“Kamu…” suaranya parau. “Kenapa nolongin aku?”

Pemuda itu mengangkat bahu. “Kenapa enggak?”

Hujan terus turun. Di sekitar mereka, kehidupan masih berjalan seperti biasa. Mobil-mobil tetap melaju, orang-orang masih lalu lalang, seolah apa yang terjadi di halte itu bukan sesuatu yang penting.

Pemuda itu akhirnya duduk di sebelah pria tua itu. Ia menatap jalanan di depannya, tidak mengatakan apa-apa lagi untuk beberapa saat.

Pria tua itu masih memegang hoodie yang diberikan padanya, seperti sesuatu yang terlalu berharga untuk dipakai begitu saja.

Lalu akhirnya, dengan suara pelan, ia berkata, “Aku… udah lama gak ngerasain ada orang yang peduli.”

Pemuda itu menoleh. Matanya menatap pria tua itu dengan sedikit heran.

“Beneran, Pak?” tanyanya. “Enggak ada siapa-siapa?”

Pria tua itu tertawa kecil. Bukan tawa yang bahagia, tapi lebih seperti sisa-sisa kelelahan yang terpaksa dikeluarkan dalam bentuk suara.

“Enggak ada,” katanya. “Dulu punya keluarga. Sekarang… ya begini.”

Pemuda itu mengangguk pelan. Bukan karena memahami, tapi karena tidak tahu harus merespons bagaimana. Kadang, beberapa hal memang tidak butuh jawaban.

Ia bangkit dari tempat duduknya, lalu berjalan menuju minimarket. Tak lama kemudian, ia kembali dengan kantong berisi beberapa bungkus roti, air mineral, dan makanan ringan.

Tanpa bicara banyak, ia menyodorkan kantong itu ke pria tua tersebut.

“Makan dulu, Pak.”

Pria tua itu menatap kantong itu, lalu menatap pemuda itu lagi. “Aku enggak punya uang buat bayar ini.”

Pemuda itu tertawa kecil. “Lagian siapa yang minta bayaran?”

Pria tua itu terdiam. Matanya berkedip pelan, seperti seseorang yang masih mencoba memahami bahwa kebaikan itu benar-benar ada.

Lalu, dengan tangan gemetar, ia mengambil sepotong roti dari kantong itu dan mulai makan.

Sementara itu, pemuda itu tetap duduk di sampingnya. Tidak berbicara lagi. Tidak bertanya apa-apa lagi.

Hanya menemani.

Dan malam terus berlanjut, dengan hujan yang masih deras, tapi kali ini… rasanya tidak sedingin tadi.

 

Seolah Tak Kasatmata

Hujan belum juga reda. Rintiknya masih jatuh tanpa jeda, menghantam aspal dan menciptakan genangan-genangan kecil di sepanjang jalan. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya di atas permukaan basah, membuat malam terasa lebih muram dari biasanya.

Di halte reyot itu, pria tua masih duduk diam. Tangannya yang gemetar menggenggam sepotong roti yang baru saja diterimanya. Ia mengunyah pelan, seakan butuh waktu lebih lama untuk benar-benar percaya bahwa makanan ini memang untuknya, bahwa malam ini tidak akan berakhir dengan perut kosong seperti hari-hari sebelumnya.

Pemuda yang tadi memberinya makanan tetap duduk di sebelahnya, diam-diam mengamati. Hujan membuat tubuhnya mulai terasa dingin, tapi ia tidak banyak bergerak.

Beberapa menit berlalu tanpa banyak suara, hanya gemericik hujan dan sesekali deru kendaraan yang lewat. Lalu, akhirnya pria tua itu berbicara.

“Kamu…” suaranya masih serak. “Punya nama?”

Pemuda itu melirik ke arahnya, lalu mengangkat bahu. “Ya punya lah.”

Pria tua itu tersenyum tipis. “Apa?”

“Haris.”

Nama itu meluncur tanpa banyak pertimbangan. Sederhana. Tidak istimewa. Tapi untuk pria tua itu, mungkin cukup berarti karena ia mengangguk kecil, seakan menyimpan nama itu di suatu tempat dalam pikirannya.

“Aku Yusman,” katanya. “Udah lama gak nyebutin nama sendiri ke orang lain.”

Haris tidak langsung menanggapi. Matanya hanya menatap ke arah jalan, di mana sebuah mobil melintas dengan kecepatan tinggi, menciptakan cipratan air ke trotoar.

“Kamu udah berapa lama… begini?” tanyanya akhirnya.

Yusman tidak langsung menjawab. Ia menghela napas, tangannya meremas plastik kosong yang tadi berisi roti yang jatuh.

“Lima tahun.”

Haris menoleh, sedikit terkejut. “Lima tahun?”

Yusman mengangguk pelan. “Sejak istri dan anakku pergi.”

Haris terdiam. Ia tidak bertanya lebih lanjut, tapi Yusman sepertinya sudah siap untuk bicara. Mungkin karena sudah lama tidak ada orang yang mau mendengarkan.

“Dulu aku punya rumah, punya pekerjaan,” Yusman melanjutkan dengan suara pelan. “Nggak kaya, tapi cukup. Sampai suatu hari, anakku sakit… parah.”

Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia tetap melanjutkan.

“Aku jual semua yang kupunya buat pengobatan. Rumah, kendaraan, tabungan, semuanya. Tapi dia tetap pergi.”

Haris menahan napas, tapi tidak menyela.

“Istriku nggak kuat,” lanjut Yusman. “Dia pergi ninggalin aku. Sejak itu… ya begini.”

Hening. Hanya suara hujan yang terus mengguyur tanpa peduli dengan dunia yang hancur di bawahnya.

Haris menunduk, mencoba mencerna cerita itu. Lima tahun… lima tahun hidup di jalanan, diabaikan, dianggap tidak ada. Bagaimana rasanya?

“Apa kamu nggak punya siapa-siapa lagi?” tanyanya akhirnya.

Yusman tertawa kecil, tapi suaranya terdengar pahit. “Dulu aku pikir masih punya saudara, teman. Tapi setelah jatuh begini, ternyata nggak ada yang tersisa.”

Lagi-lagi keheningan. Haris menatap ujung sepatunya yang basah, pikirannya mengembara ke berbagai arah.

“Kamu nggak nyoba cari kerja lagi?”

Yusman tersenyum kecil, lalu mengangkat kedua tangannya yang keriput dan gemetar. “Siapa yang mau nerima orang tua begini? Badan udah nggak sekuat dulu, kerja kasar nggak bisa, kerja yang lain juga nggak ada yang mau ngasih kesempatan.”

Haris terdiam. Ia ingin bilang sesuatu, tapi semua kata-kata yang terlintas terasa kosong.

Tiba-tiba, suara klakson nyaring memecah keheningan. Sebuah mobil hitam berhenti di dekat halte, jendelanya terbuka sedikit.

“Hei! Pergi dari situ! Jangan bikin tempat ini keliatan jorok!”

Suara pria dari dalam mobil itu terdengar kasar. Yusman menunduk, refleks menarik tubuhnya ke belakang, seperti seseorang yang sudah terlalu sering menerima bentakan serupa.

Haris menoleh ke mobil itu, ekspresinya berubah dingin.

“Kenapa emangnya, Pak?” tanyanya dengan nada datar.

Pria di dalam mobil mendengus. “Kita bayar pajak buat bersihin kota ini, bukan buat ngeliat gelandangan kayak dia! Pindahin dia ke tempat lain lah!”

Haris mengepalkan tangannya, tapi tidak langsung bereaksi. Ia menoleh ke arah Yusman yang masih diam, wajahnya tertunduk, seakan sudah terlalu terbiasa dengan perlakuan seperti ini.

Haris menarik napas panjang. Lalu, dengan tenang, ia bangkit dari tempat duduknya, berjalan mendekati mobil itu, dan mengetuk jendelanya.

Pria di dalam mobil tampak ragu sebelum akhirnya menurunkan jendela sedikit lebih lebar. “Apa?” tanyanya dengan nada tidak sabar.

Haris menatap pria itu dalam-dalam sebelum berbicara.

“Pak, kalau nggak bisa nolong, setidaknya jangan nambahin beban orang lain.”

Pria itu mendelik. “Apa maksudmu?”

“Maksudku, nggak ada yang minta buat hidup kayak gini. Bapak bisa duduk nyaman di mobil mewah, tapi bukan berarti bisa ngerendahin orang yang nggak seberuntung bapak.”

Pria itu terlihat kesal. “Denger ya, bocah. Dunia ini kejam. Yang nggak bisa bertahan, ya tersingkir. Itu hukum alam.”

Haris tersenyum tipis, tapi matanya dingin. “Kalau semua orang mikir kayak bapak, dunia ini bakal jadi lebih kejam dari yang seharusnya.”

Tanpa menunggu jawaban, Haris melangkah mundur. Pria itu tampak ingin membalas, tapi akhirnya hanya mendecak kesal dan menutup jendelanya dengan kasar sebelum melajukan mobilnya pergi.

Begitu mobil itu menghilang di kejauhan, Haris kembali duduk di samping Yusman.

Yusman masih diam, tapi kali ini, matanya menatap Haris dengan cara yang berbeda.

“Kamu nggak perlu… ngebelain aku gitu,” gumamnya pelan.

Haris mengangkat bahu. “Kenapa nggak?”

Yusman menghela napas, menatap jalanan yang basah.

“Kamu beda.”

Haris tertawa kecil. “Dunia ini udah cukup nyebelin. Kalau nggak ada yang peduli sama orang lain, mau jadi apa?”

Yusman tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, seperti seseorang yang sedang memikirkan sesuatu yang sudah lama terlupakan.

Hujan terus turun. Dan di halte reyot itu, di antara dingin dan kesunyian, ada sesuatu yang mulai berubah—entah itu harapan, atau sekadar rasa bahwa untuk pertama kalinya dalam lima tahun, Yusman tidak merasa sepenuhnya sendirian.

 

Di Antara Dua Dunia

Malam semakin larut, dan hujan mulai reda, menyisakan udara dingin yang menusuk. Di halte reyot itu, Haris dan Yusman masih duduk diam, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Lampu jalan yang berkedip lemah menjadi satu-satunya penerang di tengah trotoar basah.

Yusman mengeratkan jaket lusuhnya, mencoba menghalau dingin yang semakin menggigit. Sementara itu, Haris menyandarkan kepalanya ke tiang halte, menatap langit yang masih kelabu.

Lalu, tiba-tiba saja, suara perut berbunyi memecah keheningan.

Yusman terkesiap, menunduk sedikit malu. Haris melirik ke arahnya lalu tertawa kecil.

“Kamu masih lapar?” tanyanya.

Yusman mengangkat bahu, tapi jelas dari ekspresinya bahwa ia tidak bisa berbohong.

Haris merogoh saku celananya, mengeluarkan selembar uang yang sudah agak lecek. “Udah makan malam, tapi nggak ada salahnya makan lagi.”

Yusman melirik uang itu, lalu menatap Haris dengan ragu. “Aku nggak minta…”

“Aku tahu,” potong Haris. “Tapi ini dingin banget. Nggak bisa tidur kalau perut kosong.”

Yusman menatap uang itu lebih lama, seakan ada sesuatu dalam dirinya yang menolak untuk menerimanya.

Haris mendesah. “Aku traktir, anggap aja gitu.”

Setelah beberapa detik kebingungan, akhirnya Yusman mengambil uang itu dengan tangan gemetar. Sekilas, ada sesuatu di matanya—bukan sekadar rasa terima kasih, tapi lebih dari itu. Mungkin perasaan bahwa ia masih dianggap sebagai manusia, bukan sekadar bayangan yang tersingkir dari dunia ini.

Mereka bangkit dari tempat duduk dan mulai berjalan di sepanjang trotoar yang masih basah. Langkah Yusman lambat, seolah tubuhnya sudah lama tidak terbiasa berjalan dalam waktu lama. Haris memperlambat langkahnya, menyesuaikan dengan pria tua itu.

Tidak jauh dari halte, mereka menemukan sebuah warung kecil yang masih buka. Lampu di dalamnya temaram, dan seorang ibu paruh baya duduk di balik meja kayu, menguap kecil sambil menggulung selendangnya.

“Ibu, masih jualan?” tanya Haris.

Wanita itu menoleh dan langsung tersenyum. “Masih, Nak. Mau pesan apa?”

Haris menoleh ke Yusman. “Kamu mau makan apa?”

Yusman terlihat ragu. “Apa aja yang murah.”

Haris tertawa kecil. “Nggak usah pikirin harga. Yang penting kenyang.”

Yusman mengalihkan pandangan, terlihat canggung. Tapi akhirnya ia menghela napas dan berkata pelan, “Mie rebus aja.”

Haris mengangguk, lalu memesan dua porsi mie rebus dan teh hangat.

Saat mereka duduk menunggu makanan, Yusman menatap meja kayu di depannya. Tangannya bergerak perlahan, menyentuh permukaannya, seakan sudah lama tidak duduk di tempat seperti ini.

“Kapan terakhir kali kamu makan di meja kayak gini?” tanya Haris tiba-tiba.

Yusman terdiam, lalu menghela napas. “Aku nggak ingat.”

Beberapa menit kemudian, ibu pemilik warung datang membawa dua mangkuk mie yang masih mengepul. Aromanya langsung memenuhi udara, menciptakan rasa hangat di tengah dinginnya malam.

Yusman menelan ludah, matanya sedikit berkaca-kaca saat melihat makanan di depannya.

“Kamu nggak usah buru-buru, makan pelan-pelan,” kata Haris.

Yusman mengangguk, lalu mengambil sendok dan mulai menyuap mie panas itu ke mulutnya.

Haris hanya duduk diam, memperhatikan. Ia tidak terburu-buru makan, lebih memilih menikmati momen ini—momen ketika seseorang yang hampir dilupakan dunia akhirnya merasakan sedikit kenyamanan.

Beberapa pelanggan lain masuk ke warung, menimbulkan suara obrolan kecil di sekitar mereka. Tapi Haris tetap fokus pada Yusman, yang kini makan dengan tenang, meskipun gerakannya masih sedikit kaku.

“Kamu tahu,” kata Yusman setelah beberapa saat, suaranya lebih pelan. “Aku selalu berpikir… kalau aku mati di jalan, nggak akan ada yang peduli.”

Haris tidak langsung menjawab. Ia mengaduk tehnya perlahan, lalu menatap Yusman.

“Tapi sekarang kamu di sini.”

Yusman menatap Haris, ekspresinya sulit dijelaskan.

“Aku nggak tahu sampai kapan aku bakal hidup kayak gini,” lanjutnya, suaranya sedikit bergetar. “Tapi setidaknya… malam ini aku nggak ngerasa sendirian.”

Haris tersenyum tipis. “Nggak ada yang harus ngerasa sendirian.”

Yusman menunduk, menyembunyikan ekspresi wajahnya. Tapi ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya—sesuatu yang lebih dari sekadar rasa kenyang.

Malam itu, di warung kecil yang remang-remang, di antara kepulan uap mie panas dan suara hujan yang mulai mereda, dua orang dari dunia yang berbeda duduk bersama.

Yang satu berasal dari tempat di mana hidup adalah perjuangan konstan, diabaikan dan dianggap tak kasatmata.

Yang satu lagi berasal dari dunia yang lebih nyaman, tapi memilih untuk berhenti dan memperhatikan.

Dan di antara dua dunia itu, ada secercah harapan—sekecil apapun, tetap ada.

 

Cahaya di Ujung Jalan

Malam semakin larut, dan hujan yang sebelumnya deras kini hanya menyisakan gerimis. Haris dan Yusman masih duduk di warung kecil itu, menikmati sisa mie yang masih hangat. Suasana di dalam warung terasa hangat meski di luar udara sangat dingin. Yusman menyandarkan punggungnya ke dinding, memandang luar dengan tatapan kosong, seakan ada beban berat yang terus menghimpit di hatinya.

“Yusman,” suara Haris memecah keheningan, “apa yang sebenarnya kamu inginkan dari hidup ini?”

Yusman terkejut dan menoleh. Dia tidak menduga Haris akan menanyakan hal itu. “Aku… aku ingin merasa berarti,” jawabnya pelan. “Tapi rasanya semua sudah terlambat.”

Haris menggelengkan kepala. “Nggak ada kata terlambat. Setiap hari itu kesempatan baru.”

Yusman mengangkat alis, skeptis. “Mungkin untuk orang-orang seperti kamu. Tapi untuk orang sepertiku, sulit untuk bermimpi.”

“Kenapa?” Haris bertanya, nada suaranya tenang. “Hidup ini penuh dengan kejutan. Kamu tahu, aku pernah jatuh dari langit yang tinggi, merasa bahwa hidupku sudah berakhir. Tapi aku belajar bahwa setiap jatuh itu bisa jadi cara untuk bangkit kembali.”

Yusman terdiam, mencerna kata-kata Haris. Ia mengingat kembali perjalanan hidupnya yang penuh dengan kesedihan dan penolakan. Namun, ada sesuatu dalam diri Haris yang menyalakan secercah harapan di dalam hatinya.

“Lalu, bagaimana kalau kita mulai dari sini?” Haris melanjutkan. “Apa yang ingin kamu lakukan ke depannya?”

Yusman mengernyitkan dahi, mencoba berpikir. “Aku ingin… membantu orang lain. Seperti yang kamu lakukan untukku malam ini.”

Haris tersenyum. “Itu ide bagus. Kamu punya pengalaman hidup yang bisa kamu bagi. Siapa tahu, cerita kamu bisa jadi inspirasi bagi orang lain.”

“Tapi aku sudah terlalu lama terjebak dalam kesedihan ini. Aku merasa nggak pantas untuk membantu orang lain.”

“Jangan pernah berpikir seperti itu,” jawab Haris tegas. “Kamu sudah menjalani banyak hal, dan itu membuatmu lebih kuat. Sekarang saatnya untuk keluar dari bayang-bayang itu. Setiap orang berhak untuk memiliki kesempatan kedua.”

Yusman mengangguk pelan, tetapi hatinya masih bimbang. Apakah dia bisa bangkit dari semua ini? Apakah ada tempat di dunia ini untuknya?

Haris mengamati wajah Yusman dengan seksama, seolah mencoba membaca pikiran pria tua itu. “Yusman, pernahkah kamu berpikir untuk bekerja di tempat penampungan atau organisasi sosial? Mungkin bisa jadi langkah pertama.”

Yusman menatap Haris dengan mata melebar. “Maksudmu, aku bisa bekerja di sana? Tapi… aku sudah terlalu tua.”

“Usia bukan masalah. Yang penting adalah keinginanmu untuk memberi. Nggak ada kata terlambat untuk memulai. Lagipula, pengalamanmu sangat berharga.”

“Bagaimana kalau aku gagal lagi?” Yusman bertanya, suara di matanya mengisyaratkan keraguan.

Haris tersenyum lebar, “Kalau kamu gagal, berarti kamu sudah belajar sesuatu. Itu yang terpenting. Jangan takut untuk mencoba.”

Yusman merenung, meresapi kata-kata Haris. Mungkin selama ini dia hanya perlu dorongan kecil untuk mulai kembali. Dan di malam ini, dengan segelas teh hangat di tangannya, ia merasa untuk pertama kalinya ada harapan di dalam hidupnya.

“Mungkin… aku bisa mencobanya,” Yusman mengucapkan kata-kata itu perlahan, seakan takut mengucapkannya terlalu keras.

Haris tampak senang mendengar itu. “Itu semangat! Sekarang, kita harus mencari cara untuk membuatnya terjadi.”

Setelah beberapa saat, mereka selesai makan. Ibu pemilik warung menghampiri mereka dengan senyum hangat. “Terima kasih sudah datang, Nak. Semoga kalian selalu diberi keberuntungan.”

“Terima kasih, Bu,” jawab Haris, dan Yusman menambahkan, “Iya, terima kasih untuk semuanya.”

Saat mereka beranjak pergi, Haris meraih tangan Yusman dan menggenggamnya erat. “Ingat, kamu tidak sendirian lagi. Aku ada di sini untuk membantu.”

Yusman tersenyum, kali ini lebih lebar. Ada rasa haru mengalir dalam dirinya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa diberdayakan.

Mereka melangkah keluar dari warung, menembus dinginnya malam. Hujan sudah berhenti, dan langit mulai menunjukkan tanda-tanda pencerahan. Sebuah cahaya kecil di ujung jalan, seperti simbol harapan yang akan menerangi langkah mereka ke depan.

Dengan semangat baru, Yusman melangkah, mengikuti Haris. Di tengah gelapnya malam, mereka berdua melawan kesunyian yang pernah membelenggu mereka.

Di jalan yang sepi, dua jiwa bertemu, dan bersama-sama mereka mulai menuliskan bab baru dalam kisah hidup mereka. Karena kadang, hal terindah dalam hidup adalah menemukan seseorang yang mau berbagi jalan, bahkan di saat terburuk sekalipun.

 

Jadi, guys, kadang kita cuma butuh satu momen dan satu orang untuk bikin kita ngerasa hidup lagi. Cerita ini bukan sekadar tentang menolong sesama, tapi juga tentang menemukan diri sendiri di tengah perjalanan yang sulit. Yuk, jangan ragu untuk jadi cahaya buat orang lain, karena siapa tahu, itu yang bisa bikin dunia ini jadi lebih baik!

Leave a Reply