Menemukan Damai di Rumah Om: Kisah Emosional Liburan yang Menyentuh Hati

Posted on

Temukan inspirasi emosional dalam Menemukan Damai di Rumah Om: Kisah Emosional Liburan yang Menyentuh Hati, sebuah cerpen yang membawa Tavira Jelani ke Desa Gunung Sari untuk menyembuhkan luka masa lalu bersama Om Darsono dan tiga sahabat, Kaelith, Rivan, dan Selina. Dengan detail memikat tentang kehidupan desa, kenangan keluarga, dan perjalanan batin yang mendalam, cerita ini menawarkan pelajaran hidup yang menyentuh hati. Siapkah Anda menyelami damai yang tersembunyi di balik ladang jagung dan bukit senja?

Menemukan Damai di Rumah Om

Panggilan dari Bayang Masa Lalu

Pagi itu, udara di apartemenku di Jakarta terasa berat, dipenuhi debu dan suara klakson yang tak pernah henti. Aku, Tavira Jelani, duduk di sofa usang berusia 30 tahun, menatap layar laptop yang penuh dengan desain yang harus diselesaikan sebelum deadline akhir pekan. Sebagai ilustrator freelance, hidupku dipenuhi proyek, tapi juga kekosongan yang sulit dijelaskan. Di meja kopiku, sebuah ponsel tua bergetar, menampilkan nama yang jarang kulihat: Om Darsono Wira, paman dari ibu yang tinggal di sebuah desa terpencil bernama Gunung Sari.

Aku mengangkat telepon, dan suara om yang serak namun hangat menyapaku. “Tavira, nak, om rindu kamu. Ayo ke rumah om di Gunung Sari. Om nggak tahu berapa lama lagi om bisa tunggu. Datang, ya, bawa hati terbukamu.” Kata-kata itu seperti pukulan pelan di dadaku. Aku belum pernah kembali ke desa itu sejak ibuku meninggal tiga tahun lalu, dan kenangan tentang rumah om—dengan aroma kayu bakar dan suara angin di pepohonan—terasa seperti luka yang kubuang jauh ke sudut pikiran.

Aku menatap kalender di dinding. Hari ini, 5 Juni 2025, pukul 09:27 WIB, adalah hari yang tepat untuk berhenti sejenak. Tanpa banyak berpikir, aku menghubungi Kaelith Zoraya, sahabatku sejak masa kuliah yang selalu punya cara untuk membuatku berani mengambil keputusan. “Kael, aku mau ke rumah om di Gunung Sari. Aku butuh temen. Ikut nggak?” tanyaku, suaraku sedikit ragu. Kaelith, dengan tawanya yang ceria, langsung setuju. “Aku bawa dua orang lagi, ya? Biar rame. Om kamu bakal seneng!” katanya, membuatku tersenyum tipis meski hati masih bergetar.

Beberapa jam kemudian, Kaelith tiba dengan mobil van tua yang dia sewa, bersama dua teman yang belum kukenal baik: Rivan Hadriel, seorang penyair dengan rambut panjang tergerai dan tatapan melankolis, serta Selina Vireo, seorang pembuat film pendek yang pendiam tapi penuh ide brilian. Mereka membawa tas besar berisi kamera, buku catatan, dan beberapa camilan untuk perjalanan. “Kita bakal bikin kenangan di desa itu, Tavira,” kata Rivan dengan nada penuh harap. Selina hanya mengangguk, tapi senyum kecilnya memberi rasa tenang.

Perjalanan dari Jakarta ke Gunung Sari memakan waktu sekitar enam jam. Jalan raya yang ramai perlahan berganti menjadi jalan desa berbatu, dikelilingi sawah hijau dan bukit-bukit kecil yang diselimuti kabut tipis. Di dalam van, Kaelith memutar playlist lagu-lagu akustik favorit kami, sementara Rivan membaca puisi pendek yang dia tulis tentang alam. Selina, dari kursi belakang, sesekali merekam pemandangan melalui kameranya, cahaya kecil dari lensa menyelinap di antara obrolan kami. Aku menatap jalan, pikiranku melayang ke kenangan bersama ibu—suara tawanya saat kami membantu om memanen jagung di ladang, aroma masakan om yang selalu menggoda.

Ketika kami tiba di Gunung Sari, matahari sudah mulai turun, mewarnai langit dengan gradasi jingga dan ungu. Rumah om berdiri di pinggir desa, sebuah bangunan kayu tua dengan atap genteng yang sedikit rusak oleh waktu. Dindingnya dipenuhi lumut hijau, dan halaman depan dipenuhi tanaman kacang panjang yang merambat di pagar bambu. Om Darsono Wira berdiri di beranda, bersandar pada tongkat kayunya, wajahnya penuh kerutan tapi matanya berbinar saat melihatku. “Tavira… akhirnya kamu pulang,” katanya pelan, suaranya penuh emosi. Aku berlari memeluknya, dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, air mata mengalir tanpa kusadari.

Kami masuk ke dalam rumah, disambut aroma kayu bakar dan bumbu masakan dari dapur. Ruangan itu sederhana, dengan lantai kayu yang berderit setiap kali dilangkahi, dan dinding dipenuhi foto-foto lama—aku kecil bersama ibu, om dengan kakek yang sudah tiada, dan keluarga besar yang kini tercerai berai. Kaelith, Rivan, dan Selina duduk di tikar usang, mengobrol dengan om tentang desa dan kehidupan di kota. Om tertawa kecil, tapi aku bisa melihat tangannya gemetar saat menuang teh ke cangkir-cangkir kecil yang sudah retak.

Malam itu, kami makan bersama di meja kayu panjang—sayur lodeh, ayam goreng, dan nasi hangat yang dimasak om dengan resep ibuku. Suasana hangat, tapi ada kesedihan yang tak terucap. Setelah makan, om mengajakku ke ruang tengah, tempat dia menyimpan kotak kayu tua. Dia membukanya perlahan, mengeluarkan sebuah syal wol yang pernah dibuat ibuku untuknya, dan sebuah surat usang yang ditulis ibuku sebelum meninggal. “Ini buat kamu, Tavira. Ibumu bilang dia sayang kamu, tapi nggak sempat kasih langsung,” katanya, matanya berkaca-kaca.

Aku membaca surat itu, tanganku bergetar. Ibu menulis tentang rindu dan harapannya agar aku tetap kuat, meski dia tahu penyakitnya tak bisa disembuhkan. Rasa bersalah karena tak bisa berada di sisinya saat akhir hidupnya membakar dadaku, dan kini, di rumah om, aku merasa seperti berdiri di ambang pintu masa lalu yang ingin kuhadapi. Om memegang tanganku, suaranya lembut, “Jangan menyalahkan diri, nak. Ibumu selalu bangga sama kamu.”

Malam semakin larut, dan kami duduk di beranda, ditemani suara jangkrik dan angin sepoi-sepoi. Kaelith bercerita tentang masa kuliah kami yang penuh tawa, Rivan berbagi puisinya tentang kehilangan, dan Selina menunjukkan klip pendek yang dia rekam sore tadi—pemandangan desa, rumah om, dan senyumku yang sedikit kaku. Aku hanya mendengarkan, menatap langit penuh bintang, dan merasa bahwa perjalanan ini akan membawaku pada sesuatu yang lebih dalam—mungkin penyembuhan, mungkin penutupan, atau keduanya.

Di malam itu, aku tahu bahwa rumah om bukan hanya tempat untuk berlibur. Ia adalah cermin yang akan memaksaku menghadapi kenangan, luka, dan cinta yang telah lama kubuang. Dan dengan kehadiran Kaelith, Rivan, dan Selina, aku merasa ada kekuatan untuk melangkah lebih jauh ke dalam cerita yang belum selesai.

Bisikan Angin di Lahan Jagung

Pagi kedua di Desa Gunung Sari menyapa dengan aroma tanah basah yang segar, bercampur dengan embun pagi yang menempel di daun-daun. Aku, Tavira Jelani, terbangun oleh suara kokok ayam yang terdengar dari kejauhan, diikuti derit pintu kayu saat Om Darsono Wira berjalan keluar rumah. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah-celah jendela, menerangi ruangan sederhana yang dipenuhi kenangan. Pukul 06:15 WIB, dan udara pagi terasa sejuk di kulitku, membawa perasaan tenang sekaligus rindu yang sulit dijelaskan.

Aku melangkah keluar, menemukan om sudah sibuk di dapur kecilnya, memasak sesuatu yang baunya langsung membangkitkan ingatan. Dia mengenakan kemeja flanel lusuh berwarna cokelat, rambut putihnya yang tipis tersisir rapi ke belakang. “Pagi, Tavira. Ayo bantu om siapin sarapan. Kita masak nasi goreng jagung, kesukaan ibumu dulu,” katanya, tangannya yang penuh urat bergerak lincah memotong bawang merah. Aku tersenyum kecil, mengambil pisau kecil untuk membantu, tapi setiap aroma yang tercium—jagung bakar, bawang goreng, dan sedikit kecap—membawaku kembali ke masa kecil, saat ibu membuatkan sarapan yang sama sambil bercerita tentang petualangan om di hutan.

Kaelith, Rivan, dan Selina bangun tak lama kemudian, wajah mereka masih penuh tanda bantal tapi mata mereka berbinar melihat meja yang sudah disiapkan om. “Wah, ini baunya enak banget, Om!” seru Kaelith, langsung duduk di bangku kayu panjang. Rivan, dengan rambut panjangnya yang tergerai, membawa buku catatan puisinya, seolah siap mencatat inspirasi dari pagi ini. Selina, dengan kamera kecilnya yang tak pernah lepas dari tangan, mulai memotret pemandangan sederhana—nasi goreng jagung yang disajikan dalam piring seng, tangan om yang gemetar saat menuang teh, dan senyumku yang sedikit kaku saat membantu om.

Kami sarapan bersama, nasi goreng jagung hangat dengan taburan bawang goreng dan telur mata sapi terasa seperti pelukan dari masa lalu. Om bercerita tentang masa kecilku, tentang bagaimana aku pernah tersesat di ladang jagung karena terlalu asyik mengejar kupu-kupu. Kaelith tertawa terbahak-bahak, sementara Rivan mencatat sesuatu dengan cepat, mungkin ide untuk puisi barunya. Selina menunjukkan foto yang baru saja dia ambil: tanganku yang memegang piring seng, dengan latar belakang om yang tersenyum di tengah dapur sederhana. “Momen ini hangat,” katanya pelan, tapi aku tahu dia sedang berusaha menangkap esensi dari kebersamaan ini.

Setelah sarapan, om mengajak kami ke ladang jagung di belakang rumah. Ladang itu tak lagi seluas dulu, tapi masih penuh kenangan. Barisan tanaman jagung yang tingginya hampir melebihi kepala kami bergoyang pelan tertiup angin, dan di tengah ladang, ada sebuah gubuk kecil dari bambu tempat om biasa beristirahat. “Ini ladang ibumu dulu,” kata om, tangannya menyentuh tongkol jagung dengan lembut. “Dia selalu bilang, jagung ini kayak hidup—harus dirawat dengan hati.” Aku menatap ladang itu, merasakan sesak di dada. Ibu memang selalu punya cara untuk mengajarkan sesuatu, tapi aku merasa gagal menjadi “hati” yang dia harapkan.

Kaelith, yang melihatku terdiam, mengalihkan perhatian dengan mengajak kami memetik beberapa tongkol jagung. “Ayo, kita bantu Om! Nanti kita bakar jagung buat makan siang!” katanya, sudah mulai memetik dengan semangat. Rivan, dengan celana panjangnya yang digulung, ikut membantu, tertawa saat Kaelith tak sengaja menjatuhkan tongkol jagung ke tanah. Selina duduk di tepi gubuk, merekam kami dengan kameranya, sesekali tersenyum kecil saat melihat tingkah Kaelith yang ceria. Aku berjalan agak jauh, kaki telanjangku menyentuh tanah yang lembap, dan pikiranku melayang ke kenangan bersama ibu—bagaimana kami memetik jagung bersama, tertawa saat om bercerita tentang hantu ladang yang konon suka mencuri jagung.

Tiba-tiba, aku menemukan sesuatu di antara tanaman jagung—sebuah kalung sederhana dari tali kulit dengan liontin kayu kecil berbentuk hati, yang dulu ibu buat untukku. Aku ingat dengan jelas: ibu memberikan kalung ini saat kami memanen jagung terakhir sebelum dia sakit, berkata, “Ini hati ibu, Tavira. Jaga baik-baik.” Aku kehilangan kalung itu bertahun-tahun lalu, tapi menemukannya di ladang ini membuatku merasa ibu ada di sini, berbicara melalui angin. Air mata mengalir tanpa kusadari, dan aku menggenggam kalung itu erat-erat, merasakan kehangatan yang aneh.

Sore itu, kami kembali ke rumah om, membawa beberapa tongkol jagung yang sudah kami petik. Om menyalakan api kecil di halaman, dan kami membakar jagung sambil duduk melingkar di sekitar api. Aroma jagung bakar bercampur dengan asap kayu membawa suasana hangat, tapi juga melankolis. Kaelith bercerita tentang mimpinya membuka galeri seni kecil, Rivan membaca puisi pendek tentang ladang dan kehilangan, dan Selina menunjukkan klip pendek yang dia rekam di ladang—gambar diriku yang menatap tanaman jagung dengan ekspresi penuh rindu.

Malam itu, kami duduk di ruang tengah, ditemani lampu minyak tanah yang cahayanya temaram. Om mengeluarkan album foto tua, menunjukkan gambar ibu saat masih muda, berdiri di ladang jagung dengan senyum lebar. “Ibumu selalu bilang kamu kuat, Tavira. Dia nggak pernah menyalahkanmu,” kata om, suaranya penuh cinta. Aku memegang kalung hati itu di tangan, merasakan sesak di dada, tapi juga sedikit kelegaan. Desa Gunung Sari, dengan ladang jagung dan anginnya yang berbisik, seolah sedang membuka luka-luka lamaku—bukan untuk menyakiti, tapi untuk menyembuhkan. Dan aku tahu, perjalanan ini masih menyimpan cerita yang akan membawaku lebih dekat pada kedamaian.

Melodi Hutan dan Luka yang Terucap

Pagi ketiga di Desa Gunung Sari terasa lebih hening, seolah alam sedang menyiapkan panggung untuk cerita yang lebih dalam. Aku, Tavira Jelani, terbangun oleh suara angin yang bersiul lembut melalui celah-celah jendela kayu rumah om, membawa aroma daun basah dari hutan kecil di dekat desa. Cahaya matahari pagi, yang baru saja menembus kabut tipis, menyelinap ke dalam kamar sederhana, menerangi kalung hati dari ibu yang kutaruh di samping bantal semalam. Pukul 06:45 WIB, dan udara pagi terasa sejuk di kulitku, membawa perasaan damai sekaligus kegelisahan yang belum kujelaskan.

Aku melangkah keluar, menemukan Om Darsono Wira sudah duduk di beranda, menatap ke arah bukit yang diselimuti kabut. Dia mengenakan jaket tua berwarna cokelat tua, tangannya memegang cangkir teh pandan yang uapnya menari pelan di udara dingin. “Pagi, Om,” sapaku pelan, duduk di sampingnya. Om menoleh, senyumnya leletapi ada kerinduan di matanya. “Pagi, Tavira. Tadi malam om mimpi ibumu. Dia bilang dia senang kamu di sini,” katanya, suaranya hampir tenggelam oleh suara angin. Aku menelan ludah, merasakan benjolan di tenggorokan. Kata-kata om seperti membuka luka lama, tapi juga memberi sedikit kelegaan.

Kaelith, Rivan, dan Selina bergabung beberapa menit kemudian, membawa aroma kopi instan yang mereka seduh di dapur. Kaelith, dengan rambut yang masih acak-acakan, duduk di lantai beranda sambil menggoyang-goyangkan kakinya. “Hari ini kita ke hutan kecil itu, ya, Om? Aku dengar ada air terjun kecil di sana!” katanya antusias. Rivan, dengan rambut panjangnya yang tergerai, mengangguk setuju, bukunya sudah terbuka untuk mencatat inspirasi baru. Selina mengeluarkan kamera, siap merekam petualangan kami. Om tersenyum, “Iya, hutan itu dulu tempat ibumu suka bermain. Kalian boleh ke sana, tapi hati-hati dengan jalannya yang licin.”

Setelah sarapan sederhana—roti bakar dengan selai srikaya dan teh hangat yang disiapkan om—kami berjalan menuju hutan kecil di utara desa. Perjalanan memakan waktu sekitar empat puluh menit, melewati jalan tanah yang dipenuhi rumput liar dan pemandangan sawah yang mulai menguning. Hutan itu tak terlalu lebat, tapi penuh pesona dengan pohon-pohon mahoni tua dan suara burung yang berkicau di antara dahan. Aroma tanah basah dan daun yang mulai menguning memenuhi udara, membawa kenangan tentang ibu yang pernah membawaku ke sini untuk mencari jamur liar.

Di tengah hutan, kami menemukan air terjun kecil yang mengalir dari tebing rendah, airnya jernih dan dingin, membentuk kolam alami di bawahnya. Suara air yang jatuh bercampur dengan desau angin menciptakan melodi alam yang menenangkan. Kaelith langsung melepas sepatunya, berlari ke tepi kolam dan menyipratkan air dengan ceria. Rivan duduk di atas batu besar, membuka bukunya dan mulai menulis puisi, sementara Selina merekam pemandangan dengan kameranya, fokus pada detail tetesan air yang memantul di bawah sinar matahari. Aku berdiri agak jauh, kakiku menyentuh air dingin, dan pikiranku melayang ke kenangan bersama ibu—bagaimana kami duduk di tepi air terjun ini, tertawa saat dia mengajarku cara melempar batu hingga melompat di permukaan air.

“Tavira, ayo masuk! Airnya seger banget!” panggil Kaelith, wajahnya penuh tawa. Aku tersenyum kecil, melepas sandal dan melangkah ke dalam kolam. Air dingin menyapu kakiku, dan untuk sesaat, aku merasa seperti kembali menjadi anak kecil yang bebas dari beban. Tapi kenangan ibu di tempat ini terlalu kuat—aku ingat bagaimana dia memelukku di sini, berkata, “Kapan pun kamu sedih, Tavira, datanglah ke air. Air selalu tahu cara membersihkan hati.” Aku menutup mata, membiarkan suara air terjun mengisi pikiranku, dan tanpa sadar, air mata mengalir.

Rivan, yang melihatku dari kejauhan, mendekat dengan langkah hati-hati. “Kamu baik-baik aja, Tavira?” tanyanya, suaranya lembut. Aku mengangguk, tapi air mata terus jatuh. “Aku cuma… rindu ibu. Tempat ini penuh kenangan,” kataku pelan. Rivan tersenyum kecil, lalu membacakan puisi pendek yang baru saja dia tulis: “Air terjun bernyanyi, membawa bisik ibu, di antara tetesan, cinta tak pernah pergi.” Kata-katanya sederhana, tapi terasa seperti pelukan, dan aku merasa sedikit lebih ringan.

Sore itu, kami duduk di tepi kolam, berbagi cerita. Kaelith bercerita tentang mimpinya membuat pameran seni yang terinspirasi dari alam, sementara Selina, untuk pertama kalinya, berbagi tentang ayahnya yang meninggal saat dia remaja. “Aku bikin film pendek buat nyimpan kenangan, biar aku nggak lupa suaranya,” katanya, suaranya penuh kerinduan. Rivan menambahkan bahwa dia menulis puisi untuk mengenang adiknya yang hilang dalam kecelakaan. “Kadang, menulis jadi cara aku bilang aku sayang,” katanya, tatapannya melankolis. Aku mendengarkan, merasa ada ikatan baru di antara kami—luka yang berbeda, tapi saling menguatkan.

Kembali ke rumah om, kami membawa beberapa daun pandan yang dipetik Kaelith untuk dibuat teh. Om tersenyum melihat kami, tapi ada kesedihan di matanya. Saat kami duduk di ruang tengah malam itu, om mengeluarkan sebuah kotak kecil dari laci, menyerahkan sebuah gelang sederhana dari kayu yang dulu dibuat ibu untukku. “Ibumu bilang, gelang ini biar kamu ingat selalu punya rumah,” katanya, suaranya gemetar. Aku memakainya di pergelanganku, merasakan kehangatan yang aneh, seolah ibu sedang memelukku.

Malam itu, kami berbagi cerita lebih banyak di bawah cahaya lampu minyak tanah. Kaelith bernyanyi lagu lama yang pernah ibu nyanyikan, Rivan membaca puisi lagi, dan Selina menunjukkan klip pendek dari air terjun—gambar diriku yang menatap air dengan air mata di pipi. Aku memegang kalung hati dan gelang kayu, merasa ibu ada di sini, di antara melodi hutan dan cerita kami. Desa Gunung Sari, dengan hutan kecilnya dan air terjun yang bernyanyi, seolah menjadi saksi dari luka yang mulai terucap, membawaku lebih dekat pada penyembuhan. Tapi aku tahu, masih ada satu hari lagi, dan cerita ini belum selesai.

Pelukan Terakhir di Bawah Langit Senja

Pagi terakhir di Desa Gunung Sari terasa seperti lembaran terakhir buku yang belum ingin kuhentikan. Aku, Tavira Jelani, terbangun oleh suara burung yang berkicau di luar jendela, menyambut hari yang diterangi cahaya matahari lembut pukul 07:15 WIB, 5 Juni 2025. Udara pagi membawa aroma tanah basah dan kayu bakar dari dapur om, membangkitkan perasaan campur aduk—kelegaan karena telah menghadapi luka masa lalu, dan kesedihan karena harus meninggalkan tempat yang telah membukakan hatiku. Kalung hati dan gelang kayu ibu terasa hangat di pergelangan tanganku, seperti pengingat bahwa ibu masih ada di setiap langkahku.

Aku melangkah keluar, menemukan Om Darsono Wira duduk di beranda, menatap ke arah ladang jagung yang mulai diselimuti kabut tipis. Dia mengenakan jaket lusuhnya, tangannya memegang cangkir teh pandan yang sudah setengah kosong. “Pagi, Om,” sapaku pelan, duduk di sampingnya. Om menoleh, senyumnya leletapi ada kelembutan di matanya. “Pagi, Tavira. Hari ini, kita ke bukit di belakang desa, ya? Di sana ibumu suka lihat matahari terbenam. Biar kamu bisa bilang selamat tinggal,” katanya, suaranya penuh makna.

Kaelith, Rivan, dan Selina bergabung beberapa menit kemudian, membawa aroma kopi yang mereka seduh bersama. Kaelith, dengan semangat paginya, mengusulkan, “Ayo, kita bawa sesuatu buat kenang-kenangan! Mungkin bunga atau foto yang kita ambil di sini.” Rivan mengangguk, bukunya sudah terbuka untuk mencatat momen terakhir, sementara Selina mengeluarkan kamera, siap menangkap keindahan bukit. Om tersenyum, “Bagus ide itu. Ibumu pasti senang.”

Setelah sarapan nasi liwet sederhana dengan ayam suwir dan sambal yang dibuat om, kami berjalan menuju bukit di belakang desa. Perjalanan memakan waktu sekitar tiga puluh menit, melewati jalan tanah yang dipenuhi rumput liar dan pemandangan sawah yang memantulkan cahaya matahari pagi. Bukit itu tak terlalu tinggi, tapi penuh pesona dengan pepohonan kecil dan rumput hijau yang bergoyang tertiup angin. Di puncak bukit, kami menemukan sebuah batu besar yang datar, tempat ibu dulu suka duduk menikmati senja.

Aku berlutut di depan batu itu, meletakkan seikat bunga liar yang kami petik di sepanjang jalan. Om berdiri di sampingku, memegang tanganku erat-erat. “Bilang apa yang ada di hatimu, Tavira,” bisiknya. Aku menelan ludah, air mata mulai mengalir. “Ibu, maaf aku nggak sempat di sampingmu saat kamu pergi. Aku rindu kamu setiap hari, dan aku janji akan jaga kenangan kita. Terima kasih buat segalanya,” kataku pelan, suaraku terbata-bata. Angin bertiup lembut, seolah membawa kata-kataku ke langit.

Kaelith menyalakan lilin kecil yang dia bawa, meletakkannya di samping bunga, sementara Rivan membaca puisi terakhirnya: “Di bukit ini, bayangmu menari, ibu, cinta kita abadi dalam angin.” Selina mengambil foto—gambar diriku yang berlutut dengan om di samping, bunga-bunga liar yang tersebar, dan lilin yang berkelip di bawah langit biru. “Ini bakal jadi kenangan indah, Tavira,” katanya, suaranya penuh perasaan. Kaelith memelukku dari belakang, dan aku merasa luka itu mulai sembuh, menjadi bagian dari kekuatanku.

Kami duduk di puncak bukit selama beberapa saat, berbagi cerita tentang ibu. Om bercerita tentang bagaimana ibu selalu membantunya menanam jagung, tertawa saat om tak sengaja menyiram dirinya dengan air irigasi. Kaelith menambahkan kenangan pertamanya bertemu ibu saat mengunjungiku dulu, sementara Rivan berbagi puisi tentang kehilangan yang kini terasa seperti pelepasan. Selina menunjukkan klip pendek dari perjalanan kami—gambar ladang jagung, air terjun, dan wajahku yang kini lebih tenang.

Sore itu, saat matahari mulai tenggelam, kami duduk melingkar di sekitar batu, menikmati gradasi jingga dan ungu yang memenuhi langit. Om mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jaketnya, menyerahkan sebuah buku catatan tua yang ternyata milik ibu. “Ini diary ibumu. Dia tulis buat kamu,” katanya, tangannya gemetar. Aku membukanya perlahan, membaca entri terakhir: “Tavira, anakku, jika kamu baca ini, ketahuilah ibu selalu mencintaimu. Jaga dirimu, dan jangan pernah menyerah.” Air mata mengalir, tapi kali ini penuh kebahagiaan.

Malam itu, kami mengadakan makan malam terakhir bersama. Om memasak sup jagung manis dengan bumbu racikannya, disajikan dengan nasi hangat dan ikan bakar. Kami duduk di meja kayu panjang, tertawa dan berbagi cerita. Rivan membaca puisi terakhirnya tentang damai yang ditemukan di desa, Selina menunjukkan klip pendek dari bukit—gambar senja dan wajah kami yang penuh harapan, dan Kaelith bernyanyi lagu ibu yang dulu sering dinyanyikan. Aku menulis di buku harian ibu, “Ibu, aku datang ke rumah om, dan aku menemukan kamu lagi. Terima kasih.”

Sebelum berangkat keesokan harinya, aku berdiri di beranda dengan om, memeluknya erat. “Kembali lagi, ya, Tavira. Rumah ini selalu jadi milikmu,” katanya, matanya penuh cinta. Kaelith, Rivan, dan Selina memuat barang ke van, tapi masing-masing meninggalkan sesuatu—Kaelith meninggalkan bunga kering, Rivan puisi kecil, dan Selina foto cetak pertama dari bukit. Saat van meninggalkan desa, aku menoleh ke belakang, melihat om yang melambai dengan tongkatnya, dan bukit yang berdiri tegak di kejauhan.

Desa Gunung Sari, dengan ladang jagungnya, hutan kecilnya, dan bukit senjanya, telah menjadi tempat di mana aku menemukan damai. Kalung hati, gelang kayu, dan buku harian ibu di tanganku menjadi pengingat bahwa cinta ibu tak pernah pergi—ia hidup dalam setiap langkahku, dan rumah om akan selalu menjadi pelukan terakhir di bawah langit senja.

Menemukan Damai di Rumah Om adalah lebih dari sekadar cerita liburan; ini adalah perjalanan batin yang mengajarkan kita untuk menghadapi luka dan merangkul cinta keluarga. Desa Gunung Sari menjadi saksi bagaimana Tavira menemukan kedamaian di tengah kenangan, menginspirasi Anda untuk mengejar harmoni dalam hidup Anda sendiri. Jangan lewatkan kisah ini yang akan membawa Anda pada refleksi mendalam seperti aroma teh pandan di pagi desa!

Terima kasih telah menyelami emosi dan kehangatan dalam Menemukan Damai di Rumah Om. Semoga cerita ini menginspirasi Anda untuk mencari kedamaian dalam kenangan Anda sendiri dan membangun hubungan baru dengan orang tersayang. Sampai jumpa di cerita berikutnya, dan jangan lupakan untuk mendengarkan bisikan damai di hati Anda!

Leave a Reply