Menemukan Cahaya di Tengah Reruntuhan Perceraian: Kisah Inspiratif Anak dan Keluarga Terpisah

Posted on

Temukan kekuatan harapan dalam cerpen menyentuh Menemukan Cahaya di Tengah Reruntuhan Perceraian, yang mengisahkan perjalanan Zayra, seorang gadis kecil yang menghadapi dampak emosional dari perceraian orang tuanya, Dinda dan Reno. Dengan detail yang mendalam dan alur penuh emosi, cerita ini menggambarkan perjuangan, kesedihan, dan kebangkitan seorang anak di tengah kehancuran keluarga. Baca kisah inspiratif ini untuk memahami bagaimana cinta dan ketahanan dapat menyinari bahkan saat kegelapan terasa tak berkesudahan.

Menemukan Cahaya di Tengah Reruntuhan Perceraian

Bayang Retak di Rumah Kecil

Pagi di rumah sederhana di pinggir kota itu terasa dingin, meski matahari telah menampakkan wajahnya di ufuk timur. Angin sepoi-sepoi menyelinap melalui celah-celah jendela kayu yang sudah usang, membawa aroma tanah basah dari hujan semalam. Di sudut ruang tamu, sebuah sofa tua berderit pelan ketika Zayra, seorang gadis berusia sembilan tahun dengan rambut cokelat keriting dan mata cokelat besar, duduk meringkuk sambil memeluk boneka kain kesayangannya, yang ia beri nama Lira. Boneka itu sudah compang-camping, dengan jahitan di perutnya yang mulai robek, tapi bagi Zayra, Lira adalah sahabat setianya di tengah kekacauan yang perlahan menggerogoti rumahnya.

Di dapur kecil yang terpisah oleh sekat bambu, Dinda, ibunya, berdiri di depan kompor tua, mengaduk sup sayuran dengan gerakan mekanis. Wajahnya pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang menunjukkan malam tanpa tidur. Rambut hitam panjangnya yang biasanya rapi kini terurai acak-acakan, seolah mencerminkan kekacauan di hatinya. Di meja kayu yang penuh goresan, Reno, ayah Zayra, duduk dengan cangkir kopi hitam di tangannya, tapi ia tak menyentuhnya. Matanya kosong, menatap ke arah yang tak jelas, seolah dunia di luar dirinya telah hilang makna.

Suasana itu tak asing bagi Zayra. Selama berbulan-bulan, rumah yang dulu dipenuhi tawa dan cerita sebelum tidur kini hanya menyisakan sunyi yang menusuk. Ia bisa merasakan ketegangan di udara, seperti tali yang direntangkan hingga hampir putus. Zayra tak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi, tapi ia tahu ada sesuatu yang salah antara Dinda dan Reno. Pertengkaran mereka semakin sering, suara-suara keras yang membangunkannya di malam hari, dan kata-kata kasar yang terdengar seperti pisau menusuk dinding tipis kamarnya.

“Zayra, makanlah,” panggil Dinda dengan suara datar, meletakkan mangkuk sup di meja di depan anaknya. Zayra mengangguk pelan, tapi ia tak langsung mengambil sendok. Matanya beralih ke Reno, mencari senyum hangat yang biasanya ayahnya berikan saat pagi hari. Tapi kali ini, tak ada senyum. Hanya tatapan kosong yang membuat Zayra merasa seperti anak yang tak lagi dikenal.

“Reno, kita harus bicara,” kata Dinda tiba-tiba, suaranya tegas tapi gemetar. Ia meletakkan sendok di meja dengan sedikit keras, membuat Zayra terkejut. Reno menoleh, alisnya mengerut, dan untuk sesaat, ruangan itu seolah membeku.

“Bicara apa lagi, Dinda? Kita sudah membahas ini berulang kali,” balas Reno, suaranya rendah tapi penuh emosi terpendam. Ia menggosok wajahnya dengan tangan kasar, seolah ingin menghapus kelelahan yang menumpuk.

Zayra menunduk, memeluk Lira lebih erat. Ia ingin berlari ke kamarnya, tapi kakinya terasa berat. Ia mendengar kata-kata seperti “cerai” dan “tak bisa lagi” yang terucap dalam bisik-bisik panik antara kedua orang tuanya minggu lalu, dan meski ia tak sepenuhnya mengerti, kata-kata itu meninggalkan bekas luka di hatinya yang kecil.

“Kita tak bisa terus begini, Reno. Untuk Zayra… untuk diriku sendiri. Aku lelah,” kata Dinda, suaranya mulai pecah. Air mata menggenang di matanya, tapi ia berusaha menahannya. “Aku akan mengajukan perceraian.”

Reno terdiam, tangannya yang memegang cangkir kopi bergetar. Ia menatap Dinda dengan mata yang penuh kemarahan dan kesedihan bercampur. “Kau yakin ini yang terbaik untuk Zayra? Memisahkan dia dari ayahnya?”

Dinda tak menjawab langsung. Ia menoleh ke arah Zayra, dan untuk sesaat, matanya bertemu dengan mata anaknya. Zayra merasa seperti ada sesuatu yang hilang dalam tatapan ibunya, sesuatu yang dulu selalu membuatnya merasa aman. “Aku hanya ingin dia tumbuh dalam kedamaian, Reno. Bukan di tengah pertengkaran kita setiap hari.”

Zayra tak tahan lagi. Ia bangkit dari sofa, meletakkan Lira di kursi, dan berlari ke kamarnya tanpa berkata apa-apa. Pintu kayu tua itu ditutupnya dengan keras, tapi ia bisa mendengar suara Dinda dan Reno yang mulai meninggi lagi. Ia merangkak ke bawah tempat tidurnya, menarik selimut tua yang penuh tambalan, dan menutupi kepalanya. Di dalam kegelapan itu, air matanya jatuh tanpa suara, membasahi bantal yang sudah usang.

Malam itu, Zayra tak bisa tidur. Ia mendengar langkah kaki berat Reno yang keluar rumah, pintu depan ditutup dengan bunyi keras, dan suara Dinda yang menangis pelan di ruang tamu. Ia ingin keluar, ingin memeluk ibunya, tapi rasa takut menahannya. Untuk pertama kalinya, Zayra merasa rumahnya bukan lagi tempat yang hangat. Ia merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tak pernah berakhir.

Pagi berikutnya, suasana di rumah semakin tegang. Dinda duduk di meja dengan tumpukan kertas di depannya—dokumen perceraian yang baru saja ia terima dari pengacara. Wajahnya pucat, tapi ada tekad di matanya. Zayra duduk di sampingnya, memandang kertas-kertas itu dengan rasa bingung. “Ma, apa itu?” tanyanya polos, suaranya kecil.

Dinda menoleh, matanya lembut tapi penuh beban. “Ini… ini tentang aku dan Ayah, Say. Kita akan tinggal terpisah untuk sementara waktu.”

Zayra mengerutkan kening. “Terpisah? Maksudnya Ayah pergi?”

Dinda mengangguk pelan, mengelus rambut anaknya dengan tangan yang sedikit gemetar. “Iya, Nak. Tapi Ayah tetap akan datang menjengukmu. Kita semua ingin yang terbaik untukmu.”

Tapi kata-kata itu tak membuat Zayra tenang. Ia merasa seperti ada lubang di dadanya, sebuah kekosongan yang tak bisa dijelaskan. Ia ingat hari-hari ketika Reno mengajaknya memancing di sungai kecil di belakang rumah, atau saat Dinda membacakan cerita sebelum tidur sambil tersenyum hangat. Kini, semua kenangan itu terasa seperti bayang yang memudar, digantikan oleh pertengkaran dan sunyi.

Hari-hari berikutnya, Reno memang datang sesekali, tapi kunjungannya singkat dan penuh canggung. Ia membawa hadiah kecil—sebuah buku mewarnai atau permen—tapi Zayra bisa melihat ayahnya tak nyaman. Matanya yang dulu penuh tawa kini sering kosong, dan Zayra merasa seperti anak yang tak lagi dikenal oleh sosok yang dulu ia anggap pahlawannya. Setiap kali Reno pergi, Zayra berlari ke kamarnya, menangis sambil memeluk Lira, merasa seperti kehilangan separuh dirinya.

Di sekolah, Zayra mulai berubah. Ia yang dulu ceria dan selalu aktif bermain dengan teman-temannya kini sering duduk sendiri di sudut kelas, menatap kosong ke luar jendela. Guru kelasnya, Ibu Sari, memperhatikan perubahan itu dan suatu hari memanggil Zayra setelah pelajaran selesai. “Ada apa, Zayra? Kau kelihatan sedih akhir-akhir ini,” tanya Ibu Sari dengan suara lembut.

Zayra menunduk, memainkan jari-jarinya yang gemetar. “Ayah dan Mamah… mereka tak bersama lagi. Aku tak tahu kenapa,” katanya pelan, air mata mulai jatuh.

Ibu Sari mengangguk, memahami situasi dari bisik-bisik di kalangan orang tua murid. Ia menarik Zayra ke dalam pelukannya, mencoba memberikan kehangatan yang mungkin hilang dari rumahnya. “Kadang, orang tua memilih jalan terpisah karena mereka pikir itu yang terbaik, Zayra. Tapi itu tak berarti mereka tak mencintaimu. Kau tetap berharga, ya?”

Zayra mengangguk, tapi kata-kata itu tak sepenuhnya meresap. Di dalam hatinya, ia merasa seperti terjebak dalam labirin gelap, mencari jalan keluar yang tak pernah ia temukan. Malam itu, ketika Dinda membukakan pintu untuk Reno yang datang menjenguk, Zayra berdiri di ambang kamarnya, menatap dua orang yang dulu ia anggap utuh kini terbelah menjadi dua dunia yang tak lagi saling menyapa.

“Zayra, Ayah membawakan buku baru untukmu,” kata Reno, berusaha tersenyum, tapi sorot matanya penuh penyesalan.

Zayra mengangguk pelan, mengambil buku itu tanpa antusiasme. “Terima kasih, Yah,” katanya, suaranya datar. Ia kembali ke kamarnya, menutup pintu perlahan, meninggalkan Dinda dan Reno dalam sunyi yang semakin dalam.

Di dalam kamar, Zayra membuka buku baru itu, tapi matanya tak fokus. Ia mengambil Lira dan berbisik padanya, “Lira, aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Rumahku… terasa hancur.” Air matanya jatuh lagi, membasahi wajah boneka itu, seolah Lira adalah satu-satunya yang memahami duka yang ia rasakan.

Di luar, Dinda dan Reno duduk di sofa tua itu, saling berhadapan tapi terasa seperti berjauhan ribuan mil. Dokumen perceraian di meja di depan mereka menanti tanda tangan, simbol akhir dari pernikahan yang dulu penuh cinta. Zayra, yang tak tahu sepenuhnya apa artinya, hanya bisa merasakan getaran kehancuran itu, seperti gempa yang perlahan merobohkan fondasi kecil kebahagiaannya.

Malam itu, di bawah cahaya bulan yang redup, Zayra menatap langit dari jendela kamarnya. Ia merasa seperti burung yang kehilangan sarang, terombang-ambing di tengah badai emosi yang tak ia mengerti. Di dalam hatinya, ada harapan kecil yang masih bertahan, harapan bahwa suatu hari, rumahnya akan kembali utuh, atau setidaknya, ia akan menemukan cara untuk menyembuhkan luka yang mulai menggerogoti jiwanya.

Puing-Puing di Hati Kecil

Pagi di rumah kecil itu terasa lebih berat dari biasanya, seolah udara membawa beban yang tak terucapkan. Jam di dinding tua menunjukkan pukul 07:30 WIB, Jumat, 20 Juni 2025, tapi sinar matahari yang menyelinap melalui jendela tak mampu menerangi kegelapan yang kini menjadi bagian dari kehidupan Zayra. Gadis kecil berusia sembilan tahun itu duduk di lantai kamarnya, dikelilingi oleh buku-buku mewarnai yang diberikan Reno, ayahnya, namun pena warna di tangannya tak bergerak. Boneka Lira tergeletak di sampingnya, wajah kainnya yang robek tampak seperti cerminan perasaan Zayra—rusak, namun masih bertahan.

Di ruang tamu, Dinda sibuk melipat pakaian yang baru saja dicuci, gerakannya cepat namun penuh kekakuan. Rambutnya yang panjang kini diikat sembarangan dengan ikat rambut tua, dan matanya masih sembab, menunjukkan malam yang dihabiskan dengan tangisan. Di meja kayu, dokumen perceraian yang ditandatangani Reno semalam tergeletak, dilengkapi dengan cap merah dari pengacara. Tanda tangan Reno, yang biasanya rapi, kini terlihat compang-camping, seolah mencerminkan keputusasaan yang ia rasakan. Dinda belum menandatangani dokumen itu, tangannya bergetar setiap kali mendekati pena, seolah tanda tangan itu akan mengukir luka permanen di hatinya.

“Zayra, ayo ke meja makan. Sarapan sudah siap,” panggil Dinda, suaranya berusaha tegas tapi ada nada rapuh di dalamnya. Zayra tak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang, memeluk Lira, dan berjalan pelan ke ruang tamu. Di meja, ada semangkuk bubur ayam sederhana dengan taburan daun bawang, tapi aroma hangatnya tak mampu membangkitkan selera Zayra. Ia duduk diam, memandang mangkuk itu seolah itu adalah teka-teki yang tak bisa ia pecahkan.

“Ma, kapan Ayah pulang?” tanya Zayra tiba-tiba, suaranya kecil namun penuh harap. Dinda berhenti melipat pakaian, tangannya terdiam di udara. Untuk sesaat, ia tak tahu harus menjawab apa. Matanya menatap Zayra, mencari kata-kata yang tak akan menyakiti, tapi kenyataan tak memberinya ruang untuk berbohong.

“Ayah… Ayah tinggal di tempat lain sekarang, Say. Tapi dia akan datang menjengukmu,” jawab Dinda, suaranya bergetar. Ia duduk di samping Zayra, mengelus rambut anaknya dengan tangan yang dingin. “Kita akan baik-baik saja, ya?”

Zayra mengangguk pelan, tapi matanya berkaca-kaca. Ia tak percaya sepenuhnya pada kata-kata ibunya. Malam sebelumnya, ia mendengar Dinda berbicara di telepon dengan seseorang—mungkin saudara atau teman—dan suaranya penuh tangis. “Aku tak tahu bagaimana menjelaskan ini pada Zayra. Dia terlalu kecil untuk memahami,” katanya saat itu, dan kata-kata itu masih bergema di kepala Zayra.

Hari itu, Zayra pergi ke sekolah dengan langkah berat. Tas kecilnya yang penuh gambar karakter kartun terasa seperti beban di pundaknya. Di kelas, Ibu Sari, gurunya, memperhatikan Zayra yang duduk di sudut, tak seperti biasanya yang selalu antusias mengangkat tangan. Setelah pelajaran selesai, Ibu Sari memanggil Zayra ke meja gurunya. “Zayra, kau kelihatan sedih lagi hari ini. Apa yang terjadi di rumah?” tanyanya lembut, matanya penuh perhatian.

Zayra menunduk, memainkan ujung rok seragamnya yang sedikit sobek. “Ayah dan Mamah… mereka pisah. Ayah tak tinggal di rumah lagi,” katanya pelan, air mata mulai jatuh ke lantai. Ibu Sari menarik Zayra ke dalam pelukannya, membiarkan gadis kecil itu menangis sepuasnya. “Kadang, perpisahan itu menyakitkan, tapi kau tak sendiri, Zayra. Aku di sini, dan teman-temanmu juga,” kata Ibu Sari, mencoba memberikan kekuatan.

Di luar kelas, teman-teman Zayra, seperti Rian dan Lila, memperhatikan dari kejauhan. Mereka tahu sesuatu tak beres dengan Zayra, tapi tak berani mendekat. Rian, anak laki-laki yang selalu ceria, berbisik pada Lila, “Zayra kayak hilang semangatnya. Apa kita bantu dia?” Lila, gadis pendiam dengan kacamata bulat, mengangguk. Mereka memutuskan untuk mengajak Zayra bermain di taman sekolah saat istirahat, sebuah usaha kecil untuk membawa kembali senyumnya.

Sore harinya, ketika Zayra pulang, ia menemukan rumah dalam keheningan yang menyesakkan. Dinda duduk di sofa tua, memandang foto keluarga yang dulu dipajang di dinding—foto di mana ia, Reno, dan Zayra tersenyum bahagia di tepi sungai. Kini, foto itu sudah dilepas dari bingkainya, tergeletak di meja dengan debu menempel di sudutnya. Zayra mendekat, mengambil foto itu, dan menatap wajah Reno yang tersenyum lebar. “Ma, kenapa Ayah pergi?” tanyanya, suaranya penuh kebingungan.

Dinda menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. “Ada banyak hal yang sulit dijelaskan, Say. Ayah dan Mamah… kita tak lagi bisa hidup bersama. Tapi itu bukan salahmu, ya? Kau tetap dicintai, oleh Mamah dan Ayah.”

Zayra tak sepenuhnya mengerti, tapi ia merasa ada sesuatu yang hilang dari penjelasan itu. Ia kembali ke kamarnya, memeluk Lira, dan membuka buku mewarnai yang diberikan Reno. Ia mencoba mewarnai gambar burung terbang, tapi tangannya gemetar, dan warna-warna itu tumpah di luar garis, menciptakan kekacauan yang mencerminkan perasaannya. Air matanya jatuh ke kertas, membaur dengan tinta, dan untuk pertama kalinya, ia merasa marah—marah pada Dinda, pada Reno, dan pada dunia yang membiarkan rumahnya hancur.

Malam itu, Reno datang untuk menjenguk, membawa kotak kecil berisi kue favorit Zayra—kue cokelat yang selalu dibelinya dari toko tua di ujung jalan. Zayra membukakan pintu, tapi matanya dingin. “Ayah, kenapa kau tinggalkan aku?” tanyanya langsung, suaranya tajam meski penuh tangis.

Reno terdiam, terkejut dengan pertanyaan itu. Ia jongkok di depan Zayra, mencoba menatap matanya. “Zayra, Ayah tak meninggalkanmu. Ayah dan Mamah… kita punya masalah besar. Tapi Ayah janji, aku akan selalu ada untukmu,” katanya, suaranya parau.

Zayra tak menjawab. Ia mengambil kotak kue dan berbalik masuk ke kamar, menutup pintu dengan lembut tapi penuh arti. Di dalam, ia membuka kotak itu, memandang kue cokelat yang harum, tapi rasa laparnya hilang digantikan oleh rasa sakit. Ia memeluk Lira, berbisik, “Lira, aku tak tahu siapa yang harus kusalahkan.”

Di ruang tamu, Reno dan Dinda duduk berhadapan, canggung dan penuh penyesalan. “Kau harus lebih sering datang, Reno. Zayra butuhmu,” kata Dinda, suaranya tegas tapi ada kelembutan di dalamnya.

“Aku tahu. Aku coba, Dinda. Tapi aku juga butuh waktu,” balas Reno, matanya menatap lantai. Percakapan itu berakhir tanpa solusi, hanya meninggalkan keheningan yang semakin dalam.

Keesokan harinya, Zayra pergi ke taman sekolah bersama Rian dan Lila. Mereka mengajaknya bermain ayunan, dan untuk sesaat, Zayra merasa sedikit lega. Tawa Rian dan senyum Lila seperti sinar kecil di tengah gelapnya hatinya. “Zayra, kalau sedih, cerita ke kami, ya,” kata Lila, memegang tangan Zayra dengan hangat.

Zayra mengangguk, air matanya kembali muncul, tapi kali ini ada sedikit kehangatan. Di dalam hatinya, ia mulai merasakan bahwa meski rumahnya retak, mungkin ada tempat lain di mana ia bisa menemukan kekuatan—mungkin dari teman-temannya, atau dari dirinya sendiri. Namun, luka di hatinya masih terbuka lebar, menanti waktu untuk sembuh, atau mungkin menanti sesuatu yang lebih besar untuk menutupnya.

Malam itu, di bawah cahaya bulan yang redup, Zayra menatap langit dari jendela kamarnya, memeluk Lira erat-erat. Ia merasa seperti perahu kecil di tengah badai, terombang-ambing tanpa tahu ke mana akan berlabuh. Tapi di dalam dirinya, ada percikan kecil harapan—harapan bahwa suatu hari, ia akan menemukan cahaya di tengah reruntuhan perceraian yang menghancurkan dunianya.

Bayang di Tengah Hujan

Pagi hari di Jumat, 20 Juni 2025, pukul 10:50 WIB, hujan turun dengan derasnya di luar rumah kecil Zayra, membasahi atap seng yang sudah mulai karat dan jendela kayu yang retak. Suara air yang mengalir dari talang menambah kesunyian yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan keluarga kecil itu. Zayra duduk di ambang jendela kamarnya, memandang tetesan hujan yang membentuk pola di kaca, sementara boneka Lira tergeletak di pangkuannya. Rambut cokelat keritingnya yang biasanya rapi kini sedikit berantakan, mencerminkan kekacauan di dalam hatinya. Di luar, dunia tampak basah dan kelabu, seolah selaras dengan perasaannya yang terpuruk.

Di ruang tamu, Dinda sedang berbicara dengan seseorang di telepon, suaranya pelan namun penuh ketegangan. “Ya, saya mengerti. Tapi Zayra… dia mulai menarik diri. Saya tak tahu harus bagaimana lagi,” katanya, tangannya memegang erat gagang telepon tua. Di meja kayu, dokumen perceraian yang sudah ditandatangani Reno kini ditemani oleh surat dari pengadilan yang menetapkan jadwal sidang dalam dua minggu ke depan. Dinda belum menandatangani bagiannya, dan setiap kali ia menatap kertas itu, ada rasa campur aduk—kelegaan karena akan bebas dari konflik, namun juga ketakutan akan dampaknya pada Zayra.

Zayra mendengar suara ibunya, tapi ia tak ingin mendekat. Sejak kemarin, setelah pertemuan singkat dengan Reno yang membawa kue cokelat, ia merasa semakin jauh dari kedua orang tuanya. Ia tahu Reno tinggal di sebuah kamar kontrakan di pinggir kota, bekerja sebagai supir ojek online untuk menghidupi dirinya sendiri, sementara Dinda berjuang menjaga rumah dengan menjahit pakaian pesanan tetangga. Hidup mereka terasa seperti dua dunia yang tak lagi bertemu, dan Zayra terjebak di tengah-tengah, seperti jembatan yang runtuh perlahan.

Sore harinya, hujan mulai reda, meninggalkan genangan air di halaman depan rumah. Zayra memutuskan untuk keluar, mengenakan sepatu karet tua miliknya dan membawa payung kecil yang sudah agak rusak. Ia berjalan menuju taman sekolah, tempat Rian dan Lila sering menunggunya. Di sana, ia menemukan kedua temannya sedang bermain lompat tali di bawah pohon besar yang memberikan sedikit perlindungan dari sisa-sisa hujan. “Zayra!” panggil Rian, melambai dengan antusias. Lila tersenyum kecil, mengulurkan tali untuk mengajak Zayra bergabung.

Untuk sesaat, Zayra lupa akan beban di hatinya. Tawa mereka bergema di taman, dan lompatan kecilnya di bawah tali terasa seperti pelarian dari realitas yang menekan. Tapi ketika permainan selesai, Lila mendekat, matanya penuh perhatian. “Zayra, kau kelihatan sedih lagi. Apa kabar di rumah?” tanyanya lembut.

Zayra menunduk, memainkan ujung payungnya yang basah. “Ayah dan Mamah… mereka akan cerai. Ayah jarang datang, dan Mamah selalu sibuk. Aku merasa… sendirian,” katanya, suaranya bergetar. Rian dan Lila saling pandang, lalu duduk di samping Zayra, mencoba memberikan kehangatan dengan kehadiran mereka. “Kau punya kami, Zayra. Kita bisa jadi keluargamu di sini,” kata Rian, tersenyum lebar.

Kata-kata itu menghangatkan hati Zayra, tapi luka di dalam dirinya masih terasa dalam. Ia mengangguk, berterima kasih pada teman-temannya, lalu pulang dengan langkah lebih ringan. Namun, ketika sampai di rumah, ia mendapati Dinda duduk di sofa, menangis tersedu-sedu sambil memegang foto lama—foto pernikahan Dinda dan Reno di bawah pohon beringin besar. Zayra mendekat, duduk di samping ibunya tanpa berkata apa-apa, hanya memeluknya erat.

“Ma, aku tak suka lihat Mamah menangis,” bisik Zayra, air matanya turut jatuh. Dinda memeluk balik anaknya, mencium rambutnya yang basah oleh hujan. “Maaf, Say. Mamah cuma… kangen dulu. Tapi kita akan melewati ini bersama, ya?” jawab Dinda, suaranya penuh haru.

Malam itu, Zayra tak bisa tidur. Ia mendengar Dinda berbicara lagi di telepon, kali ini dengan Reno. “Reno, Zayra butuhmu. Dia bertanya terus tentangmu. Setidaknya datang lebih sering,” kata Dinda, suaranya tegas namun penuh permohonan. Reno menjawab dengan nada lesu, “Aku coba, Dinda. Tapi kerjaanku padat, dan… aku tak tahu harus bersikap bagaimana dengannya.”

Percakapan itu membuat Zayra semakin bingung. Ia ingin ayahnya kembali, tapi ia juga tak ingin melihat pertengkaran lagi. Di dalam hatinya, ada kemarahan yang tumbuh—kenapa kedua orang tuanya tak bisa memperbaiki semuanya? Mengapa ia harus merasakan sakit ini? Ia mengambil Lira, berbisik padanya, “Lira, aku tak tahu siapa yang harus kuhubungi. Tuhan, mungkin?”

Keesokan harinya, Reno datang lebih awal, membawa sepeda motornya yang sudah agak tua. Ia tampak lelah, dengan seragam ojek online yang sedikit kusut, tapi matanya berbinar saat melihat Zayra. “Say, Ayah ajak kau jalan-jalan, ya? Ke taman bermain,” ajaknya, tersenyum tipis. Zayra ragu, tapi ada bagian di hatinya yang merindukan ayahnya. Ia mengangguk pelan, mengenakan jaket tua miliknya, dan naik ke belakang motor Reno.

Perjalanan ke taman bermain terasa canggung. Angin sepoi-sepoi menyapu wajah Zayra, tapi hatinya tetap dingin. Di taman, Reno mengajaknya naik ayunan, dan untuk sesaat, mereka tertawa bersama seperti dulu. Tapi tawa itu cepat memudar ketika Reno menerima panggilan telepon dari pelanggannya, memaksanya meninggalkan Zayra lebih cepat. “Maaf, Say. Ayah harus kerja. Besok Ayah janji datang lagi,” katanya, memeluk Zayra singkat sebelum pergi.

Zayra duduk di ayunan, menatap punggung Reno yang menjauh dengan sepeda motornya. Air matanya jatuh lagi, dan ia merasa seperti mainan yang ditinggalkan. Ia berjalan pulang sendirian, payungnya meneteskan air hujan yang tersisa, dan ketika sampai di rumah, Dinda menyambutnya dengan wajah penuh kekhawatiran. “Kau ke mana, Say? Mamah khawatir!” katanya, memeluk Zayra erat.

“Aku sama Ayah… tapi dia pergi lagi,” jawab Zayra, suaranya pecah. Dinda menarik napas dalam, mencoba menahan tangisnya sendiri. “Mamah janji, kita akan cari jalan, Say. Kita tak akan sendirian.”

Hari-hari berikutnya, Zayra mulai menulis di buku catatannya, menuangkan perasaannya yang kacau. Ia menulis tentang ayahnya yang pergi, ibunya yang menangis, dan dirinya yang terjebak di tengah. Tulisan itu menjadi pelariannya, tempat di mana ia bisa menangis tanpa takut dihakimi. Di sekolah, Ibu Sari memperhatikan perubahan itu dan memberikan Zayra buku harian kecil sebagai hadiah. “Tulis apa yang kau rasakan, Zayra. Ini bisa membantumu,” kata Ibu Sari dengan senyum hangat.

Malam itu, di bawah cahaya lampu minyak yang redup, Zayra membuka buku harian barunya. Ia menulis, “Aku tak tahu kenapa rumahku hancur. Tapi aku ingin kuat, seperti Lira. Aku ingin Tuhan bantu aku.” Air matanya jatuh ke kertas, tapi ada kekuatan baru di dalam dirinya—keinginan untuk bertahan, meski bayang perceraian masih menghantui setiap sudut hatinya.

Di luar, hujan mulai turun lagi, membasahi tanah dan atap rumah. Tapi di dalam kamar kecil itu, Zayra merasa ada sinar kecil yang mulai menyelinap, seolah Tuhan mendengar bisikannya, memberikan harapan di tengah badai yang belum usai.

Harapan di Ujung Jalan

Pagi hari di Jumat, 20 Juni 2025, pukul 10:51 WIB, sinar matahari akhirnya menembus awan tebal yang selama berhari-hari menyelimuti langit di pinggir kota tempat Zayra tinggal. Hujan yang mengguyur tanpa henti seolah memberikan jeda, membiarkan udara segar menyelinap ke dalam rumah kecil yang kini hanya dihuni oleh Zayra dan Dinda. Di kamarnya, Zayra duduk di lantai dengan buku harian baru yang diberikan Ibu Sari terbuka di depannya, pena di tangannya bergetar sedikit saat ia menatap tulisan-tulisan yang ia buat malam sebelumnya. Boneka Lira tergeletak di sampingnya, wajah kainnya yang robek kini tampak seperti pengingat akan perjalanan panjang yang telah dilaluinya.

Di ruang tamu, Dinda sedang merapikan tumpukan pakaian yang akan dijahit untuk pesanan tetangga. Wajahnya masih pucat, tapi ada kilau baru di matanya—sebuah tekad untuk memulai ulang hidupnya demi Zayra. Di meja kayu, dokumen perceraian yang telah ditandatangani Reno kini ditemani oleh surat resmi dari pengadilan yang menyatakan perceraian mereka sah, diterbitkan kemarin sore. Dinda akhirnya menandatangani bagiannya dengan tangan gemetar, menutup babak pernikahannya yang penuh luka. Ia menatap surat itu sejenak, lalu menghela napas panjang, seolah melepaskan beban yang selama ini menekan dadanya.

“Zayra, ayo sarapan,” panggil Dinda, suaranya lebih hangat dari biasanya. Zayra bangkit, membawa buku harian dan Lira ke meja makan. Di atas meja, ada nasi goreng sederhana dengan telur mata sapi, aroma kecap yang harum menggoda selera Zayra untuk pertama kalinya dalam beberapa hari. Ia duduk, memandang ibunya yang tersenyum tipis. “Mamah coba masak yang kau suka, Say,” kata Dinda, mengelus rambut Zayra dengan penuh kasih.

Zayra mengangguk, mengambil sendok dengan tangan yang masih ragu. “Ma, apa kita akan baik-baik saja?” tanyanya polos, matanya mencari jawaban di wajah ibunya. Dinda berhenti sejenak, lalu memegang tangan Zayra dengan erat. “Ya, Say. Kita akan baik-baik saja. Mamah janji akan berusaha, dan kau juga harus berusaha, ya? Kita punya satu sama lain.”

Setelah sarapan, Zayra pergi ke sekolah dengan langkah lebih ringan. Di kelas, Rian dan Lila menyambutnya dengan senyum lebar, mengajaknya bermain di jam istirahat. Mereka duduk di bawah pohon besar di taman sekolah, berbagi kue yang dibawa Rian dari rumah. “Zayra, kau kelihatan lebih ceria hari ini,” kata Lila, matanya berbinar. Zayra tersenyum kecil, “Iya, mungkin karena Mamah bilang kita akan baik-baik saja.”

Ibu Sari, yang sedang mengawasi dari kejauhan, mendekat dengan buku tebal di tangannya. “Zayra, aku punya ide. Bagaimana kalau kau ikut kelas menulis di perpustakaan? Tulisanmu bisa jadi cara untuk mengungkapkan perasaanmu,” usulnya. Zayra mengangguk antusias, merasa ada jalan baru untuk menyalurkan emosinya yang selama ini terpendam.

Sore harinya, Reno datang dengan sepeda motornya, membawa tas kecil berisi buku-buku dan mainan baru untuk Zayra. Ia tampak lebih segar, meski matanya masih menunjukkan bekas kelelahan. “Say, Ayah minta maaf karena kemarin cepat pergi. Aku janji akan lebih sering datang,” katanya, membungkuk untuk memeluk Zayra. Zayra ragu sejenak, tapi ia membalas pelukan itu, merasakan kehangatan ayahnya yang selama ini ia rindukan.

Dinda, yang berdiri di ambang pintu, mengangguk pada Reno. “Terima kasih sudah datang, Reno. Zayra butuhmu,” katanya, suaranya lembut tapi tegas. Reno mengangguk balik, “Aku tahu. Aku akan coba jadi ayah yang lebih baik untuknya.” Mereka sepakat untuk mengatur jadwal kunjungan yang teratur, sebuah langkah kecil menuju kedamaian bagi Zayra.

Malam itu, Zayra duduk di beranda rumah bersama Dinda, menatap langit yang mulai dipenuhi bintang. Ia membuka buku harian, menulis, “Hari ini aku merasa sedikit lebih ringan. Mamah dan Ayah masih terpisah, tapi mereka mulai mencoba untukku. Aku tak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku ingin percaya.” Air matanya jatuh, tapi kali ini disertai senyum kecil.

Beberapa minggu kemudian, perceraian resmi disahkan, dan kehidupan baru mulai terbentuk. Dinda membuka usaha jahit kecil-kecilan di rumah, menerima pesanan dari tetangga dan bahkan dari kota. Zayra ikut kelas menulis di perpustakaan, dan tulisannya tentang kehidupannya pasca-perceraian mulai dihargai oleh teman-temannya. Reno, meski sibuk bekerja, datang setiap akhir pekan, membawa cerita dari perjalanannya sebagai supir ojek dan mendengarkan Zayra menceritakan hari-harinya.

Suatu hari, Zayra memenangkan lomba menulis sekolah dengan cerita berjudul “Lira dan Cahaya,” yang menggambarkan perjalanan seorang gadis kecil menemukan harapan di tengah kegelapan. Ibu Sari membacakan cerita itu di depan kelas, dan tepuk tangan teman-temannya membuat Zayra tersenyum lebar untuk pertama kalinya dalam waktu lama. Di antara penonton, Dinda dan Reno berdiri bersama, meski terpisah, keduanya tersenyum bangga pada anak mereka.

Malam itu, di bawah langit berbintang, Zayra berdiri di beranda bersama Lira di tangannya. Ia menatap langit, merasa seperti burung yang mulai belajar terbang lagi. “Lira, aku pikir aku mulai menemukan cahayaku,” bisiknya, air matanya berkilau di bawah cahaya bulan. Di kejauhan, suara tawa tetangga terdengar samar, dan angin sepoi-sepoi membawa harum bunga liar dari kebun sebelah.

Dinda mendekat, memeluk Zayra dari belakang. “Kau hebat, Say. Mamah bangga padamu,” katanya, suaranya penuh kehangatan. Reno, yang baru saja tiba untuk kunjungan malam, bergabung dengan mereka, membawa segelas teh hangat untuk Dinda dan cokelat untuk Zayra. “Ayah juga bangga, Say,” katanya, tersenyum tulus untuk pertama kalinya sejak perceraian.

Mereka duduk bersama di beranda, menikmati keheningan yang tak lagi terasa menyesakkan. Perceraian telah meninggalkan luka, tapi dari reruntuhan itu, mereka membangun sesuatu yang baru—sebuah ikatan yang tak lagi sempurna, namun cukup kuat untuk menahan badai. Zayra merasa, meski rumahnya tak lagi utuh, hatinya mulai menemukan kedamaian. Di dalam dirinya, ia tahu, cahaya itu ada, menanti untuk terus dinyalakan, dan ia akan melangkah maju dengan keberanian yang baru ditemukannya.

Di langit malam, bintang-bintang berkelap-kelip, seolah menjadi saksi bisu dari perjalanan Zayra, Dinda, dan Reno—tiga jiwa yang, meski terpisah, belajar menyatukan harapan di tengah reruntuhan perceraian.

Menemukan Cahaya di Tengah Reruntuhan Perceraian mengajarkan kita bahwa meski perceraian meninggalkan luka mendalam, harapan dan cinta dapat membangun kembali kehidupan yang lebih kuat. Kisah Zayra, Dinda, dan Reno membuktikan bahwa dengan keberanian dan dukungan, keluarga terpisah bisa menemukan jalan menuju kedamaian. Jadilah inspirasi bagi orang-orang di sekitarmu dengan menyebarkan pesan harapan ini dan mulailah perjalanan penyembuhanmu hari ini.

Terima kasih telah membaca cerita inspiratif ini! Bagikan pengalaman atau dukunganmu di kolom komentar, sebarkan artikel ini untuk menginspirasi lebih banyak orang, dan ikuti kami untuk kisah-kisah penuh makna lainnya. Sampai jumpa di artikel berikutnya!

Leave a Reply