Daftar Isi
Pernah nggak sih, kepikiran gimana jadinya kalau kita bisa berjalan melewati lorong waktu? Bayangin deh, kita bisa pergi ke masa lalu atau masa depan, bahkan mungkin bisa ubah kejadian-kejadian penting dalam hidup. Nah, kalau kamu suka cerita fiksi yang seru, penuh misteri, dan ada unsur romansa yang bikin hati deg-degan, cerpen Menembus Lorong Waktu ini wajib banget kamu baca!
Di sini, kamu bakal diajak berpetualang bareng dua tokoh utama, Adira dan El, yang berjuang untuk memperbaiki waktu yang rusak. Kisahnya nggak cuma bikin penasaran, tapi juga penuh dengan pilihan-pilihan sulit yang bakal mengubah segalanya. Jadi, siap-siap deh dibawa ke dalam dunia yang penuh teka-teki, cinta, dan tentu saja… waktu! Jangan sampai ketinggalan, ya!
Menembus Lorong Waktu
Jejak di Observatorium Tua
Langit kota Lentz tertutup awan kelabu sejak subuh. Gerimis turun tanpa aba-aba, membasahi dedaunan kering dan membentuk sungai kecil di sela aspal yang retak. Suara rintik menghantam atap genteng tua terdengar seperti irama pelan dari waktu yang lupa bergerak.
Di tengah kesibukan manusia yang berlalu-lalang dengan payung dan jas hujan, ada satu sosok yang berjalan pelan—seperti tak peduli angin menusuk kulit atau sepatu yang perlahan basah. Langkahnya mantap, menyusuri jalanan berbatu yang jarang dilewati orang, menembus gang sempit menuju ujung kota. Tempat yang bahkan tidak lagi muncul di peta digital.
Namanya Adira Nyssalyn.
Tubuhnya dibalut mantel hitam panjang, rambut hitam pekatnya diikat sembarangan di belakang kepala. Di tangannya ada map kulit lusuh yang digenggam erat, isinya kertas-kertas tua, foto usang, dan peta yang dibuat tangan. Usianya dua puluh lima, tapi tatapannya seperti milik orang yang telah kehilangan waktu lebih lama dari itu.
Ia berhenti di depan sebuah pagar besi berkarat. Tulisan “Observatorium St. Helmour” masih bisa terbaca samar, tergantung miring seperti nyaris putus dari dudukannya. Tanaman liar tumbuh liar di sekitar gedung, mengapit tembok batu tua yang penuh lumut. Jendelanya retak, beberapa bahkan tak punya kaca sama sekali. Bangunan itu ditinggalkan sejak dua puluh tahun lalu, sejak pemerintah kota menutup proyeknya secara diam-diam. Tapi tidak ada yang benar-benar bisa menutupi jejak waktu—terutama yang meninggalkan bekas sebesar ini.
Adira menarik napas. Tangannya menyentuh pagar.
Dan saat ia mendorongnya perlahan, suara gesekan logam menyambutnya seperti bisikan dari masa lalu.
Di dalam, lantai marmernya sudah pecah-pecah, menyisakan keramik putih yang menguning dimakan usia. Dinding tinggi dipenuhi mural astronomi yang sudah memudar warnanya, seolah bintang-bintang yang tergambar ikut meredup bersama ingatan manusia.
Langkah Adira bergema di lorong sempit menuju tangga spiral di ujung ruangan. Ia menuruni anak tangga itu pelan-pelan, menyusuri bawah tanah yang gelap dengan senter kecil dari sakunya.
Tak butuh waktu lama sampai ia sampai di depan sebuah pintu logam besar. Ada angka “05” terpampang di atasnya, dicat merah, kini hampir hilang seluruhnya. Ia mengangkat map kulit, membuka lembar terakhir—sketsa kasar ruang yang tak pernah diarsipkan resmi.
“Lorong waktu itu nyata,” gumamnya, pelan tapi mantap. “Dan kamu… benar-benar ada.”
Tombol di sisi pintu masih menyala—anehnya.
Tangan Adira menekannya perlahan.
Pintu terbuka perlahan, dan suara dengungan listrik langsung memenuhi ruangan di baliknya. Di tengah ruang itu berdiri sebuah struktur setengah lingkaran, dibentuk dari rangkaian logam hitam dan kabel-kabel bercahaya biru. Di dalam lingkaran itu ada sesuatu yang menyerupai pintu, tapi bukan pintu biasa. Bentuknya seperti terowongan pendek, tak lebih dari dua meter panjangnya, namun di dalamnya, ruang seolah melengkung. Tak ada ujung. Hanya pusaran cahaya dan bayangan yang bergerak cepat seperti film yang diputar dalam kecepatan ribuan kali.
Adira mengusap lembut permukaan mesin itu. Ada debu. Tapi terasa hangat, hidup.
Lorong waktu ini—The Axis Tunnel seperti disebut dalam dokumen tua—masih aktif.
Dan ia tahu, ini bukan waktu untuk ragu.
Ia menggantungkan map di kait pinggangnya, mengencangkan sepatu, dan melangkah ke dalam terowongan.
Cahayanya menyilaukan. Udara seperti menguap. Tubuhnya ringan, nyaris tak terasa berat. Di sekelilingnya, waktu berputar seperti spiral kaca—adegan-adegan dunia melintas, berpindah dari satu ke yang lain: kota terbakar, salju abadi, langit dua matahari, lalu kembali ke taman penuh anak kecil yang tertawa di bawah langit biru muda.
Dan tiba-tiba, semua berhenti.
Kakinya menyentuh tanah.
Ia berdiri di tengah halaman rumput sekolah.
Langit cerah. Matahari bersinar tenang. Udara hangat seperti awal musim semi.
Adira berdiri di antara anak-anak berseragam biru. Beberapa bermain bola, sebagian duduk membaca, beberapa lainnya hanya bercanda di bawah pohon. Tak satu pun dari mereka menyadari kemunculannya yang tiba-tiba. Seolah… dia memang sudah ada di sana sejak pagi.
Langkah kecil mendekatinya. Seseorang dengan ransel hitam dan mata tajam.
Anak laki-laki itu berhenti sekitar satu meter darinya.
“Hei. Kamu bukan anak sini, ya?”
Adira menoleh. Suaranya tidak tinggi, tapi terdengar jelas. Wajah anak itu masih polos, tapi sorot matanya… tidak biasa.
“Aku cuma… nyasar,” jawab Adira, berusaha terdengar normal.
Anak itu menatapnya, mengangguk pelan.
“Namaku Elvantrix.”
Adira mengangkat alis. “Nama yang cukup ribet buat anak sekolah.”
“Ya, makanya biasanya dipanggil El. Tapi aku suka kamu tahu nama panjangku,” ucapnya sambil tersenyum tipis.
Mereka saling menatap sejenak.
“Aku Adira,” balasnya.
“Adira…” El mengulang nama itu pelan, seolah sedang menguji sesuatu di kepalanya. “Kamu sering muncul di mimpiku, tau nggak?”
Adira mengerutkan kening. “Kamu… mimpi aku?”
“Iya. Di lorong. Di tempat yang aneh, penuh cahaya biru. Kadang kamu berdiri diam. Kadang kamu nyebut nama seseorang. Tapi suara kamu kayak hilang. Gitu terus setiap aku tidur.”
Suasana di antara mereka berubah pelan. Angin bertiup melewati pohon-pohon, menggoyang dedaunan, membawa aroma tanah dan bunga liar. Ada sesuatu yang tertanam dalam kata-kata El. Bukan omong kosong anak-anak.
Dan ketika Adira melihat matanya lebih dalam, sekelebat ingatan menyusup ke kepalanya.
Seperti pernah. Seperti pernah di tempat ini. Seperti pernah menatap mata yang sama—tapi dalam tubuh yang lebih kecil.
Namun ia menggeleng cepat.
Bukan sekarang.
Itu belum waktunya.
“Kalau kamu nyasar,” ucap El akhirnya, “aku bisa tunjukin tempat yang sepi. Kamu bisa mikir atau nunggu dijemput atau apa gitu. Di belakang lab fisika ada bangku kosong.”
Adira menatapnya sebentar, lalu mengangguk. “Boleh.”
Dan saat mereka berjalan bersama, dunia seolah memperlambat langkahnya.
Langkah kecil di halaman sekolah itu adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar—lebih panjang dari satu kehidupan, lebih rumit dari teori waktu mana pun yang pernah ditulis manusia.
Tapi untuk saat ini, satu hal sudah cukup.
Mereka telah bertemu.
Dan waktu mulai berputar ke arah yang tak pernah dituliskan sejarah.
Elvantrix dan Dunia yang Tak Biasa
Langit sore di atas sekolah itu seolah menolak tenggelam terlalu cepat. Cahaya matahari bertahan sedikit lebih lama, menguning lembut di sela ranting dan atap bangunan. Di belakang lab fisika yang jarang dipakai, Adira duduk di bangku kayu tua bersama Elvantrix. Suara murid-murid yang mulai bubar terdengar samar, bergantian dengan suara jangkrik yang mulai muncul dari rerumputan.
El mengamati langit, sementara tangannya merobek ujung roti dari bekalnya dan memberikannya ke burung kecil yang mondar-mandir di bawah bangku.
“Kamu nggak nanya kenapa aku bisa ada tiba-tiba di sini?” tanya Adira pelan, matanya menatap ke arah halaman kosong.
“Aku tahu kamu dari tempat yang beda,” jawab El tenang, “tapi aku rasa kamu juga nggak yakin mau cerita sekarang.”
Adira meliriknya. “Kamu sok tahu banget buat anak seumuran kamu.”
El hanya tersenyum, lalu menunduk dan menggambar sesuatu di atas debu tanah dengan ujung sepatunya. Sebuah simbol aneh muncul: dua lingkaran yang saling berpotongan dengan garis lurus menembus di tengahnya.
Adira membeku sesaat. “Kamu tahu lambang itu dari mana?”
El tidak langsung menjawab. Tangannya melanjutkan gambar itu hingga membentuk pola lengkap yang persis seperti salah satu diagram dalam catatan milik ayah Adira—yang hanya dia temukan setelah usia 20. Tak mungkin bocah ini pernah melihatnya. Kecuali…
“Aku nggak tahu pasti, tapi gambarnya suka muncul di kepalaku. Kadang pas aku tidur, kadang pas aku ngelamun di kelas. Terus, pas kamu muncul tadi, simbol ini makin jelas di pikiran aku.”
Adira menghela napas, matanya masih tertuju pada pola itu. Kepalanya dipenuhi pertanyaan. Kenapa El bisa tahu? Kenapa ia bermimpi tentang simbol yang hanya ditinggalkan oleh ilmuwan yang dulu bekerja sama dengan ayahnya? Kenapa semua ini terasa seperti déjà vu yang terlalu akurat?
“Aku nggak mau nyeremin kamu, Ra,” suara El pelan, “tapi aku yakin kita udah pernah ketemu sebelumnya.”
“Kamu manggil aku Ra sekarang?” Adira tersenyum samar, mencoba memecah ketegangan. Tapi hatinya justru makin sulit tenang.
“Lebih pendek. Aku suka yang padat. Adira terlalu formal. Kamu kelihatan kayak guru baru.”
Mereka tertawa pelan, tapi hening kembali datang, seperti tahu masih banyak yang belum dikatakan.
“El… kamu tau nggak, tempat ini… sekolah ini, bukan di tahun yang sama sama tempat asal aku.”
El menoleh, menunggu.
“Aku datang dari waktu yang berbeda. Aku masuk ke semacam lorong. Rasanya cuma satu menit. Tapi pas keluar… ya, aku sampai sini. Dan aku yakin ini bukan hari yang sama waktu aku masuk.”
Ekspresi El berubah. Tidak kaget, tidak takut. Tapi… seolah dia sudah menduganya.
“Aku bisa ngerasa itu,” gumamnya. “Waktu di sekitar kamu nggak stabil. Pas kamu jalan deket aku tadi, jam tanganku stuck lima detik. Terus jalan lagi. Padahal jam itu baru ganti baterai minggu lalu.”
Adira menatap anak itu dengan mata lebih tajam.
“Kamu bukan anak biasa ya?”
El tertawa kecil. “Aku pikir kamu yang bukan orang biasa.”
Suara bel panjang berbunyi dari kejauhan. Beberapa murid lewat sambil melambaikan tangan ke El, yang cuma mengangguk cepat tanpa beranjak dari tempat duduk. Salah satu dari mereka bahkan menyebut namanya—tapi El sama sekali tidak bereaksi.
“Aku kayak… nggak sepenuhnya di sini,” katanya pelan, setelah mereka pergi. “Kayak ada satu bagian diriku yang nunggu sesuatu. Atau seseorang.”
Adira tahu rasanya. Perasaan itu yang membuatnya berdiri di depan observatorium pagi tadi, meski langit hujan dan jalannya penuh lumpur. Perasaan bahwa ada yang harus ditemukan, sesuatu yang hanya bisa dijelaskan oleh waktu itu sendiri.
“Aku pernah kehilangan seseorang,” ucapnya perlahan. “Dan aku pikir dia… dia hilang di lorong waktu yang sama. Itu alasan kenapa aku ke sini. Nyari jawabannya.”
El memandangnya. Lama.
Dan entah kenapa, matanya berair—walau dia belum tahu kenapa.
“Mungkin kamu lebih deket dari yang kamu kira,” katanya, suara bergetar tapi tetap tenang.
Adira ingin bertanya lebih lanjut, tapi sebelum sempat, suara berat memanggil dari kejauhan.
“Elvantrix! Waktunya pulang!”
Seorang pria paruh baya berdiri di tepi lapangan, memakai setelan serba abu dan wajah datar seperti penjaga fasilitas pemerintah.
“Kayaknya kamu harus pergi dulu,” ujar Adira.
“Aku bakal balik ke sini besok. Sama jam, sama tempat. Kamu tunggu ya?”
“Aku tunggu.”
El berdiri, memungut ranselnya, dan berlari pelan ke arah pria itu. Tapi sesaat sebelum benar-benar pergi, ia menoleh.
“Ra,” katanya sambil tersenyum tipis, “makasih udah nyari aku.”
Dan entah kenapa, dada Adira terasa sesak mendengar kalimat itu. Seperti… satu bagian dari teka-teki akhirnya mendekat, tapi belum bisa disusun sempurna.
Saat bayangan El menghilang, Adira menatap langit. Cahaya matahari sore perlahan ditelan jingga. Dunia terasa tenang—tapi terlalu tenang, seperti menyiapkan sesuatu yang besar.
Di bawah bangku tempatnya duduk, ia melihat sisa gambar yang dibuat El tadi. Pola itu… perlahan bercahaya samar, seolah bereaksi dengan kehadirannya.
Dan untuk pertama kalinya sejak ia masuk lorong waktu, Adira merasa bukan sedang mengejar jawaban.
Tapi sedang dipanggil oleh sesuatu yang sudah lebih dulu mengenalnya.
Rahasia yang Terlupakan Waktu
Hari-hari berlalu dengan tenang, meskipun seiring berjalannya waktu, Adira merasa ada sesuatu yang mengganggu pikiran dan jiwanya. Setiap malam, bayangan Elvantrix datang dalam mimpi, dengan wajah yang semakin jelas, semakin nyata—seolah-olah ia mengenal setiap sudut raut muka itu, meskipun dalam kehidupan nyata mereka baru bertemu beberapa hari yang lalu.
Setiap pagi, Adira berusaha menenangkan pikirannya, tetapi entah kenapa, jalanan kota Lentz dan lorong-lorong sekolah itu kini terasa semakin sempit. Seperti ada sesuatu yang menariknya kembali, lebih dalam ke dalam waktu itu sendiri, sesuatu yang menyuruhnya untuk mencari lebih jauh, lebih dalam.
Namun, semua pertanyaan itu—tentang siapa El sebenarnya, tentang simbol yang ia gambar, tentang hubungan mereka yang mulai terasa tak biasa—belum juga menemukan titik terang.
Hari itu, dia memutuskan untuk menemui El lagi. Tempat yang sama, waktu yang sama.
Dan seperti yang sudah direncanakan, El menunggunya di belakang lab fisika, duduk di atas bangku yang sama.
“Ada apa lagi?” tanya El tanpa beranjak dari tempat duduknya, seolah dia sudah tahu Adira akan datang.
“El,” kata Adira, matanya tajam menatapnya, “kamu tahu kan, aku nggak cuma nyasar waktu itu. Ada alasan kenapa aku datang ke sini. Ada alasan kenapa lorong itu cuma muncul buat aku. Semua ini berhubungan dengan—” ia berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat, “—dengan aku dan… kamu.”
El menoleh pelan, lalu bangkit dan melangkah mendekat. Wajahnya serius, tapi ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang lebih dalam daripada hanya sekedar rasa penasaran.
“Aku nggak tau semua jawabannya, Ra,” ucap El pelan, “Tapi aku bisa merasakannya. Ini bukan kebetulan. Kita terhubung, entah bagaimana, di luar batas waktu. Aku yakin itu. Dan… aku tahu kamu juga merasakannya.”
Adira merasa seolah-olah ada sesuatu yang menggetarkan di dalam dadanya. Rasanya seperti ada ikatan tak terlihat antara dirinya dan El, ikatan yang telah ada sejak lama, bahkan sebelum mereka bertemu.
“El,” suara Adira lebih rendah, hampir berbisik, “siapa kamu sebenarnya? Apa yang terjadi dengan semua ini?”
El tersenyum tipis, namun senyum itu tidak sepenuhnya ceria. Ada kesedihan yang tersembunyi di balik matanya.
“Aku juga nggak tahu banyak, Ra,” jawabnya dengan nada yang lebih dalam, “Tapi yang aku tahu, aku bukan anak biasa. Aku… aku punya ingatan tentang tempat yang bukan di sini. Tentang waktu yang bukan waktuku.”
Adira menggigit bibirnya, berusaha mencerna kata-kata El. “Ingatan tentang… apa?”
El menghela napas panjang. Ia melangkah mundur beberapa langkah, seolah menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri sebelum melanjutkan.
“Ada eksperimen waktu yang dilakukan beberapa ilmuwan besar dulu,” katanya, suaranya hampir seperti berbisik. “Aku nggak tahu persis, tapi aku yakin aku salah satu subjek eksperimen itu.”
Adira terkejut, hatinya berdebar. “Eksperimen waktu? Itu… bisa jadi itu yang ayahku kerjakan. Dia—”
“Ra,” potong El cepat. “Ayahmu… dia pernah terlibat dalam eksperimen waktu itu juga. Aku ingat. Aku ingat dia.”
Adira terpaku. Matanya terbuka lebar, hatinya berdebar kencang. “Apa maksudmu?”
“Dia adalah bagian dari proyek yang menghubungkan masa depan dan masa lalu. Dia—” El menggigit bibirnya, “dia yang menciptakan sebagian dari teori yang aku jalani sekarang.”
“Jadi… ayahku? Kamu tahu dia?” Suara Adira hampir tak terdengar, namun cukup untuk menggambarkan kebingungannya.
El mengangguk pelan. “Dia adalah orang yang pertama kali menguji teori itu. Tapi ada yang salah. Ada sesuatu yang rusak, dan aku… aku salah satu yang terjebak dalam eksperimen itu.”
Adira memegang dadanya, seperti ada sesuatu yang menghimpit. “Tunggu. Kamu bilang… kamu bagian dari eksperimen waktu itu? Tapi… bagaimana bisa kamu… terjebak di sini?”
El mengalihkan pandangannya ke tanah, seolah berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Aku nggak bisa menjelaskannya dengan jelas, Ra. Tapi aku bisa merasakannya. Waktu nggak stabil di sekitarku. Setiap kali aku tidur, aku merasa terlempar ke masa yang berbeda. Aku bisa ingat hal-hal yang tidak pernah terjadi di dunia ini, dunia tempat kita sekarang. Tapi… aku juga ingat banyak hal yang hilang.”
Adira merasakan perasaan yang sama. Setiap kali ia berjalan melalui lorong waktu itu, ada hal-hal yang terasa mengalir begitu cepat, terlalu cepat, dan seolah ada bagian dari dirinya yang terlepas.
“Tapi itu bukan hanya tentang kamu dan aku, Ra,” lanjut El, “Ini tentang waktu itu sendiri. Kita bukan satu-satunya yang terpengaruh. Banyak hal yang telah berubah karena eksperimen itu.”
Adira terdiam, mencoba mencerna kata-kata El. Segala sesuatu yang ia temui di observatorium, semua yang telah terjadi sejak ia masuk ke lorong waktu, kini mulai terasa lebih nyata. Tidak hanya dirinya yang merasakan efek dari waktu yang tak stabil. Ada sesuatu yang jauh lebih besar, yang memengaruhi lebih dari sekadar satu individu.
Dan saat itu juga, Adira tahu. Teka-teki ini bukan hanya tentang dirinya, bukan hanya tentang El.
Ini adalah tentang bagaimana mereka bisa memperbaiki kerusakan yang telah terjadi pada waktu itu—kerusakan yang bisa mempengaruhi seluruh dunia.
“El,” ucap Adira perlahan, “kita harus berhenti ini semua. Kita harus cari cara untuk menghentikan eksperimen ini sebelum semuanya terlambat.”
El menatapnya dengan tatapan serius. “Aku tahu, Ra. Tapi aku nggak bisa melakukannya sendirian.”
Adira mengangguk. “Kita nggak sendirian. Aku di sini.”
Sore itu, di bawah langit yang semakin gelap, Adira dan El berjanji untuk mencari jawaban. Mereka berdua tahu bahwa mereka harus menghadapi kebenaran yang tersembunyi di dalam eksperimen waktu itu. Dan meskipun bahaya menanti, mereka tak akan mundur. Waktu yang hancur, dunia yang hilang, dan ingatan yang terpecah—semua itu harus dipulihkan. Bersama, mereka akan mencari cara untuk memperbaiki semuanya.
Tapi tak ada yang tahu, apakah mereka akan berhasil sebelum waktu itu sendiri menghapus jejak mereka.
Pilihan yang Menghapus Lorong
Hari itu langit tidak sama seperti biasanya. Tidak ada hujan yang turun, tidak ada awan yang menggelap. Hanya ada satu warna: kelabu. Seolah-olah alam ikut merasakan ketegangan yang memuncak di dalam diri Adira dan Elvantrix.
Sejak percakapan mereka yang mengguncang itu, segala sesuatu terasa berbeda. Waktu berjalan lebih cepat, tetapi terasa lebih berat. Setiap detik yang berlalu mengingatkan mereka pada risiko yang semakin besar. Mereka sudah berada di ambang waktu yang hampir habis—dan keputusan mereka akan menentukan segalanya.
Adira berdiri di tengah lapangan sekolah yang sepi. Di kejauhan, terlihat gedung observatorium yang dulu selalu tampak biasa, tetapi kini terasa seperti tempat yang penuh rahasia. Pintu menuju lorong waktu itu berada di sana. Dan sekarang, Adira tahu, ia harus memasuki lorong itu sekali lagi, untuk mencari jalan keluar.
Namun, ia tidak akan masuk sendirian.
“El,” panggil Adira, menoleh ketika El muncul dari balik sudut bangunan, dengan wajah yang tegang namun penuh tekad.
“Ra,” jawab El sambil melangkah mendekat, “Kita udah siap, kan?”
Adira menatap El, mencoba mencari jawaban dalam tatapannya. Mereka sudah melewati banyak hal bersama—berbagi rahasia, mencerna kebenaran yang menyakitkan, dan menghadapi kenyataan tentang eksperimen waktu yang tak terduga. Tetapi sekarang, mereka berdiri di titik yang menentukan.
“Ra, kita harus memutuskan,” kata El serius. “Kalau kita berhasil memperbaiki waktu, mungkin kita bakal menghapus jejak kita di dunia ini. Kita nggak akan ingat apa-apa, kita nggak akan ada lagi di sini. Semua ini bakal hilang, dan mungkin kita nggak akan pernah bertemu lagi.”
Adira merasa hati dan pikirannya terombang-ambing. Meskipun ia sudah siap menghadapi apapun, rasa takut itu tetap menggerogoti dirinya. Waktu itu begitu cepat, begitu liar—dan mereka tak tahu apa yang akan terjadi setelah mereka memasuki lorong waktu untuk yang terakhir kalinya.
“Tapi… ini bukan hanya tentang kita, kan?” tanya Adira dengan suara bergetar. “Ini tentang semuanya. Tentang dunia yang bisa hancur kalau kita nggak bertindak.”
El mengangguk pelan. “Betul. Dan kita harus siap dengan segala kemungkinan. Kalau kita nggak berhasil, maka semuanya akan hilang. Bahkan kita juga.”
Adira memejamkan mata sejenak, mencoba menerima kenyataan itu. Tak ada yang bisa memastikan apa yang akan terjadi setelah mereka memasuki lorong itu. Semua yang mereka kenal bisa saja hilang begitu saja. Tetapi jika mereka tak melakukannya, dunia ini akan terperangkap dalam kekacauan waktu yang tak terpulihkan.
Ia membuka matanya. “Kita nggak punya pilihan, El. Kita harus coba.”
El mengulurkan tangan, dan tanpa kata-kata lagi, Adira menggenggamnya erat. Mereka berdua berjalan bersama, langkah mereka mantap menuju observatorium yang kini terasa seperti dunia lain—dunia yang penuh misteri dan keajaiban yang menunggu untuk dipecahkan.
Saat mereka memasuki ruang observatorium, semua peralatan canggih yang sebelumnya tampak biasa, kini terlihat mengancam. Mesin-mesin yang berputar, lampu-lampu yang berkedip, semuanya terhubung dengan lorong waktu yang mereka rencanakan untuk perbaiki.
El berjalan ke konsol utama dan memutar beberapa tombol dengan cekatan. Suara mesin berdengung, lalu layar besar di hadapan mereka menunjukkan pola-pola aneh yang bergerak cepat—sebuah visualisasi dari aliran waktu yang tampaknya tak terkontrol.
“Semua ini terjadi karena percobaan ayahmu,” kata El, menjelaskan sambil mengatur peralatan. “Aku di sini, kamu di sini, karena ada sesuatu yang rusak. Ada kesalahan yang harus diperbaiki.”
Adira memandang layar, hati dan pikirannya kacau. Semua yang telah terjadi—semua yang ia pelajari tentang eksperimen waktu itu—membuatnya sadar bahwa apa yang mereka lakukan bukanlah hal yang sederhana. Ini adalah akhir dari sesuatu, dan awal dari yang baru. Tetapi harga yang harus dibayar terlalu tinggi.
El menatap Adira, matanya tajam. “Kita harus pergi ke titik waktu yang salah. Itu satu-satunya cara kita bisa memperbaiki semuanya.”
Adira mengangguk, meskipun hatinya ragu. “Tapi kita tahu kan, kalau kita masuk ke lorong itu… kita nggak bakal kembali. Semua yang kita kenal, semua yang kita cintai, bisa hilang.”
El tersenyum lembut. “Aku tahu. Tapi dunia ini lebih besar dari kita berdua. Dan aku tahu, kalau kita nggak lakukan ini sekarang, mungkin waktu akan menghapus semuanya—termasuk kita.”
Mereka bertukar pandang, kemudian bersiap. Mesin mulai bergetar, dan lorong waktu itu kembali terbuka, sebuah celah tak terlihat yang memanggil mereka untuk melangkah lebih dalam.
Adira menarik napas panjang, dan dengan satu langkah mantap, ia melangkah maju ke lorong waktu itu, diikuti oleh El.
Waktu terasa mengalir begitu cepat, lebih cepat dari sebelumnya. Mereka melintasi dimensi yang tak bisa dijelaskan, waktu yang berjalan lebih cepat dari yang bisa mereka rasakan. Sesaat, mereka merasa terlempar ke masa depan, kemudian ditarik kembali ke masa lalu—sebuah perjalanan yang begitu intens, begitu mencekam, hingga tubuh mereka terasa tak lagi berada di dunia yang mereka kenal.
Dan saat mereka melangkah keluar dari lorong itu, dunia di sekitar mereka berubah.
Langit di luar tampak berbeda. Segalanya tampak lebih terang, lebih segar. Mereka berdiri di tempat yang familiar—di sekolah yang sama, namun rasanya seperti bukan tempat yang sama.
Adira menoleh ke arah El, dan melihat bahwa ia juga terkejut. Semua yang mereka kenal, semua yang mereka alami, kini terasa seperti kenangan yang sangat jauh.
“Apa yang terjadi, El?” tanya Adira, suara bergetar.
El memandang sekeliling, lalu tersenyum. “Kita berhasil, Ra. Waktu yang rusak sudah diperbaiki. Semua yang hilang… kembali ke tempatnya.”
Adira menatapnya, bingung dan sekaligus terharu. “Kita… nggak ingat apa-apa lagi, ya?”
El menggeleng. “Nggak. Tapi kita tahu kita pernah bersama. Itu sudah cukup.”
Mereka berdua berdiri di sana, di tengah dunia yang baru, yang terlahir kembali. Dan meskipun mereka tahu hubungan mereka mungkin tidak akan pernah sama lagi, mereka sadar bahwa pilihan yang mereka buat, meski sulit, adalah yang terbaik. Untuk dunia. Untuk waktu. Untuk semua yang ada.
Seiring dengan hilangnya lorong waktu yang pernah mereka lewati, mereka berjalan bersama—tak lagi sebagai dua orang yang terjebak dalam waktu, tetapi sebagai dua jiwa yang pernah saling mengerti, dan kini membiarkan dunia baru mereka berkembang.
Mereka tidak akan pernah tahu apakah mereka akan bertemu lagi di waktu yang berbeda, tetapi satu hal yang pasti—mereka telah memilih untuk memperbaiki dunia ini, dengan segala konsekuensinya. Dan itu, bagi mereka, sudah cukup.
Tamat