Daftar Isi
Kamu pernah nggak sih ngerasain perasaan kayak mencintai seseorang, tapi nggak pernah bisa punya dia? Ya, kayak di dunia ini ada yang nggak bisa dijangkau, dan kadang itu bikin hati sepi banget.
Cerpen ini ngebahas soal gimana rasanya mencintai tanpa harus memilikinya, tanpa harus berusaha untuk jadi bagian dari hidup orang lain, tapi cuma ada di sana, jadi bagian dari cerita yang nggak pernah selesai. Penasaran? Yuk, baca terus!
Mencintai Tanpa Memiliki
Gadis Buku di Kursi Dekat Jendela
Pagi itu seperti biasa, udara kota masih agak dingin meski matahari sudah mulai mengintip dari balik gedung tinggi. Radit masuk ke dalam bus dengan langkah yang sedikit lebih cepat dari biasanya, berusaha menghindari kebiasaan buruknya—terlambat. Dia sudah terbiasa dengan suasana bus yang penuh sesak ini, apalagi jam tujuh pagi. Bus selalu penuh dengan orang-orang yang tampaknya sedang berusaha mengejar kehidupan mereka sendiri, tak peduli dengan orang lain.
Namun, ada satu hal yang selalu membuatnya merasa sedikit lebih hidup. Saat Radit melangkah ke bagian tengah bus, matanya langsung mencari kursi yang selalu diisi oleh seorang gadis. Gadis itu tidak pernah terlambat. Selalu duduk di kursi dekat jendela, seolah-olah dunia di luar sana adalah satu-satunya tempat yang bisa memahaminya.
Radit tahu gadis itu hanya sebatas “Gadis Buku” di pikirannya. Setiap pagi, gadis itu selalu datang dengan sebuah novel tebal di tangan, tenggelam dalam dunia yang tidak bisa dimasuki oleh siapapun. Rambutnya panjang dan tergerai rapi, meski kadang ia menyelipkannya ke belakang telinga dengan gerakan yang cukup lembut. Sesekali, ia tersenyum sendiri, seperti menemukan sesuatu yang sangat menarik dalam cerita yang sedang dibacanya.
Radit berdiri di dekat pintu bus, berusaha menatapnya dengan mata yang tak terlalu mencolok. Sesekali, matanya melirik ke arah gadis itu, tapi tidak berani terlalu lama. Ia merasa aneh, tapi entah kenapa ia merasa sangat terikat dengan gadis ini, meskipun mereka bahkan tak pernah berbicara sekalipun.
Tapi pagi itu, ada sesuatu yang berbeda. Kursi dekat jendela itu kosong. Gadis Buku tidak ada di tempatnya. Radit berhenti sejenak, sedikit kebingungan. Ia mencari-cari, berharap mungkin gadis itu hanya terlambat datang atau ada yang menghalangi jalannya.
Tapi tidak ada.
“Ah, mungkin dia cuma hari ini aja gak naik,” Radit membatin, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Tapi rasanya, entah kenapa, ada sesuatu yang hilang. Seperti ada celah yang tak bisa diisi.
Pikirannya teralihkan ketika seorang pria baru saja naik ke dalam bus. Pria itu tampak sedikit gugup, tangannya menggenggam sebuket bunga. Radit melirik dengan penasaran.
“Kenapa dia bawa bunga di pagi hari?” pikirnya. “Untuk siapa?”
Pria itu melangkah dengan hati-hati, hampir terlihat seperti ingin menghindari pandangan orang lain. Radit menatap ke depan, menghindari pandangannya dengan pria itu, tapi kemudian pria tersebut berhenti tepat di depan tempat duduk yang kosong.
Tiba-tiba, pria itu berhenti, menatap kursi yang kosong, dan terdiam sejenak. Lalu, setelah beberapa detik yang terasa sangat panjang, pria itu mengangkat bunga di tangannya.
“Aku… aku ingin memberikannya padamu,” kata pria itu dengan suara pelan, mencoba untuk tidak terdengar terburu-buru.
Radit terkejut, mengalihkan pandangannya ke pria dan kursi yang kosong itu. Gadis Buku tidak ada di sana.
“Oh,” kata pria itu lagi, merasa canggung. “Aku sering melihatmu di sini. Aku pikir, mungkin kamu mau menerima ini…” katanya sambil menggenggam bunga itu lebih erat, seolah bunga itu adalah satu-satunya cara yang ia miliki untuk mengungkapkan sesuatu yang sudah lama terpendam.
Radit menelan ludah. Di antara kerumunan orang yang terdiam, ia bisa melihat betapa gugupnya pria itu. Ia menunggu reaksi gadis yang tak ada di sana. Tapi harapan pria itu hanya tinggal harapan.
Lalu, suara lembut dari belakang tiba-tiba terdengar, membuat Radit menoleh. Ternyata, seorang perempuan muda dengan rambut pendek yang rapi melangkah masuk. Wajahnya familiar—itu adalah Gadis Buku.
Gadis Buku berjalan dengan langkah tenang menuju tempat duduk yang biasanya ia duduki. Ia tidak menoleh ke arah pria yang membawa bunga itu. Satu-satunya reaksi yang bisa Radit lihat adalah senyuman tipis di wajah gadis itu.
Pria itu yang sebelumnya berdiri dengan bunga di tangannya, kini tampak terdiam, seolah ingin menarik kembali apa yang sudah dia lakukan. Gadis Buku hanya melirik sebentar ke arah pria itu.
“Maaf,” ucap Gadis Buku pelan, hampir tidak terdengar. “Aku sudah punya seseorang.”
Radit bisa melihat betapa kecewanya pria itu. Ia menundukkan kepala dan, dengan langkah perlahan, turun di halte berikutnya, meninggalkan bus tanpa kata-kata.
Radit terdiam, matanya mengikuti langkah pria itu yang semakin menjauh. Ia tidak tahu harus merasa lega atau kasihan. Yang ia tahu, hati pria itu pasti hancur, dan hati Radit sendiri terasa sedikit lebih berat.
Gadis Buku kembali menunduk, membuka novel yang selalu ia bawa, tanpa terlihat sedikit pun terganggu dengan kejadian barusan. Seolah kejadian itu adalah hal yang biasa, bahkan tidak cukup penting untuk disesali.
Radit, yang berdiri di dekat pintu, hanya bisa menatapnya, mencoba mengerti perasaan yang tak bisa ia ungkapkan.
“Kenapa sih aku gak pernah berani ngomong sama dia?”
Pagi itu terasa lebih panjang dari biasanya.
Pria dengan Sebuket Bunga
Pagi berikutnya, Radit tidak bisa mengusir bayangan gadis itu dari pikirannya. Gadis Buku yang duduk di kursi dekat jendela, membaca dengan penuh perhatian, seolah dunia luar tidak ada artinya. Tapi sejak kejadian kemarin, dia tidak bisa melihat gadis itu dengan cara yang sama lagi. Ada sesuatu yang tergantung di udara, sesuatu yang mungkin tidak pernah bisa ia raih.
Hari ini, bus tampak lebih penuh dari biasanya. Radit berdiri di dekat pintu, berharap tidak ada kejadian aneh lagi. Tapi hatinya, entah kenapa, tidak bisa tenang.
Ketika bus bergerak, ia merasa ada yang aneh. Gadis Buku tidak ada di tempatnya. Radit menoleh ke sekitar, mencoba mencari-cari wajah yang ia kenal, tapi tidak ada. Rasa khawatir yang samar kembali menguasai hatinya.
Tiba-tiba, pintu bus terbuka, dan pria yang kemarin membawa bunga itu masuk. Dia tampak lebih tenang, meskipun ekspresinya sedikit lesu. Tangan pria itu tidak lagi memegang bunga.
Radit hanya bisa mengamatinya dari jauh. Pria itu berjalan ke arah tempat duduk, dan tanpa ragu memilih kursi yang kosong, tepat di belakang kursi yang biasa diduduki Gadis Buku.
Radit berusaha untuk tidak terlalu memperhatikan, tapi matanya tak bisa berhenti memandang pria itu. Ada sesuatu yang membuatnya tertarik pada pria ini, meskipun mereka hanya bertemu satu kali. Mungkin karena dia tahu, pria itu telah mencoba dan gagal, seperti dirinya.
Sekejap, bus berhenti di halte berikutnya. Gadis Buku muncul, berjalan dengan langkah tenang dan tidak terburu-buru. Begitu dia masuk, matanya mencari-cari kursi kosong. Radit menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi.
Gadis Buku berhenti, lalu melihat ke kursi di belakangnya. Matanya bertemu dengan mata pria yang kemarin membawa bunga.
“Eh… kamu?” Gadis Buku terlihat sedikit terkejut, meskipun senyumannya tetap hadir.
Pria itu mengangguk pelan, dan Radit bisa melihat sedikit keraguan di wajahnya. “Ya, aku…” katanya pelan. “Aku cuma… aku duduk di sini.”
Gadis Buku mengangguk, tidak terlihat terganggu atau canggung. “Oh, tentu. Tidak masalah.”
Radit memandang percakapan mereka dengan cemas. Bagaimana mungkin pria itu bisa begitu tenang, sedangkan dirinya saja tidak pernah bisa mengungkapkan perasaan?
Ketegangan itu terasa, meski Gadis Buku tidak menunjukkan gejala cemas sama sekali. Mereka berdua duduk dengan jarak yang cukup dekat, tidak ada yang berbicara lebih banyak lagi setelah itu.
Beberapa halte berlalu dalam keheningan, hingga akhirnya, bus sampai di pemberhentian terakhir. Gadis Buku berdiri, bergegas menuju pintu. Radit mengamatinya. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun kepada pria itu, bahkan tidak sempat menoleh. Begitu saja, ia turun, tanpa meninggalkan jejak.
Pria itu menatap ke luar jendela, tampak jauh di dalam pikirannya. Radit bisa merasakan ada kesedihan yang tidak terucapkan di sana. Mungkin, pria itu juga tahu apa yang ia rasakan. Bahwa meskipun mereka berada dalam jarak yang begitu dekat, ada batasan yang tidak bisa dilampaui.
Setelah beberapa detik yang terasa sangat panjang, pria itu akhirnya berdiri, menyusul Gadis Buku dengan langkah yang berat. Radit bisa melihat betapa pria itu berusaha keras untuk tidak menunjukkan kekecewaannya.
Sebelum pintu bus menutup, Radit mendengar sedikit percakapan mereka.
“Terima kasih sudah menerima aku kemarin,” ucap pria itu dengan suara lembut. “Aku cuma… ingin memberimu bunga.”
Gadis Buku menoleh sedikit, memberi senyum kecil. “Aku sudah bilang, aku memang tidak bisa menerima bunga itu. Tapi terima kasih sudah memberikannya.”
Radit merasakan dadanya terhimpit. Begitulah cinta yang tak pernah terbalas. Mungkin seperti pria itu, yang mencoba memberikan sesuatu yang tidak bisa diterima. Atau seperti dirinya, yang terjebak dalam rasa yang tidak pernah bisa terungkapkan.
Ketika pintu bus akhirnya menutup, Radit merasa lebih kesepian daripada sebelumnya. Mungkin mereka tidak pernah mengenal satu sama lain, tapi ada sesuatu yang mengikat mereka semua—sebuah perasaan yang tak terucapkan. Dan entah bagaimana, ia merasa perasaan itu seakan sama. Cinta yang tak pernah memiliki, tetapi tetap ada.
Kursi Kosong yang Tak Terisi Lagi
Pagi itu, langit tampak lebih cerah dari biasanya, namun Radit merasa sebaliknya. Ia sudah lama merasa ada sesuatu yang tidak lengkap dalam hidupnya, seperti ada bagian yang hilang, dan hari ini, entah kenapa, perasaan itu semakin kuat. Sejak kejadian kemarin, ia terus teringat pada pria dengan bunga dan Gadis Buku yang tak pernah mengatakan lebih dari sekadar kata-kata biasa. Terkadang, ia merasa seperti bagian dari cerita yang tidak pernah selesai—selalu terjebak di antara kalimat yang belum selesai ditulis.
Radit naik ke dalam bus pagi ini, mencari kursi yang biasa ia duduki. Tapi ketika ia melangkah, matanya langsung tertuju pada kursi dekat jendela yang selalu ditempati oleh Gadis Buku. Kursi itu kosong.
Tanpa sadar, Radit berjalan menuju kursi itu dan duduk. Rasanya, ada yang hilang. Padahal, kursi itu hanya sebuah kursi. Tidak ada yang istimewa, hanya sebuah tempat duduk yang dibiarkan kosong. Namun, mengapa ada rasa sepi yang begitu mendalam?
Sejak Gadis Buku mulai datang setiap pagi, kursi itu terasa lebih hidup. Bahkan Radit merasa lebih baik hanya dengan melihatnya. Tapi sekarang, kursi itu kosong dan Radit merasa seolah dunia di sekitarnya menjadi sedikit lebih kelam.
Ia duduk tegak, mencoba mengusir perasaan itu. Matanya melirik keluar jendela, mencoba melupakan perasaan aneh ini. Namun, begitu bus bergerak, ia merasakan ketegangan yang mulai mengisi ruang di dalamnya.
Kursi kosong itu seakan menjadi simbol dari sesuatu yang tidak bisa ia raih. Seperti cinta yang tidak pernah bisa terbalas, atau perasaan yang tak pernah bisa diungkapkan. Radit menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk mengalihkan pikirannya.
Namun, tak lama kemudian, pintu bus terbuka, dan Radit melihat seseorang yang sangat familiar. Gadis Buku masuk dengan langkah ringan, membawa novel yang selalu ia baca. Kali ini, ia terlihat lebih ceria, lebih hidup. Mata Radit langsung tertuju padanya, namun ia tidak ingin terlihat terlalu mencolok.
Gadis Buku berjalan menuju kursi dekat jendela yang kosong, dan begitu melihat Radit, ia tersenyum. “Oh, kamu di sini,” katanya pelan. “Aku kira kursi ini sudah penuh.”
Radit tersentak sedikit, lalu tersenyum canggung. “Iya, aku tadi duduk di sini. Lagian kursi ini nyaman.”
Gadis Buku mengangguk, kemudian duduk di kursi yang biasanya ia duduki. “Benar,” katanya dengan suara lembut, menundukkan kepala untuk membaca buku yang selalu ia bawa.
Radit merasa sedikit lebih lega melihatnya. Namun, ada sebuah pertanyaan yang tiba-tiba muncul di pikirannya.
“Kenapa kamu selalu bawa buku itu?” tanyanya tanpa berpikir panjang.
Gadis Buku mengangkat wajahnya dari bukunya, menatap Radit dengan senyum yang tidak bisa ia artikan. “Karena aku suka,” jawabnya ringan. “Buku itu membawa aku ke dunia yang tidak bisa aku temui di dunia nyata.”
Radit terdiam sejenak, merasa seperti pertanyaannya adalah sesuatu yang bodoh. “Dunia yang tidak bisa ditemui di dunia nyata?” ulangnya pelan, mencoba mencerna maksud dari jawaban itu.
“Ya,” jawab Gadis Buku, kali ini menatap langsung ke mata Radit. “Dunia yang penuh dengan kemungkinan, di mana tidak ada batasan, dan setiap karakter memiliki cerita mereka sendiri.”
Radit merasa seperti ada sesuatu yang mengalir dalam kata-kata Gadis Buku. Seperti ada bagian dari dirinya yang terhubung dengan gadis itu, meski mereka tidak pernah benar-benar berbicara sebelumnya.
Mereka duduk bersama dalam keheningan yang aneh, tidak canggung, namun juga tidak nyaman. Radit merasa seolah-olah ada satu hal yang ingin ia ungkapkan, tetapi kata-kata itu seperti terkunci di dalam dirinya.
Saat bus berhenti di halte berikutnya, Gadis Buku menutup bukunya dan berdiri. Radit terkejut, seolah-olah ia baru menyadari betapa cepat waktu berlalu.
“Jadi… kita bakal ketemu lagi besok?” tanya Radit, lebih pada dirinya sendiri daripada pada gadis itu.
Gadis Buku menoleh dengan senyum tipis. “Mungkin. Terima kasih sudah duduk di kursi ini hari ini,” jawabnya, lalu melangkah keluar tanpa menunggu jawaban.
Radit hanya bisa menatap punggungnya yang menghilang di antara kerumunan orang. Rasanya, semakin sulit untuk mengerti apa yang sebenarnya ia rasakan.
Tapi ada satu hal yang pasti—cinta tidak selalu harus memiliki. Meskipun mereka tidak pernah benar-benar berbicara, ada sesuatu yang indah tentang perasaan itu. Seperti kursi yang kosong, seperti kata-kata yang tidak pernah terucap. Kadang, yang penting adalah hadir dalam kehidupan seseorang, tanpa perlu mengharapkan apapun.
Radit kembali duduk, matanya menatap kursi yang sekarang kosong lagi. Mungkin suatu saat nanti, dia akan menemukan jawabannya. Tapi untuk sekarang, ia hanya bisa merasakannya, seperti cerita yang tak pernah selesai.
Di Antara Langkah yang Terhenti
Radit duduk di bangku bus yang terasa lebih sepi dari biasanya. Mungkin karena hari ini, ia tidak melihat Gadis Buku lagi. Entah kemana perginya gadis itu, atau apakah dia akan kembali. Perasaan yang menggelayuti hatinya semakin terasa kosong. Sudah beberapa hari ini, kursi yang biasa mereka duduki bersama tak lagi terisi. Ketiadaannya seperti sebuah ruangan yang hilang tanpa jejak.
Hari-hari berlalu begitu saja, dan Radit merasa perasaannya semakin terhimpit. Terkadang, ia bertanya pada dirinya sendiri—apakah ini adalah bagian dari hidup yang harus ia terima? Cinta yang tak pernah bisa terbalas, seperti bunga yang diberikan namun tak pernah dijadikan hadiah. Tidak ada yang salah dengan itu, kan? Mencintai tanpa harus memiliki.
Namun, hari ini, hal yang berbeda terjadi. Radit tidak tahu apa yang membuatnya bergerak, tetapi kaki-kakinya sudah membawanya menuju halte yang biasanya ia lewati menuju bus. Namun kali ini, ia berjalan dengan penuh tekad. Matanya menatap lurus ke depan, tidak ada lagi kebimbangan.
Pikirannya masih melayang pada pertemuannya yang terakhir dengan Gadis Buku. Hanya senyum dan beberapa kata yang tidak mengubah apapun, tapi cukup untuk menorehkan kesan mendalam dalam dirinya.
Ketika bus datang, Radit dengan tegas melangkah masuk. Saat itu, ada perasaan berbeda yang datang. Tiba-tiba saja, ia merasakan kehadiran seseorang. Gadis Buku—ya, Gadis Buku—tengah berdiri di dekat pintu, seperti menunggu sesuatu.
Radit berhenti di pintu, tidak tahu harus melakukan apa. Seperti sebuah film yang sedang diputar ulang di dalam kepalanya. Gadis Buku menatapnya, namun kali ini, tidak ada senyum. Hanya tatapan yang penuh makna, seakan mengerti semuanya tanpa perlu berbicara.
Mereka berdiri di sana, beberapa langkah terpisah. Seperti dua dunia yang tidak akan pernah benar-benar bertemu. Gadis Buku membuka mulut, namun Radit yang lebih dulu berkata.
“Kenapa… kita nggak pernah benar-benar ngobrol?” suara Radit serak, seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Gadis Buku sedikit terdiam, lalu mengangkat bahunya. “Karena kita tidak perlu.” Jawabannya ringan, namun seakan menanggapi segala ketidakpastian yang ada.
Radit menatapnya, bingung antara ingin mengungkapkan perasaan yang sudah lama terpendam atau tetap diam seperti yang biasanya ia lakukan.
“Jadi…” Radit menelan ludahnya. “Ini pertemuan terakhir kita?”
Gadis Buku tersenyum samar, tanpa banyak kata. “Kita tidak pernah tahu,” jawabnya pelan. “Mungkin kita sudah bertemu cukup lama, meskipun hanya sebentar-sebentar.”
Radit terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa seperti sedang berjalan di tepi jurang, antara ingin melangkah lebih dekat atau mundur jauh-jauh. Tetapi entah mengapa, hatinya lebih memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. Ia tidak bisa memaksa takdir, karena tak ada yang bisa diubah.
Akhirnya, bus berhenti di halte terakhir. Gadis Buku menatap Radit sekali lagi, lalu berjalan keluar tanpa menoleh lagi. Radit menatap punggungnya yang menghilang ke kerumunan, merasa bahwa meskipun mereka tidak akan bertemu lagi, ada sesuatu yang tersimpan dalam dirinya.
Ia tahu, cinta itu memang tidak harus memiliki. Kadang, cukup dengan mencintai dari jauh. Dan itu sudah cukup untuk membuat hati merasa penuh. Seperti sebuah cerita yang tak pernah usai, meskipun hanya menjadi kenangan.
Radit menghela napas dalam, menatap kursi kosong yang seharusnya diisi. Mungkin ia akan duduk di sana lagi esok hari, atau mungkin tidak. Tetapi satu hal yang pasti—ia sudah belajar bahwa ada kebahagiaan dalam mencintai tanpa perlu berharap untuk memiliki. Ada kedamaian dalam menerima kenyataan bahwa tidak semua kisah harus berakhir dengan bahagia. Terkadang, cinta cukup dalam bentuk yang tidak terucapkan.
Dia tersenyum pelan, merasakan ketenangan yang aneh mengalir dalam dirinya. Di luar sana, dunia terus berjalan, dan mungkin—hanya mungkin—mereka akan menemukan cerita mereka sendiri. Namun, untuk sekarang, Radit cukup bahagia dengan kenyataan bahwa mencintai tak selalu berarti memiliki.
Jadi gini, kadang kita cuma perlu merasakan cinta itu, tanpa harus punya apa-apa. Itu cukup kok buat ngehargain diri sendiri dan orang lain. Mungkin kamu nggak bakal pernah dapetin jawabannya, tapi yang penting adalah kamu udah belajar dari perjalanan itu, kan?
Cinta itu nggak melulu soal punya, kadang soal bagaimana kita bisa menerima dan menghargainya. Jadi, yang terpenting adalah jalanin aja, karena hidup gak selamanya butuh kepastian.