Daftar Isi
Gini, ya. Jatuh cinta itu wajar, manusiawi, dan kalau kata anak-anak sekarang: Yaudah jalanin aja. Tapi masalahnya, kalau dijalanin tanpa aturan, yang ada malah nyasar. Kayak Farhan, mahasiswa alim yang mendadak pusing tujuh keliling gara-gara Naira, cewek yang tiba-tiba muncul di hidupnya tanpa aba-aba.
Ini bukan sekadar kisah cinta receh, tapi cerita soal gimana dua orang bisa saling suka tanpa lupa batasan. Serius, ini cerita yang bakal bikin kamu ngakak, gemes, tapi juga mikir. Jadi, siap buat masuk ke drama gokil mereka?
Cinta Boleh, Tapi Jangan Ngawur!
Sandal Titanic dan Pertemuan Ajaib
Masjid kampus sore itu agak ramai, mungkin karena cuaca mendung yang bikin orang-orang malas beranjak pulang. Di teras masjid, Farhan berdiri sambil memperbaiki posisi sandalnya yang agak miring. Sandalnya besar, tapi jelas bukan sebesar yang akan dibilang seseorang sebentar lagi.
“Mas, bisa geser dikit nggak? Sandalnya segede kapal Titanic, nih.”
Farhan menoleh dan mendapati seorang perempuan berdiri di sampingnya. Mukanya sedikit berminyak, ada bekas masker di pipinya, dan tasnya menggelembung seolah dia habis menyelundupkan persediaan makanan untuk sebulan.
Seketika, dia terdiam.
“Mas?”
“Oh.” Farhan buru-buru mundur selangkah, memberi jalan.
Perempuan itu menarik napas lega, lalu melepaskan sandalnya dengan cepat sebelum masuk ke dalam masjid. Tanpa babibu. Tanpa basa-basi.
Farhan, yang masih setengah bingung, menatap sandalnya sendiri. Oke, sandalnya memang agak besar, tapi Titanic? Itu keterlaluan.
Setelah memastikan alas kakinya tidak dihina lebih lanjut, Farhan masuk ke dalam masjid dan ikut duduk di shaf belakang, agak jauh dari jamaah lain yang sedang mengaji. Saat duduk bersila, matanya secara otomatis menangkap sosok yang baru saja berkomentar tentang sandalnya tadi.
Perempuan itu duduk bersandar ke tembok, matanya menatap lurus ke depan, tapi tangannya sibuk menggulung ujung jilbabnya seperti sedang menimbang sesuatu.
Farhan berusaha fokus. Benar-benar berusaha.
Tapi pikirannya tetap kembali ke satu fakta: dia belum pernah ketemu orang yang sesantai itu melempar komentar tanpa dosa.
Usai shalat, Farhan berniat langsung keluar dari masjid, tapi langkahnya terhenti ketika seseorang—yang tentu saja masih orang yang sama—tiba-tiba berdiri di depannya.
“Mas, aku boleh nanya sesuatu?”
Farhan mengangguk pelan.
“Kamu mahasiswa sini?”
Pertanyaan standar. Farhan mengangguk lagi.
“Oke, bagus. Berarti aku nggak salah tempat.”
Farhan menunggu, tapi perempuan itu malah nyengir kecil.
“Kamu kenapa?” tanya Farhan akhirnya.
“Enggak, aku cuma penasaran,” jawab perempuan itu sambil mengamati wajahnya. “Kamu pernah dengar nama Naira?”
Farhan mencoba mengingat. Sepertinya tidak.
“Belum,” katanya jujur.
“Oh, ya udah.” Naira mengangguk paham. “Berarti kamu masih suci.”
Farhan menatapnya dengan ekspresi penuh tanya. “Maksudnya?”
“Maksudnya, kamu belum dengar gosip aneh-aneh tentang aku.”
Farhan masih mencerna kata-kata itu ketika Naira tiba-tiba memutar tubuh dan berjalan pergi, meninggalkan tanda tanya besar di kepalanya.
Gosip aneh? Suci? Ini orang ngomong apa sih barusan?
Dan, yang lebih penting, kenapa Farhan mulai merasa bahwa ini bukan pertemuan biasa?
Keluar dari masjid, Farhan mencoba mengabaikan insiden aneh barusan. Dia berpikir, mungkin itu hanya momen random yang tidak akan berulang. Tapi ternyata, takdir punya rencana lain.
Keesokan harinya, di kantin kampus, ketika Farhan sedang mencari tempat duduk, seseorang tiba-tiba menarik kursi di depannya tanpa izin.
“Mas, ketemu lagi.”
Farhan mendongak, dan tentu saja, itu Naira.
“Boleh aku duduk di sini?” tanyanya, padahal dia sudah duduk.
Farhan menghela napas. “Kamu sudah duduk.”
Naira terkekeh. “Ya, siapa tahu kamu keberatan.”
Farhan menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangan.
Oke. Ini bukan pertemuan biasa.
Dan entah kenapa, dia punya firasat ini baru permulaan.
Lari dari Perasaan, Lari dari Kenyataan
Sejak insiden di kantin kemarin, Farhan mulai merasakan sesuatu yang tidak biasa dalam hidupnya. Lebih tepatnya, hidupnya yang tadinya damai dan tenang sekarang mulai terasa seperti reality show yang dipandu oleh Naira.
Cewek itu ada di mana-mana.
Serius.
Pagi-pagi Farhan mau ke kelas, eh, ketemu Naira di koridor. Siangnya dia mau makan di kantin, Naira sudah duduk manis di salah satu meja, seolah-olah menunggu seseorang. Lalu sore ini, saat dia memutuskan untuk shalat di masjid kampus lebih cepat supaya bisa pulang tanpa gangguan…
“Mas, akhirnya kamu datang juga.”
Farhan hampir membenturkan kepalanya ke tembok masjid.
Naira duduk di teras dengan santai, satu tangan menopang dagunya, sementara tangannya yang lain memainkan ujung jilbabnya. Mukanya cerah, kayak orang yang baru dapat cashback 100%.
Farhan menghela napas. “Kamu ngapain di sini?”
“Aku? Nyari ketenangan.”
Farhan menatapnya curiga. “Nyari ketenangan dari siapa?”
Naira menunjuk dirinya sendiri. “Dari aku.”
Farhan terdiam. Dia serius mempertimbangkan apakah ini waktunya pergi ke psikolog atau tidak.
Setelah beberapa detik sunyi yang penuh makna, Naira berdiri. “Udah, ayo masuk.”
Farhan mundur selangkah. “Kamu duluan aja.”
“Lho, kenapa?”
Farhan menggaruk tengkuknya. “Aku… ada yang harus kukerjain dulu.”
Naira menatapnya lama, lalu mengangguk. “Oke, baik. Aku paham.”
Farhan hampir lega, tapi kemudian—
“Kamu lagi ngindarin aku, ya?”
Gagal.
Farhan berdeham. “Nggak.”
Naira menyipitkan mata, ekspresinya seperti detektif yang baru saja mengendus kebohongan seorang tersangka.
“Jangan-jangan… kamu mulai suka sama aku?”
Farhan langsung batuk.
Naira tertawa kecil. “Aku becanda, santai aja, Mas.”
Farhan menghela napas panjang. “Aku serius, aku ada urusan.”
“Oke, oke. Aku masuk duluan, ya.” Naira akhirnya berjalan ke dalam masjid.
Begitu dia menghilang di balik pintu, Farhan langsung memutar badan dan kabur.
Malamnya, Farhan duduk di kamar kosnya sambil menatap kipas angin yang berputar malas.
Otaknya penuh dengan pikiran yang seharusnya tidak ada di sana. Lebih spesifiknya: dipenuhi oleh Naira.
Kenapa cewek itu tiba-tiba muncul dalam hidupnya? Kenapa dia merasa semakin sulit menghindar? Kenapa… dia mulai kepikiran Naira bahkan di jam-jam sepi begini?
Farhan mengusap wajahnya. Ini bukan tanda yang bagus.
Dia harus bertindak.
Keesokan harinya, misi Menghindari Naira dimulai.
Langkah pertama: pindah tempat duduk di kantin.
Langkah kedua: memilih masjid lain untuk shalat.
Langkah ketiga: tidak berjalan sendirian di koridor kampus, supaya kalau ketemu Naira, dia bisa pura-pura sibuk ngobrol dengan teman.
Langkah keempat: kalau ketemu Naira tanpa bisa menghindar… segera cari cara buat kabur.
Sayangnya, semua rencana itu gagal total.
Hari pertama, dia tetap ketemu Naira di perpustakaan. Hari kedua, Naira duduk di meja sebelahnya di kantin. Hari ketiga, dia sudah di masjid baru, tapi begitu keluar, Naira ada di parkiran.
“Kamu ke mana aja, Mas?” tanya Naira sambil menyilangkan tangan.
Farhan menatapnya lama.
Baiklah.
Sudah saatnya dia mengaku kalah.
Aku, Kamu, dan Masalah yang Datang Tanpa Izin
Farhan duduk di kursi kantin dengan ekspresi pasrah. Kali ini, dia tidak lari. Tidak mencoba menghindar. Tidak berusaha mencari jalan kabur.
Karena toh percuma.
Di depannya, Naira duduk dengan santai sambil mengaduk es tehnya. Tatapannya penuh selidik, seperti hakim yang sedang mempertimbangkan hukuman untuk seorang terdakwa.
“Jadi, mau jujur nggak?” tanya Naira akhirnya.
Farhan menyeruput es jeruknya, berpikir keras. “Jujur soal apa?”
Naira menyandarkan punggung ke kursi. “Soal kenapa kamu ngindarin aku.”
Farhan meletakkan gelasnya. “Aku nggak ngindarin kamu.”
Naira mengangkat satu alis. “Oh, jadi kebetulan aja kamu tiba-tiba ganti tempat duduk di kantin? Pindah masjid? Selalu sibuk kalau aku datang?”
Farhan terdiam. Oke, kalau dijabarkan begitu, memang terdengar mencurigakan.
Naira mencondongkan tubuhnya ke depan, lalu berbisik pelan, “Kamu suka sama aku, ya?”
Farhan refleks hampir tersedak es jeruknya.
Naira terkekeh. “Udah kuduga.”
“Apa sih?” Farhan mengusap mulutnya, mencoba menenangkan diri. “Kamu tuh suka bikin kesimpulan sendiri.”
Naira mengangkat bahu. “Terus kalau bukan karena itu, kenapa kamu ngehindar?”
Farhan menghela napas panjang. Jujur saja, dia sendiri belum sepenuhnya paham.
“Karena kamu terlalu banyak muncul dalam hidupku,” jawabnya akhirnya.
Naira diam. Sejenak, hanya ada suara sendok yang beradu dengan es batu di gelasnya.
Kemudian, senyumnya melebar. “Jadi, kamu mulai sadar aku spesial, gitu?”
Farhan menatapnya malas. “Bukan itu maksudku.”
“Tapi aku spesial, kan?”
“Nggak.”
“Bilang aja iya.”
“Nggak.”
“Kamu keras kepala juga, ya.”
Farhan mengusap wajahnya. Kenapa percakapan ini terasa seperti jebakan?
Naira menatapnya lama, lalu tersenyum kecil. “Oke, aku ngerti.”
Farhan mengangkat alis. “Ngerti apa?”
“Kamu belum siap.”
Farhan terdiam. Belum siap? Maksudnya?
Naira berdiri, merapikan tasnya. “Tenang aja, Mas. Aku bukan tipe yang suka buru-buru.”
Sebelum Farhan sempat bertanya lebih lanjut, Naira sudah melangkah pergi.
Dan untuk pertama kalinya, Farhan merasa dialah yang ditinggalkan dengan tanda tanya besar.
Malam harinya, Farhan kembali ke masjid kampus. Kali ini, bukan untuk menghindari Naira, tapi untuk mencari ketenangan yang entah kenapa terasa semakin langka.
Setelah shalat, dia duduk bersandar ke tembok, menatap langit-langit masjid yang bercahaya temaram.
“Aku belum siap?” gumamnya pelan.
Kenapa kata-kata Naira tadi siang terus terngiang di kepalanya?
Farhan bukan orang yang suka memikirkan hal-hal rumit. Hidupnya selama ini sederhana: belajar, ibadah, makan, tidur. Tidak ada drama. Tidak ada urusan hati yang memusingkan.
Tapi sejak Naira datang… segalanya terasa lebih ribet.
Bukannya dia tidak pernah dekat dengan perempuan. Tapi Naira berbeda.
Dia terlalu spontan, terlalu berani, terlalu… entahlah.
Dan yang lebih parah lagi, Naira seperti tahu sesuatu yang Farhan sendiri belum sadar.
Farhan menarik napas panjang. Mungkin dia memang harus mulai menghadapi ini.
Tapi pertanyaannya… bagaimana caranya?
Jalan Pulang Selalu Ada
Dua hari setelah perbincangan di kantin, Naira menghilang.
Tidak ada di kantin, tidak ada di masjid, tidak ada di tempat-tempat biasanya dia muncul dengan senyum jail dan pertanyaan-pertanyaan yang bikin Farhan pusing.
Awalnya, Farhan merasa lega.
Akhirnya. Tenang juga hidupnya.
Tapi semakin lama, rasa lega itu berubah jadi… kosong.
Tidak ada suara yang menyapanya tiba-tiba. Tidak ada seseorang yang menghalanginya di koridor. Tidak ada yang membuatnya merasa seperti tersangka kasus percintaan yang sedang diinterogasi.
Dan untuk pertama kalinya, Farhan sadar: mungkin selama ini dia terlalu sibuk menghindari sesuatu yang sebenarnya tidak ingin dia hindari.
Sore itu, tanpa rencana, langkah Farhan membawanya ke perpustakaan.
Dia tidak punya tujuan jelas, hanya merasa butuh tempat tenang untuk berpikir.
Tapi begitu masuk, dia langsung menemukan apa—atau siapa—yang tanpa sadar dia cari.
Naira.
Duduk sendirian di dekat jendela, kepalanya bersandar di tangan, tatapannya kosong.
Farhan ragu sejenak, lalu menarik napas dan berjalan mendekat.
“Kamu kenapa?” tanyanya, mencoba terdengar santai.
Naira menoleh. Butuh beberapa detik sebelum ekspresinya berubah dari kaget menjadi datar.
“Kamu peduli?”
Farhan mengernyit. “Ya, kalau nggak, aku nggak akan nanya.”
Naira tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak seperti biasanya.
“Aku cuma lagi mikir,” katanya pelan.
Farhan menarik kursi dan duduk di depannya. “Mikir apa?”
Naira menatapnya lama, lalu berkata, “Kamu tahu, kan, aku suka sama kamu?”
Farhan terdiam. Langsung. Tanpa basa-basi. Seperti biasa.
Dia menelan ludah. “Nggak usah diucapin juga, aku udah nebak.”
Naira tertawa kecil. “Tapi kamu nggak pernah jawab.”
Farhan menghela napas. “Karena aku nggak tahu jawabannya.”
Naira mengangguk pelan. “Aku ngerti.”
Lalu dia menatap Farhan, kali ini dengan sorot mata yang lebih dalam.
“Tapi aku juga tahu satu hal.”
“Apa?”
“Kamu bukan nggak suka sama aku.”
Farhan membuka mulut, tapi tidak ada kata yang keluar.
Karena, ya… dia tidak bisa membantah.
Naira menyandarkan punggungnya. “Aku tahu, Mas. Kamu orang yang hati-hati. Kamu nggak main-main soal perasaan. Dan mungkin itu kenapa kamu bingung.”
Farhan masih diam.
Lalu, untuk pertama kalinya, dia mencoba menghadapi sesuatu yang selama ini dia hindari.
Dia menatap Naira dalam-dalam, lalu berkata, “Aku nggak tahu harus gimana.”
Naira tersenyum. “Gimana kalau kita jalani aja? Tapi dalam koridor yang bener.”
Farhan mengerutkan kening. “Maksudnya?”
“Ya, kita berteman, tapi serius. Kita deket, tapi jaga batas. Kita saling suka, tapi nggak ngawur.”
Farhan menatapnya lama. Lalu, perlahan, dia mengangguk.
Naira tersenyum lebar. “Lihat? Nggak susah, kan?”
Farhan mendengus pelan. “Dengan kamu, kayaknya semua tetap bakal susah.”
Naira tertawa. “Ya, mungkin.”
Tapi kali ini, Farhan tidak merasa ingin lari.
Karena untuk pertama kalinya, dia tahu—jalan pulangnya selalu ada.
Jadi gitu, ya, sobat-sobat budiman. Cinta itu bukan soal ayo pacaran biar nggak kesepian, tapi gimana bisa suka sama seseorang tanpa lupa aturan mainnya. Farhan dan Naira mungkin bukan pasangan yang langsung klik dari awal, tapi mereka ngerti satu hal: kalau emang serius, ya jangan ngawur. Nah, sekarang giliran kamu. Udah siap buat jatuh cinta dalam koridor yang bener?