Mencintai dalam Doa: Kisah Cinta Diam-Diam yang Berujung Manis

Posted on

Kamu pernah nggak sih suka sama seseorang, tapi cuma bisa merhatiin dari jauh? Mau ngungkapin, tapi takut? Mau deketin, tapi nggak punya alasan? Ya udah, akhirnya cuma bisa berdoa. Ngarep semesta bakal ngejalanin sisanya.

Nah, cerpen ini bakal bikin kamu ngerasain gimana rasanya mencintai dalam doa, dalam diam, sambil berharap Tuhan ngebisikin nama kamu ke hati orang yang kamu suka. Kisahnya gemesin dan pastinya manis!!

Mencintai dalam Doa

Menitipkan Namamu Dilangit

Langit sore itu terlihat seperti lukisan air, sapuan jingga dan merah muda berpadu sempurna di antara awan yang bergerak perlahan. Angin yang sejuk berhembus melewati halaman kampus, menggoyangkan dedaunan yang mulai berguguran. Di salah satu bangku taman, seorang pria berkacamata dengan hoodie hitam duduk dengan tenang. Ia tampak menunduk, membolak-balik halaman buku catatan kecil di tangannya, meski pikirannya sedang melayang ke arah lain.

Tak jauh dari tempatnya duduk, seorang gadis tengah berdiri di bawah pohon besar, tertawa kecil sambil berbicara dengan seorang pria lain. Tatapan pria berkacamata itu tak pernah benar-benar lepas darinya. Tidak dalam lima menit terakhir, tidak dalam lima bulan terakhir, bahkan mungkin tidak dalam lima tahun terakhir.

Namanya Garda, dan gadis yang sedang ia perhatikan diam-diam adalah Liris.

Garda menghela napas pelan, lalu kembali menunduk, berpura-pura membaca. Namun, sorot matanya terus mencuri-curi kesempatan untuk mengamati gadis itu. Bukan pertama kali, bukan yang terakhir. Ia hafal bagaimana Liris suka menggerakkan tangannya saat berbicara, bagaimana ia tersenyum sambil menunduk ketika merasa malu, dan bagaimana matanya berbinar ketika mendengar sesuatu yang menarik baginya.

“Lo lagi komat-kamit ngapain sih, bro? Kirain baca mantra buat nyedot perhatian cewek,” suara Faris tiba-tiba terdengar, memecah kesunyian.

Garda menoleh, sedikit terkejut. Faris sudah duduk di sampingnya, menyeruput es kopi dengan santai. Sejak kapan dia di sini?

“Gue nggak ngapa-ngapain,” jawab Garda datar.

“Jelas banget lo ngapa-ngapain. Dari tadi lo kayak satpam yang ngawasin orang pacaran,” kata Faris sambil melirik ke arah Liris dan Radit.

Garda mendesah pelan. “Mereka nggak pacaran.”

“Belum, tapi bisa jadi sebentar lagi,” sahut Faris cepat.

Garda memilih diam. Bukannya tidak ingin membantah, hanya saja… kata-kata Faris ada benarnya. Ia tidak punya hak untuk melarang atau merasa tersaingi. Liris bukan miliknya, dan ia bahkan tidak pernah punya keberanian untuk bicara dengannya lebih dari sekadar salam singkat.

Faris mengamati wajah sahabatnya yang terlihat terlalu tenang untuk seseorang yang sedang menyembunyikan banyak hal. Ia sudah lama tahu bagaimana Garda selalu mengarahkan pandangannya ke arah Liris, bagaimana ia lebih banyak berdoa daripada bertindak. Dan jujur saja, sebagai sahabat, Faris mulai bosan melihat Garda hanya jadi penonton dalam kisahnya sendiri.

“Lo sadar nggak sih, mencintai dalam doa itu emang keren dan syahdu, tapi kalau lo diem doang, ya sama aja kayak beli tiket VIP buat liat gebetan lo sama cowok lain,” kata Faris, menepuk bahu Garda.

Garda mengangkat satu alis, tidak tertarik membalas.

“Serius, bro. Minimal lo ngobrol lah sama dia. Jangan sampe lo jadi legenda cowok yang doa tiap malam tapi nggak pernah usaha,” lanjut Faris dengan ekspresi dramatis.

Garda tersenyum tipis. “Gue percaya kalau emang dia jodoh gue, nanti bakal ada jalannya.”

Faris memutar bola matanya, jelas frustasi. “Iya, iya, lo pecinta jalur langit banget emang. Tapi di bumi ini lo tetep harus usaha, Garda. Kalau Tuhan mau ngasih, ya lo harus gerak juga. Bukan cuma nunggu.”

Garda terdiam. Bukan karena tidak ingin membantah, tapi karena ia tahu Faris tidak sepenuhnya salah. Namun, baginya, mencintai dalam diam sudah lebih dari cukup. Ia tidak ingin memaksakan takdir.

Angin sore kembali berhembus, membawa aroma tanah yang masih sedikit basah setelah hujan tadi. Garda kembali melirik ke arah Liris, yang kini sedang duduk di bangku taman dengan Radit. Mereka masih berbicara, masih tertawa. Dan untuk pertama kalinya, ada sesuatu yang terasa sedikit lebih sakit dari biasanya.

Mungkin, hanya berdoa tidak akan cukup.

Tapi… haruskah ia benar-benar melakukan sesuatu?

 

Figuran Dalam Kisah Cinta Orang

Garda tidak langsung pulang setelah kelas berakhir sore itu. Biasanya, ia akan berjalan santai menuju halte, memasang earphone, dan menikmati perjalanan pulang tanpa peduli sekelilingnya. Tapi kali ini, langkahnya terasa lebih lambat. Pikirannya masih terjebak di percakapan dengan Faris.

“Minimal lo ngobrol lah sama dia.”

Kedengarannya mudah. Tapi bagaimana jika mulutnya justru terkunci saat berhadapan langsung dengan Liris? Bagaimana jika kehadirannya malah mengganggu? Selama ini, ia sudah cukup puas mengamati dan mendoakan dari jauh. Bukankah lebih baik seperti itu saja?

Namun, kakinya justru membawanya ke tempat yang tidak ia rencanakan—kantin kampus.

Dan di sanalah ia melihatnya.

Liris duduk di salah satu meja pojok bersama Radit. Mereka berbagi satu piring pisang goreng, sesuatu yang Liris sering pesan saat hujan turun. Ia ingat karena—entah bagaimana—hal-hal kecil tentang Liris selalu menempel di ingatannya.

Radit mencondongkan tubuh sedikit, mengusap sesuatu dari pipi Liris. Entah remah pisang atau hanya alasan untuk menyentuhnya.

Garda langsung mengalihkan pandangan. Ada sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya, tapi ia tidak ingin menyelaminya lebih dalam. Itu bukan haknya.

“Lo beneran mau nunggu takdir? Atau lo mau jadi figuran selamanya?”

Garda mendengar suara itu sebelum melihat siapa yang berbicara. Dan tentu saja—Faris lagi. Kali ini, ia muncul dengan senyum miring khasnya, es kopi di tangan, dan ekspresi menyebalkan yang seakan berkata “gue udah bilang apa.”

“Biasa aja, Ris.”

“Biasa gimana? Itu cewek lo lagi deket sama cowok lain, dan lo di sini ngeliatin kayak penonton drakor,” sahut Faris dengan nada dramatis.

“Gue bukan siapa-siapa dia,” kata Garda pelan.

Faris mendecak. “Justru karena lo bukan siapa-siapa, makanya lo harus ngelakuin sesuatu!”

Garda menghela napas. “Terus, lo mau gue apa? Tiba-tiba nyamperin dia terus ngajak ngobrol soal cuaca?”

“Minimal lo bikin dia sadar kalau lo ada,” ujar Faris sambil menepuk bahu Garda.

Sebelum Garda sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara langkah mendekat. Dan saat Garda menoleh, yang ia lihat adalah sosok yang selama ini hanya ia perhatikan dari jauh.

Liris.

Ia berdiri tepat di depan mereka, ekspresinya netral tapi matanya berbinar seperti biasa.

“Hai,” sapanya ringan.

Garda sempat terpaku beberapa detik sebelum akhirnya membalas, “Hai.”

Liris menoleh ke arah Faris. “Boleh pinjam buku kalkulus kamu sebentar? Aku ketinggalan nyatet soal tadi.”

Faris melirik Garda sebentar sebelum menjawab, “Eh, bukannya Garda yang lebih rajin nyatet? Mungkin dia punya catatan yang lebih lengkap.”

Garda hampir menyumpahi Faris dalam hati.

Liris menoleh padanya. “Oh, beneran? Aku boleh pinjam?”

Untuk pertama kalinya dalam waktu yang terasa lama, Garda melihat langsung ke mata Liris. Dan untuk pertama kalinya juga, ia sadar bahwa dari semua kemungkinan yang bisa terjadi hari ini, ini bukan sesuatu yang ia duga.

Tangannya bergerak ke dalam tas, menarik buku catatannya sebelum menyerahkannya pada Liris.

“Ambil aja,” ucapnya singkat.

Liris menerima buku itu dengan senyum kecil. “Makasih, ya. Aku balikin besok.”

Garda hanya mengangguk.

Saat Liris kembali ke mejanya, Faris menepuk bahu Garda pelan. “Lihat? Lo nggak harus ngajak ngobrol soal cuaca. Kadang, Tuhan kasih jalan sendiri buat lo.”

Dan untuk pertama kalinya, Garda berpikir… mungkin doa-doanya mulai menemukan jalannya sendiri.

 

Kisah Yang Tak Tertulis

Malam itu, Garda duduk di meja belajarnya, menatap buku kalkulus yang kini tak ada di sana. Biasanya, ia akan menghabiskan malamnya dengan mengulang materi atau sekadar menyalin ulang catatan dengan rapi. Tapi malam ini, pikirannya tak bisa lepas dari fakta bahwa buku itu sekarang ada di tangan Liris.

Ia memikirkan jemarinya yang menyentuh sampulnya. Memikirkan matanya yang menelusuri catatannya. Dan lebih dari itu—ia memikirkan namanya yang mungkin akan disebutkan dalam benak Liris, walaupun hanya sesaat.

Sial. Ini konyol.

Garda mengacak rambutnya, lalu menghempaskan diri ke kasur. Ia tahu besok Liris akan mengembalikan bukunya. Ia juga tahu, ada kemungkinan percakapan mereka tidak akan lebih panjang dari “makasih” dan “sama-sama”. Tapi tetap saja, ada sesuatu yang terasa berbeda.

Keesokan harinya, Garda menunggu di depan kelas, berpura-pura sibuk dengan ponselnya padahal matanya sesekali melirik ke arah pintu.

Liris datang beberapa menit kemudian, dan seperti biasa, ia membawa atmosfer yang seolah lebih cerah dari yang seharusnya. Tangannya memegang buku kalkulus Garda, sementara senyumnya tetap sama seperti kemarin.

“Ini,” katanya sambil menyerahkan buku itu.

Garda menerimanya. “Makasih.”

Liris mengangguk, lalu tertawa kecil. “Ternyata tulisan kamu rapi banget. Aku sampai bingung, ini buku catatan atau buku cetak?”

Garda hanya tersenyum tipis.

Dan seharusnya percakapan mereka berhenti di sana. Seharusnya, Liris sudah melangkah pergi, dan Garda kembali pada rutinitasnya seperti biasa.

Tapi tidak.

Liris masih berdiri di tempatnya, tampak ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, “Aku juga suka nyatet hal-hal kecil di buku catatan. Tapi bukan pelajaran.”

Garda mengangkat alis. “Terus?”

Liris menggigit bibirnya sebentar, lalu menepuk tasnya. “Aku suka nulis tentang orang-orang di sekitarku. Hal-hal yang mereka lakuin, kebiasaan kecil mereka.”

Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Garda tak bisa mengabaikannya.

Liris tersenyum kecil sebelum melanjutkan, “Kamu tahu nggak? Aku pernah nulis tentang seseorang yang selalu duduk di sudut perpustakaan, yang selalu bawa kopi hitam tiap pagi, yang selalu pakai jaket biru yang sedikit kebesaran.”

Garda merasa jantungnya berdetak lebih cepat.

“Dan orang itu…” Liris menatapnya langsung. “Kamu.”

Udara di antara mereka terasa berubah.

Garda tidak tahu harus merespons seperti apa. Ia tidak tahu apakah ini hanya kebiasaan Liris yang suka mengamati, atau ada sesuatu yang lebih dari itu.

Tapi yang ia tahu pasti, ini adalah kali pertama seseorang—terutama Liris—melihatnya bukan hanya sebagai bayangan.

Dan mungkin, doanya selama ini tidak hanya terbang ke langit.

Mungkin, Tuhan sudah membisikkan namanya ke hati seseorang tanpa ia sadari.

 

Jawaban Dari Langit

Garda tidak pernah membayangkan hari di mana Liris akan mengatakan hal seperti itu.

Bahwa dia—seseorang yang selama ini hanya berani memandang dari jauh, seseorang yang lebih memilih mencintai dalam doa—ternyata diperhatikan balik oleh gadis yang diam-diam selalu ia sebut dalam setiap sujudnya.

“Kenapa aku?” Itu adalah satu-satunya pertanyaan yang akhirnya keluar dari bibirnya.

Liris tersenyum tipis, seolah pertanyaan itu sudah ia duga. “Aku juga nggak tahu. Tapi setiap kali aku lihat kamu, aku selalu bertanya-tanya… orang kayak kamu, yang selalu tenang, yang nggak pernah sibuk cari perhatian, yang lebih suka ngamatin daripada ngomong… sebenarnya lagi mikirin apa?”

Garda terdiam.

“Dan itu bikin aku makin penasaran,” lanjut Liris. “Jadi, aku mulai nulis. Tentang kamu. Tentang gimana kamu selalu duduk di tempat yang sama tiap pagi, gimana kamu selalu bawa pulpen biru meskipun nggak pernah dipakai, gimana kamu selalu pergi sebelum hujan turun.”

Garda menunduk sedikit, merasa canggung. Ia tidak menyangka bahwa seseorang benar-benar memperhatikan detail-detail kecil yang bahkan ia sendiri tidak pernah sadari.

Liris menghela napas. “Tapi, tahu nggak? Aku lama-lama sadar kalau aku nggak cuma ngamatin kamu karena penasaran. Aku mulai suka.”

Kata-kata itu melayang begitu saja di antara mereka.

Suka.

Itu kata yang Garda simpan dalam hatinya terlalu lama, dalam doa-doanya yang selama ini hanya ia tujukan kepada Tuhan.

Liris tersenyum kecil. “Tapi aku nggak tahu kamu mikir apa. Aku nggak tahu kalau aku cuma lagi nulis kisah sepihak. Dan kamu…” Ia menatap Garda, sedikit ragu. “Kamu cuma diem.”

Garda merasakan sesuatu bergemuruh di dadanya. Ia tidak pernah berpikir bahwa suatu hari Liris akan bicara seperti ini. Ia juga tidak pernah menyangka kalau dirinya akan ada di situasi seperti ini—di mana semesta seperti membalikkan keadaan, memberi jawaban atas semua doanya.

Sebuah pertanyaan akhirnya meluncur dari bibirnya, nyaris tanpa ia sadari.

“Liris… kalau aku bilang aku juga suka, gimana?”

Liris terdiam, ekspresinya berubah. Seolah ia tidak menyangka Garda akhirnya mengatakannya.

Beberapa detik berlalu dalam keheningan.

Liris mengangkat bahu, lalu tersenyum. “Ya… mungkin ini bukan cuma kisah sepihak lagi.”

Dan saat itulah, Garda sadar—

Cintanya yang selama ini ia titipkan dalam doa akhirnya menemukan jalannya sendiri.

Bukan lewat cara yang ia bayangkan.

Bukan lewat jalur yang ia rencanakan.

Tapi lewat takdir yang perlahan bekerja dengan caranya sendiri.

 

Kadang, kita pikir cinta yang diem-diem tuh nggak bakal kemana-mana. Tapi siapa sangka, semesta tuh suka ngeprank dengan cara yang nggak kita duga.

Garda yang selama ini cuma bisa berdoa buat Liris, ternyata malah udah ditulis di buku catatan hatinya. Jadi, mungkin doa kamu juga lagi dalam proses dikabulin—cuma tunggu waktu aja. Karena ya gitu… jalur langit tuh nggak pernah salah alamat.

Leave a Reply