Mencintai dalam Diam: Kisah Cinta Islami yang Menyentuh Hati dan Penuh Keikhlasan

Posted on

Cinta dalam diam itu nyesek, tapi juga indah. Nggak ada gombalan, nggak ada drama, cuma ada doa yang dipanjatkan dalam sunyi. Pernah nggak sih suka sama seseorang, tapi nggak berani ngungkapin karena takut itu bukan yang terbaik menurut Allah?

Nah, cerita ini bakal bikin kamu ngerti gimana rasanya mencintai seseorang tanpa harus memiliki, dan gimana caranya ikhlas tanpa kehilangan harapan. Siapin hati, karena kisah ini bakal nyentuh banget!

 

Mencintai dalam Diam

Doa yang Tak Bernama

Langit sore mulai meredup saat adzan berkumandang dari masjid kampus. Haris mempercepat langkahnya, menyeberangi halaman yang dipenuhi mahasiswa yang baru saja selesai kuliah. Beberapa dari mereka masih bercengkerama di taman, ada yang sibuk dengan buku catatan, dan ada pula yang berdiri mengobrol di depan kantin.

Di antara mereka, seorang gadis dengan gamis hijau pastel terlihat berjalan santai ke arah perpustakaan. Jilbabnya yang panjang berayun pelan tertiup angin. Wajahnya tenang, langkahnya ringan. Aisyah.

Haris buru-buru menundukkan pandangannya. Sudah hampir tiga tahun ia mengenal wajah itu dari kejauhan. Bukan karena mereka akrab, bukan karena pernah berbicara, tetapi karena perasaan yang entah sejak kapan tumbuh di hatinya.

Mencintai dalam diam.

Bagi sebagian orang, mungkin terdengar seperti siksaan. Tapi bagi Haris, ia lebih takut jika rasa ini menjadi sesuatu yang tidak diridai Allah. Ia tidak ingin mendekati Aisyah dengan cara yang salah. Tidak ingin membuatnya terganggu dengan perasaannya. Maka yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa.

Setiap kali selesai salat, ia menyelipkan nama Aisyah dalam doa-doanya. Tidak dengan harapan agar gadis itu menjadi miliknya, tetapi agar Allah menjaga Aisyah dalam setiap langkahnya.

Haris mengambil tempat di saf terdepan setelah berwudu. Masjid kampus tidak begitu ramai sore itu, hanya ada beberapa mahasiswa yang bersiap menunaikan salat asar. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir pikiran-pikiran yang berlarian di kepalanya.

Saat takbir pertama diangkat, hatinya terasa lebih tenang. Ia merasa lebih dekat dengan Allah, dan perasaannya terhadap Aisyah kembali ia serahkan kepada-Nya.

Tapi selepas salam, takdir seolah ingin menguji hatinya lagi.

Seseorang berdiri tak jauh dari pintu masjid. Aisyah.

Haris tidak pernah menyangka akan melihat gadis itu di sini. Biasanya, ia hanya mendengar dari teman-teman bahwa Aisyah sering menghadiri kajian atau mengisi kegiatan keislaman di kampus. Tapi ini pertama kalinya Haris melihatnya ada di masjid kampus sepulang kuliah.

Dan yang lebih mengejutkan lagi, Aisyah tidak sendiri.

Ia sedang berbicara dengan seorang laki-laki.

Jantung Haris berdetak sedikit lebih cepat. Laki-laki itu adalah Ziyad, mahasiswa teknik yang dikenal aktif dalam kegiatan dakwah. Mereka berdiri di bawah naungan pohon ketapang, berbicara dengan nada suara yang tidak terlalu keras, tapi cukup untuk terdengar oleh Haris yang berdiri di dekat rak sandal.

“Aku nggak bisa, Ziyad. Aku masih ingin fokus belajar,” suara Aisyah terdengar lembut tapi tegas.

“Tapi Aisyah, aku serius ingin mengenal kamu lebih jauh. Dengan cara yang baik, dengan niat yang benar,” ujar Ziyad.

Aisyah menghela napas pelan. “Aku paham. Tapi, aku nggak mau buru-buru. Aku ingin lebih dekat sama Allah dulu sebelum dekat sama manusia.”

Haris menatap tanah. Hatinya terasa hangat mendengar jawaban itu, tapi juga sedikit nyeri karena sadar bahwa perasaan yang ia simpan selama ini mungkin juga tidak memiliki ruang di hati Aisyah.

Ziyad terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Baik, aku paham. Kalau suatu saat kamu berubah pikiran, aku masih di sini.”

Aisyah mengangguk sopan sebelum melangkah pergi.

Haris tetap berdiri di tempatnya, menunggu sampai mereka benar-benar pergi sebelum akhirnya ia sendiri melangkah keluar dari masjid.

Angin sore menyapa wajahnya, membawa perasaan yang sulit dijelaskan.

Ia tidak kecewa. Tidak marah. Tidak juga merasa kalah.

Ia hanya semakin yakin bahwa mencintai dalam diam bukanlah tentang berharap seseorang akan membalas, tetapi tentang mempercayakan segalanya pada Allah.

Maka malam itu, setelah salat tahajud, ia kembali menyebut nama Aisyah dalam doanya.

 

Menundukkan Pandangan, Menjaga Perasaan

Matahari pagi mulai menampakkan sinarnya ketika Haris duduk di taman kampus, menunggu jam pertama perkuliahan dimulai. Kopi di tangannya masih mengepul, sementara buku tafsir terbuka di pangkuannya. Namun, pikirannya sama sekali tidak terfokus pada tulisan di halaman buku.

Bayangan percakapan antara Aisyah dan Ziyad kemarin sore masih berputar di kepalanya.

Haris menghela napas, berusaha menenangkan hatinya. Ia sadar, mencintai dalam diam berarti ia harus siap menerima apa pun takdir yang Allah berikan. Bukan berarti ia tak pernah tergoda untuk berharap, tapi ia tahu batasannya.

“Bro, bengong aja?” suara Hafiz, sahabatnya, membuyarkan lamunannya.

Haris tersenyum tipis, menutup bukunya. “Nggak, cuma lagi mikir aja.”

Hafiz duduk di sebelahnya, menyesap minuman dingin yang ia bawa. “Tentang seseorang, ya?” tanyanya dengan nada menggoda.

Haris menoleh, menatapnya tajam. “Sembarangan.”

Hafiz terkekeh. “Udah lama kita temenan, Har. Aku tahu kalau ada sesuatu yang kamu pikirin lebih dari biasanya.”

Haris tidak langsung menjawab. Ia hanya memutar gelas kopinya, lalu menghela napas pelan. “Aku cuma… lagi belajar buat ikhlas. Kadang mencintai dalam diam itu lebih berat dari yang aku kira.”

Hafiz mengangguk pelan. Ia tahu, Haris bukan tipe orang yang gampang berbicara soal perasaan.

“Kamu tahu nggak?” Hafiz berkata, “Ada satu hadits yang bilang, kalau seseorang mencintai orang lain dalam diam, lalu ia tetap menjaga kesucian dirinya dan meninggalkan perasaan itu hanya karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik.”

Haris terdiam, membiarkan kata-kata itu meresap dalam hatinya.

Sesuatu yang lebih baik.

Entah itu berarti Aisyah akan menjadi takdirnya suatu hari nanti atau tidak, ia harus percaya bahwa Allah akan memberikan yang terbaik.

Hari itu, setelah kelas selesai, Haris memilih untuk duduk lebih lama di perpustakaan. Ia ingin menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang lebih bermanfaat, menghindari pikiran yang tidak perlu.

Namun, takdir berkata lain.

Saat ia berjalan menuju rak buku, suara yang sangat familiar menyapanya.

“Haris?”

Ia menoleh.

Aisyah berdiri beberapa langkah darinya, masih mengenakan gamis panjang berwarna biru muda dan jilbab lembut yang menjuntai hingga pinggangnya. Wajahnya terlihat tenang seperti biasa, tapi sorot matanya sedikit ragu.

Haris mengatur napasnya. Ini pertama kalinya Aisyah menyapanya langsung.

“Iya, Aisyah?” jawabnya, berusaha menjaga nada suara tetap stabil.

“Aku boleh tanya sesuatu?”

Haris mengangguk. “Silakan.”

Aisyah tampak ragu sesaat, lalu akhirnya berkata, “Kamu ikut mentoring pekan depan, kan? Aku dengar dari teman-teman, kamu yang bakal bawain materi soal ikhlas?”

Haris mengerjapkan mata. Ia tidak menyangka Aisyah mengetahui hal itu.

“Iya, insyaAllah,” jawabnya singkat.

Aisyah tersenyum tipis. “Aku boleh ikut?”

Sekali lagi, Haris dibuat terkejut. “Tentu. Kajian itu terbuka untuk siapa aja.”

“Baik,” Aisyah mengangguk. “Terima kasih, Haris.”

Seketika, Haris merasa hatinya kembali diuji. Bukan karena perasaannya kepada Aisyah semakin kuat, tapi karena ia harus lebih menjaga hatinya dari harapan-harapan yang seharusnya tidak ada.

Sebab, mencintai dalam diam bukan hanya tentang menyebut nama seseorang dalam doa.

Tapi juga tentang menjaga hati dari godaan yang datang tanpa diduga.

Dan Haris tahu, ujian itu baru saja dimulai.

 

Ujian dalam Diam

Mentoring pekan ini diadakan di aula kecil di belakang masjid kampus. Ruangan itu sederhana, hanya berisi beberapa karpet dan rak buku yang dipenuhi kitab-kitab Islam. Mahasiswa yang datang tidak terlalu banyak, sekitar sepuluh orang, duduk membentuk setengah lingkaran menghadap ke depan.

Di antara mereka, Aisyah duduk dengan tenang, mendengarkan dengan saksama.

Haris mencoba tetap fokus. Ini bukan pertama kalinya ia mengisi mentoring, tapi ini pertama kalinya ada seseorang yang membuatnya harus berjuang lebih keras untuk menjaga pandangan dan perasaan.

Ia menarik napas, lalu mulai berbicara.

“Ikhlas adalah salah satu perkara hati yang paling sulit dilakukan. Kita bisa melakukan sesuatu karena Allah, tapi di saat yang sama, hati kita sering kali mengharapkan sesuatu sebagai balasannya.”

Beberapa peserta mengangguk pelan.

“Misalnya,” lanjut Haris, “kita berbuat baik kepada seseorang, tapi dalam hati kita berharap dia akan memperhatikan kita. Atau kita mencintai seseorang dalam diam, tapi berharap Allah akan menjadikannya jodoh kita. Padahal, ikhlas berarti melepaskan semua harapan duniawi, dan hanya mengharap ridha Allah.”

Seketika, ruangan terasa lebih sunyi. Haris menunduk sedikit, berusaha mengontrol suaranya agar tetap tenang.

“Jadi, kalau kita benar-benar mencintai seseorang karena Allah, seharusnya kita berani mendoakan dia, tanpa berharap sedikit pun bahwa dia akan menjadi milik kita. Kita titipkan dia kepada Allah, karena hanya Allah yang tahu takdir terbaik untuk kita.”

Dari sudut matanya, Haris melihat Aisyah menunduk, jemarinya saling bertaut di pangkuannya.

Seketika, ia bertanya-tanya…

Apakah Aisyah juga sedang berusaha mengikhlaskan seseorang?

Mentoring selesai menjelang magrib. Satu per satu peserta berpamitan, termasuk Aisyah.

Haris berniat tinggal lebih lama di masjid untuk salat berjamaah, tetapi sebelum ia sempat melangkah ke dalam, suara lembut menghentikannya.

“Haris.”

Ia menoleh.

Aisyah berdiri tak jauh darinya, jemarinya menggenggam tali tas selempang yang ia pakai. Wajahnya terlihat ragu, seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu.

“Ada yang mau kamu tanyakan?” tanya Haris hati-hati.

Aisyah menghela napas. “Aku cuma mau bilang… Terima kasih untuk materinya tadi. Itu… mengingatkanku banyak hal.”

Haris menatapnya sesaat, lalu tersenyum tipis. “Alhamdulillah, kalau bisa bermanfaat.”

Aisyah diam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Kamu pernah nggak… menyimpan perasaan untuk seseorang, tapi nggak berani mengungkapkannya karena takut itu bukan yang terbaik menurut Allah?”

Pertanyaan itu menghantam Haris seperti gelombang besar.

Ia ingin tertawa—karena jika ada orang yang paling paham tentang mencintai dalam diam, maka orang itu adalah dirinya sendiri.

Tapi ia hanya tersenyum kecil. “Pernah.”

Aisyah menatapnya, seolah menunggu lanjutan dari jawabannya.

“Dan aku memilih untuk nggak berharap apa-apa, selain berharap Allah menjaganya.”

Aisyah menunduk, ekspresinya sulit ditebak. “Jadi, kita hanya bisa berdoa, ya?”

“Ya,” jawab Haris, “Karena doa adalah bentuk cinta paling tulus.”

Aisyah mengangguk pelan, lalu tersenyum. “Terima kasih, Haris. Aku belajar banyak hari ini.”

Kemudian, tanpa menunggu jawaban, ia melangkah pergi.

Haris memandang kepergiannya dengan perasaan yang sulit dijelaskan.

Apakah itu pertanda bahwa Aisyah juga sedang berjuang melawan perasaannya sendiri?

Atau hanya sebuah kebetulan yang Allah ciptakan untuk semakin menguatkan hatinya?

Satu hal yang pasti—ujian mencintai dalam diam belum berakhir.

 

Cinta yang Dititipkan pada Allah

Beberapa bulan berlalu. Waktu berjalan tanpa henti, membawa perubahan yang tak selalu bisa ditebak. Haris tetap menjalani hari-harinya seperti biasa—kuliah, mentoring, membaca kitab, dan sesekali membantu di masjid. Ia pikir, dengan menyibukkan diri, perasaan yang ia simpan perlahan akan memudar. Tapi nyatanya, setiap kali ia berdoa, nama Aisyah masih terselip dalam bisikannya yang paling sunyi.

Bukan dalam doa yang penuh harapan, tapi dalam doa yang berisi titipan.

“Ya Allah, jika dia baik untukku, dekatkanlah. Jika tidak, jagalah dia dalam lindungan-Mu.”

Namun, manusia memang lemah dalam urusan hati. Ada saat di mana Haris merasa ikhlas itu mudah, ada pula saat di mana ia harus mengingatkan dirinya berulang kali bahwa Aisyah bukan miliknya untuk diharapkan.

Dan ujian itu mencapai puncaknya pada suatu sore yang mendung, ketika ia tanpa sengaja mendengar sebuah kabar yang membuat hatinya berdetak lebih pelan.

“Aisyah akan menikah bulan depan,” suara itu datang dari Hafiz, yang baru saja duduk di sebelahnya setelah salat asar di masjid.

Haris tidak langsung bereaksi. Ia hanya menggenggam tasbih di tangannya sedikit lebih erat.

“Ziyad?” tanyanya pelan.

Hafiz mengangguk. “Iya, Ziyad akhirnya mengkhitbah Aisyah. Orang tua mereka sudah setuju. Aku dengar dari teman-teman akhwat.”

Haris tersenyum kecil. “Alhamdulillah.”

Tapi hanya hatinya yang tahu betapa berat dua kata itu keluar dari lisannya.

Malam itu, Haris duduk sendirian di teras masjid, menatap langit yang mulai dipenuhi bintang. Ia merasa aneh—seperti ada sesuatu yang kosong di dalam dirinya, tapi pada saat yang sama, ada ketenangan yang perlahan mengisi ruang itu.

Ia menghela napas panjang, lalu menundukkan kepala.

“Ya Allah, ini jawabannya, kan?”

Hatinya berbisik, bukan dengan nada kecewa, tapi dengan penerimaan.

“Aku mencintainya dalam diam, dan Engkau memberiku jawaban tanpa aku perlu mengungkapkan apa pun.”

Matanya terasa panas, tapi bukan karena sedih. Justru, ada rasa syukur yang tumbuh di hatinya.

Karena inilah makna sejati mencintai dalam diam.

Bukan tentang menunggu seseorang tanpa kepastian, bukan tentang berharap tanpa batas.

Tapi tentang melepaskan seseorang dengan doa, dan percaya bahwa takdir Allah selalu yang terbaik.

Malam itu, Haris berdoa lebih khusyuk dari biasanya.

Bukan lagi doa yang menyebut nama Aisyah, tapi doa yang lebih luas—doa agar Allah menjaga hatinya, memberinya ketenangan, dan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik di waktu yang tepat.

Sebab, ia akhirnya benar-benar paham…

Mencintai dalam diam bukan berarti menunggu selamanya.

Tapi merelakan, tanpa kehilangan keyakinan pada rencana-Nya.

 

Cinta yang baik itu nggak selalu tentang memiliki, tapi tentang percaya kalau Allah punya rencana terbaik. Kadang, seseorang yang kita doakan justru ditakdirkan untuk orang lain—dan itu bukan berarti doa kita sia-sia.

Karena pada akhirnya, cinta yang nggak dititipkan ke manusia, tapi ke Allah, pasti akan kembali dengan cara yang paling indah. So, kalau kamu lagi mencintai dalam diam, tetaplah berdoa… karena siapa tahu, Allah sedang menyiapkan sesuatu yang lebih baik dari yang kamu bayangkan.

Leave a Reply