Mencari Pelangi Setelah Hujan: Sebuah Cerita Sedih dan Inspiratif

Posted on

Pernah nggak sih, kamu ngerasa hidup ini kayak roller coaster? Kadang bahagia, kadang sedih, dan seringnya kita cuma pengen lari dari kenyataan. Nah, di cerpen ini, kita bakal ikut Senja, seorang gadis yang lagi berjuang move on dari cinta pertamanya. Dia belajar bahwa setelah hujan, pasti ada pelangi, meskipun perjalanan menuju pelangi itu penuh liku-liku. Jadi, siap-siap baper, ya!

 

Mencari Pelangi Setelah Hujan

Goresan Pertama

Senja adalah gadis yang selalu tertarik pada warna. Sejak kecil, dia sudah belajar melukis dari ibunya. Setiap kali hujan turun, dia akan duduk di depan jendela, menyaksikan tetesan air yang jatuh, dan membayangkan bagaimana cara mengubah momen itu menjadi sesuatu yang indah di kanvas. Saat itu, dia sering melukis Fajar, sahabatnya, yang selalu ada di sampingnya.

Fajar adalah sosok yang ceria, selalu mampu mengeluarkan tawa dari mulut Senja, meskipun kadang dia terlihat konyol. Suatu sore, saat mereka berdua berbaring di rumput di taman, Senja menatap awan yang menggumpal di langit.

“Lihat, awan itu seperti bentuk mobil balap!” seru Fajar sambil menunjuk ke langit. Dia tersenyum lebar, matanya berbinar penuh semangat.

Senja menoleh, membalas tatapannya. “Enggak, itu lebih mirip kucing yang lagi tidur! Coba lihat matanya, lucu kan?” Dia pun tersenyum, menikmati momen sederhana itu.

Fajar terkekeh. “Kamu selalu bisa mengubah segalanya menjadi lucu, Senja. Tapi ya, aku rasa kita harus mulai berpikir lebih besar. Bagaimana kalau kita bikin sebuah lukisan besar tentang mimpi-mimpi kita?”

“Kayak apa?” Senja bertanya, penasaran.

“Yah, kita bisa melukis pemandangan kota yang kita impikan. Kita harus menjelajahi dunia, melihat semua hal yang belum pernah kita lihat!”

Senja membayangkan bagaimana rasanya berdiri di atas puncak gunung, melihat lautan, atau berjalan di jalanan kota yang ramai. “Itu seru banget! Kita pasti bisa, kan?”

Fajar mengangguk semangat. “Tentu saja! Kita bisa mulai dari sini, di taman ini. Nanti kita bawa kanvas dan cat, dan kita lukis semuanya!”

Hari-hari berlalu, dan ide itu terus terpatri di kepala Senja. Mereka menghabiskan waktu di taman, melukis, bercerita, dan merencanakan petualangan yang belum pernah terjadi. Di setiap goresan kuas, ada tawa dan mimpi yang terukir. Namun, seiring berjalannya waktu, Fajar mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman-teman baru. Senja merasakan sesuatu yang tidak beres, tapi dia tidak ingin mengganggu Fajar.

Suatu sore yang cerah, ketika Senja sedang melukis di taman, dia melihat Fajar tertawa bersama sekelompok teman baru. Ada rasa pahit di hati Senja saat melihatnya, seolah ada jarak yang mulai terbentuk.

“Fajar!” Senja berteriak, melambaikan tangan. Fajar melihat ke arahnya, senyumnya menghilang sejenak. Dia berjalan mendekat, tapi tidak sendirian. Teman-temannya mengikuti, dan Senja merasa terasing.

“Eh, Senja! Lagi melukis ya?” Fajar bertanya, berusaha terdengar ceria. Senja mengangguk, namun dia merasa tidak nyaman. Teman-teman Fajar mulai mengobrol dan tertawa, seolah Senja bukan bagian dari mereka.

“Lukisan apa yang kamu buat?” tanya salah satu teman Fajar.

“Ini, tentang kita berdua. Mimpiku untuk menjelajahi dunia bareng Fajar,” jawab Senja, tersenyum tipis. Dalam hatinya, dia berharap bisa menarik perhatian Fajar.

Fajar tertawa, tapi ada nada yang berbeda. “Wah, itu keren! Tapi ya, aku lagi sibuk nih, mau main sama mereka dulu. Nanti kita ngobrol lagi ya?”

Senja hanya bisa mengangguk, hatinya hancur. Saat Fajar menjauh bersama teman-temannya, dia merasa seolah-olah terputus dari dunia yang pernah mereka bangun bersama. Dia kembali fokus pada lukisannya, berusaha untuk tidak menangis. Namun, setiap goresan kuas terasa berat, seolah membawa beban yang tak tertahankan.

Hari-hari berlalu, dan Fajar semakin jarang berhubungan. Senja mencoba untuk mengerti, tapi hatinya mulai merindukan saat-saat ketika mereka masih bisa bercanda dan berbagi mimpi. Dia tidak bisa menghentikan pikiran bahwa ada yang berubah, meskipun Fajar tidak pernah mengatakannya.

Saat hujan mulai turun, Senja duduk di depan jendela lagi. Dia mengingat semua kenangan manis itu, sambil menatap air hujan yang menetes. Suara hujan mengingatkannya pada lagu-lagu yang mereka nyanyikan bersama, pada tawa yang mengisi suasana.

“Hujan selalu membawa ingatan,” bisik Senja pada dirinya sendiri. “Tapi bagaimana jika ingatan itu tidak lagi berharga?”

Dengan semangat yang perlahan memudar, Senja kembali ke kanvasnya, berusaha menciptakan sesuatu yang baru—sebuah lukisan yang mencerminkan harapan, meskipun hatinya terasa berat. Dia tahu, hujan tidak selalu sama, dan dengan setiap goresan kuas, dia berusaha mencari kembali bagian dari dirinya yang hilang.

 

Di Bawah Awan Kelabu

Minggu demi minggu berlalu, dan hujan semakin sering datang. Setiap kali butiran air menetes dari langit, Senja merasakan sakit di dadanya. Dia tidak lagi melukis dengan semangat; kanvasnya menjadi kosong, seolah tidak ada inspirasi yang bisa dia tuangkan. Fajar semakin jarang muncul, dan pesan-pesan mereka menjadi semakin sepi. Kadang, saat Senja membuka ponselnya, dia berharap melihat nama Fajar muncul. Tapi yang ada hanyalah keheningan.

Suatu sore yang mendung, Senja memutuskan untuk pergi ke taman, berharap bisa menemukan sedikit kenyamanan di tempat yang dulu menjadi saksi semua kenangan mereka. Langkahnya terasa berat, setiap jejak di tanah basah mengingatkannya pada tawa Fajar yang kini hanya tinggal bayang-bayang.

Di bangku tua yang biasa mereka duduki, Senja melihat ke arah langit yang kelabu. Dia berharap bisa menemukan sedikit cahaya di balik awan, tapi yang dia lihat hanyalah kegelapan yang menyelimuti. Dia mengeluarkan cat air dan kuas dari tasnya. Mungkin melukis bisa membantunya meredakan kerinduan yang menggelora.

Sambil menunggu inspirasi, dia mendengarkan suara tetesan air dari atap taman. “Fajar, di mana kamu?” gumamnya pelan. Rasanya seperti berbicara dengan angin, tidak ada jawaban. Senja mulai melukis, tetapi goresan kuasnya terasa hampa. Dia berusaha menciptakan pemandangan yang cerah, tetapi warna-warni yang dia gunakan tidak secerah dulu.

Tiba-tiba, suara tawa menginterupsi kesendiriannya. Senja menoleh dan melihat sekelompok anak muda yang sedang bermain bola di lapangan sebelah. Di antara mereka, Senja mengenali sosok yang pernah dekat dengannya—Fajar. Jantungnya berdegup kencang, ada rasa campur aduk antara senang dan sakit.

“Fajar!” teriak salah satu temannya, menghempaskan bola ke arah Fajar. Senja menyaksikan Fajar berlari dan menangkap bola itu, senyumnya lebar, sama seperti yang dia ingat. Senja merasa tertegun, seolah semua kenangan indah itu berputar dalam pikirannya.

Hati Senja bergetar. Dia ingin bergabung, tetapi sesuatu menahannya. Dia merasakan ada tembok antara mereka, sesuatu yang tidak bisa dipecahkan hanya dengan hadir di tempat yang sama. Fajar tidak menyadarinya, asyik dengan teman-temannya, dan Senja merasa terpinggirkan. Kenangan-kenangan mereka berputar di dalam pikirannya, mengingatkan betapa kuatnya ikatan mereka dulu.

Ketika matahari mulai terbenam, awan kelabu masih menggantung. Senja berdiri dan memutuskan untuk pulang. Dia berjalan dengan langkah pelan, pikirannya berputar antara kenangan dan kenyataan. Seandainya Fajar mengerti betapa dia merindukan tawa dan candanya, mungkin semuanya akan berbeda.

Di rumah, Senja melihat kanvasnya yang kosong. Seperti hidupnya yang mulai tidak terarah, lukisan itu juga terhenti. Dia mengambil kuas dan mulai melukis, tetapi yang keluar hanyalah warna kelabu—warna yang sesuai dengan suasana hatinya. “Apa aku harus memberitahu Fajar?” tanyanya pada diri sendiri. “Atau sebaiknya aku membiarkannya pergi?”

Ketika malam tiba, Senja merasa lelah, bukan hanya fisik, tetapi juga emosional. Dia teringat betapa indahnya saat-saat ketika mereka melukis bersama, bagaimana Fajar selalu bisa membuatnya tersenyum. “Mungkin aku harus mencarinya,” pikirnya.

Keesokan harinya, Senja berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengirim pesan kepada Fajar. Tangannya bergetar saat dia mengetik. “Fajar, apa kita bisa ketemu? Aku kangen.” Dia menekan tombol kirim dan menunggu. Detak jantungnya tak henti-henti. Tak lama kemudian, ponselnya bergetar.

“Hey! Sorry, aku lagi sibuk sorry. Tapi kita bisa ketemu akhir pekan ini, gimana?”

Senja merasa ada sedikit harapan yang muncul, meski disertai rasa keraguan. “Oke, akhir pekan ini,” balasnya.

Hari-hari menjelang akhir pekan terasa sangat lambat. Setiap kali hujan turun, Senja merasa semakin terjebak dalam kesedihan. Namun, harapan itu kembali menyala. Dia berencana untuk mengungkapkan semua yang dia rasakan, walaupun dia tahu itu mungkin akan menyakitkan.

Akhir pekan datang, dan Senja menunggu di taman, hatinya berdebar. Setiap detak jantung seolah bergetar dalam harapan dan kecemasan. Dia memandangi jam, menunggu kehadiran Fajar. Ketika Fajar muncul, Senja merasa seolah waktu berhenti sejenak.

“Senja!” sapa Fajar, senyum di wajahnya seolah membawa sedikit cahaya. “Maaf aku telat. Ada urusan.”

“Enggak apa-apa,” jawab Senja, berusaha terdengar santai meski hati berdesir penuh ketegangan.

Mereka duduk di bangku yang sama, namun terasa berbeda. Senja mengamati Fajar, melihat bagaimana dia berbicara dengan penuh semangat tentang hidupnya sekarang. Dia tidak ingin menghancurkan momen itu, tetapi di dalam hatinya, ada yang ingin diungkapkan.

“Fajar, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan,” kata Senja akhirnya, suaranya pelan. Fajar menatapnya, ekspresinya berubah sedikit, seolah merasakan ketegangan dalam kata-katanya.

“Ada apa?” tanyanya, seraya mengalihkan pandangannya ke arah Senja.

“Rasanya… kita sudah sangat jauh, ya?” Senja menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata. “Aku kangen sama kita yang dulu. Apakah kamu masih ingat?”

Fajar terdiam sejenak, wajahnya mengernyit. “Iya, aku ingat. Tapi semuanya berubah, Senja. Kita… kita juga harus bergerak maju.”

Jawaban itu menghantam hati Senja. Dia tahu, di balik kata-kata itu, ada kenyataan yang pahit. Dia ingin meluk Fajar, tapi dia tahu itu tidak akan membawa mereka kembali ke masa-masa indah itu. “Tapi aku tidak ingin kehilangan kamu,” ungkapnya, suaranya bergetar.

Fajar memandangnya, dan Senja bisa melihat kebingungan di matanya. Saat itu, awan di langit mulai menggumpal, seolah mengingatkan mereka pada hujan yang akan datang. Dengan segala keberanian yang ada, Senja ingin menciptakan momen yang tidak terlupakan.

 

Patah Hati di Kafe

Keheningan menyelimuti mereka setelah pernyataan Senja. Dia bisa merasakan ketegangan di udara, seolah-olah ada jurang yang memisahkan mereka meskipun duduk berdekatan. Fajar mengalihkan pandangannya, matanya menjelajah ke arah lapangan yang sepi. “Senja, aku… aku tidak tahu harus bagaimana,” katanya pelan, nada suaranya serupa petir di siang bolong—membuat hati Senja bergetar.

Dengan ragu, Fajar melanjutkan, “Kita memang punya banyak kenangan, tapi hidup kita sudah berbeda. Aku sudah melangkah ke arah yang lain.” Kata-katanya tajam, dan setiap suku kata terasa seperti tusukan di hati Senja. Senja mencoba menahan air mata yang mengancam di sudut matanya.

“Jadi, kamu mau mengakhiri semuanya?” tanyanya, suaranya bergetar. Rasanya seperti seluruh dunia runtuh di hadapannya.

Fajar menggigit bibir, menghindari tatapan Senja. “Bukan begitu. Aku hanya merasa kita harus mencari jalan masing-masing. Aku sudah punya tujuan baru, dan aku tidak ingin menghambatmu.”

“Tujuan baru?” Senja menekankan kata-kata itu, suara hatinya mulai mengeras. “Apakah tujuanmu berarti kamu tidak lagi memikirkan aku? Apa yang terjadi pada mimpi-mimpi kita?” Dia berusaha menahan air mata, tetapi perjuangan itu terasa sia-sia.

Fajar menarik napas dalam-dalam, menatapnya dengan serius. “Mimpi kita dulu indah, Senja. Tapi sekarang, aku harus fokus pada diriku sendiri. Aku… aku berharap kamu bisa memahami.”

Senja merasa hatinya hancur. “Tapi aku tidak bisa,” jawabnya, gemetar. “Aku tidak bisa hanya melupakan semuanya. Tidak seperti itu.” Dia merasakan sesak di tenggorokannya, berjuang melawan rasa sakit yang menggerogoti.

Fajar tidak menjawab, seolah kata-kata itu tidak ada di dalam kamusnya. Dia hanya menatap ke kejauhan, dan Senja tahu bahwa dia sudah kehilangan satu bagian dari hidupnya. “Kamu tahu, aku sudah berusaha sekuat mungkin untuk mengerti dan menerima,” tambahnya, berusaha tenang meskipun rasa sakit menyebar di seluruh tubuhnya.

“Aku minta maaf, Senja. Aku benar-benar tidak ingin melukai perasaanmu,” Fajar menjawab, kini suaranya hampir berbisik. “Tapi ini yang terbaik untuk kita.”

Mendengar kalimat itu membuat Senja merasa bingung. Kenapa semua ini terjadi? Kenapa harus berakhir seperti ini? “Kalau kamu sudah memutuskan, aku tidak bisa berbuat banyak,” ucapnya sambil menahan air mata. “Tapi… tolong jangan lupakan aku.”

Fajar menundukkan kepala, seolah kata-kata Senja adalah sebuah tamparan keras. “Aku tidak akan melupakan semua kenangan kita. Tapi… kita memang harus melanjutkan hidup.”

Detik-detik berlalu terasa seperti jam. Suasana semakin kelam ketika awan di atas mereka mulai menumpuk. Senja memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. “Aku rasa aku harus pergi,” ucapnya pelan, berusaha meredakan gejolak di hatinya. Dia bangkit, melangkah pergi dari bangku itu tanpa menunggu jawaban Fajar.

Perasaannya campur aduk. Senja ingin berlari, tetapi dia tahu bahwa tidak ada gunanya. Ketika dia melewati pintu keluar taman, tetesan pertama hujan mulai jatuh. Perlahan, hujan semakin deras, seolah langit pun merasakan kesedihannya.

Senja melangkah cepat menuju kafe yang sudah mereka kunjungi beberapa kali. Mungkin tempat itu bisa memberikan sedikit kenyamanan. Ketika dia masuk ke dalam kafe, aroma kopi yang hangat menyambutnya, tetapi suasana hatinya tetap dingin.

Dia duduk di sudut, memandangi cangkir kopi yang dipesannya. Hujan yang turun di luar seolah menyanyikan lagu kesedihan yang mendalam. Setiap tetesan air yang jatuh seolah menggambarkan apa yang dia rasakan—berat, menyakitkan, dan tak terduga.

Tanpa disadari, air mata mulai mengalir di pipinya. Dia menghapusnya cepat-cepat, takut orang-orang di sekelilingnya melihat. Tidak jauh dari tempatnya duduk, sekelompok teman sedang tertawa. Senja tersenyum getir, kenangan akan Fajar berputar kembali di benaknya. Saat itu, semua kenangan manis terasa menyakitkan.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Dengan harapan, dia melihat pesan dari Fajar. “Senja, maafkan aku. Aku tidak ingin berpisah seperti ini. Mungkin kita bisa bertemu lagi untuk bicara.”

Mendapat pesan itu membuat hati Senja berdebar. “Ya, aku ingin. Tapi aku tidak tahu apakah aku siap untuk itu,” balasnya dengan cepat. Ketika dia menunggu balasan, pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran. Apakah pertemuan selanjutnya akan lebih baik, atau justru semakin menyakiti?

Ketika hujan di luar semakin deras, Senja mengambil napas dalam-dalam. Dia tahu bahwa tidak ada jalan kembali, dan dia harus menerima kenyataan pahit ini. “Mungkin ini adalah jalan hidupku sekarang,” bisiknya pada diri sendiri. “Aku harus berjuang untuk menemukan diriku sendiri.”

Saat Senja melihat ke luar jendela, dia melihat hujan yang turun dengan derasnya. Hujan bukan hanya air yang membasahi bumi; hujan juga bisa membawa harapan baru. “Mungkin, di balik kesedihan ini, ada pelajaran yang bisa aku ambil,” ujarnya, meneguhkan hati.

Seiring malam tiba, Senja menatap cangkir kopinya yang sudah kosong. Dia merasa sedikit lebih tenang. Hidup tidak akan selalu berjalan sesuai rencana, dan mungkin, dalam prosesnya, dia akan menemukan kekuatan baru dalam dirinya.

Dengan tekad yang mulai menguat, Senja meninggalkan kafe, siap menghadapi hujan yang turun. Dia tahu perjalanan ini belum berakhir; justru, ini adalah awal dari sesuatu yang baru—meskipun jalannya berliku dan penuh tantangan.

 

Pelangi di Ujung Hujan

Hujan masih mengguyur deras saat Senja melangkah pulang. Setiap tetesan air seolah membawanya pada pemikiran yang lebih dalam tentang semua yang telah terjadi. Dia merasa seolah waktu berjalan lambat, tetapi di sisi lain, perasaannya mulai menghangat. Dalam hati, dia tahu bahwa kesedihan yang dirasakannya adalah bagian dari proses tumbuh.

Sesampainya di rumah, Senja membuka jendela untuk membiarkan udara segar masuk. Aroma tanah yang basah memberi semangat baru, seperti sebuah pelukan hangat dari alam. Dia menatap langit kelabu di luar, berharap bahwa pelangi akan muncul setelah hujan berhenti. Dia mengambil cat air dan kanvas, berusaha mengekspresikan segala perasaannya dalam lukisan.

Hari-hari berikutnya, Senja menghabiskan waktu di kafe itu, melukis dan menciptakan kembali kenangan-kenangan indahnya. Dia mulai merelakan Fajar, walaupun sakit yang dirasakan masih tersisa. Ketika Fajar mengirim pesan, mereka saling berbagi cerita, tetapi tanpa ada lagi harapan untuk kembali seperti dulu. Mereka hanya berbagi kenangan yang tak akan pernah pudar.

Suatu sore, ketika matahari mulai tenggelam, Senja menyadari bahwa pelangi benar-benar muncul di langit. Dengan antusiasme, dia berlari keluar dan melihat warna-warna cerah memancar di antara awan kelabu. Rasa sakit di hatinya seolah berkurang, seiring dengan keindahan yang ditawarkan alam. “Jadi ini cara alam memberitahu kita bahwa setelah kesedihan, akan ada kebahagiaan,” pikirnya.

Di dalam hatinya, dia berjanji untuk terus melangkah maju. Dia ingin menemukan versi terbaik dari dirinya sendiri, meskipun itu berarti melepaskan Fajar. Dalam perjalanan pulang, Senja merasakan angin sepoi-sepoi di wajahnya. Setiap hembusan angin seakan menyemangatinya untuk tidak menyerah.

Senja memutuskan untuk mendaftar ke kelas melukis di kota, sebuah langkah yang belum pernah dia pikirkan sebelumnya. Dia ingin mengembangkan bakatnya dan menemukan kebahagiaan dalam seni. Melalui lukisan, dia ingin mengekspresikan segala emosi yang terpendam, merangkai kembali harapan yang sempat pudar.

Di minggu-minggu berikutnya, Senja menemukan teman-teman baru di kelas itu, yang mendukung dan menginspirasi satu sama lain. Dia mulai melukis dengan semangat baru, menciptakan karya-karya yang merefleksikan perjalanan emosionalnya. Melukis menjadi sarana untuk menyembuhkan luka di hatinya, dan dia merasakan bahwa hidupnya kembali memiliki arti.

Suatu sore, ketika dia sedang duduk di kafe kesukaannya, Fajar tiba-tiba muncul. Senja terkejut, tetapi hatinya bergetar dengan perasaan campur aduk. “Senja,” sapa Fajar, wajahnya penuh harapan. “Aku melihat lukisan-lukisanmu di media sosial. Mereka sangat indah!”

Senja tersenyum tipis. “Terima kasih, Fajar. Aku hanya mencoba untuk menemukan diriku sendiri.”

Mereka menghabiskan waktu berbincang, mengingat masa-masa indah, tetapi kali ini tidak ada rasa sakit yang menyertai. Mereka berbicara tentang impian dan harapan, saling mendukung meski tanpa menyimpan harapan untuk kembali bersatu.

“Senja, aku bangga padamu,” kata Fajar, dengan tulus. “Kamu sudah banyak berkembang.”

“Begitu juga dengan kamu, Fajar,” jawabnya. “Aku berharap yang terbaik untukmu.”

Malam itu, Senja pulang dengan perasaan lega. Dia tahu bahwa perasaannya terhadap Fajar tidak akan pernah sepenuhnya hilang, tetapi dia juga mengerti bahwa hidup harus terus berjalan. Dia menemukan bahwa kebahagiaan bisa datang dari banyak hal, bukan hanya cinta.

Beberapa minggu kemudian, Senja mengadakan pameran lukisan pertamanya. Keluarga dan teman-temannya datang memberi dukungan, dan Fajar juga hadir. Melihat orang-orang yang mencintainya berdiri di depan karyanya, Senja merasakan kebanggaan yang luar biasa. Dia telah melewati banyak hal dan akhirnya berdiri di tempat yang tepat.

Setelah pameran selesai, Senja berdiri di luar, memandangi langit malam yang berbintang. Dia merasakan kehangatan di hatinya, seolah semua perjalanan yang dilalui membawanya ke titik ini. Senja menyadari, hidup ini tidak hanya tentang cinta yang hilang, tetapi juga tentang menemukan diri sendiri dan mencintai kehidupan.

Ketika pelangi muncul kembali di langit keesokan harinya setelah hujan, Senja tersenyum. Dia telah belajar untuk menerima kenyataan dan bergerak maju. Hidupnya mungkin tidak sempurna, tetapi dia merasa beruntung bisa mengalami semua ini. Dengan semangat baru, Senja melangkah menuju hari yang cerah, siap menghadapi segala kemungkinan yang akan datang.

 

Jadi, di sinilah Senja, siap melangkah ke depan! Dia udah belajar, setiap hujan pasti bakal ada pelanginya. Cinta emang bisa bikin sakit, tapi yang paling penting adalah kita bisa bangkit dan terus berjuang.

Hidup itu perjalanan, bukan cuma tujuan. Dengan senyum di wajah dan harapan di hati, Senja siap menghadapi hari-hari baru. Dia tahu, setiap akhir itu juga awal dari sesuatu yang lebih seru! Sampai jumpa di cerita lainnya!

Leave a Reply