Mencari Kehidupan Tanpa Data: Cerita Ketidakpastian di Masa Depan Indonesia

Posted on

Bayangin dunia di mana semua keputusan hidupmu diputuskan sama angka dan data. Seru? Atau malah bikin pusing? Nah, cerpen ini ngajak kamu ngelihat gimana rasanya hidup di Indonesia masa depan yang canggih banget, tapi juga absurd banget.

Nggak melulu soal teknologi mutakhir, di sini ada drama, tawa, dan pelajaran hidup yang bakal bikin kamu mikir ulang soal ramalan masa depan. Jadi, siap-siap buat terjun ke cerita yang nggak cuma seru, tapi juga bikin hati kamu hangat!

 

Cerita Ketidakpastian di Masa Depan Indonesia

Ramalan yang Salah

Halim duduk di kursi empuk kantornya yang berwarna biru gelap, matanya terpaku pada layar hologram yang bersinar lembut. Sudah hampir tengah malam, namun dia masih di sana, menganalisis data yang terus mengalir. Di luar jendela, Jakarta yang futuristik dengan gedung-gedung tinggi dan kendaraan terbang masih sibuk beraktivitas. Cahaya kota bersinar terang, seperti tidak pernah tidur.

“Kenapa sih, ramalan ini gak pernah tepat?” gumam Halim, mengusap wajahnya yang sudah mulai lelah.

Di layar depan, barisan angka dan grafik bergerak, memberi petunjuk tentang masa depan—keadaan cuaca, prediksi ekonomi, bahkan tingkat kebahagiaan manusia berdasarkan pola pikir yang tercatat. Semua serba otomatis, serba terukur. Tetapi, ada satu data yang membuat Halim merasa gelisah.

Matahari.

Menurut data yang diproses, matahari akan terbenam lebih cepat dari biasanya dalam waktu tujuh tahun ke depan. Tidak hanya satu atau dua menit, tetapi hampir satu jam lebih cepat. Seolah-olah sesuatu yang fundamental dalam hidup ini tiba-tiba akan berubah begitu saja. Halim menatap layar, rasa bingung semakin menggelayuti pikirannya.

“Ini kesalahan algoritma, pasti. Tidak mungkin,” kata Halim pelan. Meskipun dia tahu, perhitungan di layar adalah hasil dari ribuan data yang telah dikumpulkan oleh sistem DataVision. Tapi ini… berbeda. Begitu berbeda dari yang biasanya.

Halim mengusap lehernya yang mulai kaku. Dia melirik ke arah meja kerjanya yang penuh dengan perangkat canggih, alat analisis, dan monitor lainnya. Semua yang dia kerjakan, semua yang dia percaya, kini terasa seolah-olah hanya omong kosong. Apakah ada sesuatu yang lebih besar yang tidak bisa dijelaskan oleh data? Sesuatu yang manusia tidak bisa kontrol?

Perasaan bingung itu semakin menguasai dirinya. Keputusan yang tepat bukanlah hanya soal mengikuti pola, tetapi juga soal memahami apa yang tidak terlihat.

Tanpa berpikir panjang, Halim memutuskan untuk menemui Dewi. Dewi, seorang ahli ramalan di DataVision yang sudah lebih berpengalaman, adalah satu-satunya orang yang bisa memberikan perspektif lain tentang data yang dilihatnya. Dewi sudah dikenal di kalangan perusahaan sebagai orang yang bisa membaca “antara baris” dan menemukan makna yang lebih dalam dalam setiap informasi yang ada.

Di luar, hujan mulai turun deras, meski langit tampak cerah. Halim menarik jaketnya lebih rapat, lalu melangkah keluar dari ruangannya. Langkahnya cepat, menelusuri lorong-lorong kantor yang luas dan steril. Di belakang, suara langkah kaki yang berbunyi keras di lantai marmer mengiringinya, menciptakan keheningan yang sedikit menakutkan.

Halim sampai di pintu ruang Dewi. Di luar, ada layar hologram yang memproyeksikan siluet Dewi sedang duduk di kursi sambil membaca sebuah buku elektronik. Tato digital di kulit Dewi berkilau dalam cahaya redup, memberi kesan bahwa dia lebih mirip cyborg daripada manusia biasa. Halim mengetuk pintu dengan ringan, dan suara Dewi terdengar dari dalam.

“Ada apa, Halim? Masuk saja.”

Halim membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan. Dewi menatapnya dengan senyuman khasnya yang misterius, kemudian mengangguk, mengundang Halim untuk duduk di depan mejanya.

“Ada yang aneh, Dewi,” Halim langsung bicara tanpa basa-basi. “Aku baru saja memproses data ramalan untuk tujuh tahun ke depan, dan ada yang gak beres. Matahari… akan terbenam lebih cepat dari biasanya. Sejam lebih cepat.”

Dewi mengangkat alisnya. Wajahnya yang tenang tak menunjukkan rasa kaget, tetapi ada sesuatu yang tajam di matanya. “Matahari terbenam lebih cepat, ya? Hmm, itu masalah besar kalau menurut data. Tapi mungkin bukan masalah seperti yang kamu pikirkan.”

Halim menatap Dewi dengan bingung. “Tapi Dewi, itu kan bukan hal biasa. Data gak pernah salah. Kalau ini terjadi, dunia bisa terganggu. Manusia bisa kehilangan titik acuan mereka.”

Dewi menunduk sebentar, tampaknya sedang berpikir. Kemudian dia menatap Halim dengan mata yang lebih tajam. “Kamu masih terlalu terpaku pada data. Kamu tahu kan, Halim, masa depan itu gak cuma soal angka. Itu soal perasaan manusia. Sesuatu yang gak bisa dihitung oleh sistem yang kaku.”

“Apa maksudmu?” Halim bertanya, mencoba memahami apa yang Dewi coba sampaikan.

Dewi tersenyum kecil. “Data itu seperti peta. Peta bisa menunjukkan jalan, tetapi kamu tetap harus memilih arah yang kamu inginkan. Kamu tidak bisa sepenuhnya bergantung pada peta, kan?”

Halim terdiam. Kata-kata Dewi terasa berat, tapi juga membingungkan. “Jadi, menurutmu, ini bukan kesalahan sistem? Mungkin ada hal lain yang lebih besar di luar sana?”

“Begini, Halim,” Dewi berdiri dan berjalan mendekat ke jendela besar yang menghadap ke kota Jakarta. “Lihat kota ini. Lihat semua teknologi yang ada. Semua orang berlomba-lomba untuk mengendalikan masa depan dengan data, dengan statistik. Tapi terkadang, kita lupa bahwa masa depan itu juga tentang pilihan manusia. Tentang apa yang kita putuskan, bukan hanya apa yang data katakan.”

Halim memandang Dewi yang kini menatap langit kota, seolah-olah berbicara langsung pada dunia yang luas di luar sana. Ia merasa kebingungan yang mulai berkurang. Dewi benar. Ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar data yang bisa diukur.

“Jadi apa yang harus aku lakukan?” tanya Halim, suaranya terdengar lebih tenang.

Dewi memutar tubuhnya dan menatap Halim dengan serius. “Kamu harus berhenti merancang ramalan berdasarkan data semata. Ciptakan sesuatu yang lebih manusiawi, yang lebih alami. Lupakan sebentar tentang angka dan algoritma. Lihatlah ke dunia dengan cara yang berbeda. Kamu bisa mengubah masa depan dengan cara itu.”

Halim merasa seolah-olah mendapatkan jawaban dari sebuah teka-teki besar. Namun, jawabannya bukan tentang angka-angka yang dia kumpulkan, tetapi tentang perjalanan manusia itu sendiri. Perjalanan yang penuh kejutan, pilihan, dan mungkin—keajaiban.

“Aku akan mencoba, Dewi,” jawab Halim, dengan keyakinan yang mulai tumbuh dalam dirinya.

Malam itu, Halim keluar dari ruang Dewi dengan pikiran yang jauh lebih ringan. Tetapi dalam hatinya, dia tahu bahwa ini baru permulaan. Dunia tidak akan pernah sama lagi setelah dia membuat keputusan ini.

 

Sinar di Balik Data

Langit Jakarta mulai meredup. Lampu-lampu kota berkilau, menciptakan pemandangan futuristik yang tampaknya tak pernah tidur. Halim melangkah keluar dari gedung DataVision, meninggalkan di belakangnya suara mesin yang berdengung dan suasana yang penuh dengan teknologi. Malam itu terasa sepi, meski hiruk-pikuk kota tak pernah berhenti. Halim merasa seperti seseorang yang baru saja melepaskan beban berat dari pundaknya, namun masih ada banyak yang harus dicari dan dipahami.

Dia menekan tombol di pergelangan tangannya, dan sebuah mobil terbang pribadi muncul dari bawah tanah. Sebuah kendaraan elegan berwarna hitam metalik dengan desain aerodinamis. Halim melangkah masuk dan kursi otomatis menyesuaikan dengan tubuhnya. Dia menatap layar hologram di depan, yang menampilkan berbagai pilihan rute perjalanan. Namun, pikirannya masih terfokus pada percakapan dengan Dewi tadi.

“Masa depan itu bukan sekadar angka…” ujar Dewi, kalimat itu berputar di kepala Halim. Selama ini, dia terlalu terfokus pada data, pada perhitungan yang rasional, yang tampaknya bisa memprediksi segalanya. Tapi Dewi benar. Ada sesuatu yang lebih dari itu. Sesuatu yang tak terhitung, tak terlihat, dan bahkan tak terduga.

Kendaraan itu meluncur cepat, menghindari lalu lintas udara yang padat. Halim merasakan angin lembut di wajahnya, memberi sedikit rasa segar di tengah panasnya malam. Dalam perjalanan, pikirannya melayang ke masa lalu. Masa-masa ketika ia pertama kali bergabung dengan DataVision, dan bertekad untuk mengubah dunia dengan data. Tapi kini, dia meragukan segalanya. Apakah benar bahwa semua yang dia lakukan selama ini hanya memperburuk keadaan?

Mobil terbang itu akhirnya mendarat di depan sebuah gedung bertingkat yang tidak kalah megahnya dengan DataVision. Ini adalah tempat tinggal Halim, sebuah penthouse modern dengan pemandangan luar biasa ke seluruh kota. Begitu masuk, dia disambut oleh suasana hening yang biasa. Tidak ada suara yang terdengar selain denting pelan dari perangkat digital yang memenuhi setiap sudut ruangan.

Setelah membuang jaketnya ke kursi, Halim duduk di meja makan. Tangannya meraih tablet dan membuka aplikasi ramalan yang telah dia buat. Semua data yang ada di dalamnya adalah data yang dia percayai selama ini. Semua prediksi yang seharusnya akurat. Namun, saat jari-jarinya menyentuh layar, sebuah peringatan muncul. “Ketidakpastian Deteksi: 97%” tertulis di layar.

Halim tercengang. 97%. Angka yang lebih tinggi dari yang pernah dia temui sebelumnya. Kenapa ketidakpastian bisa begitu besar? Dia mencoba menenangkan diri, mengutak-atik layar, namun tetap tidak bisa menghilangkan rasa gelisahnya.

“Tapi… data ini harus bisa diubah,” gumamnya, namun suaranya sendiri terdengar ragu. “Harus ada penjelasan yang lebih masuk akal.”

Akhirnya, dia memutuskan untuk membuka saluran komunikasi pribadi dengan Dewi. Butuh waktu beberapa detik hingga koneksi terjalin. Dewi muncul di layar dengan senyuman yang sama, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Seolah dia sudah tahu apa yang Halim rasakan.

“Halim, ada yang mengganggumu?” tanya Dewi dengan nada ringan, meski mata tajamnya tetap memperhatikan setiap gerakan Halim.

“Data ini… Tidak ada yang benar-benar pasti, kan?” Halim bertanya, suaranya sedikit terburu-buru. “Aku tidak pernah menemui ketidakpastian sebesar ini.”

Dewi menghela napas. “Kamu tahu, Halim, ketidakpastian itu adalah bagian dari kehidupan. Itu bukan sesuatu yang harus ditakuti. Itu justru memberikan ruang untuk memilih, untuk berinovasi.”

“Jadi, kamu tidak khawatir?” tanya Halim lagi, kali ini suaranya lebih tenang.

Dewi tertawa kecil. “Kenapa harus khawatir? Selama kita mengerti bahwa masa depan itu bukan hanya tentang ramalan, kita bisa menghadapi apapun yang datang.”

Halim menggelengkan kepala. “Tapi… bagaimana dengan dunia ini? Apakah kita hanya akan membiarkan semuanya berjalan begitu saja tanpa rencana?”

Dewi menatapnya dengan serius. “Rencana itu penting, Halim. Tapi ingat, manusia bukan hanya sekadar mesin yang bisa diprogram. Kita juga punya kebebasan untuk memilih arah kita. Ketidakpastian itu bisa jadi sebuah peluang.”

Ada keheningan sejenak, sebelum Dewi melanjutkan, “Jangan terlalu terpaku pada angka. Jangan takut untuk mengambil langkah baru.”

Halim terdiam. Kata-kata Dewi terasa seperti sebuah kunci yang membuka pintu pemikiran yang lebih luas. Selama ini dia terjebak dalam rutinitas yang sudah terprogram. Semua perhitungan yang dibuat oleh komputer dan algoritma tampaknya memberikan jawaban pasti. Namun, apakah benar dunia ini bisa dipahami hanya dengan angka?

“Aku rasa aku paham,” Halim akhirnya berkata. “Mungkin, ada cara lain yang belum aku lihat.”

“Tepat,” jawab Dewi dengan senyum tipis. “Kamu harus keluar dari zona nyaman itu. Dunia ini lebih besar dari yang kita pikirkan.”

Halim memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Dia menatap ke luar jendela penthouse, menatap langit Jakarta yang penuh dengan kendaraan terbang, gedung tinggi, dan cahaya neon yang berkilau. Di balik semua itu, ada sesuatu yang lebih besar yang belum dia pahami. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan data atau ramalan.

“Besok, aku akan mencoba hal baru,” bisik Halim pada dirinya sendiri.

Pagi berikutnya, Halim berada di ruang kerja DataVision, tapi kali ini suasana berbeda. Dia tidak lagi duduk terpaku di depan layar, mengamati data dengan cemas. Sebaliknya, ia mulai berpikir lebih kreatif, mencari peluang di luar hitungan angka. Dia mulai merancang sebuah proyek baru, satu yang lebih manusiawi, yang menggabungkan teknologi dengan pilihan-pilihan yang lebih terbuka dan fleksibel.

Namun, di luar sana, di tengah-tengah hiruk-pikuk kota, ada hal yang lebih besar yang sedang menunggunya. Sesuatu yang bahkan lebih rumit dan tak terduga daripada ketidakpastian dalam data yang dia amati. Apa yang akan terjadi jika matahari benar-benar terbenam lebih cepat? Apa yang akan berubah dalam kehidupan manusia jika dunia ini berjalan tidak seperti yang kita harapkan?

Halim menyadari, jawabannya mungkin ada di luar sana, jauh di luar perhitungan dan prediksi yang selama ini dia yakini.

Dan mungkin, untuk pertama kalinya, dia siap untuk menemukannya.

 

Di Balik Utopia

Halim duduk di ruang kerjanya yang terang benderang, dikelilingi oleh layar holografis yang memproyeksikan data mentah dan grafik-grafik canggih. Tapi matanya kosong, tidak fokus pada apa pun yang diproyeksikan. Pikirannya melayang jauh. Selama berhari-hari, dia terus berpikir tentang kata-kata Dewi yang menumbuhkan sebuah rasa penasaran yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Bagaimana dunia ini bisa begitu… tidak pasti?

Seperti mesin yang tak pernah berhenti bekerja, tubuh Halim terus bergerak. Jari-jarinya dengan cekatan mengetuk layar, tetapi pikiran dan hatinya terjebak di tempat yang lebih jauh. Sering kali, dia merasa seperti manusia yang diprogram untuk mengikuti arus, namun kini dia mulai meragukan apakah arus itu adalah arah yang benar.

Satu email masuk. Halim membuka layar hologram dan membaca pesan dari Dewi yang singkat, tapi cukup membuat hatinya bergetar:

“Halim, kamu pernah berpikir tentang tempat di mana semua data ini berasal? Mungkin kamu harus mencari di luar sana.”

Halim mengusap wajahnya. “Di luar sana.” Kalimat itu terus berputar di kepalanya, seolah ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Mungkin ini waktunya untuk benar-benar keluar dari zona nyaman. Mengapa dia begitu terikat dengan dunia virtual ini? Dengan semua perhitungan dan prediksi yang ia bangun?

Rasa gelisah mulai merayap masuk. Halim memutuskan untuk bertindak. Di luar jendela kantornya, dunia terlihat sibuk dan terus bergerak. Jakarta, dengan segala kemajuan teknologinya, masih memiliki sisi yang jauh lebih gelap, lebih manusiawi. Apa yang Dewi maksud dengan mencari di luar sana? Tempat seperti apa yang bisa memberikan jawaban atas rasa gelisah yang menguasai dirinya?

Tanpa berpikir panjang, Halim menekan tombol untuk menutup semua tampilan di layar dan berdiri. Hari itu juga, dia memutuskan untuk pergi ke pasar malam di kawasan tua kota. Sebuah tempat yang, meskipun sudah banyak tergerus oleh kemajuan zaman, tetap memancarkan atmosfer yang sulit dijelaskan. Pasar malam yang penuh dengan kios-kios kecil, aroma makanan, suara tawa, dan hiruk-pikuk orang-orang yang tampaknya tidak peduli dengan dunia digital di luar sana.

Mobil terbang Halim meluncur ke arah pasar malam yang berada di tengah kota tua. Begitu mendarat, ia disambut oleh suasana yang jauh berbeda dari gedung-gedung pencakar langit dan hologram canggih yang biasa ia lihat setiap hari. Ini adalah dunia yang lebih nyata, lebih organik. Di sini, tidak ada data yang bisa diprediksi atau dianalisis.

Dia berjalan melewati kerumunan, merasakan hiruk-pikuk yang riuh dan penuh warna. Suasana pasar malam ini penuh dengan kegembiraan yang tulus, seperti dunia yang tak terikat oleh hukum logika yang selama ini membelenggu hidupnya. Halim berhenti di depan sebuah tenda yang menjual ramalan, sebuah papan kecil bergoyang tertiup angin, bertuliskan: “Ramalan Masa Depan: Tidak Ada Data di Sini.”

Tertarik, Halim mendekat dan memasuki tenda kecil itu. Di dalam, terdapat seorang wanita tua dengan rambut perak, mengenakan pakaian tradisional yang sedikit usang. Matanya yang tajam menatap Halim seolah dia sudah mengenalinya sejak lama. Tanpa berkata apa-apa, wanita itu menyodorkan sebuah cangkir teh panas kepada Halim.

“Minum dulu, Nak,” kata wanita itu dengan suara serak namun penuh kebijaksanaan. “Lalu kita bicarakan apa yang kau cari.”

Halim duduk dan menerima cangkir itu, meski dia merasa canggung. Dia tidak yakin apa yang akan ia temui di sini, tetapi entah kenapa, hatinya merasa tenang. Wanita itu hanya duduk di seberangnya, memperhatikannya dengan penuh pengertian.

“Apa yang kamu cari, Nak?” tanya wanita itu setelah beberapa menit hening, mengangkat alisnya yang berkerut.

“Aku tidak tahu,” jawab Halim jujur. “Aku merasa ada yang hilang. Semua data yang kutemukan, semua prediksi yang kupelajari… semuanya terasa tidak lengkap. Seperti ada bagian dari dunia ini yang tidak bisa dijelaskan oleh angka-angka.”

Wanita itu tersenyum bijak, “Ketika kamu memandang dunia ini hanya dengan angka, kamu kehilangan apa yang membuat dunia ini hidup, Nak. Angka bisa memberi kamu arah, tapi tidak bisa memberimu makna.”

Halim merenung. Kata-kata itu terdengar sederhana, tetapi begitu dalam. Dia merasa seolah ada sesuatu yang baru saja dibuka, sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar data.

Wanita itu melanjutkan, “Ke depan, akan banyak hal yang tak bisa kamu prediksi. Tapi kamu harus belajar menerima ketidakpastian itu. Dunia bukan hanya tentang ramalan yang bisa dihitung. Kadang, apa yang penting adalah pilihan yang kamu buat tanpa tahu apa yang akan terjadi setelahnya.”

Tiba-tiba, suara riuh dari luar tenda menarik perhatian Halim. Dia melihat sebuah kelompok orang yang berlarian dengan cemas. Terlihat ada sesuatu yang terjadi di pasar malam itu, tetapi Halim tidak tahu apa.

“Ada apa di luar?” tanya Halim, merasa ada sesuatu yang mendesak.

Wanita tua itu hanya menggelengkan kepala. “Itulah kehidupan, Nak. Terus berjalan, terus bergerak. Jangan terlalu khawatir dengan apa yang tak terduga. Itu justru bagian dari yang membuat hidup ini berharga.”

Halim bangkit dan melangkah keluar dari tenda. Apa yang dia temui di luar mengubah seluruh perspektifnya. Ternyata, pasar malam itu sedang dalam kerusuhan kecil. Orang-orang berlarian menghindari sesuatu, dan di tengah keramaian itu, Halim melihat sosok Dewi yang tampaknya sedang berbicara dengan seseorang.

Tanpa berpikir panjang, Halim segera menghampiri Dewi.

“Kau di sini juga?” tanya Halim dengan heran.

Dewi tersenyum lebar, seolah sudah menunggu Halim datang. “Kau benar, Halim. Dunia ini penuh kejutan, kan?”

“Tapi… ada apa di sini?” Halim bertanya, matanya melirik ke sekitar yang semakin chaos.

Dewi mengangguk, “Terkadang, kita memang harus menghadapi kenyataan yang tak bisa kita kendalikan. Ada banyak hal yang terjadi tanpa bisa kita prediksi.”

“Tapi kenapa harus di sini, di tempat seperti ini?” Halim bertanya, masih merasa bingung.

“Karena di tempat seperti ini, kamu bisa merasakan hidup, Halim. Itu yang paling penting. Semua data, semua ramalan, itu tidak akan pernah bisa menggantikan pengalaman dan keputusan yang kamu buat di dunia nyata.”

Di tengah kebingungannya, Halim merasa seperti mendapat jawaban yang lebih besar dari sekadar prediksi atau data. Keputusan yang dibuat tanpa perhitungan matang, tanpa angka yang mengukur hasilnya, itu mungkin adalah cara terbaik untuk benar-benar hidup.

Untuk pertama kalinya, Halim merasa bahwa dia benar-benar menemukan apa yang dia cari.

 

Akhir yang Tak Terduga

Hari-hari setelah kejadian di pasar malam itu terasa berbeda bagi Halim. Dia mulai melihat dunia dengan cara yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Setiap langkah yang dia ambil, setiap keputusan yang dia buat, terasa lebih bermakna. Dunia yang dulunya penuh dengan hitungan dan ramalan kini tampak seperti kanvas kosong yang siap untuk digambar dengan warna-warna keberanian dan ketidakpastian.

Setelah pertemuan dengan Dewi, Halim memutuskan untuk lebih mendengarkan hatinya. Tidak ada lagi obsesi untuk memprediksi segala sesuatu yang akan datang. Di dunia yang semakin penuh dengan teknologi canggih dan data yang melimpah, Halim belajar untuk merangkul kekacauan dan ketidakteraturan yang menyertainya. Ada sesuatu yang bebas dan menantang dalam ketidakpastian, sesuatu yang membuat hidup terasa lebih hidup.

Dia mulai mengurangi pekerjaannya di pusat data, lebih memilih untuk berjalan-jalan di jalanan kota, berbicara dengan orang-orang yang tidak ada dalam databasenya, menikmati momen yang sederhana. Halim menyadari bahwa dunia nyata tidak bisa dikuasai sepenuhnya oleh teknologi. Ada hal-hal yang hanya bisa dipahami dengan merasakannya, bukan dengan menghitungnya.

Pada suatu sore yang cerah, Halim kembali ke pasar malam, tempat yang kini terasa seperti rumah kedua bagi dirinya. Dia berjalan menyusuri lorong-lorong kios yang penuh warna, mendengarkan tawa anak-anak yang berlarian, dan menikmati aroma harum makanan yang menggoda. Tanpa ada tujuan pasti, hanya mengikuti aliran kehidupan yang mengalir tanpa peta atau panduan.

Di sebuah pojok pasar, dia menemukan Dewi sedang duduk di bangku kayu, menatap langit dengan penuh keheningan. Halim duduk di sampingnya tanpa berkata-kata. Mereka berdua hanya duduk, menyaksikan langit senja yang perlahan berubah warna.

“Dunia terasa lebih sederhana di sini, kan?” kata Dewi akhirnya, memecah keheningan. “Tanpa ada hitungan, tanpa ada ramalan, kita hanya ada di sini, di saat ini.”

Halim mengangguk, merasakan kehangatan yang ada di udara senja itu. “Aku mulai mengerti, Dewi. Tidak semua hal harus direncanakan. Kadang, kita hanya perlu merasa dan hidup tanpa takut membuat kesalahan.”

Dewi tersenyum, senyuman yang penuh pengertian. “Itulah yang kamu butuhkan, Halim. Dunia ini tidak hanya tentang keakuratan. Dunia ini tentang bagaimana kita menghadapinya, tentang pilihan yang kita buat di saat-saat yang tidak terduga.”

Mereka berdua duduk dalam keheningan, menikmati kedamaian yang hanya bisa ditemukan dalam ketidakpastian. Halim merasakan beban yang dulu ia bawa, beban tentang masa depan yang harus terprediksi, kini mulai menghilang. Dia mulai memahami bahwa hidup, pada akhirnya, adalah tentang perjalanan, bukan tujuan.

Malam semakin larut, dan suasana pasar malam mulai sedikit sepi. Namun, bagi Halim, malam itu terasa begitu penuh makna. Tidak ada lagi perhitungan atau prediksi yang membatasi langkahnya. Hanya ada momen ini, di sini, bersama Dewi, di tengah hiruk-pikuk dunia yang bergerak maju tanpa arah yang jelas.

Ketika akhirnya mereka berpisah, Halim merasa hatinya lebih ringan dari sebelumnya. Dia tahu, dunia akan terus berputar, dan akan ada lebih banyak ketidakpastian yang akan datang. Tetapi, untuk pertama kalinya, dia siap menghadapinya. Tanpa data, tanpa ramalan—hanya dengan keberanian untuk menjalani hidup seperti apa adanya.

Di masa depan, Halim tahu, tidak ada yang bisa benar-benar diprediksi. Tapi itu tidak masalah. Sebab, sekarang dia tahu, hidup yang penuh ketidakpastian justru yang membuatnya terasa lebih berharga.

Dan di dalam ketidakpastian itu, dia akhirnya menemukan kebebasan.

 

Jadi, gimana menurut kamu? Dunia di masa depan yang penuh teknologi dan data emang seru, tapi ternyata, ketidakpastian juga punya tempat spesial di hati kita, kan? Cerita ini nunjukin kalau nggak semua hal harus diprediksi atau diatur—kadang kita cuma butuh hidup, menikmati momen, dan ngerasain kebebasan.

Semoga cerita ini bikin kamu mikir, Eh, mungkin aku juga bisa lebih santai, nggak usah terlalu khawatir soal masa depan. So, keep it real, hidupin setiap detik, dan jangan lupa buat ketawa meskipun dunia penuh ketidakpastian. See you guys…

Leave a Reply