Daftar Isi
Pernah nggak sih, kamu merasa kayak lagi jalan tapi nggak tahu ujungnya di mana? Kayak tersesat di tempat yang harusnya kamu kenal, tapi malah jadi asing banget?
Nah, cerita ini bukan cuma soal nyari jalan pulang, tapi juga tentang kehilangan, penyesalan, dan sesuatu yang nggak bisa diulang. Siap-siap buat baper, nyesek, dan mungkin nangis di tengah malam karena ceritanya bakal bikin kamu mikir… Apa sebenarnya yang kita cari saat bilang ingin pulang?
Mencari Jalan Pulang yang Aku Kenali
Langkah Yang Tersesat
Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah yang menyengat di udara. Cahaya lampu jalan redup, kelap-kelip seperti nyawa yang hampir padam. Angin dingin berembus, menusuk hingga ke tulang.
Oryx berdiri di tengah trotoar, napasnya memburu. Bajunya basah, lengket di kulitnya. Entah karena keringat, hujan, atau sesuatu yang lebih dalam dari itu.
Ia tidak tahu di mana ia berada. Tidak tahu bagaimana bisa sampai ke sini.
Jalanan sepi, tidak ada satu pun mobil atau manusia yang melintas. Bangunan-bangunan di sekitarnya berdiri tinggi dengan bentuk yang terasa asing.
Tangannya merogoh saku celana, mencari sesuatu—ponsel, dompet, apa saja yang bisa memberinya petunjuk. Namun yang ia temukan hanyalah selembar kertas lusuh dengan tulisan buram.
“Jangan sampai lupa. Jalan pulang tidak selalu terlihat jelas.”
Dahinya mengernyit. Tulisan ini… miliknya? Atau orang lain yang meninggalkannya?
Ia menghela napas panjang. Ada sesuatu yang mengganjal di kepalanya. Seperti ada kenangan yang seharusnya ia ingat, tapi justru terasa begitu jauh dan kabur.
Oryx melangkah. Sepatu basahnya menyentuh aspal dengan suara berat. Ia tidak punya tujuan, hanya mengikuti naluri.
Lalu, sebuah suara terdengar.
“Kamu nggak seharusnya ada di sini.”
Oryx berhenti.
Di bawah sinar lampu jalan yang temaram, seorang gadis berdiri di ujung gang. Rambutnya tergerai panjang, wajahnya pucat, dan matanya… kosong.
Oryx menelan ludah.
“Siapa kamu?” suaranya serak, lebih seperti bisikan daripada pertanyaan.
Gadis itu tidak langsung menjawab. Ia hanya memandang Oryx dengan tatapan yang sulit dijelaskan—bukan ketakutan, bukan kemarahan, tapi seperti… iba.
“Aku harusnya nanya itu ke kamu,” ucap gadis itu akhirnya, suaranya pelan.
Oryx mengerutkan kening.
“Apa maksudmu?”
“Kamu nyasar.”
“Aku tahu. Itu kenapa aku butuh bantuan buat cari jalan pulang,” katanya cepat.
Gadis itu diam. Pandangannya beralih ke jalan di belakang Oryx, seolah ada sesuatu di sana. Oryx ikut menoleh, tapi yang ia lihat hanya bayangan dirinya sendiri yang memanjang di aspal.
“Kamu yakin bisa pulang?” suara gadis itu terdengar lebih pelan, hampir seperti gumaman.
Oryx mengerutkan alisnya.
“Tentu aja. Aku cuma perlu tahu ini di mana, terus aku bisa cari jalannya sendiri.”
Gadis itu tersenyum samar, tapi senyum itu tidak memberikan rasa tenang—justru membuat sesuatu di dalam dada Oryx terasa semakin gelisah.
“Jalan pulang nggak selalu terlihat jelas.”
Kalimat itu terdengar familiar.
Oryx menunduk, kembali menatap kertas lusuh di tangannya. Tulisan buram itu… kalimat yang sama.
Perutnya seperti diremas. Ada sesuatu yang salah.
“Tunggu,” katanya cepat, menatap gadis itu dengan mata membelalak. “Kamu siapa sebenarnya?”
Gadis itu tidak menjawab. Ia hanya menatap Oryx dengan tatapan yang sulit dijelaskan—seolah ia tahu sesuatu yang Oryx sendiri tidak tahu.
Dan sebelum Oryx bisa membuka mulut lagi, gadis itu berbalik dan berjalan pergi.
“H-Hey! Tunggu!”
Oryx melangkah maju, tapi tubuhnya mendadak terasa berat. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, napasnya terasa sesak.
Ada sesuatu yang aneh.
Ia merasa semakin jauh dari kenyataan, seolah-olah ia berdiri di tempat yang bukan miliknya.
Dan untuk pertama kalinya malam itu, ia mulai mempertanyakan sesuatu yang belum sempat terlintas di pikirannya sejak awal.
Bukan tentang di mana ia berada.
Tapi tentang siapa sebenarnya dirinya.
Bayangan Di Ujung Jalan
Oryx berlari.
Langkahnya menghantam aspal yang basah, suaranya menggema di sepanjang jalan yang kosong. Udara malam semakin dingin, tapi dadanya terasa panas, terbakar oleh sesuatu yang ia sendiri tidak pahami.
Gadis itu menghilang di tikungan. Oryx mempercepat langkahnya, tapi begitu ia berbelok ke arah yang sama…
Kosong.
Jalanan di depannya lurus dan panjang, tanpa satu pun tanda keberadaan gadis tadi. Tidak ada bayangan, tidak ada suara.
Napas Oryx memburu. Matanya bergerak liar, mencari celah, gang sempit, atau pintu yang mungkin terbuka. Tidak ada.
Tidak masuk akal.
Ia baru saja melihatnya di sini.
Jemarinya mengepal. Ada sesuatu yang mengganjal di kepalanya—rasa asing, tapi juga familiar. Seperti deja vu yang buruk.
Lalu, ia melihatnya.
Di seberang jalan, di bawah lampu jalan yang berkedip lemah, ada sebuah bangunan tua yang nyaris tertutup bayangan. Pintu kayunya setengah terbuka, seperti sedang menunggu seseorang untuk masuk.
Seperti sedang menunggunya.
Oryx tidak berpikir lama. Kakinya bergerak sendiri, menyeberangi jalan dengan langkah cepat. Begitu ia mendorong pintu itu, udara dingin langsung menyambutnya.
Ruangan di dalamnya redup. Bau debu dan kayu lapuk memenuhi udara. Lantai kayunya berderit pelan di bawah langkahnya.
Ia baru akan melangkah lebih dalam ketika suara itu terdengar lagi.
“Kamu masih tetap keras kepala, ya?”
Oryx menoleh cepat.
Gadis itu berdiri di sana. Di ujung ruangan, di samping jendela besar yang kacanya pecah sebagian. Cahaya remang dari luar memantulkan bayangannya ke lantai.
Oryx menelan ludah. Ada sesuatu yang berbeda dari gadis ini. Tatapannya lebih tajam, lebih serius.
“Apa maksudmu?” tanya Oryx, suaranya lebih rendah dari yang ia harapkan.
Gadis itu tidak langsung menjawab. Ia melangkah maju, lalu menyentuhkan jemarinya ke meja kayu di sampingnya. Butiran debu beterbangan.
“Kamu nggak ingat, kan?” katanya pelan.
Oryx mengerutkan kening.
“Ingat apa?”
Gadis itu mendongak, menatapnya.
“Kenapa kamu ada di sini.”
Oryx merasakan sesuatu di dadanya mencelos.
Tapi sebelum ia bisa menjawab, sesuatu yang lain menarik perhatiannya.
Di dinding belakang gadis itu, ada sesuatu yang ia lewatkan tadi.
Sebuah papan besar, penuh dengan guntingan kertas yang ditempel asal. Ada peta jalan, ada foto-foto tempat yang tidak ia kenali. Tapi yang membuat darahnya membeku adalah selembar foto yang menempel di tengah.
Foto seseorang.
Seseorang yang ia kenal.
Seseorang yang ia lihat setiap hari di pantulan kaca.
Dirinya sendiri.
Oryx mundur selangkah. “Apa… Apa ini?”
Gadis itu menghela napas. “Ini bukan pertama kalinya kamu di sini.”
Dada Oryx terasa semakin berat. Kepalanya mendadak pening, seolah-olah ada ribuan informasi yang berusaha masuk sekaligus.
“Aku nggak ngerti,” katanya, setengah terengah.
“Kamu akan ngerti,” ujar gadis itu, suaranya seperti angin yang berbisik. “Kalau kamu siap.”
Tiba-tiba, semuanya terasa lebih gelap. Udara makin dingin.
Dan di antara kesadarannya yang perlahan menghilang, Oryx bisa merasakan satu hal.
Ia sudah berada di tempat ini sebelumnya.
Ia hanya tidak ingat bagaimana caranya keluar.
Memori Yang Terkubur
Ruangan itu perlahan memudar.
Dinding-dindingnya menjadi kabur, papan besar dengan foto dirinya mulai meluntur seperti cat yang diguyur air. Lantai kayu di bawah kakinya terasa goyah, seolah siap runtuh kapan saja.
Oryx mencengkeram kepalanya. Pusingnya makin menjadi, denyut di pelipisnya berdegup tak karuan.
Suaranya terdengar gemetar. “Apa yang terjadi?”
Gadis itu masih berdiri di tempatnya. Tatapannya tenang, tapi bukan karena ia tidak peduli—lebih seperti seseorang yang sudah melihat ini terjadi berkali-kali.
“Kamu mulai ingat, kan?” tanyanya pelan.
Oryx ingin berteriak, ingin marah, ingin menuntut jawaban. Tapi bibirnya hanya terbuka tanpa suara. Sesuatu di dalam kepalanya mulai bergerak, seperti kepingan puzzle yang perlahan menemukan tempatnya.
Lalu, semuanya meledak.
Bayangan-bayangan menghantam pikirannya.
Ia melihat dirinya sendiri, duduk di dalam mobil dengan tangan gemetar. Hujan turun deras di luar kaca jendela, menciptakan pola kabur yang menari-nari. Tangannya mencengkeram setir dengan kuat, napasnya pendek-pendek.
Seseorang duduk di kursi penumpang.
Seseorang dengan rambut panjang yang basah, menatapnya dengan mata penuh ketakutan.
Dan lalu—
Dentuman keras. Cahaya terang yang menyilaukan. Dunia yang berputar dengan liar.
Darah.
Oryx terjatuh ke lantai. Ia terengah-engah, keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Tangannya bergetar saat menatap gadis di depannya. Bibirnya membuka, tapi suaranya hampir tidak terdengar.
“Kamu ada di mobil itu…”
Gadis itu tersenyum tipis. Ada kesedihan yang terpantul di matanya.
“Kamu akhirnya ingat.”
Oryx merasakan tubuhnya membeku. Hatinya mencelos seakan ditarik ke dalam jurang yang tak berdasar.
“Jadi…” suaranya hampir tak keluar. “Aku yang… membunuhmu?”
Gadis itu tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Oryx dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
“Tidak sesederhana itu,” katanya akhirnya.
Tapi Oryx tidak mendengar sisa kalimatnya. Tubuhnya terasa berat, pikirannya berputar terlalu cepat.
Ia ingat semuanya sekarang.
Malam itu.
Hujan.
Kecelakaan.
Dan gadis itu.
Yang seharusnya tidak ada di sini.
Yang seharusnya… sudah mati.
Jalan Pulang Yang Aku Kenali
Oryx berdiri di tengah ruangan yang semakin kabur. Lantainya mulai retak, dindingnya mengelupas, seolah dunia ini sedang runtuh pelan-pelan.
Tapi matanya tetap terkunci pada gadis itu.
Gadis yang seharusnya sudah mati.
Ia menggeleng, langkahnya goyah. “Nggak mungkin… Ini nggak nyata.”
“Tapi kamu di sini,” jawab gadis itu tenang. “Berarti kamu tahu ada sesuatu yang belum selesai.”
Oryx terdiam. Ada sesuatu di dadanya yang terasa semakin berat, seperti beban yang menekan tanpa ampun.
“Aku nggak ngerti…” suaranya serak.
Gadis itu menatapnya lama. Lalu, ia berjalan mendekat, perlahan, sampai hanya ada jarak satu langkah di antara mereka.
“Aku juga nggak ngerti kenapa aku masih di sini.”
Suara gadis itu terdengar lebih lembut, lebih rapuh dari sebelumnya.
“Aku nggak benci kamu, Oryx. Aku tahu kamu nggak sengaja. Tapi aku masih ada di sini… Karena kamu belum bisa melepaskan aku.”
Napas Oryx tercekat. Dadanya terasa semakin sesak.
Lalu, ia sadar.
Ia yang tidak bisa pergi.
Ia yang terus mengulang jalan ini.
Ia yang tersesat.
Karena selama ini, ia menolak menerima kenyataan.
Ia menatap gadis itu. Ada sesuatu di dalam matanya—sebuah kesedihan yang tidak pernah ia akui.
“Aku minta maaf.” Suaranya bergetar. “Kalau aku bisa mengulang waktu, aku…”
“Tapi kamu nggak bisa,” potong gadis itu lembut. “Dan aku juga nggak bisa.”
Oryx menggigit bibirnya. Sesuatu yang panas menggenang di matanya.
“Aku cuma… Aku nggak tahu harus gimana.”
Gadis itu tersenyum tipis.
“Lepaskan aku.”
Kata-kata itu sederhana, tapi terasa lebih berat dari apa pun yang pernah Oryx dengar.
Tapi ia tahu.
Ini satu-satunya cara.
Tangannya terangkat, jemarinya hampir menyentuh gadis itu. Tapi sebelum ia bisa menyentuhnya, tubuh gadis itu mulai memudar. Cahaya redup berpendar di sekelilingnya, seperti kabut yang perlahan tertiup angin.
Dan untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, Oryx melihatnya tersenyum dengan damai.
“Terima kasih,” bisik gadis itu.
Lalu, ia menghilang.
Oryx terbangun dengan napas tersengal.
Matanya terbuka, melihat langit kelabu di atasnya. Hujan masih turun, tapi lebih ringan dari sebelumnya.
Ia terbaring di tengah jalan yang sepi. Tidak ada bangunan tua, tidak ada papan besar penuh foto, tidak ada gadis itu.
Yang ada hanya dirinya, sendirian, dengan pakaian yang basah kuyup dan jantung yang berdegup kencang.
Ia duduk perlahan, menatap sekeliling. Jalan ini… Akhirnya terasa familiar.
Jalan pulang yang ia kenali.
Air mata menggenang di matanya, tapi kali ini, ia tersenyum.
Karena akhirnya, ia benar-benar pulang.
Kadang, pulang bukan cuma soal tempat. Kadang, pulang itu soal hati yang akhirnya bisa berdamai sama masa lalu. Oryx sudah menemukan jalannya, tapi pertanyaannya… Kamu udah? Atau masih tersesat di kenangan yang seharusnya kamu lepas? Gimana? Udah berasa deep dan ngena di hati?