Daftar Isi
Kadang, kehilangan bukan soal pergi—tapi tentang tidak pernah tahu bahwa seseorang sudah pergi sejak lama. Seperti kisah seorang bocah kecil ini, yang setiap hari bertanya tentang ibunya tanpa tahu bahwa sosok yang ia cari sebenarnya sudah lama tiada. Ini bukan sekadar cerita sedih, tapi perjalanan hati yang bakal bikin dada sesak dan air mata jatuh tanpa permisi. Siap-siap, ya…
Mencari Ibu
Pertanyaan yang Tak Pernah Usai
Langit sore mulai meredup, menyisakan semburat jingga yang membias di kaca jendela. Di halaman rumah yang tak terlalu luas, seorang bocah laki-laki berlari-lari kecil di atas tanah yang masih lembap sehabis hujan. Sepasang matanya berbinar, menyiratkan keingintahuan yang tak pernah padam.
Di sudut teras, seorang pria duduk termenung di atas kursi kayu tua. Matanya menatap kosong ke arah langit, seakan mencari sesuatu yang tak kasatmata. Lalu, suara kecil itu memecah lamunannya.
“Ayah,” bocah itu berdiri di depan pria itu, napasnya sedikit tersengal setelah berlarian. “Ibu ke mana?”
Pertanyaan itu kembali terdengar—pertanyaan yang telah diajukan berkali-kali.
Sang ayah menunduk, menatap anaknya dengan sorot mata yang sulit dijelaskan. Ia tersenyum tipis, tapi ada kelelahan yang tersirat di sana.
“Ibu jauh, Nak,” jawabnya dengan suara yang pelan, nyaris seperti bisikan.
Bocah itu mengernyit. “Jauh ke mana?”
“Jauh sekali…”
“Tapi kan kalau jauh bisa pulang? Kenapa Ibu nggak pulang?”
Ayahnya mengusap wajahnya sendiri, menarik napas panjang. Di dalam rumah, seorang gadis remaja berdiri di balik jendela, mendengar percakapan itu dengan hati yang terasa berat.
Setiap hari, pertanyaan itu muncul. Setiap hari, jawaban yang sama diulang. Dan setiap hari, tak ada yang benar-benar berubah.
“Ayo masuk, hari udah mulai gelap,” ucap ayahnya akhirnya, berusaha mengalihkan perhatian bocah itu.
“Tapi aku mau tahu Ibu di mana,” bocah itu masih tak mau menyerah. “Ibu kerja ya? Di luar negeri?”
Sang ayah terdiam, tak tahu harus menjawab apa.
Dari dalam rumah, sang kakak akhirnya keluar, menghampiri adiknya dengan ekspresi datar.
“Udah, masuk aja,” katanya dengan nada malas. “Nanti malam kena gigitan nyamuk, baru nangis.”
Bocah itu mengerucutkan bibirnya. “Tapi Kakak tahu kan, Ibu ke mana?”
“Kakak nggak tahu.”
Bocah itu menatapnya tajam. “Bohong. Kakak pasti tahu! Kakak aja nggak mau kasih tahu aku!”
Mata gadis itu berkedut. Ia menggigit bibirnya, menahan kekesalan dan kesedihan yang bercampur menjadi satu.
“Ibu jauh,” ulangnya, sama seperti jawaban yang selalu mereka berikan. “Udah, jangan tanya terus.”
“Tapi aku mau ketemu Ibu!”
Tak ada jawaban. Hanya angin sore yang berembus pelan, menggoyangkan daun-daun di pohon kecil di halaman.
Malam harinya, bocah itu menyusup masuk ke kamar kakaknya dengan langkah-langkah kecil yang hati-hati. Gadis itu sedang duduk di lantai, sibuk dengan tugas sekolahnya yang berserakan di atas kasur.
“Kak,” panggil bocah itu lirih.
Gadis itu menghela napas panjang. “Apa lagi?”
“Kakak ingat Ibu?”
Gadis itu membeku. Ia tak langsung menjawab, hanya menatap kertas-kertasnya dengan kosong.
“Ya, ingat.”
“Ibu cantik?”
“…Iya.”
“Ibu baik?”
Sejenak, gadis itu tak menjawab. Kenangan tentang seorang wanita dengan senyum lembut dan suara hangat berkelebat di pikirannya.
“Iya,” akhirnya ia menjawab, suaranya sedikit bergetar.
Bocah itu mendekat, duduk di lantai di samping kakaknya. “Ibu sayang aku?”
Gadis itu menoleh, dan untuk pertama kalinya sejak tadi, ia menatap mata adiknya dengan penuh emosi.
“Ibu sangat sayang kamu,” katanya, kali ini tanpa keraguan.
Bocah itu tersenyum kecil. Namun, senyum itu hanya bertahan sebentar sebelum kembali digantikan oleh ekspresi bingung.
“Tapi kenapa Ibu nggak pernah datang buat lihat aku?”
Jantung gadis itu mencelos. Ia tak tahu harus menjawab apa.
“Apa Ibu nggak mau ketemu aku?”
Gadis itu menunduk, menggenggam erat pensil di tangannya. Matanya terasa panas, tapi ia menahan diri untuk tidak menangis.
“Bukan gitu…” katanya pelan. “Ibu pasti pengen ketemu kamu…”
“Tapi kenapa Ibu nggak pulang?”
Keheningan menggantung di antara mereka.
“Aku pengen lihat Ibu…” suara bocah itu semakin lirih. “Aku pengen ketemu Ibu…”
Gadis itu hanya bisa menggigit bibirnya, berusaha menahan sesak yang menggumpal di dadanya.
Di kamar sebelah, sang ayah duduk di tepi ranjang, mendengar percakapan itu dengan mata tertutup. Tangannya mengepal di atas lutut, seakan mencoba menahan sesuatu yang sudah terlalu lama dipendam.
Di luar, angin berembus dingin. Malam semakin larut, namun pertanyaan itu tetap menggantung di udara—tak terjawab, tak terhapus, dan tak pernah benar-benar hilang.
Bayangan yang Tak Pernah Ditemui
Keesokan paginya, bocah itu bangun lebih awal dari biasanya. Matanya masih sedikit bengkak karena menangis semalam, tapi semangatnya tak padam. Ia berlari ke ruang tamu, lalu ke dapur, berharap menemukan sosok ibunya di sana. Tapi seperti biasa, hanya ada kakaknya yang sedang menuang teh hangat ke dalam cangkir, dan ayahnya yang duduk diam di meja makan, menatap koran tanpa benar-benar membacanya.
Ia menghela napas kecil. Lalu, dengan langkah kecilnya yang penuh tekad, ia pergi ke satu tempat yang jarang ia jamah—lemari besar di sudut ruang tengah.
Lemari kayu itu tinggi, hampir setinggi ayahnya. Di dalamnya tersimpan banyak benda lama, barang-barang yang sudah tidak digunakan, dan—bocah itu yakin—sesuatu tentang ibunya.
Ia membuka pintunya perlahan. Debu beterbangan, membuatnya bersin kecil. Jemarinya mulai mengacak tumpukan buku, kotak tua, dan album foto yang tersimpan rapi.
Dan akhirnya, ia menemukannya.
Sebuah foto lusuh terselip di antara buku-buku tua.
Dalam foto itu, ada seorang perempuan muda dengan senyum lembut, menggendong seorang bayi kecil yang gemuk dan menggemaskan.
Bocah itu menatap foto itu lama, jemarinya menyusuri pinggirannya yang mulai rapuh. Hatinya berdebar.
Ini Ibu?
Dan… ini aku?
Ia menggigit bibirnya, mencoba memahami perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di dadanya.
Tak ingin menyimpannya sendiri, ia berlari ke ruang makan dan meletakkan foto itu di atas meja.
“Ayah!” panggilnya.
Sang ayah menoleh, dan seketika, ekspresinya berubah. Jemarinya yang memegang koran sedikit bergetar.
“Ayah, ini Ibu, kan?”
Sang ayah tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap foto itu dalam-dalam, seakan melihat sesuatu yang sudah lama ingin ia lupakan.
Bocah itu tidak menyadari bahwa di baliknya, kakaknya berdiri diam, menatap foto yang sama dengan tatapan kosong.
“Iya,” akhirnya ayahnya berkata pelan. “Itu Ibu.”
Bocah itu tersenyum kecil. Tapi senyumnya langsung memudar saat ia mengangkat wajahnya kembali.
“Ayah…” suaranya terdengar ragu. “Kalau Ibu sayang aku… kenapa aku nggak pernah ketemu sama Ibu?”
Keheningan memenuhi ruangan. Kakaknya menunduk dalam diam, dan sang ayah hanya bisa menatap anak bungsunya dengan mata yang sulit diartikan.
“Kamu ingat kan, Nak,” kata ayahnya akhirnya. “Ibu jauh.”
Bocah itu mengepalkan tangannya.
“Itu bukan jawaban!” suaranya meninggi. “Kalau Ibu jauh, kenapa dia ninggalin aku? Kenapa aku nggak pernah lihat dia? Kenapa aku cuma bisa lihat Ibu di foto?”
Kakaknya menutup mata, menahan napas dalam-dalam.
“Kenapa aku harus cari-cari Ibu kayak orang hilang?”
Sang ayah tak menjawab. Wajahnya terlihat semakin tua, seakan dalam satu kedipan mata, semua tenaga yang tersisa dalam dirinya menghilang.
Bocah itu menggigit bibirnya, lalu mengalihkan tatapannya ke kakaknya.
“Kak, kamu tahu, kan?” tanyanya, suaranya lebih pelan. “Aku cuma mau tahu…”
Sang kakak meneguk ludah, lalu berbalik, berjalan cepat menuju kamarnya tanpa mengatakan apa-apa.
Bocah itu mengerjap, hatinya semakin sakit.
Kenapa semua orang selalu diam kalau dia bertanya tentang Ibu?
Kenapa rasanya seperti… ada sesuatu yang disembunyikan?
Ia menunduk, menatap foto lusuh di tangannya. Untuk pertama kalinya, hatinya terasa benar-benar kosong. Seolah ia berusaha menggenggam bayangan—sesuatu yang tak bisa ia sentuh, tak bisa ia lihat, dan tak bisa ia pahami.
Dan yang lebih menyakitkan, bayangan itu adalah ibunya sendiri.
Rahasia dalam Sepotong Foto
Bocah itu menggenggam foto lusuh di tangannya lebih erat. Ada sesuatu yang terasa ganjil—bukan pada fotonya, tapi pada perasaan yang kini menggelayuti hatinya.
Kenapa semua orang selalu menghindari pertanyaannya?
Kenapa setiap kali ia menyebut nama Ibu, ayahnya selalu terdiam dan kakaknya memilih pergi?
Malam itu, saat semua orang sudah masuk ke kamar masing-masing, bocah itu masih terjaga. Foto ibunya tergeletak di atas meja kecil di samping kasurnya. Lampu kamar yang temaram membuat bayangan di wajah perempuan dalam foto itu terlihat samar, tapi tatapan matanya terasa begitu nyata.
“Ibu…” bisiknya pelan, hampir seperti berbicara pada seseorang yang benar-benar ada. “Aku pengen ketemu Ibu…”
Namun, jawaban tak pernah datang. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan, seakan menghitung waktu yang terus berjalan tanpa memberikan jawaban apa pun.
Keesokan paginya, bocah itu memutuskan untuk mencari jawaban dengan caranya sendiri.
Ia mengendap-endap ke kamar ayahnya saat pria itu sedang sibuk di luar. Lemari besar yang jarang dibuka berdiri kokoh di sudut kamar, menyimpan segala sesuatu yang entah sejak kapan tak tersentuh.
Dengan tangan kecilnya, ia menarik gagang lemari dan membukanya perlahan.
Di dalamnya, ada banyak tumpukan pakaian lama, beberapa buku, dan sebuah kotak kayu berwarna cokelat tua yang terlihat sedikit berdebu.
Bocah itu meraih kotak itu dengan hati-hati.
Begitu dibuka, isi kotak itu membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Di dalamnya ada lebih banyak foto ibunya—tidak hanya satu atau dua, tapi banyak. Beberapa di antaranya memperlihatkan ibunya tengah tersenyum, beberapa foto lain memperlihatkan ibunya bersama sang ayah. Tapi ada satu foto yang langsung menarik perhatiannya.
Foto ibunya yang sedang berbaring di tempat tidur, dengan wajah pucat dan mata yang tertutup rapat.
Jantung bocah itu seakan berhenti berdetak.
Ia tidak mengerti apa yang ia lihat, tapi ada sesuatu dalam gambar itu yang membuat tubuhnya merinding.
Tangannya gemetar saat ia mengambil foto itu dan membawanya keluar kamar.
“Kak!” panggilnya keras.
Sang kakak, yang sedang duduk di ruang tamu, menoleh dengan kaget.
“Apa?” tanyanya dengan alis berkerut.
Bocah itu berlari mendekat dan meletakkan foto itu di atas meja.
“Apa maksudnya ini?”
Sang kakak menatap foto itu. Wajahnya langsung berubah pucat.
Dunia seakan berhenti berputar.
“Kak,” suara bocah itu terdengar lebih lirih kali ini. “Kenapa Ibu tidur kayak gini?”
Sang kakak tidak langsung menjawab. Napasnya tercekat di tenggorokan, dan tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
“Kakak…” bocah itu menggigit bibirnya, matanya mulai memerah. “Ibu sakit, ya? Itu kenapa Ibu nggak pernah pulang?”
Sang kakak masih diam.
“Apa Ibu nggak bisa bangun lagi?”
Bibir gadis itu bergetar. Dadanya terasa sesak.
“Apa Ibu…” suara bocah itu semakin lirih. “… udah nggak ada?”
Sang kakak menutup matanya erat-erat, seakan berharap semua ini hanya mimpi buruk yang bisa segera ia lupakan.
Dan saat ia membuka matanya kembali, air mata jatuh satu per satu dari matanya.
“Iya,” bisiknya akhirnya.
Bocah itu terdiam.
Dunia di sekelilingnya tiba-tiba menjadi sunyi.
Lalu, tanpa berkata apa-apa, ia berlari keluar rumah.
Hujan turun deras.
Bocah itu berdiri di tengah jalan setapak yang basah, kakinya tertanam di tanah becek. Pakaian tidurnya sudah basah kuyup, tapi ia tidak peduli.
Matanya menatap lurus ke depan, kosong.
Ibu sudah tidak ada.
Selama ini, ia mencari, bertanya, berlari ke sana kemari berharap menemukan ibunya. Tapi ternyata, ibunya sudah pergi sejak lama.
Dan ia… tidak pernah tahu.
Tangannya gemetar, napasnya tersengal. Lalu, tanpa bisa ditahan, air mata jatuh begitu saja.
“Ibu…” isaknya.
Angin bertiup dingin, membawa suara hujan yang semakin mengguyur tanah. Tapi tidak ada yang menjawab.
Tidak ada siapa pun.
Dan untuk pertama kalinya, bocah itu merasa benar-benar sendirian.
Hujan yang Membawa Jawaban
Hujan terus mengguyur tubuh kecilnya yang gemetar. Dingin merayap ke dalam kulitnya, tapi bocah itu tidak peduli. Ia hanya berdiri di sana, di tengah jalan yang becek, membiarkan air mata bercampur dengan hujan yang jatuh dari langit.
Langkah kaki berderap di belakangnya.
“Bodoh!”
Sebuah tangan menariknya dengan kasar ke dalam dekapan yang hangat.
Sang kakak, dengan pakaian yang juga basah kuyup, memeluknya erat.
“Kamu mau mati, hah?!” suara kakaknya bergetar, antara marah dan panik. “Kenapa kamu lari kayak gini?”
Bocah itu tidak menjawab. Ia hanya menunduk, tangannya mengepal.
“Aku…” suaranya bergetar. “Aku nggak tahu kalau Ibu udah nggak ada…”
Sang kakak mengeratkan pelukannya.
“Kenapa nggak ada yang bilang?” suara bocah itu pecah. “Kenapa semua orang diem aja? Kenapa Ayah diem aja?”
Sang kakak menggigit bibirnya, lalu menarik bocah itu untuk menatapnya.
“Kita nggak pernah mau bohong sama kamu,” ucapnya, suaranya lebih lembut kali ini. “Kita cuma… nggak tahu harus ngomong gimana. Kamu masih kecil waktu itu. Ayah nggak mau kamu tumbuh dengan kesedihan sejak lahir.”
Bocah itu menatap kakaknya dengan mata merah dan sembab.
“Tapi aku nyari Ibu tiap hari…” isaknya. “Aku selalu nanya… Aku…”
Sang kakak mengusap wajahnya, air matanya sendiri jatuh di pipinya.
“Aku tahu,” suaranya lirih. “Dan aku minta maaf… karena kita nggak pernah kasih tahu kamu lebih awal.”
Bocah itu terdiam.
Hujan mulai mereda, menyisakan rintik-rintik kecil di udara. Tapi hatinya masih terasa berat.
Ia menunduk, tangannya mencengkram lengan kakaknya.
“Aku mau ketemu Ibu…” bisiknya.
Sang kakak menarik napas panjang, lalu menggenggam tangan bocah itu erat.
“Ayo,” ucapnya. “Aku bakal ajak kamu ketemu Ibu.”
Langit masih kelabu saat mereka sampai di pemakaman kecil di pinggir kota. Tanah masih basah karena hujan tadi, dan aroma rumput yang baru terkena air menguar di udara.
Bocah itu berjalan perlahan di samping kakaknya. Dadanya terasa sesak, tapi langkahnya tidak berhenti.
Mereka berhenti di depan sebuah nisan putih yang sederhana.
Di sana, tertulis sebuah nama yang begitu asing, tapi juga terasa begitu dekat di hatinya.
Bocah itu menatap nisan itu lama. Tangannya menggenggam kuat kain bajunya.
“Ibu…” panggilnya pelan.
Angin bertiup lembut, seperti membalas panggilannya.
Bocah itu menelan ludah. Ada begitu banyak hal yang ingin ia katakan, tapi semuanya terasa buntu di tenggorokannya.
Matanya kembali panas.
“Aku nyari Ibu tiap hari,” isaknya. “Aku pikir… Ibu bakal pulang kalau aku terus nunggu… Aku nggak tahu kalau Ibu nggak bisa pulang lagi…”
Sang kakak hanya diam di sampingnya, membiarkan bocah itu berbicara dengan caranya sendiri.
Bocah itu menggigit bibirnya.
“Tapi…” suaranya lebih lirih. “Sekarang aku tahu kalau Ibu selalu ada di sini, kan?” Ia menepuk dadanya pelan. “Di sini, kan, Kak?”
Sang kakak tersenyum kecil, air mata masih menggenang di matanya.
“Iya,” sahutnya. “Ibu selalu ada di situ.”
Bocah itu terisak pelan, lalu menatap nisan di depannya sekali lagi.
“Ibu…” suaranya hampir seperti bisikan. “Maaf ya, aku telat nyari Ibu ke sini…”
Angin bertiup sedikit lebih kencang, mengusap lembut wajahnya.
Dan untuk pertama kalinya, bocah itu merasa seperti akhirnya bisa menemukan ibunya. Bukan dalam wujud yang bisa ia peluk, bukan dalam sosok yang bisa berbicara dengannya. Tapi dalam kenangan yang selalu ada. Dalam kasih yang tidak pernah pergi.
Ia menyeka air matanya, lalu mengukir sebuah senyum kecil.
“Ibu pasti seneng aku datang, kan?” tanyanya, menoleh ke kakaknya.
Sang kakak menahan napas, lalu mengangguk. “Iya. Ibu pasti seneng banget.”
Bocah itu mengangguk pelan, lalu menatap nisan itu sekali lagi.
“Ibu…” bisiknya. “Aku sayang Ibu.”
Dan kali ini, ia benar-benar merasa ibunya mendengarnya.
Akhirnya, pencarian panjang itu berakhir. Bukan dengan pertemuan, bukan dengan pelukan, tapi dengan kepastian. Kadang, yang kita butuhkan bukanlah melihat seseorang kembali, tapi merasa mereka tetap ada, meski tak lagi dalam genggaman. Dan di sanalah, di depan nisan itu, seorang bocah kecil akhirnya benar-benar menemukan ibunya.


