Daftar Isi
Gengs, siap-siap baper! Cerita ini bakal bikin kamu merinding dan terharu, karena kita bakal ikut nyelam ke kisah Azzam dan Zahra, dua orang yang lagi menanti cinta sejatinya. Dengan latar belakang islami yang kental, mereka nggak hanya berdoa untuk cinta, tapi juga belajar tentang harapan dan kesabaran. Jadi, siapin tisu, ya! Yuk, kita mulai perjalanan penuh inspirasi ini!
Menanti Cinta Sejati
Harapan di Ujung Doa
Malam itu, langit di atas desa tampak cerah, dihiasi ribuan bintang yang berkilauan. Azzam duduk di teras rumahnya, menikmati semilir angin yang berhembus lembut. Suasana tenang ini membuatnya teringat pada doanya yang selalu dipanjatkan setiap malam. “Ya Allah, berikanlah aku pendamping hidup yang baik, yang bisa membimbingku menuju jalan-Mu,” bisiknya pelan, seolah-olah bintang-bintang yang bersinar bisa mendengar harapannya.
Ia mengambil sejenak napas dalam, menatap arah jalan setapak yang sering dilalui oleh Zahra, gadis yang telah mengisi pikirannya belakangan ini. Zahra, sosok yang dikenal di desa bukan hanya karena kecantikannya, tetapi juga kebaikan hatinya. Azzam sering melihatnya membantu para ibu di sekitar, memberi senyum yang hangat kepada semua orang. Itu adalah sisi Zahra yang selalu membuatnya terpesona.
“Azzam, kamu nggak mau ikutan acara pengajian di masjid besok?” suara sahabatnya, Fadhil, tiba-tiba memecah kesunyian malam.
Azzam tersenyum, “Tentu saja, aku selalu menantikan itu. Mungkin Zahra juga akan datang.”
Fadhil tertawa, “Oh, jadi kamu nunggu Zahra ya? Coba deh, kamu ajak ngobrol langsung. Kapan lagi?”
Azzam menunduk, merasa sedikit malu. “Iya, tapi… entahlah. Aku ingin bertemu dia, tapi belum berani untuk bicara.”
Fadhil menepuk punggung Azzam. “Ayo, beranikan diri. Kamu harus yakin, bro! Siapa tahu besok jadi hari keberuntunganmu.”
Hari berganti, dan pagi itu datang dengan cahaya lembut yang menembus celah-celah jendela. Azzam bersiap-siap menuju masjid dengan perasaan campur aduk. Dalam hatinya, dia terus berdoa agar bisa berbicara dengan Zahra.
Setelah shalat, pengajian dimulai. Azzam duduk di barisan tengah, selalu mencuri pandang ke arah Zahra yang duduk di depan. Sinar matahari yang menyinari wajahnya seakan menambah pesonanya. Saat pengajian berlangsung, Azzam merasa hatinya berdebar setiap kali melihat Zahra tertawa bersama teman-temannya.
Akhirnya, ketika sesi tanya jawab dimulai, Azzam memutuskan untuk mencari keberanian. Dia bangkit dan bertanya, “Ustaz, bagaimana cara kita mengetahui bahwa seseorang adalah jodoh kita?”
Suasana hening sejenak sebelum Ustaz menjawab, “Jodoh adalah anugerah dari Allah. Terkadang kita harus sabar dan berdoa, serta melihat kesamaan visi dan misi dalam hidup. Jodoh itu bisa jadi dekat dengan kita, tapi kita harus bersabar.”
Mendengar jawaban itu, Azzam merasa semangatnya terbangun. Selesai acara, Azzam melihat Zahra berdiri di luar masjid, berbincang dengan beberapa teman. Dengan niat yang kuat, dia memberanikan diri untuk menghampirinya.
“Assalamu’alaikum, Zahra,” sapanya dengan suara bergetar.
“Waalaikumsalam, Azzam!” Zahra menjawab, wajahnya berseri-seri. “Senang sekali bisa bertemu di sini. Bagaimana menurutmu tentang pengajian tadi?”
“Menarik sekali! Aku merasa sangat terinspirasi,” jawab Azzam, berusaha mengendalikan detak jantungnya. “Ustaz mengatakan bahwa jodoh itu anugerah dan kita harus bersabar.”
Zahra mengangguk, “Iya, aku setuju. Kita harus percaya bahwa Allah telah menyiapkan yang terbaik untuk kita.”
Percakapan itu membuat Azzam merasa nyaman. Mereka terus berbincang, membahas tema-tema dari pengajian hingga hal-hal sederhana tentang desa mereka. Namun, Azzam masih merasa ada batasan yang harus dijaga.
“Zahra, aku… aku berharap bisa bertemu lebih sering. Kita bisa belajar bersama atau ikut pengajian sama-sama,” ungkapnya dengan nada hati-hati.
Zahra tersenyum lebar, “Tentu! Aku juga ingin itu. Semoga kita bisa saling mendukung dalam beribadah.”
Di dalam hati, Azzam merasakan harapan baru. Dia mulai percaya bahwa ada jalan untuk mendekatkan diri kepada Zahra. Keduanya sepakat untuk bertemu lagi di pengajian berikutnya, dan Azzam merasa langkahnya semakin mantap.
Setelah berpisah, Azzam melangkah pulang dengan semangat baru. Dalam perjalanan pulang, dia berdoa, “Ya Allah, terima kasih telah memberi kesempatan ini. Aku akan terus berdoa untuknya.”
Malam tiba, dan seperti biasa, Azzam duduk di teras sambil menatap bintang. Dengan penuh keyakinan, dia kembali berdoa, berharap agar Allah memberinya petunjuk dalam mencintai Zahra dengan cara yang benar. Meski baru saja mengenal, hatinya sudah merindukan lebih. Namun, dia ingat satu hal: setiap cinta yang terjalin haruslah melalui proses yang penuh berkah dan kesabaran.
Dia tahu, menanti cinta adalah perjalanan yang indah, dan dalam setiap doa yang dipanjatkan, ia percaya bahwa Allah selalu mendengar.
Pertemuan Tak Terduga
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan setiap detik yang dihabiskan Azzam tanpa Zahra terasa seperti seabad. Ia merindukan senyum hangatnya, candaan kecil, dan setiap percakapan ringan yang mengisi hari-harinya. Akhirnya, pengajian yang mereka nantikan pun tiba kembali.
Azzam berangkat lebih awal dari biasanya, berusaha menyiapkan diri sebaik mungkin. Ia memilih pakaian yang rapi, berharap bisa tampil lebih percaya diri di hadapan Zahra. Dengan hati berdebar, ia berjalan menuju masjid, pikirannya berkecamuk dengan harapan dan keraguan.
Setibanya di masjid, suasana sudah ramai. Para jamaah berdatangan, beberapa di antaranya adalah teman-teman Zahra. Azzam segera mencari sosok yang sudah mengisi pikirannya belakangan ini. Dan di sudut ruangan, dia melihat Zahra berbincang dengan beberapa wanita muda, wajahnya bersinar cerah seperti biasanya.
“Azzam!” seru Fadhil yang tiba-tiba muncul di sampingnya. “Kamu udah siap? Nggak sabar untuk ketemu Zahra, ya?”
Azzam hanya tersenyum, berusaha menutupi rasa gugup yang menggelora di dalam hatinya. “Iya, semoga saja kita bisa berbincang lagi.”
Setelah shalat, pengajian dimulai. Azzam mencoba fokus pada materi, tetapi perhatian matanya selalu tertuju pada Zahra. Kali ini, dia duduk bersama teman-temannya, dan Azzam bisa melihat betapa cantiknya Zahra mengenakan hijab biru muda, seolah berpadu dengan senyum manis yang tak pernah pudar.
Ketika sesi tanya jawab dibuka, Azzam kembali mengangkat tangan, niatnya untuk bertanya dan menyambung percakapan. “Ustaz, bagaimana kita tahu kalau seseorang itu adalah orang yang tepat untuk dijadikan teman hidup?”
Ustaz tersenyum, “Ketika hati kita merasa tenang bersamanya, dan kita dapat saling mendukung dalam hal kebaikan. Jangan ragu untuk mendekati orang yang kita anggap baik.”
Mendengar jawaban itu, Azzam merasa terinspirasi untuk lebih mendekati Zahra. Dia tidak mau menunggu lebih lama lagi.
Setelah pengajian selesai, suasana mulai ramai. Azzam mencari Zahra di antara kerumunan, dan saat ia melihatnya, hatinya berdebar. “Azzam, kita mau foto-foto bareng,” teriak Fadhil tiba-tiba.
“Eh, tunggu!” Azzam berlari kecil menuju Zahra yang sudah mulai bergerak pergi. “Zahra, mau ikutan foto?”
Zahra berhenti dan menoleh. “Tentu, Azzam! Ayo!”
Senyum Zahra membuat Azzam merasa lebih tenang. Dia bergabung dengan kelompoknya, berpose bersama, dan tawa mereka memenuhi udara. Momen itu terasa begitu berharga, setiap detik terasa seperti anugerah.
Setelah foto-foto diambil, Zahra menyarankan, “Gimana kalau kita cari tempat makan setelah ini? Banyak yang mau kumpul-kumpul juga.”
“Setuju!” seru teman-teman lain dengan antusias.
Dengan semangat baru, Azzam ikut bergabung ke dalam rombongan. Mereka memilih sebuah warung yang terkenal dengan makanan tradisionalnya. Suasana hangat dan riuh, penuh gelak tawa, membuat Azzam merasa lebih dekat dengan Zahra.
Di meja makan, Zahra duduk di samping Azzam. Mereka mulai berbincang-bincang tentang berbagai hal, dari hobi hingga cita-cita. Azzam menemukan bahwa Zahra memiliki minat yang sama dalam fotografi. “Aku suka banget foto-foto pemandangan. Rasanya menyenangkan bisa mengabadikan momen indah,” Zahra bercerita, matanya berbinar penuh semangat.
“Aku juga! Kita harus foto bareng suatu saat,” Azzam menyahut, hatinya melompat mendengar kesamaan itu.
“Boleh banget! Mungkin kita bisa eksplor tempat-tempat baru di sekitar sini,” Zahra menjawab, senyum merekah di wajahnya.
Seiring obrolan berlanjut, Azzam merasa semakin akrab. Di tengah canda tawa, tiba-tiba ada suara dari arah pintu masuk. Seorang pria dengan postur tinggi, mengenakan pakaian rapi, memasuki warung. Pandangannya langsung tertuju pada Zahra.
“Hai, Zahra! Aku nggak tahu kamu ada di sini,” sapa pria itu, senyumnya terlihat percaya diri.
Azzam merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Dia bisa merasakan suasana hati Zahra berubah saat melihat pria itu. Zahra tersenyum hangat dan menjawab, “Oh, hai, Farhan! Ini teman-teman dari masjid. Kami baru saja selesai pengajian.”
Farhan melirik ke arah Azzam dan yang lainnya. “Senang bertemu dengan kalian. Zahra, mau nggak aku antarkan pulang?”
Azzam merasa seakan ada yang mencubit hatinya. Perasaannya campur aduk antara cemburu dan bingung. “Oh, itu… mungkin aku bisa mengantar Zahra pulang,” Azzam tiba-tiba berkata, berusaha bersikap tenang.
Zahra menatap Azzam, lalu Farhan. “Sebenarnya aku bisa pulang sendiri, tapi terima kasih untuk tawarannya.”
Farhan tersenyum, “Kalau gitu, kita sama-sama pulang. Lagi pula, sudah ada mobil. Nggak masalah, kan?”
Azzam merasa tersudut. Dia ingin menunjukkan bahwa dia juga peduli, tetapi Farhan terlihat sangat percaya diri dan familiar. “Aku rasa itu baik, Zahra. Asal kamu nyaman,” Azzam berusaha bersikap dewasa.
“Ya sudah, ayo kita semua pulang bareng,” Zahra berkata, mencoba mencairkan suasana.
Mereka pun beranjak dari meja makan, dan perjalanan pulang terasa penuh ketegangan. Di satu sisi, Azzam merasa beruntung bisa bersama Zahra, tetapi di sisi lain, kehadiran Farhan membuatnya meragukan diri. Sepanjang perjalanan, dia berdoa agar Allah memberinya petunjuk tentang langkah selanjutnya. Dalam hatinya, Azzam bertekad untuk tidak menyerah. Menanti cinta tidak selalu mudah, tetapi dia percaya akan ada jalan yang terbaik.
Antara Harapan dan Keraguan
Perjalanan pulang terasa lebih lambat dari biasanya. Azzam duduk di belakang, sambil sesekali mencuri pandang ke arah Zahra dan Farhan yang duduk di depan. Obrolan mereka mengalir dengan akrab, dan Azzam merasakan ketidakpastian dalam dirinya. Keduanya tertawa, dan seolah-olah dunia di luar jendela mobil menjadi kabur bagi Azzam.
Setibanya di depan rumah Zahra, Farhan berhenti dan menyalakan lampu sein. “Zahra, makasih sudah mau nongkrong bareng. Semoga kita bisa jalan-jalan lagi,” ujarnya dengan nada ceria.
Zahra tersenyum manis, “Iya, aku juga senang bisa ketemu kamu. Terima kasih sudah mengantar.”
Azzam merasakan jantungnya berdegup kencang saat Zahra melangkah turun dari mobil. Dia ingin sekali mengucapkan sesuatu, tetapi kata-kata seakan terjebak di tenggorokannya. Zahra menoleh ke arah Azzam, “Azzam, terima kasih juga ya, hari ini sangat menyenangkan!”
“Ya, sama-sama, Zahra,” jawabnya, berusaha menampilkan senyum yang tulus meski hati terasa berat.
Farhan kemudian keluar dari mobil dan membantu Zahra mengambil tasnya. Melihat interaksi mereka, Azzam merasa semakin ragu. Apakah dia cukup baik untuk Zahra? Perasaan cemburu menghanguskan harapannya, tetapi dia berusaha menepisnya.
“Aku akan pulang dulu, Zahra. Hati-hati ya!” Azzam akhirnya mengucapkan kalimat pamitan, meski berat.
Zahra melambaikan tangan, “Hati-hati, Azzam! Sampai jumpa di pengajian selanjutnya!”
Mobil Farhan berangkat, meninggalkan Azzam yang berdiri di tempat dengan rasa hampa. Dia melangkah perlahan menuju rumah, pikirannya terus berputar tentang perasaannya yang membingungkan. Kenapa harus ada Farhan? Kenapa saat dia mulai merasakan harapan, tiba-tiba ada bayangan orang lain yang menggoyahkan hatinya?
Sampai di rumah, Azzam duduk di beranda, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. “Ya Allah, beri aku petunjuk,” doanya lirih, berharap ada jawaban untuk keraguan yang menggelayuti hatinya. Saat itu, ponselnya bergetar. Ternyata sebuah pesan dari Zahra.
“Selamat malam, Azzam! Terima kasih hari ini, senang bisa kenal lebih dekat. Semoga kita bisa ngobrol lebih banyak lagi.”
Azzam membaca pesan itu berulang kali, seolah kata-kata itu bisa menghapus keraguan yang membebani hatinya. Dia membalas dengan cepat, “Selamat malam, Zahra! Senang bisa ketemu. Nanti kita atur waktu buat jalan-jalan ya.”
Setelah mengirim pesan, Azzam tidak bisa tidur. Dia teringat kata-kata Ustaz dalam pengajian. Jika hati merasa tenang dan saling mendukung, maka itu mungkin petunjuk dari Allah. Dia perlu berani mengambil langkah, meski takut akan kegagalan.
Hari demi hari berlalu. Setiap kali pengajian diadakan, Azzam berusaha lebih dekat dengan Zahra. Mereka mulai sering bertukar pesan, bahkan sesekali bertemu untuk belajar bersama. Keberanian Azzam mulai tumbuh, tetapi di balik semangat itu, rasa takut masih menghantui.
Suatu malam, Azzam mendapatkan pesan dari Zahra. “Azzam, besok ada acara lomba baca puisi di sekolahku. Aku mau ikut, mau datang?”
Jantung Azzam berdebar. “Aku datang! Doakan ya!”
Keesokan harinya, Azzam datang ke sekolah Zahra dengan membawa semangat dan harapan. Di halaman sekolah, suasana ramai dengan siswa yang bersiap untuk acara. Saat melihat Zahra mengenakan dress sederhana berwarna putih, hatinya berdebar keras. Dia terlihat sangat anggun, dan senyumnya selalu membuat Azzam merasa nyaman.
“Zahra!” panggil Azzam saat mendekatinya.
“Eh, Azzam! Makasih sudah datang!” jawab Zahra ceria, matanya berbinar.
“Semangat ya! Aku yakin kamu bisa,” Azzam berusaha memberikan dukungan, meski hatinya dipenuhi rasa cemas.
Acara dimulai, dan Azzam menemukan tempat duduk strategis untuk menyaksikan Zahra tampil. Saat namanya dipanggil, Zahra melangkah ke panggung dengan percaya diri. Azzam bisa melihat betapa penuh semangatnya dia. Zahra mulai membacakan puisi tentang harapan dan cinta, dan setiap kata yang keluar dari mulutnya seolah memancarkan keindahan.
Ketika Zahra selesai, tepuk tangan menggema di seluruh ruangan. Azzam berdiri, bertepuk tangan dengan tulus. Dia merasa bangga, dan lebih dari itu, dia merasakan bahwa Zahra memiliki potensi yang luar biasa. Setelah acara berakhir, Azzam bergegas menuju Zahra.
“Zahra, kamu luar biasa! Aku terpesona!” ungkap Azzam dengan antusias.
“Serius? Makasih, Azzam! Itu artinya banyak buat aku,” Zahra menjawab sambil tersenyum, pipinya merona merah.
“Kalau gitu, kita harus rayakan! Makan es krim?” Azzam mengusulkan, berusaha menghilangkan ketegangan.
“Deal! Aku suka es krim!” Zahra menjawab, mata berbinar penuh semangat.
Mereka pergi ke kafe terdekat, dan selama perjalanan, Azzam merasakan kedekatan yang semakin dalam. Dalam suasana santai itu, Azzam merasa ada kesempatan untuk lebih mengenal Zahra. “Zahra, apa kamu percaya sama cinta yang ditakdirkan?”
Zahra terlihat berpikir sejenak sebelum menjawab. “Aku percaya. Cinta sejati itu akan datang pada waktu yang tepat, kan?”
“Ya, aku setuju,” Azzam merespons, hatinya bergetar. “Aku yakin kamu akan menemukan seseorang yang tepat untukmu.”
Zahra menatapnya dengan serius, “Maksudmu, kamu…?”
“Eh, maksudku… maksudku… aku yakin siapa pun itu pasti akan melihat keindahan dalam dirimu,” Azzam berusaha mengalihkan perhatiannya, tetapi kalimatnya terpotong oleh detak jantung yang berdebar.
Dalam suasana penuh harapan dan kebersamaan itu, Azzam berdoa dalam hati. Jika Zahra memang ditakdirkan untuknya, maka semoga Allah menunjukkan jalan yang jelas. Sebuah perjalanan baru sedang dimulai, dan Azzam bertekad untuk tidak mundur. Dia akan menanti, walaupun menunggu tidak pernah mudah.
Menemukan Cinta yang Diharapkan
Hari-hari berlalu, dan Azzam semakin sering bersama Zahra. Mereka menghabiskan waktu untuk belajar, berbagi cerita, dan mendukung satu sama lain dalam segala hal. Setiap tawa dan senyuman Zahra membuat Azzam merasakan kehangatan yang sebelumnya tidak pernah dia rasakan. Namun, di balik semua itu, ada keraguan yang tetap menghantui Azzam. Apakah Zahra merasakan hal yang sama?
Suatu sore, ketika mereka sedang duduk di taman kampus, Zahra mengeluarkan buku puisi yang baru saja dia beli. “Azzam, mau dengar puisi ini? Ini tentang cinta yang tulus,” katanya, matanya bersinar penuh semangat.
“Boleh banget! Aku siap jadi pendengarnya,” jawab Azzam, meski hatinya bergetar penuh harap.
Zahra mulai membacakan puisinya dengan suara lembut, penuh emosi. Setiap kata yang diucapkannya seperti menggugah hati Azzam. Dia teringat dengan semua momen yang mereka lewati bersama. Ketika Zahra selesai, suasana hening sejenak, di mana hanya ada bunyi angin berdesir di antara mereka.
“Bagus banget, Zahra! Kamu punya bakat luar biasa,” puji Azzam tulus.
“Makasi, Azzam! Aku sangat menghargai dukunganmu,” Zahra tersenyum. Namun, setelah itu, ada keheningan yang membuat Azzam merasa ada sesuatu yang perlu diungkapkan.
“Zahra, aku ingin berbicara tentang kita,” Azzam memulai dengan suara bergetar. “Selama ini, aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar teman di antara kita. Apa kamu juga merasakannya?”
Zahra terlihat terkejut, tetapi segera menundukkan kepala. “Aku… aku tidak tahu harus bilang apa. Setiap kali bersamamu, aku merasa bahagia. Tapi aku juga tidak ingin salah paham,” jawabnya, ragu.
“Aku mengerti. Tapi aku percaya, jika kita memang ditakdirkan untuk bersama, Allah pasti akan menunjukkan jalan,” Azzam menjelaskan, berusaha meyakinkan diri dan Zahra.
Zahra mengangguk, dan Azzam bisa melihat bahwa matanya berbinar. “Aku ingin percaya itu, Azzam. Mungkin kita bisa berdoa agar Allah memberi kita petunjuk.”
“Ya, ayo kita berdoa,” Azzam merespons dengan cepat. Keduanya menutup mata, mengangkat tangan, dan berdoa bersama. Dalam keheningan itu, Azzam merasakan kedekatan yang lebih dalam. Semoga doa mereka didengar.
Setelah berdoa, Zahra membuka matanya. “Azzam, aku merasa lebih tenang setelah berdoa. Mungkin kita perlu memberi waktu untuk saling mengenal lebih dalam sebelum memutuskan langkah selanjutnya.”
“Setuju. Kita tidak perlu terburu-buru. Yang penting kita saling mendukung dan mengingatkan satu sama lain,” jawab Azzam dengan senyum lebar.
Sejak saat itu, hubungan mereka semakin erat. Azzam dan Zahra lebih sering berbagi cerita tentang impian dan harapan mereka. Mereka juga menghadiri acara-acara di kampus bersama, dari seminar hingga pengajian, saling menemani dan memberi semangat satu sama lain.
Suatu malam, saat duduk di beranda rumah Zahra setelah menghadiri pengajian, Zahra mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tasnya. “Azzam, ini untukmu,” katanya sambil tersenyum manis.
“Untukku? Kenapa?” Azzam terlihat terkejut.
“Coba buka,” Zahra menjawab penuh semangat.
Azzam membuka kotak itu dan menemukan sebuah kalung dengan liontin berbentuk bulan sabit dan bintang. “Wow, ini sangat indah! Kenapa kamu memberikannya padaku?”
“Karena aku ingin kamu ingat bahwa harapan itu selalu ada, dan aku percaya kita bisa mencapai mimpi kita bersama,” Zahra menjelaskan, matanya berbinar penuh harapan.
Azzam terharu. “Terima kasih, Zahra. Ini berarti banyak bagiku.” Dia mengenakan kalung itu, merasakan kehangatan dari hadiah kecil itu.
“Mungkin kita memang ditakdirkan untuk saling mendukung dan menjaga satu sama lain,” Azzam berbisik, berharap agar semua harapannya bisa terwujud.
Keduanya saling menatap, dan Azzam merasa ada ikatan yang lebih kuat daripada sebelumnya. Dia merasakan getaran dalam hatinya yang mengatakan bahwa dia sudah siap untuk melangkah lebih jauh.
“Zahra, aku ingin kita selalu menjadi seperti ini. Aku ingin mendukungmu dan berharap kita bisa membangun masa depan yang indah bersama,” ungkap Azzam, berani mengungkapkan perasaannya.
Zahra tersenyum lebar, “Aku juga ingin itu, Azzam. Kita bisa berjalan bersama, selamanya.”
Azzam merasakan kelegaan dan kebahagiaan saat mendengar kata-kata Zahra. Dalam hatinya, dia berdoa kepada Allah agar segala sesuatu yang mereka impikan bisa terwujud. Mereka berdua tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi keyakinan dan harapan yang kuat bisa membuat segala sesuatu mungkin.
Malam itu, di bawah sinar bulan yang terang, Azzam dan Zahra merasakan cinta yang tumbuh di antara mereka. Mereka siap menanti dengan penuh keyakinan, karena mereka percaya bahwa cinta yang sejati pasti akan datang pada waktunya.
Nah, gengs, itu dia perjalanan Azzam dan Zahra dalam menanti cinta sejatinya. Kisah ini bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang harapan, doa, dan keyakinan bahwa Allah selalu punya rencana terbaik untuk kita.
Jadi, jangan pernah ragu untuk percaya bahwa cinta yang tulus akan datang pada waktu yang tepat. Semoga kita semua bisa belajar dari perjalanan mereka dan terus berusaha untuk menjaga iman sambil menanti cinta yang diinginkan. Sampai jumpa di cerita selanjutnya!